The last sanctuary - 1

Pasir putih dan angin pantai. Kedua kaki mungil itu berlari menelusuri garis buih-buih yang terhempas ke tepian. Tawa kecil penuh keriangan terdengar dari bibir gadis itu. Tangannya bergerak terayun di samping tubuhnya. Angin mengibarkan gaun putihnya dan menyibakkan rambutnya. Gadis itu tampak begitu ceria. Kulitnya yang putih seakan bercahaya diterpa sinar mentari.

Kedua kaki mungil itu terus berlari. Terjatuh, tapi segera bangkit kembali. Tawa kecil penuh keriangan masih terdengar walau semakin jauh. Gadis molek bergaun putih berhenti. Matanya menerawang ke lautan tanpa batas. Kedua kaki mungil bergerak kembali. Berlari dan terus berlari. Tertawa dan terus tertawa. Pasir putih dan angin pantai. Gadis molek bergaun putih menanti setia. Sampai sebuah perahu menepi dan mengajaknya pergi.
Atas nama cinta.

CHAPTER I

Bab I

"Dita, sudah waktunya sarapan."
Mama memegang pundakku lembut dan memaksa tanganku berhenti menari di atas tuts-tuts keyboard. Kutolehkan wajahku dan tersenyum. Mata mama terlihat begitu sayu. Kerutan di wajahnya semakin dalam hari demi hari. Tapi pengertiannya atas gelengan kepala dan senyumanku masih tetap tajam seperti biasanya. Dan juga air mata yang menitik di pipinya.
"Ayo, makan dulu. Tadi mama sudah suruh masakkan semur telur."
Lengan mama menyusup ke balik punggungku dan melingkarkan lenganku di pundaknya, "Hati-hati."
Ah, Mama. Aku tahu.

Kubiarkan Mama mengangkat tubuhku dan mendudukkanku di atas tempat tidur. Kuangkat lenganku dan kusapu air matanya. Jangan menangis, Ma. Sudah cukup air mata untukku. Dan seperti biasanya, mama hanya tersenyum seolah mengatakan, "Mama baik-baik saja, kok."
Dan kubuka mulutku seperti burung kecil yang menunggu sang induk menyuapkan makanan ke mulutnya. Mama tertawa kecil melihat kemanjaanku.
"Bayi besar."
Bahuku berguncang. Dan beliau mengerti kalau aku tertawa. Karena ia mamaku. Dan aku anaknya.

"Siang ini teman Frans datang. Jadi mungkin Mama hanya punya waktu sedikit untuk menemani kamu," ucap mama setelah membersihkan noda makanan di bawah bibirku. Mama menatap wajahku yang berkerut lalu tersenyum dan mengecup dahiku.
"Tapi Mama janji, nanti Mama akan tidur bersamamu."
Secercah perasaan girang menjajak hatiku. Mama tertawa kecil melihat senyuman di bibirku lalu bangkit berdiri.
"Masih mau menulis..?"
Kugelengkan kepalaku dan mengacungkan lenganku ke arah balkon. Mama mengangguk dan memapahku bangkit berdiri.

Mama seorang wanita, dan sudah terlalu tua untuk melakukan pekerjaan seperti ini. Tapi beliau bahkan tak mengijinkan pembantu-pembantu itu yang mengerjakan segala sesuatu untukku. Katanya, ia masih punya banyak hutang yang harus dibayarnya untukku atas kepergiannya dua tahun yang lalu. Ah, Mama. Siapa yang mau menagih hutang itu? Tapi mama toh seorang wanita yang terlalu keras hati. Terbukti dari mendiang papa yang tak pernah bisa membawanya kembali, dan dari keinginannya untuk melayaniku. Dan itu membuatku semakin sayang padanya.

Mama mendudukkanku di atas kursi goyang, menggerakkan kursi itu sedikit ke pinggir supaya sinar matahari tidak terlalu menyilaukanku, lalu meletakkan kotak kristik itu ke atas pangkuanku.
"Nanti kalau ada apa-apa pencet bel, ya?" ucapnya seraya sekali lagi mengecup keningku.
Kuanggukkan kepalaku, tegas, berusaha meyakinkan padanya bahwa aku baik-baik saja. Beberapa saat kemudian aku mulai sibuk dengan hobiku yang kedua. Menyulam, sebuah pekerjaan yang menyenangkan.

