Sebuah Tantangan - 9

Aku seperti tersadar, segera kupersilahkan masuk, ternyata Ana dan Dion sudah mengenakan piyama-nya.

"Pak Taryo, ini Lily milik Pak Taryo seperti yang kamu inginkan" kata Dion dengan logat bule-nya.
"Tapi tuan, saya nggak biasa dengan yang seperti ini, apalagi cantik kayak Non Lily ini, paling juga dengan si Ina pembantu sebelah, apa Non Lily mau sama saya" kata Pak Taryo terbata bata sambil menatapku bergantian dengan Dion.
"Pak Taryo pernah ke Tandes atau Dolly?" tanya Ana.
"Eh neng, bikin malu aja, sekali kali sih, itupun kalau dapat persen dari tuan" kata Pak Taryo tersipu.

Kepalaku berputar pening mendengar pembicaraan mereka, laki laki macam apa yang akan disodorkan ke aku ini? Siapakah dia?

"Udah anggap aja dia dari Dolly atau Tandes, nggak ada bedanya, cuma dia lebih cantik dan lebih mulus dan lebih.. Pokoknya lebih dari segalanya deh.. Jauuh, mau nggak?" timpal Ana sambil menatapku.

Aku tak bisa berkata apa apa, sama sekali tak menyangka permainan taruhan bisa begini liar.

"Pak Taryo nggak suka sama dia ya, oke I carikan yang lain atau ntar kita ke tempat kamu biasanya" timpal Dion dengan bahasa yang aneh.
"Bu.. Bukan begitu tuan, aku cuma masih seperti bermimpi" jawab Pak Taryo dengan lugunya, sambil menatap ke bawah, dia seperti tak berani menatapku.
"Ly, kamu ini gimana sih kok diam saja, dia kan tamumu" hardik Ana sambil mendorong tubuhku ke arah Pak Taryo, tercium bau keringatnya yang tidak sedap.
"Udah urus dia, aku mau ngelanjutin, ntar aku keburu drop ngelihat Pak Taryo" bisiknya menggoda dan mendorong tubuhku semakin dekat ke Pak Taryo.

Kutatap matanya dengan penuh kemarahan, tapi dia membalas dengan tatapan penuh kemenangan, dia bisa mendapatkan laki laki seperti Dion tapi memberiku Pak Taryo. Dengan sangat terpaksa kugandeng Pak Taryo ke kamar mandi, aku ingin memandikan dia dulu, menghilangkan bau keringatnya yang menyengat.

Kukuatkan hatiku ketika melepas pakaian Pak Taryo satu demi satu sambil menggerutu dalam hati, kalau aku diberi tamu yang tua tapi berduit tentu nggak terlalu masalah karena tentunya masih bisa mengharap tip darinya tapi dengan orang seperti Pak Taryo, mana bisa memberiku tip, paling banter kalau dia memang memberi tak lebih dari 10.000, padahal aku biasa memberi tip pada room boy paling tidak 2 lembar 20 ribuan.

Tubuh Pak Taryo sudah telanjang didepanku, terlihat dia agak rikuh didepanku.

"Nggak usah non, aku mandi sendiri aja, non tunggu aja diluar" katanya saat celananya mau kulepas, tapi aku tak mau diketawain Ana.
"Nggak apa Pak, emang udah tugasku kok" jawabku menghibur diri.
"Kalo begitu non juga harus lepas, masak cuma aku yang telanjang" katanya mulai nakal.

Aku terdiam sejenak, agak marah juga sih sebenarnya, tapi dilepas sekarang atau nanti toh akhirnya memang harus dilepas juga. Dengan terpaksa kulepas juga pakaian dan celanaku.

"Non makin cantik kalo begitu" katanya saat aku mulai mengguyurkan air hangat ke tubuhnya.
"Lepas aja itu sekalian non, ntar basah lho" katanya lagi saat aku mulai menyapukan sabun ke tubuhnya.

Akupun menurutinya, sudah kepalang tanggung, pikirku.

"Aku seperti mimpi bisa begini dengan non Lily" katanya ketika melihat tubuh telanjangku.

Tubuh telanjang kami sudah berada dalam satu bathtub, Pak Taryo sudah mulai berani memegang dan mengelus pundakku ketika aku menyabuni penisnya. Elusannya bergeser ke dadaku dan mulai meremas buah dada saat kuremas remas penisnya dengan sabun.

"Non jauh lebih sintal dari pada si Ina atau Ijah si janda gatel, apalagi kalau dibandingkan Mince yang di Dolly, wah kalah jauh non, mereka nggak ada apa apanya" katanya sambil meremas dan mempermainkan putingku.

