Sedarah
Saturday, 28 February 2009
Flawed venus - 1
BAB I
Surabaya, awal 2000
Aku terbangun dan mendapatkan laki-laki itu sudah berada di sebelahku. Wajahnya yang berwibawa tampak semakin tua dengan kerutan-kerutan yang menghias dahinya. Sekejap perasaan kasihan dan sayang merasuki hatiku, namun kebencian yang mendadak menyusul membuat perasaan itu hilang seketika. Yang kulihat di sebelahku beberapa saat kemudian hanyalah seorang tua yang kotor dan sama sekali tidak berperikemanusiaan. Aku membencinya. Sungguh-sungguh membencinya, sampai aku ingin membunuhnya saat itu juga. Seandainya hati dan tangan ini mampu.
"Kamu baik-baik saja. Maafkan saya."
Maafkan?
Kupandangi setiap gerakan bibirnya saat berucap. Maaf apalagi yang kauharapkan dariku? Kurangkah kepasrahanku selama ini sebagai bukti maafku padamu? Aku tak sanggup memandang matanya. Tidak sekarang. Kupejamkan mataku dan kugigit bibir bawahku. Air mata ini tak boleh keluar sekarang.Dari balik selimut putih kuraba bekas jahitan di bawah perutku. Inikah yang kau ingin kumaafkan?Aku memaafkanmu saat menyetubuhiku.
Berulang-ulang, bukan hanya sekali. Sampai adikku meringkuk di rahimku. Adikku. Tidakkah kau sadar itu iblis tua?
Adikku. Siapa lagi?
Yang akhirnya kurasa lebih bernasib mujur karena tak pernah mempunyai kesempatan untuk mencicipi getir kehidupan seperti adanya diriku.
Dan sekarang kamu masih ingin aku memaafkanmu?
Ya, kumaafkan kamu.
Papa.
BAB II
Aku merasakan pandangannya. Aku merasakan air liur yang tertelan di tenggorokannya saat melihat ketelanjanganku.
"Thomas. Keluar."
Aku membenci seringai di wajahnya. Kubalikkan tubuhku dan mengenakan kausku sebelum seringai itu benar-benar membuatku menjerit.
"Kamu melakukan itu dengannya, kan?"
Dan sekarang bisikan itu begitu dekat di telingaku, membuat seluruh bulu di tengkukku berdiri.
"Apa-apaan kamu!"
Kubalikkan tubuhku tapi tangannya sudah menggenggam pergelanganku. Wajahnya menempel di sisi wajahku dan menelusurinya. Dapat kurasakan nafasnya yang berbau alkohol menyapu saraf-saraf pennciumanku.
"Ya. Kan?" dan sekarang ia sudah mendesis di depan bibirku.
Kurenggut tanganku dan kutempeleng wajah adikku, membuatnya sedikit terhuyung lalu terjatuh. Dan ia hanya tertawa.
"Pelacur."
Thomas menyumpah sebelum meninggalkan kamarku sambil mengelus pipinya yang memerah.
Pelacur.
Memang aku seorang pelacur.
Kuhempaskan tubuhku di atas tempat tidur dan kubenamkan wajahku di bantal. Kubiarkan air mataku mengalir lepas dan membasahi semua yang bisa dibasahi. Kudekatkan cincin emas di jari manisku kebibir dan mengecupnya sambil terisak.
"Aku.. kini.. seorang pelacur."
"Ke mana Thomas?"
"Mboten ngertos, nDoro." Mbok Ijah hanya bisa menunduk-nunduk sambil menatap lewat matanya yang sudah menua. Laki-laki itu mengalihkan pandangannya padaku dan mencoba mencari sebuah jawaban. Kumasukkan sendok itu kemulutku, masih berusaha menikmati makanan yang mendadak menjadi pahit.
"Aku juga tidak tahu."
Lelaki itu menghela nafasnya dan mengambil lauk atas meja. Jangan berdoa! Jangan pernah!! Orang sepertimu tak layak untuk berdoa. Tapi toh ia melipat tangannya dan bergumam pada Tuhannya.