Bab II

Suara-suara itu membangunkanku. Matahari sudah menghilang di balik atap. Mungkin sudah pukul satu siang, kataku dalam hati. Hawa terasa sedikit sejuk dengan angin yang menghembus semilir. Kugerakkan lenganku menyibakkan rambut yang menutupi wajahku.

Kenapa begitu ramai di bawah? Suara-suara tawa dan canda terdengar sampai ke atas. Kulihat beberapa pemuda dan pemudi melintasi pagar depan rumah sambil tertawa-tawa. Kepiluan yang kurasakan membuat bibirku tersenyum. Aku ingin seperti mereka. Ingin kuliah. Ingin bertemu teman-teman. Salah. Ingin punya teman-teman dulu. Baru kemudian bersama-sama jalan-jalan ke mall seperti yang di TV. Bergurau, bercanda, saling mendorong. Hihihi.. sepertinya begitu menyenangkan. Tapi.. Kuletakkan kedua telapak tanganku ke lutut. Demi apapun yang ada di atas sana. Aku tak boleh meratapi nasibku seperti seorang cengeng. Aku gadis yang tegar. Jadi lebih baik aku tersenyum dan tetap menyimpan anganku dalam impianku. Kuangkat kepalaku, merasakan semangat Joan of Arc yang menggebu dan membuat pundakku berguncang geli. Dan saat itu kulihat dia.

Pemuda itu menatapku dengan alis berkerut. Beberapa saat kemudian kepalanya bergerak miring dan bibirnya tersenyum. Kurasakan wajahku memanas, kutolehkan kepalaku namun tak ada sesuatu yang bisa kuraih untuk melindungiku. Jadi kutarik saja tubuhku merapat ke sandaran kursi. Tapi pemuda itu. Senyumannya. Kucondongkan tubuhku pelan-pelan. Astaga, ia masih di sana! Dan kini ia bahkan melambaikan tangannya padaku sambil menyeringai, "Hai!"
Aku bisa membaca gerakan bibirnya. Dan mendadak aku mulai panik. Kubalikkan tubuhku dan berusaha menyingkir. Tapi aku lupa. Aku terjatuh dengan jeritan tertahan yang keluar dari bibirku dan suara gaduh dari kursi yang terbalik. Kugerakkan lenganku dan menarik tubuhku sebisa mungkin. Sikutku terasa nyeri dan aku seakan bisa memastikan luka yang menganga di situ. Kugigit bibirku dan menghela nafas lega saat punggungku tersandar di tembok kamar.

Suara-suara itu semakin gaduh di bawah. Kali ini derapan kaki di tangga dan jeritan mama yang tertahan.
"Kamu tidak apa-apa, Dita?"
Kugelengkan kepalaku dan tersenyum. Mama mendecakkan bibirnya dan terlihat begitu gusar melihat darah di sikutku.
"Dasar bandel. Kamu harus belajar menggunakan bel."
Dan bahuku berguncang lagi. Pemuda tadi benar-benar membuatku panik. Tapi senyumannya begitu menawan. Aku ingin kembali ke balkon. Tapi mama malah mengangkatku ke tempat tidur dan mengomeliku panjang lebar. Menyebalkan.

Bab II

Gadis molek bergaun putih itu membiarkan pemuda bersayap malaikat mengecup lembut bibirnya dan membaringkannya di atas permadani pasir putih. Lengan si pemuda menahan bobot tubuhnya dan bibir pemuda itu menelusuri leher jenjangnya dengan penuh kehangatan.
"Aku sayang kamu, selamanya."
Dan si gadis hanya melenguh saat lengan itu menelanjangi gaun atasnya dan bibir itu menyentuh kulit telanjangnya. Si pemuda membiarkan gadis dalam dekapannya mengerang dan terengah.

