Anak kolong

Setelah lulus SMA, saya ingin merantau kuliah di Jawa. Oleh karena itu Surabaya yang menjadi tujuan, karena saya masih punya keluarga dari ibu di sana. Paling tidak mbah saya dari ibu masih lengkap dan tante-tante (bulik) dari ibu juga banyak di sana.

Mungkin saya cucu kesayangan, sehingga kedatangan saya disambut gembira oleh kedua mbah dan tante-tante. Rumahnya tidak terlalu besar, tetapi memiliki halaman lumayan. Kalau tidak salah yang ukurannya sekitar 500 m2. Selama mencari perguruan tinggi yang cocok, saya menginap di rumah mbah. Kelak jika sudah diterima di Perguruan Tinggi, saya berencana kost.

Saya tidur sekamar dengan mbah. Berhubung kamarnya hanya cukup dimuat oleh sebuah tempat tidur ukuran besar, saya diajak oleh tante saya tidur di kolong tempat tidur mbah. Rupanya dia memang biasa tidur di situ dengan gelaran kasur tipis. Bagi saya malah enak tidur di kolong begitu, selain rada sensansi karena gelap, juga leluasa karena ternyata tempatnya cukup luas.

Satu, dua, tiga malam saya tidur biasa-biasa saja. Meskipun di sebelah saya tidur tante saya yang belum kawin dan beda usia kami sekitar 7 tahun. Dia adalah adik ibu saya yang terkecil. Dia memang anak bungsu. Saya tidak berminat sama tente saya ini, karena selain segan tentunya dia bukan tipe saya. Orangnya agak hitam, susunya tidak terlalu besar. Meski dia sudah bekerja, tetapi cara berpakaiannya sederhana dan jauh dari sebutan sexy.

Jadinya saya walau tidur berdua dan bergelap-gelapan, tidak ada perasaan apa-apa. Sampai satu malam saya terbangun karena rasanya gerah. Pelan-pelan saya buka mata saya untuk mengenali situasi. Ternyata saya dijadikan guling oleh tante saya. Meski gerah, berat, dikeloni oleh wanita dewasa begini, tentunya pelan-pelan ya saya tidak dapat netral lagi.

Sedapat mungkin saya menetralkan emosi. Namun, semampu-mampunya mengontrol emosi, ada juga yang tidak mau dikontrol. Tapi, saya tetap bersikap diam. Untungnya adik kecil ini tidak tertindih kaki tante saya, sehingga saya masih dapat berdiam. Waktu itu saya berpikir berkali-kali, menimbang berulang-ulang. Apakah ini kesengajaan atau tidak sengaja. Jika salah mengantisipasi, saya bisa berabe. Oleh karena itu lebih baik dianggap kurang mampu menanggapi peluang dari pada dianggap kurang ajar (gengsi kali ya).

Malam itu saya akhirnya tertidur sambil menahan beban, dan seingat saya paginya dia tidak lagi merangkul saya. Kami tidak berubah, dan dia bersikap seperti sebelumnya, meskipun pada mulanya saya rada rikuh juga menghadapi tante saya ini. Malam kedua saya agak lama tertidur, tante di sebelah nampaknya sudah lebih dulu lelap. Kini dia ulangi lagi memeluk saya. Celakanya adik kecil saya tertindih pahanya. Saraf motoriknya langsung bekerja untuk memuai, saya tidak kuasa mencegahnya. Kali ini pun saya tidak berani bereaksi. Saya nikmati saja seolah-olah saya keponakan tersayang tidurnya dikeloni. Ya apa boleh buat, sama sekali saya tidak berani membayangkan mencumbui tante saya ini, jadi ya saya pasrah jadi orang bego.

Setelah kejadian dua malam itu, saya jadi merindukan segera tidur lagi. Malam ketiga kami masuk ke bawah kolong bersama-sama setelah keadaan kamar mbah gelap. Dia senyum yang saya tidak tahu artinya, dan terpaksa saya balas juga senyumnya sekedar menghormati. Seperti biasa, saya memang lebih sering tidur telentang, dan biasanya sampai pagi tetap begitu. Tante langsung memeluk saya, padahal dia belum tidur. Komputer di kepala langsung menganalisa, oo.., ternyata selama ini ada unsur kesengajaan. Tapi kesengajaan dalam rangka apa, susah pula ditebak.