BAB II
"Lagi?" desahku beberapa saat kemudian. Namun lelaki itu hanya mengeluh dan memejamkan matanya. Sekejap. Tak satupun kata keluar dari bibirnya saat ia mengecup buah dadaku. Bangsat. Sampai kapan kamu melakukan ini?
Lelaki itu mengatupkan telapak tangannya dan meremas buah dadaku. Satu hal yang sudah kuketahui pasti saat itu. Ia masih menginginkannya. Dan sekarang ia sudah mengangkat daster tidurku dan berusaha melepaskan pengait bra-ku. Ah. mungkin aku semakin gila kalau aku terus menikmati hal ini.
Pelacur.
Mungkin aku seorang pelacur, karena ternyata aku mulai menikmati semua sentuhan yang menggetarkan pori-pori di tubuhku. Aku merasakan setiap getaran saat lidahnya menyentuh dan menelusuri kulit leherku, puting payudaraku, perutku. Dan bahkan aku menggelinjang saat jemarinya menari di atas lekukan-lekukan tubuhku. Bekas luka itu. Ia menyentuhnya. Iblis. Untuk apa kamu menangis? Kurasakan dada telanjangku dibasahi oleh air mata yang menetes dari pipinya. Masih ingatkah kamu akan dosa? Tapi kenapa kamu tidak berhenti? Malah sekarang menarik celana dalamku menelusuri paha dan betisku? Sebejat itukah dirimu?
Pelacur.
Mungkin aku seorang pelacur karena ternyata kemaluanku basah di luar kehendakku. Mungkin hanya pelacur yang merasa terangsang tanpa perasaan sedikitpun. Mungkin pula hanya pelacur yang membiarkan tubuh lelaki manapun berkutat di atasnya tanpa ekpresi apapun. Perut gendutnya menindihku, membuatku semakin susah bernafas, batang penisnya bergerak-gerak di dalamku, menusuk dan menekan, meninggalkan semburat panas dari selangkanganku. Bangsat itu memakai kondom. Dan kesadaran itu membuatku semakin ketakutan. Bukankah ia akan semakin leluasa terhadapku? Dan sekarang ia akan dapat melakukannya tanpa beban resiko yang selalu membayangi.
Dan bahkan kini aku sudah tidak menangis lagi. Kebencian dan rasa muak membuatku seakan lupa untuk menangis. Kupejamkan mataku, kugigit bibir bawahku, menunggu sengatan itu datang menghampiriku dan menjalari saraf-sarafku.
"Ahgg.." Lelaki itu mengerang dan mengejang.
Tak ada semburan yang kurasakan. Namun tetap getaran dan sengatan yang sama.
Aku seorang pelacur.
Karena aku menikmatinya.
Tanpa ekspresi.
Kututupi ketelanjanganku dengan selimut. Akhirnya air mata ini keluar juga. Bantal ini mulai terasa lembab. Beberapa saat kemudian kududukkan tubuhku dan mengambil sebuah buku biru kecil dari dalam laci. Kupandangi buku kecil itu dan merasakan air mata kembali menetes di pipiku. Sudah lama sejak terakhir aku menuliskan kata hatiku di buku ini. Batinku ingin membuka dan menuliskan lagi beberapa patah kata. Namun benakku menyadari ketidakhidupannya. Menyadari kekonyolanku, karena aku sekarang bertarung dengan kehidupan, dan sesuatu yang mati takkan menolongku. Kumasukkan lagi buku itu ke dalam laci setelah menghela nafas dalam-dalam.
Tapi aku tak bertarung sendirian. Sahabatku dan kekasihku. Kalian hidup dalam hatiku.Selamanya. Kau dan dia.
Kukecup cincin emas di jari manisku sebelum melangkah menuju kamar mandi. Setidaknya aku harus membersihkan dosa-dosa yang tersisa dari tubuhku. Sampai kapan? Entahlah.