Perlahan lengan pemuda itu mengangkat sebelah paha si gadis dan membiarkan gadis itu merona jengah atas ketelanjangannya. Gadis molek bergaun putih mengigit bibir saat sesuatu menyesak memasuki liang kewanitaannya. Tangannya mencengkeram dada si pemuda, mencakar, menancapkan kuku-kukunya. Pinggul pemuda bersayap malaikat bergerak, menekan, menari dalam liang yang hangat. Kedua tubuh telanjang itu kini berbalut pasir putih, namun mereka tak perduli. Karena saat itu hanya ada mereka, gadis molek bergaun putih dan pemuda bersayap malaikat.

Crakk!!

Gadis molek bergaun putih terhenyak dan menjerit merasakan kehangatan darah yang menyembur dari leher yang buntung di atasnya. Gagang sabit itu bergerak terayun menggulingkan tubuh pemuda bersayap malaikat jauh-jauh. Si gadis menjerit melihat tengkorak yang menyeringai dari balik jubah hitam. Kakinya menjejak tanah, tangannya terulur berusaha menggapai tubuh pemuda tanpa kepala. Tapi tengkorak berjubah hitam lebih kuat, gagang sabit mengayun dan si gadis merasakan dingin yang luar biasa di kedua kakinya. Jeritan gadis molek bergaun putih membelah angkasa. Pita suaranya seakan tertarik putus dari tennggorokannya.

Tengkorak berjubah hitam menyeringai semakin lebar. Tengkorak itu mengangkat jubahnya dan menusukkan sesuatu ke liang kemaluan si gadis. Gadis berusaha meronta, namun kedua kakinya telah tiada, tak mampu memberikan tenaga untuk berguling lepas. Tengkorak tertawa, terkekeh, menggerakkan benda keras itu semakin cepat. Berulang-ulang. Darah semakin membanjir. Pasir putih berubah kemerahan. Tengkorak mengerang membahana, gadis terhenyak, tengkorak-tengkorak lain bermunculan terkekeh-kekeh.

Gadis molek bergaun putih ingin segera mati. Tapi tengkorak-tengkorak berjubah hitam menjilati darahnya dan menghembuskan nyawa-nyawa kehidupan ke rongga hidungnya. Membacakan mantera-mantera. Mati tidak, hidup tidak. Tengkorak-tengkorak menari dan memainkan benda-benda keras milik mereka. Berpesta. Girang. Bermain-main.

Pasir merah darah dan langit yang menghitam. Gadis molek bergaun putih tergeletak tak berdaya. Mati tidak, hidup tidak. Tengkorak-tengkorak berjubah hitam beristirahat dan tertawa-tawa. Tengkorak yang pertama tertawa paling keras. Gadis tak tahu harus memohon apa dan kepada siapa. Air mata sudah habis dari matanya. Hanya darah yang terus mengalir dari kedua kaki buntungnya, dan hawa kehidupan yang terus berhembus ke hidungnya.

"Kamu cipta-Ku. Dan tak ada cobaan yang terlalu berat dari-Ku."

Sebuah tangan api membelah angkasa, menarik tengkorak berjubah hitam pertama yang meronta-ronta. Tengkorak-tengkorak lain berlarian tercerai berai. Tangan api mengejar mereka. Kini gadis itu sendiri lagi. Pasir kemerahan dan langit kelam menyelimutinya.

"Tapi mengapa Kau meninggalkan aku lagi.."
Gadis molek bergaun putih meratap, kebencian dan kesedihan menyatu dalam dirinya. Membuatnya bisu akan kata-kata. Darah perlahan mulai berhenti mengalir. Hawa-hawa kehidupan semakin tipis berhembus. Dan kedua lengan kekar yang mengkilat mengangkatnya. Mendekap gadis molek bergaun putih dalam pelukan. Menempelkan kepala yang terkulai itu ke perisai dadanya. Setitik air mata jatuh ke pipi si gadis, membuatnya tersadar.
"Kau..kau.." tapi yang keluar hanya erangan dan desisan.
Pemuda berbaju besi mengangkat tubuh buntung si gadis dan membawanya berlalu. Gadis menoleh, menatap kepala pemuda bersayap malaikat yang seolah tersenyum dalam damai.

