Aku dan adik laki-lakiku 1

Namaku Ratih, umurku 21 tahun. Aku tinggal di sebuah kawasan perumahan di Yogyakarta. Aku sekarang sedang kuliah di sebuah universitas negeri terkenal. Asalku sendiri sebenarnya dari Surabaya. Orang tuaku cukup kaya sehingga semua kebutuhanku terpenuhi di sini. Adikku juga di sekolahkan di sini, di sebuah SMU Negeri terkenal di Yogyakarta. Jadi kami berdua mengontrak sebuah rumah, tidak terlalu besar tetapi cukup lengkap. Ada TV, mesin cuci, kulkas, motor untuk masing-masing, komputer dan sambungan internet, dan fasilitas lain yang cukup membuat hidupku tidak kekurangan suatu apapun. Adikku bernama Dody, kelas dua SMU. Anaknya besar, cenderung bongsor tapi nggak gemuk. Tingginya sekarang saja sudah hampir 175 cm. Tubuhnya tegap dan atletis. Sedang aku sendiri sekitar 165-167 cm, wajahku termasuk cantik (buktinya banyak sekali yang mengejar-ngejar aku), tubuhku agak kurus sedikit, tapi payudaraku tumbuh sempurna.


Sebenarnya aku hanya punya satu adik laki-laki dan satu kakak perempuan. Jadi kami sekeluarga ada 3 orang. Dody adalah anak pamanku yang meninggal sekeluarga dalam kecelakaan tragis, kecuali Dody ini yang saat itu masih berumur kurang dari dua bulan. Papa mengambilnya dan memeliharanya sejak kecil. Hanya aku dan kakakku yang tahu kalau dia ini sebenarnya adik angkat. Bahkan Dody sendiri sampai sekarang belum tahu bahwa dia ini adalah anak angkat. Keharuan kami sekeluarga atas nasibnya membuat nyaris tak pernah ada diskusi tentang masalah itu dan menganggapnya sebagai si bungsu.


Dody adalah saudara yang paling akrab denganku. Kadang-kadang kami bercandanya kelewatan, kalau dulu mama sering marah, karena dia sering mengunci pintu kamar mandi kalau aku sedang mandi, atau kami berduel seperti layaknya dua orang anak laki-laki. Berguling-guling di karpet sampai papa membentak keras karena acara nonton bolanya terganggu, dan kami digiring untuk tidur segera. Kamarku satu kamar dengannya, ketika itu Dody masih kecil. Ketika aku ke Yogyakarta untuk kuliah, Dody masih kelas tiga SMP. Ketika itu aku masih kost, dan mengontrak rumah, setahun kemudian Dody dikirim ke sini untuk sekolah SMA di sini. Karena dia pandai dan punya NEM tinggi, dia diterima di sebuah sekolah Negeri ternama di Yogyakarta. Papa menghadiahkan sebuah motor kepadanya.


Seiring dengan masa sekolahku di sini, aku kena juga yang namanya panah asmara. Yang kuincar adalah seorang cowok kakak angkatanku. Namanya panggilannya Pin-pin, agak lucu kedengarannya, tapi orangnya benar-benar sempurna. Tinggi (mungkin lebih tinggi dari Dody), badannya bagus banget, pintar sepertinya, dan dari cerita-cerita yang pernah kudengar, dia bukanlah seorang mata keranjang.


Singkat kata, aku berpacaran dengannya. Tapi seperti yang digariskan papa, aku tidak boleh begini tidak boleh begitu. Semuanya aku turuti. Untungnya Pin-pin ternyata memang benar-benar cowok yang sempurna, dia hanya berani mencium, meskipun di bibir, tapi tak pernah terus gerilya. Sampai setahun, aku dan Pin-pin terus langgeng saja, dan selama itu tidak ada yang berubah di dalam pengetahuan tentang seks-ku. Artinya aku betul-betul seorang cewek lugu dan polos. Nasihat papa ternyata baru aku tahu dikemudian hari, ternyata tidak mempan ke Dody. Bayangkan saja, dikemudian hari ada peristiwa yang membuatku memandang lain padanya. Pacarnya banyak sekali, dan ganti-ganti pula. Sering dia mencuri-curi waktu mengajak pacar-pacarnya ke rumah saat aku sedang kuliah. Padahal dia baru kelas 2 SMA.


Kejadiannya begini. Sore itu sekitar pukul 14.00 aku berangkat ke kampus untuk mengikuti tutorial, kali ini aku tidak memakai motorku sendiri tapi dijemput oleh Pin-pin, pakai Honda Tiger-nya. Dody baru bangun tidur, dan seperti biasa aku cium pipinya terus acak-acak rambutnya dan pamit.