Dalam hati aku mendongkol dan marah dibandingkan dengan pembantu atau para pelacur di Dolly, jelas bukan kelasku mereka itu. Kubiarkan dia dengan gemas mempermainkan buah dadaku, toh dia pasti melakukannya dan lebih dari itu penis yang ada digenggamanku ini juga tak lama lagi akan masuk dan menikmati hangatnya vaginaku.

"Emang Pak Taryo apanya Dion" tanyaku sambil mengocok penisnya dengan tanganku.
"Oh dia tuanku, sudah lebih 3 tahun aku menjadi sopirnya, dia itu orangnya baik sekali non, aku sering mendapat persen darinya" katanya memuji muji bos-nya.

Kudengar jeritan kenikmatan dari Ana menikmati permainan Dion, ingin aku melihat bagaimana Dion menyetubuhi Ana segera tapi aku harus melayani Pak Taryo dulu.

"Oouughh.. Shit.. Yes.. Yess.. Fuck me hard.. Harder.. Yes harder" berulangkali desahan lepas dari Ana terdengar melewati pintu kamar mandi yang tidak tertutup.
"Aku mah sudah terbiasa mendengar suara suara seperti itu dari neng Ana" katanya mulai mendesis.

Sambil saling memandikan, akhirnya aku tahu kalau Pak Taryo yang sopir itu sering mengantar Dion dan Ana ke Tretes atau Batu, dan tak jarang dia melihat mereka bercinta, sepertinya Dion tak peduli kalau dilihat atau diintip sama sopirnya. Bukan cuma dengan Ana tapi begitu juga dengan gadis lain yang dia bawa tapi Ana yang paling sering dia bawa, makanya Ana mengenal Pak Taryo.

Sambil cerita Pak Taryo mulai menyabuni tubuhku, dia sudah berani mencium punggung dan leherku dari belakang disela sela ceritanya. Teriakan dan jeritan Ana masih terdengar, malahan semakin nyaring, sepertinya semakin liar.

Setiap dari luar kota, Dion selalu memberinya uang lebih, dan untuk pelampiasan dari apa yang dilihat di Tretes atau Batu, Pak Taryo pergi ke Dolly atau Tandes, memang tempat itulah yang bisa dia jangkau. Akhirnya kebiasaan itu ketahuan Dion, suatu hari Dion bertanya gadis seperti apa yang diimpikan Pak TAryo.

"Saya mah orang kecil nggak berani berangan angan yang muluk muluk" jawab Pak Taryo waktu itu, tapi Dion mendesak akhirnya Pak Taryo mengungkapkan impian nakalnya. Gadis yang putih mulus kalau bisa cina, tinggi, montok dan tentu saja cantik, itu sih semua orang juga mau, ledek Dion saat mengetahui impian Pak Taryo.

"Jangan kuatir Pak Taryo, impian kamu suatu saat pasti terjadi" janji Dion.

Minggu besok Dion mau pulang ke Belanda, karena visanya habis, Pak Taryo tidak berani menagih janjinya tempo hari karena beranggapan itu sekedar menghiburnya, hingga siang tadi sepulang rapat Dion memintanya untuk naik ke kamar ini sekitar jam 1:30 dan beginilah jadinya.

Kami sudah berpelukan sambil membersihkan sisa sisa sabun yang masih menempel di tubuh kami, tubuhnya yang tidak sampai se-telingaku, dengan mudahnya menciumi leher.

Jerit kenikmatan Ana sudah tak terdengar lagi, ketika Pak Taryo memintaku duduk ditepian bathtub. Aku tahu yang dia mau ketika dia mulai jongkok di depanku, kubuka kakiku lebar saat kepalanya mendekat di selangkangan.

Tanpa canggung Pak Taryo mulai menjilati vaginaku, kupejamkan mata saat bibirnya menyentuh klitoris, perlahan tapi pasti akupun mulai mendesah, apalagi ketika tangannya pun ikutan bermain di puting. Mau tak mau birahiku mulai bangkit, kuremas remas buah dadaku sambil meremas rambut Pak Taryo yang berada diselangkangan, kutekan semakin dalam.

Ternyata permainan oral Pak Taryo cukup lihai, tak seperti penampilannya yang lugu, dia mahir mempermainkan irama tarian lidahnya pada klitoris, aku masih malu untuk mendesah bebas, hanya rintihan tertahan.

Lidahnya dengan lincah menyusuri paha, vagina dan klitoris, sepertinya tak sejengkal paha yang terlewatkan dari sapuan bibir dan lidahnya. Kalau saja kubiarkan, tentu bekas merah akan banyak bertebaran di pahaku.