Kalau dalam keadaan sadar begini saya tetap diam, saya khawatir dianggap tidak normal, atau paling tidak demi penghormatan saya harus merespon. Jadilah saya membalas ikut merangkulnya. Ada celakanya, karena tangan saya sebelah kiri tertindih badannya, dan posisinya kira-kira menyentuh bagian selangkangan tante saya. Wah posisi susah ini, mau digeser jalannya buntu, tidak digeser, nyaris menyentuh vaginanya.

Kesemutan deh tangan ini akhirnya, karena saya tidak berani menggerakkan tangan itu. Kami saling berhadapan, dan ternyata mulut saya tidur lebih rendah, sehingga kening saya tepat di depan mulutnya. Saya merangkul tanpa mengeluarkan kata-kata, dan tanpa gerakan apa pun. Eh lha kok dia nyium kening saya, dan makin mengeratkan rangkulan. Saya jadi terjebak harus mencium lehernya. Untung tadi sebelum tidur saya sempat berbalur baby cologne, jadi bau badan saya mungkin seperti bayi. Saya pun mengendus bau bedak yang segar dari tubuh tante.

Ciuman tante kok kayaknya bukan ciuman seperti dari ibu ke anaknya, tapi ada rasa lain. Sebabnya dia bertubi-tubi menciumi saya di sekitar kening, lalu pelan-pelan ke mata, ke hidung, ke pipi. Saya berkesimpulan tante saya ini mulai bernafsu, dan keputusan saya hanya menikmati serangannya dan berusaha tetap pasif namun kooperatif.

Pelan-pelan saya dongakkan kepala, sehingga ia berhasil mencapai bibir saya. Kini dia tidak lagi sekedar merangkul tetapi mulai agak menindih dan dengan ganasnya menyedot mulut saya, dan memainkan lidahnya ke dalam mulut saya. Saya merespon seadanya, sebagai tanda saya menghormati inisiatifnya. Untungnya kamar mbah saya ini di bagian depan rumah, jadi dekat dengan jalan, sehingga suara-suara lalu lintas di jalan membuat kamar ini tidak hening. Jadi jika pun ada suara-suara yang keluar dari cumbuan kami, hampir pasti tidak terdengar ke atas.

Saya baru sadar jika payudara yang menempel di dada saya ini tidak dilapis BH. Dan untungnya dia mengenakan daster dengan kancing di depan dan belahan dadanya agar rendah. Tante saya ini aktif sekali, dia buka pelan-pelan kancing piyama saya dan dia ciumi dada dan puting susu saya. Aduh gelinya dan rangsangannya sulit saya pendam lagi.

Tiba-tiba ditariknya kepala saya ke bagian dadanya, dan sepertinya dia menyuruh saya menciumi bagian dadanya. Dia pun membuka satu persatu kancing di dadanya. Ya ampun, payudaranya kenyal sekali. Putingnya yang masih kecil saya jilati dan sedot bergantian kiri dan kanan. Dia seperti kepedasan, tapi mendesisnya berbeda.

Tangannya perlahan-lahan merambat ke selangkangan saya. Dia meraba adik saya dari bagian luar celana yang rasanya sudah mau meledak. Dikucel-kucelnya celana saya dengan gerakan hiperaktif. Saya jadi pecah konsentrasi menciumi payudaranya, sehingga akhirnya saya posisikan diri telentang. Dengan demikian tanggannya lebih leluasa meraba anu saya dari luar. Dia tidak puas pelan-pelan mencari celah untuk memasukkan tanggannya ke dalam celana saya. Digenggamnya rudal saya, dan dikocok-kocok. Saya menjadi sangat terangsang. Tetapi saya berhasil mengendalikan diri agar tidak cepat muncrat.

Dilucutinya celana saya sehingga rudal tegak bebas siap diluncurkan. Sementara itu tangannya membimbing tangan saya mengarahkan ke vaginanya. Saya turuti tanpa perlawanan, dan segera mencari segitiga emasnya. Saya raba dari bagian luar dasternya, dan pelan-pelan saya tarik dasternya ke atas sehingga tangan saya dapat menyentuh CD-nya. Celananya terasa agak lembab terutama di bagian bawah. Tangan saya berusaha mencari jalan ke dalam celana dalamnya dan mendapati gundukan dengan bulu tipis dan belahan yang basah.

Segera saya cari klitorisnya. Dia lalu tidur telentang sambil berusaha melepas CD-nya sendiri. Setelah tanpa CD dia memberi keleluasaan tangan saya mengucek-ucek klitroisnya. Dalam hal mengucek, saya telah memiliki ketrampilan, sehingga gerakan saya sangat diresponnya dengan rangsangan yang semakin hebat dirasakannya. Dia kini tidak lagi mengocok-kocok rudal saya, sudah lupa kali.