"Berangkat dulu ya!"


"Hmm", wajahnya yang kusut baru bangun, menggeletak lemas di atas meja makan, matanya menatap layar TV, menetap Sarah sedang siaran.


"Mbak, bawa oleh-oleh ya!"


"Ya nanti tak bawain kucing! Ha.. ha.. ha", sambil berlari aku keluar rumah.


"Makan tuh kucing.."


Pin-pin sudah siap dengan motornya dan segera kami berangkat. Berhubung jarak antara rumah dan sekolah cukup jauh, maka aku berangkat setengah jam sebelum jam tutorial dimulai. Saat mau masuk ke halaman kampus, baru ingat aku lupa tidak membawa diktat temanku. Padahal besok mau dipakai ujian. Tanya sana-sini, kebetulan tutorialnya diundur satu jam lagi, padahal pula Pin-pin harus segera pulang. Akhirnya aku minta dianterin sampai rumah saja terus nanti ke sininya berangkat sendiri.


Sampai depan rumah, pintu tertutup, garasi pun demikian. Aku berusaha membukanya tetapi dikunci. Akhirnya aku buka pintu depan dengan kunciku sendiri. Aku bertanya-tanya apakah Dody keluar kok rumah dikunci begini. Aku segera masuk ke kamar. Aku heran kok pintu kamarku terbuka sedikit. Tanpa berpikir apa-apa aku segera membukanya dan mengambil buku dilaci meja. Ketika aku bergerak tanganku menyentuh monitor komputerku. Lagi-lagi aku heran, kok panas. Tapi sekali lagi karena buru-buru aku memasukkan diktat itu ke dalam tas dan ketika berbalik aku tertegun menyaksikan pemandangan di depanku.


Dody, bercelana pendek tanpa baju berjongkok di bawah cantolan jaketku, sementara di sebelahnya berjongkok meringkuk pula seorang cewek, yang sepertinya masih SMU atau malah SMP. Bahunya terbuka, dadanya ditutupinya dengan kaos biru milik di Dody, pahanya terbuka, dan karena posisi jongkoknya, aku melihat segaris lipatan selangkangannya yang masih belum ditumbuhi bulu terlihat berkilat basah membeliak terkena himpitan pahanya. Terlihat jelas, bahwa tanpa kaos biru itu dia telanjang bulat. Dody sendiri meskipun pakai celana pendek, tak sanggup menutupi tonjolan yang tampak mengeras di balik celana pendeknya itu, di ujungnya tampak noktah bening di kain celananya.


Keduanya berwajah panik karena tidak menyangka aku datang secepat itu. Aku terdiam beberapa saat seakan tak percaya adik kesayanganku bisa berlaku seperti itu. Aku saat itu pun tak tahu harus bagaimana bertindak, keduanya benar-benar seperti tikus di pojok ruangan dikepung oleh kucing. Aku melihat lagi ranjangku, baru sadar ada yang tidak beres. Biasanya aku selalu meninggalkan ranjang dalam keadaan rapi, tapi kali ini di permukaannya tampak kusut-kusut yang tampak sedikit lembab. Kali ini aku benar-benar marah.


"Kalian ngapain di kamarku?" aku berkata nyaris membentak.


Sepertinya kalimatku ini untuk Dody. Dody berdiri, dan menunduk. Sekilas aku melirik selangkangannya. Sepertinya dia masih belum reda, terlihat dari bentuk permukaan celananya yang tampak mencuat oleh sesuatu dari dalam. Sementara pacarnya seperti mau menangis, dia menangkupkan kedua tangannya ke wajahnya dan menempelkan lututnya.


"Belum.. ngapa-ngapain kok!"


Aku memegang telinganya dan menarik keluar keduanya dari dalam kamarku.


"Kamu bisa pulang sendiri tho, Dik!" aku berkata setengah membentak pada teman ceweknya itu. Dia sesenggukan berdiri dan setengah berlari masuk ke kamar Dody seperti sudah biasa saja dan sebentar kemudian keluar dengan memakai pakaian sekolah. Benar dia masih SMP, Dody akan bergerak menolong tapi melihat pandanganku dia berhenti dan menunduk. Ceweknya itu (di kemudian hari aku ketahui namanya adalah Chintya, murid sebuah SMP swasta), keluar dari pintu depan dan berlari di jalan depan rumah.


"Duduk!"


"Sudah berapa kali kamu melakukan itu?"


"Kamu udah begituan beneran?" dan berondongan pertanyaan lain yang seperti senapan mesin tak sanggup membuatnya menjawab. Dody, masih bertelanjang dada, duduk di depanku, menunduk dan beberapa saat kemudian tangisnya meledak. Saat itu aku tiba-tiba jatuh kasihan padanya. Meskipun bongsor, kalau pas begini ya keluar bungsu-nya.