BAB IV
Jadi pagi ini terasa begitu indah. Matahari bersinar lembut dan memberikanku nafas baru. Hatiku sedikit lega, karena iblis itu akan pergi seminggu lamanya. Bahkan Mbok Ijah terdengar bersiul-siul dari dapur. Apakah karena hawa setan itu sudah tidak menaungi rumah ini lagi? Memikirkannya membuatku sedikit tersenyum. Ya. Aku harus bisa tersenyum hari ini. Karena pagi ini terasa begitu indah. Kupandangi orang-orang yang lalu lalang di jalan. Sekejap keinginan untuk bermasyarakat dan kuliah seperti pemudi sebayaku mengusik. Namun aku tidak ingin menghancurkan pagi ini. Jadi kukembangkan senyumku dan berusaha meyakinkan diriku bahwa yang ada di luar istana emas ini adalah sebuah dunia yang mungkin lebih menyakitkan.
Kubiarkan air dingin membasuh otak dan hatiku. Kugosokkaan spons itu perlahan di sekujur kulit tubuhku, kunikmati setiap kesegaran yang bisa kurasakan. Dalam pikiranku melayang-layang sosok kekasihku.
Sedang apa kau di sana, Sayang?
Apakah kau sedang bercanda bersama para bidadari?
Bagaimana mungkin kamu tidak menanti kedatanganku?
Aku cemburu. Tapi..
Apakah engkau yang saat ini ada di sini menemaniku. Dan batang penismukah yang sekarang memenuhi rongga kewanitaanku? Bukan gagang gayung yang keras dan kaku?
"Ahh.." desahan demi desahan keluar dari bibirku.
Hey, sejak kapan aku merusak diriku sendiri? Cepat-cepat kukeluarkan gagang gayung itu sebelum kemaluanku disobeknya. Tapi kenikmatan dan keinginan itu masih ada. Dan alangkah pelacur-nya aku seandainya detik ini aku menginginkan iblis itu menyentuh dan menggagahiku. Kukeringkan tubuhku dan bergegas melangkah keluar dari kamar mandi. Pori-poriku mengencang saat angin dingin menerpa ketelanjanganku. Dingin yang menyegarkan dan menyapu sebagian dari hasrat yang berkecamuk.
"Mengapa begini sunyi? Ke mana Mbok Ijah? Belanja?"
Kusisir helai demi helai rambut yang menghiasi kepalaku di depan kaca sambil mengagumi diriku sendiri. Alangkah cantiknya aku. Dan alangkah kotornya aku. Tertawa sinis adalah pujian terbaik yang bisa kuberikan pada diriku sendiri akhir-akhir ini. Kututupi tubuhku dengan pakaian seadanya, membiarkan payudaraku tanpa bra, karena keinginan dan hasrat itu masih ada. Dan aku merasa seksi dengan sehelai kain menutupi tubuhku. Kupandangi lagi diriku di depan cermin, menikmati puting susu yang terbayang dari balik kaus tipis yang kukenakan. Alangkah seksinya aku. Dan aku tertawa sinis. Lagi.
"Bikin puding," desisku setelah puas mencemooh diriku.
Kesibukan mungkin perlu di pagi yang indah ini. Kubuka pintu kamar. Dan tangan-tangan itu merenggutku dengan kasar.
BAB V
"Jadi ini dianya."
Kedua lengan itu mendorong tubuhku dan menghempaskannya ke atas tempat tidur.
"Siapa kamu!" dan histeriaku justru membuat lelaki itu tersenyum. Matanya yang menyipit menatapku dan lidahnya menjilat sedikit air liur yang menetes ke dagunya.
"Luar biasa cantiknya. Sungguh luar biasa."
Dan apakah itu menjadi alasanmu untuk menamparku dan merenggut kaus yanng menutupi tubuhku?
"Jangan.."
Tapi apakah ia akan merasa iba lalu mendadak memelukku dan menangis bersamaku? Tentu tidak setelah melihat ketelanjanganku. Tangannya bergerak dan giginya yang dingin menyentuh kulit buah dadaku. Lututnya menekan kakiku, tubuhnya terasa begitu berat, sehingga setiap rontaanku terasa begitu sia-sia.
"Tolong. Jangan lakukan ini."
Tangisan itupun terasa begitu percuma saat mulutnya menghisap puting payudaraku dan memberikan rasa perih di dadaku. Tangannya menahan kedua lenganku di atas kepala. Dengan kasar lelaki itu menyusupkan jemarinya ke balik celana pendekku dan menekan kemaluanku, membuatnya basah tanpa kehendakku.