Aku terbangun dan merasakan angin dingin dari AC membuatku sedikit menggigil. Kunaikkan selimut itu menutupi tubuhku sampai ke mulut. Beberapa saat kemudian baru aku dapat mengingat mimpi itu. Begitu jelas. Membuatku terheran dan ingin menangis.
"Sebuah mimpi yang aneh." ucapku dalam hati.
Dan aku masih bersyukur karena air mata masih bisa mengalir di pipiku. Hanya mimpi. Jangan terlalu dipermasalahkan.

Bab IV

Kuselesaikan draft terakhir dengan sedikit kacau. Mimpi semalam ternyata benar-benar menghantuiku. Aku tak dapat berinspirasi dengan benar sekarang. Yang ada hanyalah pertanyaan-pertanyaan bodoh yang cenderung berbau fiksi. Padahal fiksi bukan gayaku. Kulirik jam yang sudah menunjukkan pukul setengah dua belas. Sebentar lagi mama akan naik ke atas. Kuayunkan lenganku dan menggiring kursi rodaku ke depan cermin.

"Mengapa aku masih tetap cantik?" ucapku dalam hati.
Kuraih sisir di atas meja rias dan mulai merapikan rambutku. Dalam hati aku mulai berdendang. Mungkin jika aku masih seperti dulu, aku akan berputar-putar di depan cermin untuk mengagumi kecantikanku. Tapi toh hidup terasa lebih menyenangkan sekarang. Kupasang jepit rambut merah muda itu di rambutku. Kulihat bibirku tersenyum dari pantulan kaca cermin. Pemuda kemarin. Apakah ia tersenyum karena aku cantik? Tapi kalau dia tahu aku seperti ini.. pasti dia akan lari. Memikirkan hal itu membuatku sedikit geli.

Alangkah bodohnya aku. Bukankah begini lebih baik? Aku tak ingin melihat pandangan penuh belas kasihan pada diriku. Cukup mama dan papa Frans yang demikian. Jangan ada orang lain. Apalagi pemuda bersenyum simpatik itu. Amit-amit deh. Aku Joan of Arc. Kubusungkan dadaku, menegakkan kepalaku dan menggerakkan bibirku tanpa suara.
"Aku gadis perkasa. Aku Joan of.."
"Hehehehe.."

Orang itu nyaris membuatku terguling untuk yang kedua kalinya. Tapi pemuda itu segera meletakkan nampan berisi makan siangku dan berlari memegangi pundakku. Kepalaku menoleh ke kanan dan ke kiri, aku berusaha berteriak walau tak ada suara yang keluar.
"Whoa, tenang. Tenang dulu. Relaks."
Mana mungkin aku dapat relaks dengan rasa panik dan malu yang menjalar di seluruh sarafku. Kugerakkan lenganku dan berusaha melepaskan pegangannya. Tapi pemuda itu hanya terkekeh dan mengangkat tubuhku dengan kekuatan yang cukup mengejutkan.

"Mungkin kamu lebih tenang di sini."
Pemuda itu meletakkan tubuhku di atas tempat tidur. Aku yakin wajahku memucat. Trauma masa lalu kembali terbayang. Jangan. Jangan lakukan.. jangan..
"Aku ambil makananmu dulu, oke." Hah?
"Lalu kamu biasa disuapin atau makan sendiri?"
Pertanyaan yang seperti sia-sia karena beberapa saat kemudian pemuda itu tertawa begitu lepas dan menyadarkan kebengonganku.
"Mukamu.. hahaha.. konyol."

Sial! Kulupakan semua rasa jengahku dan menamparnya sekuat tenaga. Pemuda itu terkejut. Kurasakan pundakku berguncang geli melihat wajah yang sebelah merah itu. Tapi aku sudah mulai lapar. Kuambil gagang sendok itu dan mengais-ngais makanan di depanku. Lewat sudut mataku aku dapat melihat pemuda itu mengusap-usap pipinya yang kemerahan. Tapi si menyebalkan itu tersenyum-senyum. Cuek, ah. Kuteruskan saja menyuapkan makanan itu ke mulutku. Aku lapar. Lagipula..
"Lagi dong."
Kok kepala itu sekarang ada di atas piring makanku?