Tiba-tiba yang teringat olehku, paman, tante, sepupu-sepupuku yang telah tiada. Ini cukup membuatku bangkit dari dudukku dan duduk di sebelah kirinya dan memeluknya erat. Semakin dipeluk, semakin keras tangisnya, aku mengelus-elus rambut dan bahunya. Dody sendiri memelukku sambil terasa di dadaku sesenggukannya tepat di tengah-tengah di antara payudaraku. Kaki kanannya terangkat diletakkan di atas pahaku, sehingga aku bisa merasakan batang kemaluannya. Agak lama dia sesenggukan itu, aku sesekali memberikan apa yang papa berikan padaku, dan yang tak kurasakan bahwa batangannya itu mengeras tepat segaris dengan pahaku. Dia masih berada di antara kedua payudaraku.


Lama baru aku sadari, apa yang terjadi. Anak ini, sama kakaknya sendiri berani begitu. Aku mendorongnya perlahan, supaya dia tidak tersinggung. Dan segera masuk kamar. Aku tidak berani ke atas ranjang, jangan-jangan di atasnya sudah ada noda-noda itu. Dan hanya duduk di atas kursi di depan komputer dan menyalakannya. Ketika sudah menyala, ketika sudah keluar windowsnya. Eh, tiba-tiba ada tampilan Mpeg, aku curiga dan sedikit iseng menggerakkan mouse-ku untuk mengklik tanda play.


Gambar pertama yang tampil sangat membuatku syok. Terlihat seorang bule sedang memegang batang kemaluannya. Dari ujungnya itu keluar sesuatu seperti cairan berwarna putih, jatuh ke lidah seorang cewek di depannya yang sedang menjulur-julurkan lidahnya. Dalam pikiranku pertama, bahwa itu adalah air pipis, dan seketika aku mual dan berlari masuk kamar mandi dan muntah. Selesai membersihkan diri aku kembali masuk kamar dan baru ingat aku belum mematikan komputer dan program itu, kali ini adegannya seorang pria bule sedang memasuk-masukkan batang kemaluannya ke liang kemaluan seorang cewek. Batang kemaluannya besar sekali. Ceweknya kelihatan kesakitan dalam pandanganku. Aku segera mematikan komputer dan menekan tombol eject CD ROM serta mengambil isinya keluar.


"Dody, ini VCD-mu!" aku melemparkan VCD itu sehingga jatuh di lantai.


Dody masih sesenggukan di sofa ruang tengah.


Jadilah sore hari itu aku tidak masuk tutorial, dan mencuci spreiku yang lembab dan basah itu. Peristiwa pertama itu sebulan dua bulan pertama memang masih membekas dengan kuat di ingatanku. Aku jadi jarang bermanja-manja sama adikku ini. Biasanya sambil nonton TV aku biasa tidur-tiduran di atas pahanya atau kalau dia nontonnya sambil tiduran tengkurap di karpet, aku menungganginya dan berpura-pura sedang naik perahu di atas punggungnya. Atau kadang-kadang dia dengan lembut tertidur di pangkuanku. Dody pun, jadi canggung mau berkata-kata kepadaku, biasanya kalau ada apa-apa selalu saja diceritakannya kepadaku.


Seiring dengan berlalunya waktu, aku mulai menganggap bahwa Dody sudah berubah dan aku mulai kembali seperti semula bersikap kepadanya. Demikian pula dia. Entah karena apa, aku mulai memasuki ruangan yang dinamakan seks itu. Ketika dicium Pin-pin kalau dulu biasa-biasa aja, sekarang mulai terasa perasaan lain seperti ingin dipeluk erat setiap kali dicium di bibir. Atau setiap kali membonceng naik motor, kalau dulu aku menempelkan dadaku ke punggungnya dengan cuek tanpa rasa apapun, sekarang sentuhan lembut saja dari jaketnya terasa ada rasa enak yang aneh. Apalagi ketika mandi, kalau dulu membersihkan dan menyabun area selangkanganku terasa biasa saja seperti halnya menyabun siku atau telapak tangan, sekarang sentuhan-sentuhan itu menimbulkan rasa lain bagiku.


Sebenarnya secara fisik dan seksual baru aku sadari adikku ini memang seksi. Kami mulai biasa berbincang-bincang terus terang seperti dulu lagi. Suatu ketika aku memergokinya sedang onani tapi dia tidak tahu kalau aku tahu. Dia melakukannya di kamar mandi belakang yang sebenarnya bukan kamar mandi tapi tempat cuci. Saat itu minggu pagi, aku jogging bersama teman-teman, saat balik suasana rumah kosong lagi. Bayangkanku Dody masih tidur, aku terus ke belakang untuk menjemur sepatu, saat lewat dekat tempat cuci aku melihat kepala Dody, wajahnya tampak serius sekali, sesekali menengadah.