Kedua tangan si sopir itu sudah beralih meremas remas kedua buah dadaku dengan kasarnya, diikuti bibir dan lidahnya mendarat pada puncak bukit itu, dengan kuat dia menyedotnya bergantian, aku menggelinjang antara sakit dan geli, kambali dia berusaha meninggalkan bercak merah pada bukitku tapi segera kucegah, mungkin dia begitu gemas melihat kemulusan buah dadaku yang ada dalam genggamannya itu atau ingin menikmati apa yang selama ini dia impikan.

Mataku terlalu lama terpejam berusaha menikmati cumbuan Pak Taryo, hingga aku dikagetkan suara, ketika kubuka mataku, ternyata Ana dan Dion sudah berdiri disamping kami, mereka masih telanjang. Ana dengan santainya menyandarkan tubuhnya di dada Dion tanpa risih meskipun didepan sopirnya.

"Udah gantian, kamu yang karaoke Ly" kata Ana.
"Sialan" umpatku dalam hati, kutatap matanya tapi dia membalas tatapanku dengan sorot mata penuh kemenangan menggoda.

Pak Taryo menghentikan cumbuannya, menatapku seakan meminta persetujuan, aku diam saja, tak sanggup untuk meng-iya-kan, padahal sebenarnya memang tugasku.

"Itu para cewek di Dolly atau Tandes aja bisa melakukan, masak Lily yang terkenal itu nggak mau sih, lagian Dion juga ingin melihat bagaimana pintarnya kamu setelah kubilang kalau kamu lebih pintar karaoke dari pada aku" lanjut Ana dalam bahasa jawa.

Aku semakin jengkel tapi merasa tertantang saat dibilang Dion ingin melihat kemahiranku, entah kenapa seakan aku ingin membuktikan dihadapan Dion bahwa aku lebih hebat dari Ana.

Kuminta Pak Taryo berdiri, penisnya tepat berada didepanku, kupegang dan kuremas remas, lalu kukocok dengan tangan, kembali ada keragu raguan saat penis itu hendak kucium. Kulirik Ana dan Dion yang tengah melihat kami dengan penuh perhatian, terpancar sorot mata aneh dari Dion yang tak bisa kuterjemahkan.

Penis di genggamanku semakin mengeras seiring desahan nikmat dari Pak Taryo, kubulatkan tekadku sambil memejamkan mata saat bibirku akhirnya menyentuh ujung penis. Sapuan bibir sepanjang penis mengiringi desahan kenikmatan darinya, tangan Pak Taryo mulai meremas remas rambutku, suatu hal yang sangat tabu dilakukan seorang sopir padaku, tapi kali ini dia adalah tamuku yang berhak melakukan apa saja yang dimaui.

Dion mendekat ketika penis sopirnya memasuki mulutku, rasanya mau muntah merasakan penis itu dimulut, meski ini bukan pertama kali aku mengulum penis dari orang "rendah" macam dia tapi kali ini sungguh lain karena apa yang aku lakukan adalah suatu harga yang harus kubayar, dan aku tak mendapatkan sepeserpun dari perbuatanku ini. Mengingat hal ini, perutku semakin mual tapi tetap kuteguhkan tekadku.

Aku agak "terhibur" saat tangan Dion yang penuh bulu itu mulai ikutan menyentuhku, mengelus punggung, rambut dan meremas remas buah dadaku dengan lembut, jauh lebih lembut dari Pak Taryo. Kalau saja diperbolehkan, tentu kualihkan kulumanku pada penis Dion yang kemerahan menggemaskan itu. Tapi, jangankan mengulumnya, ketika tanganku berusaha meraihnya, Ana langsung menepis.

"Ojo nyenggol Dion" katanya, padahal Dion tengah meremas remas buah dada dan mempermainkan putingku.

Sentuhan Dion membuat birahiku perlahan naik, menghilangkan mual diperut, dan kulumankupun semakin bergairah pada Pak Taryo, tentu saja dia semakin senang menikmatinya, berulangkali lidah dan bibirku menyapu sekujur batang hingga kantong bolanya. Pak Taryo-pun semakin berani, dipegangnya kepalaku dan dikocoknya mulutku dengan penisnya.

"Ya begitu, bagus Pak Taryo.. Faster.. Harder" komentar dan perintah Dion dengan nada pelo pada sopirnya, sementara dia sendiri meremasku semakin liar dan satu tangannya dari belakang sudah berada di selangkananku. Tak dapat kutahan lagi ketika pinggulku mulai bergoyang mengikuti permainan jari Dion pada vagina, kini atas dan bawah tubuhku bergoyang bersamaan.

"Kita pindah ke ranjang yuk" usulku sambil berharap bisa mendapat cumbuan lebih banyak dan lebih bebas dari Dion, meski aku belum pernah melayani bule dan selama ini tidak ingin, tapi untuk Dion aku tak keberatan sebagai yang pertama.


Bersambung . . . .