Tidak lama kemudian tangan saya dijepitnya dengan kedua paha dan tangannya menekan tangan saya ke kemaluannya. Saya berhenti mengucek-ucek. Vaginanya terasa berdenyut-denyut seperti denyutan kalau rudal saya memuntahkan pelurunya. Dalam keadaan orgasme itu saya segera menyergap mulutnya, dan saya sedot kuat-kuat. Dia sampai terengah-engah, dan saya kembali telentang sambil rudal tetap siaga di tempatnya. Saya pasrah saja tidak lagi mengambil inisiatif apa-apa.

Sekitar 5 menit kemudian dimiringkan badannya menghadap saya. Dan saya pun ditariknya agar juga miring menghadap dirinya. Ditepatkan vaginanya ke rudal saya, dan kakinya sebelah naik ke badan saya. Rudal saya digesek-gesekkan ke vaginanya, dan sesekali dia usahakan dimasukkan ke dalam liang vaginanya. Tapi usaha memasukkan itu selalu gagal, karena sempitnya liang senggama itu. Saya pasrah saja. Habis kolong tempat tidur itu begitu rendah, sehingga tidak mungkin saya mengambil posisi menindihnya.

Linu juga rasanya kepala rudal ini digosok-gosokkan ke arah klitorisnya, tetapi dia sangat menikmati sampai akhirnya dia kelojotan sendiri karena orgasme. Saya tetap pada posisi nanggung, sementara dia sudah 2 kali Orgasme. Apa boleh buat lah, tidak ada kesempatan dalam kesempitan. Tiba-tiba dia keluar dari kolong menuju kamar mandi. Barangkali mencuci kemaluannya karena sudah belepotan dengan cairannya sendiri.

Tidak lama kemudian dia masuk kembali, dan segera menyusup ke bawah kolong. Tapi dia tidak langsung di sisi saya, posisinya nanggung, dan mulutnya dekat sekali ke rudal saya yang sudah kembali berada di balik celana, meski voltase-nya belum turun. Ditariknya celana saya pelan-pelan, dan segera disergap peluru kendali itu dengan sedotan yang sangat kuat. Rasanya seluruh saluran mani dan kencing bagai ditarik keluar, linu geli dan enaknya bukan main.

Perlahan-lahan dan hati-hati dia memposisikan liang senggamanya menghadap ke mulut saya, dan dia tarik badan saya sampai pada posisi miring. Saya tahu maksudnya, agar saya menciumi kemaluannya. Dan astaga.., ketika saya buka dasternya ke atas, dia tidak lagi mengenakan CD dan vaginanya bau wangi sabun. Pelan-pelan saya julurkan lidah saya ke arah belahan kemaluannya, dan mencari klit-nya. Kepala saya dijepit diantara kedua pahanya, sehingga saya susah bergerak. Sementara rudal masih terus dilomoti dan disedot.

Saya temukan klit-nya, dan perlahan-lahan saya jilati terus menerus dengan gerakan yang sedapat mungkin konstan. Dia semakin semangat menghisap rudal saya, saya pun makin tinggi, mungkin dia juga karena gerakannya makin tidak terkontrol. Saya menikmati gerakannya yang sedang terangsang, saya jadi makin terangsang dan siap meledak. Tidak lama berselang, saya pun meledak tetapi saya berusaha terus menjilati. Mendapati ledakan saya rupanya dia pun terpicu pada orgasme karena tiba-tiba kepala saya dijepit sekuat-kuatnya.

Saya tidak tahu apakah mani saya ditelan atau tidak, karena saat mau meledak tadi saya tidak beri aba-aba, tetapi ketika meledak pun dia tidak melepaskan rudal saya. Sesaat tembakan terakhir saya, kepala rudal ini rasanya ngilu luar biasa sehingga saya menahan kepalanya agar tidak bergerak. Lemas rasanya badan saya seperti habis lari marathon 10 km. Saya tidur telentang dan rasanya dia mengelap mani saya yang tercecer dengan kain, yang mungkin sudah disiapkan.

Hampir setiap malam kami melakukan seperti itu. Dan polanya selalu serupa. Sampai suatu malam kami menikmati yang lebih leluasa. Pasalnya mbah berdua menginap di salah satu rumah anaknya. Jadilah kami yang harus tidur berdua di tempat tidur mbah.