Perlahan-lahan aku mendekatinya dan melihatnya dari balik rooster beton. Ketika tampak seluruh badannya, aku kembali tertegun, tapi kali ini bukan dengan amarah, tetapi dengan rasa ingin tahu yang semakin tinggi. Dari balik lubang roster beton aku melihat adegan yang tak terlupakan seumur hidupku, dan begitu terekam secara kuat dalam ingatanku sampai sekarang. Dody dalam posisi berdiri, pantatnya bersandar sebagian ke pinggiran bibir sumur.


Dia memakai kaos oblong dalam warna putih, bagian bawahnya terlipat ke atas sebagian sehingga menampakkan perutnya. Yang mencekamku tapi justru membuatku terpaku adalah pemandangan di bawahnya. Celana pendeknya merosot sampai dekat lutut, sebagian celana dalamnya masih menutupi pantatnya, tapi bagian depannya tertarik ke bawah sehingga menekan sebagian buah zakarnya ke atas. Tangan kirinya memegangi botol lotion (kalau nggak salah Sari Ayu, dan itu milikku!) dan menempel di paha kirinya. Sedangkan sebagai fokus adalah tangan kanannya membentuk genggaman seperti sedang memegang raket dan bergerak-gerak teratur mengurut-urut batang kemaluannya yang tampak berkilat. Tubuhnya sedikit membungkuk ke depan dan tampak dari tangan dan sebagian anggota tubuhnya yang lain yang tidak tertutupi oleh pakaian, seperti mengeras dan mengejang. Aku belum pernah membayangkan ada peristiwa seperti itu. Sebenarnya dari membaca aku sudah memiliki pengetahuan tentang seks umumnya dan organ-organ vital laki-laki khususnya. Tetapi menyaksikan sendiri semuanya memberi perasaan yang sulit terungkapkan.


Aku terdiam di balik roster itu dan menyaksikan adikku sendiri sedang melakukan itu. Lagi pula tak pernah terbayangkan kemaluannya itu yang dulu waktu masih kecil begitu lucu sekarang bisa sebesar itu. Pokoknya perasaanku saat itu betul-betul campur aduk tak karuan. Kali ini tiba-tiba aku melihatnya sebagai laki-laki dewasa yang tampak sedang terengah-engah. Gerakan mengurutnya tampak semakin cepat, kulit penisnya yang tampak coklat tua bersemu merah ikut tertarik-tarik seiring gerakan mengurutnya. Kepala penisnya yang tampak seperti jamur merang tampak mengkilat lucu. Sesekali dia menambahkan lotion-ku ke tangan kanannya dan meratakannya di tangan dan terus bergerak mengurut (di kemudian hari baru aku ketahui kalau gerakan itu diistilahkan mengocok, padahal kan sebenarnya itu gerakan mengurut).


Wajah Dody tampak tidak seperti Dody yang kukenal, yang masih tampak imut-imut meskipun secara fisik dia bener-benar sudah dewasa. Tubuhnya berkeringat sebagian terlihat di leher, dahi dan tangannya. Sesekali dia menengadahkan kepalanya. Nafasnya tertahan-tahan terdengar sampai di tempatku berdiri. Semakin cepat dan semakin cepat.


Tak berapa lama kemudian gerakannya melambat beberapa saat dibarengi oleh suaranya yang terdengar seperti mengerang atau mendesah. Tubuhnya menekuk ke depan sehingga nyaris mendekatkan pusarnya ke ujung penisnya. Gerakan tangan kanannya kemudian tiba-tiba bergerak dengan cepat sekali dan sekian detik kemudian aku menyaksikan dari ujung penisnya keluar cairan berwarna putih atau sedikit kekuningan yang menyemprot-nyemprot seperti orang meludah tapi banyak sekali dan berjatuhan kelantai cuci. Otot di tangannya tampak mengeras, begitu juga pantat di balik celana dalamnya tampak mengejang sehingga terlihat dari samping seperti memanpat ke dalam. Aku sendiri tiba-tiba merasakan getaran-getaran aneh di tengkuk, perut maupun area selangkanganku setelah menyaksikan adikku sedang meregang di sana. Itu cukup membuatku terdiam dan baru tersadar ketika Dody bergerak dan sepertinya akan masuk rumah. Aku tiba-tiba panik dan tiba-tiba saja bergerak ke dalam rumah dan masuk kamar, menutup pintu perlahan terus rebahan di ranjang, tengkurap.


Bersambung...