Kuangkat sendok di tanganku dan melemparnya. Pemuda itu sudah lebih dahulu bangkit dan menghindar dengan gerakan konyol yang mau tak mau membuatku sangat geli.
"Nah, kan. Sekarang kamu malah tidak bisa makan."
Kuangkat daguku dan menyuapkan makanan itu dengan tanganku.
"Gadis keras kepala."
Pemuda itu menggelengkan kepalanya. Nanti setelah makan. Kulempar piring ini ke kepalamu.Aku tidak takut padamu. Tidak sedikitpun.

Bab V

"Namamu Dita, kan?"
Kutatap matanya dan senyuman itu memberikan kesan tulus dalam nada bicaranya. Kuanggukan kepalaku.
"Aku Michael, tapi kamu bisa memanggilku Ronan."
Hah? Ronan? Jauh sekali? Hihihihi..
Pemuda itu tertawa, "Juz kiddin."
Mengapa aku merasa begitu cepat akrab dengannya? Apakah karena dia begitu kocak, bengal, memaksa,. Apakah..

"Kedua orang tuamu sedang keluar bersama orang tuaku."
Oh. Jadi itu sebabnya mengapa bukan mama yang mengantar. Tapi kenapa bisa pemuda ini yang..
"Aku bisa membuat mamamu percaya padaku."
Ternyata pemuda itu dapat menangkap tanda tanya lewat mataku. Bagaimana ia dapat membuat mama percaya? Aneh benar pemuda satu ini.
"Lalu? Enaknya kita ngapain sekarang?"
Aku hanya mengangkat bahu. Aku juga tak tahu. Sudah lama berselang sejak seseorang yang terlihat sebaya menemaniku.

"Aku tahu!" mendadak Michael berseru, "Ayo main petak umpet!"
Aduh. Kok petak umpet, sih. Kulirik kedua kakiku yng terkulai lemas. Michael sejenak terlihat gugup dan menggaruk-garuk kepalanya, "Waah, maaf.. maaf."
Dan gayanya yang polos justru membuatku merasa geli ketimbang marah. Kuangkat lenganku dan menunjuk komputer.
"Mau ke sana?"
Kuanggukkan kepalaku dan tersenyum. Michael tanpa ragu menggendongku dan mendudukkanku di atas kursi komputer. Sekejap aku merasakan sebuah kehangatan yang mengalir di tubuhku.

"Aku panggil kamu Mickey, kaya si tikus."
Michael tertawa membaca tulisan di monitor, lalu mengetikkan beberapa kata, "Tulis Miki saja, biar ngga repot."
Dan sejak saat itu aku memanggilnya Miki. Sahabat baruku yang kocak dan konyol.

"Kamu anak temennya Papa?" tulisku kemudian.
"Yap," Miki menjawab di sebelahku, "temen lama Papamu."
"Papa tiriku," tulisku.
"Aku tahu. Aku sering ke sini kok dulu."
"Baguslah. Kamu bakalan sering ke sini?"
"Sepertinya begitu."
"Kok 'sepertinya'?"
"Sebab aku ngambil spesialis di sini."
"Asik."

Miki tertawa melihat kata yang terakhir kutuliskan.
"Bayi besar. Seperti kata Mamamu."
Dan pemuda itu tak mengelak saat kutampar pipinya. Miki malah tersenyum-senyum dan membuatku sedikit merasa bersalah.
"Maaf," tulisku kemudian.
"Ngga apa-apa. Bisa minta lagi?"
Sayang aku tak dapat menulis 'hihihihi' terlalu banyak. Sayang lagi, Miki harus pulang setengah jam kemudian untuk mengurus kepindahannya dari Jakarta.

Mama mengatakan padaku bahwa Miki seorang pemuda yang baik. Jadi tidak masalah untuk tinggal bersama kami serumah. Dan aku baru saja menyadari bahwa pemuda itu datang dan memasuki kamarku tanpa sepengetahuan mama. Dasar orang gila. Tapi aku tak mungkin menceritakannya pada mama, nanti beliau jantungan. Aku hanya dapat memaki-maki tipu dayanya dalam hatiku, tapi aku menyukai idenya untuk dapat berkenalan denganku. Dan akhirnya aku mempunyai seorang sahabat baru. Setelah sekian lama. Seorang pemuda konyol bersenyum simpatik.

Bersambung . . . .