"Ya Tuhan, kamu benar-benar menikmatinya."
Lelaki itu merenggut pula sisa-sisa penutup ketelanjanganku, jemarinya menusuk dan memainkan liang kemaluanku, membuatku merintih dan menggelinjang.
Siapapun di atas sana. Ijinkan aku melalui semua ini. Dan segalanya menjadi gelap.
"Kondom.."
"Ayo.. hati-hati.."
"Cepaat.. aku.."
Gumam demi gumam menyusup di telingaku. Tanganku begitu tak berdaya dengan tali-tali ini. Dan pantatku terasa empuk dengan bantal yang menyangganya. Empuk dan sakit, saat penis-penis itu bergerak-gerak memenuhi kewanitaanku. Satu dan lainnya. Silih berganti. Begitu cepat. Begitu menyakitkan.
Gelap dan terang silih berganti.
Gigitan dan jilatan, cakaran dan remasan. Erangan dan rintihan kenikmatan. Juga gelap dan terang.
Silih berganti
Tolong aku.
Siapapun.
"Hutang?" desisku sambil meraba pergelangan tanganku yang memerah. Mungkin apabila aku tidak setegang tadi, aku bisa melepaskan tali-tali ini dengan mudah. Tapi orang-orang itu sudah pergi. Tentu saja setelah mereka merasa puas dan bosan. Kurasa pagi ini tidak seindah yang kubayangkan. Tidak dengan kondom-kondom yang berserakan di lantai. Tidak dengan sprei yang basah di bawahku. Tidak dengan sperma yang mengering di bekas luka di perutku. Kuhampiri tubuh yang meringkuk di sudut kamar. Kubelai rambut adikku dengan jemariku, mengharapkannya untuk sejenak sadar dari khayalannya dan memeluk tubuhku.
"Ah, Thomas. Apa yang sudah kaulakukan?"
Kududukkan tubuhku di sebelahnya dan mendekapnya dalam dadaku. Aku masih ingat tangisnya saat jatuh dari pohon, saat anak-anak desa mempermainkannya. Dan saat-saat itu aku selalu ada dan memeluknya. Memberikannya perlindungan sejauh apa yang bisa kuberikan padanya. Dan kini..
Lindungi aku, Thomas.
Jangan siksa aku. Jangan lagi.
Dan kubiarkan diriku terlelap memeluknya.
Adikku yang sangat kusayangi. Satu-satunya.
BAB VI
Salah jika aku harus merasa aman. Salah jika aku merasa mereka puas setelah mencicipi tubuhku. Mereka datang lagi. Setelah adikku memutuskan untuk menebus obatnya dengan tubuh kakaknya.
"Jangan kembali lagi," desisku lirih sambil memejamkan mata.
"Tentu saja. Kalau sudah lunas."
Seringainya membuatku mual. Lelaki terakhir itu mengecup puting payudaraku sebelum mengangkat tindihan tubuhnya dan melangkah keluar tanpa mengenakan sehelai benangpun di telanjangnya.Kupandang langit-langit kamar beberapa saat lamanya. Segala kejadian melintas di benakku. Begitu cepat. Aku menikmatinya juga. Karena aku seorang pelacur. Pelacur jelita yang begitu memuaskan. Kuraih buku kecil itu dari dalam laci dan melangkah menuju cermin. Kubiarkan tubuhku meliuk dan kusibakkan rambutku yang basah oleh keringat. Aku seperti seorang artis telenovela perayu yang sering kusaksikan di TV.
Dan aku kembali mengagumi sosok di dalam cermin.
Gila kamu, umpatku kagum. Masih bertahan.
Tentu saja. Karena kamu seorang pelacur. Kamu menikmatinya.
Demi segala sesuatu yang sangat berharga dalam hidupku.
Kubiarkan kepalsuan itu hilang seiring air mata yang mengalir di pipiku. Ini bukan tangisan, sebab tiada isak yang keluar dari bibirku. Tanpa ekspresi lain selain senyuman sinis.Kupeluk buku kecil itu di dadaku dan kukecup cincin emas di jari manisku. Lembut penuh perasaan. Kupejamkan mataku.
Bersambung...