Kami masuk ke kamar tidur seperti biasanya sekitar jam 10 malam. Pintu langsung dikunci dan kamar gelap gulita. Kami memulainya dengan cumbuan berat sampai akhirnya telanjang bulat berdua. Dia mengarahkan badan saya agar menindihnya dan kakinya dilebarkan dan ditekuk sehinga lubang vaginanya terbuka lebar. Pelan-pelan dituntunnya rudal saya ke arah lubang vaginanya yang telah siaga.

Saya terus terang tidak tahu apakah dia perawan atau tidak, tetapi nyatanya memperjuangkan kepala rudal masuk ke lubang vaginanya susahnya bukan main. Setelah kepala rudal terbenam, pelan-pelan saya dorong tetapi masih sulit, meskipun dia sudah membuka selebar-lebarnya. Sambil saya tekan pelan, saya lebih tegangkan rudal saya sampai menjadi sangat kaku. Cara ini ternyata mampu menembus ke dalam gua lebih dalam. Tetapi tetap saja ada halangan. Dia agak merintih sambil berbisik, sakiitt. Saya tahan setengah jalan, mungkin baru sepertiga perjalanan. Lalu saya tekan sedikit sambil kembali menegangkan rudal, masuk lagi sedikit. Rasanya sudah setengah batang saya terbenam. Dia tahan lagi badan saya karena katanya sakit. Saya pun menahan, lalu menarik sedikit dan mendorong sedikit. Jadi untuk beberapa saat kami main setengah tiang. Dia mulai merasa nikmat dengan permainan setengah tiang itu, sementara saya merasakan nikmat yang tanggung.

Sambil menarik dan mendorong, saya mencuri dorongan lebih banyak dan seperti gerakan piston, ternyata batang saya mulai lebih jauh terbenam. Meskipun begitu, masih ada seperempat bagian yang tersisa masih belum dapat masuk karena terhalang sakit. Saya kembali bermain tigaperempat tiang, dan pada satu kesempatan setelah gerakan itu licin, saya hunjam sampai seluruh batang saya tertanam. Merdeka, saya berhasil, meski dia mendesis rada kesakitan. Saya berhenti untuk memberi kesempatan agar rasa sakitnya berkurang. Pelan-pelan saya gerakkan maju mundur lagi. Kini dia tidak lagi merasakan sakit seperti semula. Tapi mungkin masih ada sakit meski sedikit. Saya lakukan gerakan pelan sambil mencari posisi yang tepat.

Sampai pada posisi dimana dia memberi respon saya bertahan di posisi itu. Tidak lama kemudian dia mengunci badan saya dan saya rasakan vaginanya berdenyut, padahal saya juga sudah hampir dan sudah lari pada persneling 5. Kini terpaksa kembali ke posisi netral dan maju lagi perlahan-lahan dengan persneling satu, dua sampai lima saya pusatkan perhatian karena saya sudah hampir meledak. Saya tidak lagi dapat memikirkan apa-apa ketika rudal saya hampir meledak, dia malah kelojotan dan berdenyut-denyut vaginanya membuat ledakan saya bagaikan bom atom. Mungkin kami mencapai orgasme yang sama.

Saya tidak lagi dapat menimbang harus ditembak di dalam atau di luar, pokoknya pada saat itu rasa enak sudah mengalahkan semua pertimbangan. Malam itu kami main sampai 3 kali. Celakanya atau untungnya mbah menambah hari menginapnya sehingga malam kedua kami mengadakan reli dan memecahkan rekor saya 9 kali ejakulasi, dia entah berapa kali, karena saya tidak mampu menghitung, apalagi permainan saya makin lama untuk ronde-ronde berikutnya. Pada ejakulasi yang kesembilan rasanya tinggal angin saja yang keluar dari peluru kendali ini.

Seharian itu kemudian saya tidur kecapaian, selain membalas tidur malam yang terbengkalai, juga memulihkan tenaga yang musnah. Meskipun sudah demikian jauh kami berbuat, tetapi jika di hadapan saudara-saudara kami tidak berubah sikap, artinya saya tetap saja menganggap dia tante saya dan saya keponakannya. Tapi di balik itu kami punya cerita yang dahsyat. Setelah reli itu saya sampai sekarang tidak pernah mampu lagi mencapai 9 kali dalam semalam meskipun dengan wanita yang lain.

TAMAT