Budak pemuasku - 1

Saya adalah seorang wanita, single dan telah 8 tahun bekerja di sebuah perusahaan multi national yang terkenal, mungkin para pembaca mengetahui sebagai pekerja apalagi di sebuah perusahaan yang besar, karir kita tidak akan pernah mencapai posisi puncak, tentunya posisi ini biasanya diisi oleh seorang Expat yang ditunjuk langsung oleh headquarters yang bertempat di luar negeri.

Selama 8 tahun saya terus berambisi dan bekerja keras untuk mendapatkan jabatan yang lebih tinggi lagi, dimana bukan hanya imbalan materi dan fasilitas yang lebih baik, tetapi juga untuk mendapatkan kekuasan yang lebih, hal kedua ini sifatnya lebih condong untuk kepuasan batin.

Saya rasakan juga bahwa hal ini lumrah bagi manusia untuk mendapatkan hal yang lebih dan kelebihan itu selalu berkisar di antara hal hal tersebut, hanya setiap orang mempunyai hasrat dan ambisi yang berbeda beda dan di tambah dengan faktor talenta, kemauan untuk kerja keras dan faktor keuntungan tentunya tidak semua orang akan mendapatkan level yang sama.

Di perusahaan di tempat saya bekerja, saya terkadang merasa tertekan di mana atasan saya selalu menganggap saya sebagai budaknya dan segala hasil kerja keras saya selalu di ambil creditnya untuk atasannya lagi. Terkadang sebagai wanita kita juga sering di lecehkan (tidak secara sexual dalam case saya) tetapi dalam arti batas kemampuan kita, kelemahan dan lain sebagainya. Saya mengerti di dunia ini dan sudah menjadi kenyataan ada kecenderungan pria dianggap sebagai manusia yang lebih dalam segala hal sehingga segala sesuatunya akan lebih baik bila pria yang mengerjakannya sehingga mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi.

Oleh karena hal tersebut di atas saya berkesimpulan bahwa sebab sebab dari kesukaan saya untuk menjadi seorang Domina dalam fantasi permainan sex ini mungkin berawal dari ketidak puasan saya dengan kejadian kejadian dan situasi di tempat kerja saya tersebut. Permainan fantasi sex ini seakan membalaskan dendam saya terhadap ketidak puasan dan keadaan di tempat saya bekerja sehingga secara kejiwaan saya bisa menjadi sangat menikmati dan puas bila dapat melihat seorang pria tidak berdaya dan menurut atas kemauan saya apalagi ketidak berdayaannya itu dilakukannya sendiri dengan sukarela dan senang hati.

Pertanyaan pertanyaan dari para pembaca yang menanyakan akan sebab dari kesukaan saya ini semoga bisa dengan jelas terjawab dalam penjelasannya yang saya ungkapkan dengan sejujur jujurnya diatas.

Mungkin cukup penjelasan saya mengenai back ground dari kesukaan saya ini, kali ini saya ingin menceritakan pengalaman saya dengan seorang pria yang kebetulan juga cocok dengan fantasi saya dan juga cocok selera dengan saya dari segi fisik maupun sifatnya.


Seleksi dan Recruitment

Pertemuan saya dengan budak cowok saya yang baru ini berawal dari email. Setelah pemuatan cerita saya yang berjudul "Pemijat Submissive", banyak sekali cowok yang berkirim surat kepada saya untuk meminta dijadikan budaknya. Namun dari sekian banyak email saya memilih beberapa saja yang saya balas, tentunya dari balasan yang ada saya juga menyeleksi ulang lagi cowok-cowok yang mendaftar untuk menjadi budak saya.

Kriteria pemilihan saya terutama adalah orang yang intelegent, open minded dan tentunya benar benar menghayati perannya sebagai seorang budak. Kemudian saya juga memeriksa background orang tersebut dari segi materi, kebersihan dan status perkawinan. Saya sengaja mencari orang yang status sosialnya cukup tinggi, sudah kawin dan cukup mapan, pertimbangan ini saya pilih untuk menghindari masalah privacy saya di dunia luar, karena saya juga yakin seorang dengan kriteria yang tadi juga ingin rahasia jati dirinya di jaga sehingga kami bisa saling menjaga privacy.

Dari proses penyaringan tersebut akhirnya saya memilih satu kandidat yang saya pikir cukup memadai, namanya Anwar. Dia adalah seorang Chinese yang cukup mapan, berasal dari keluarga yang terhormat, sudah kawin dan berusia 32 tahun. Setelah kurang lebih 1 bulan kami saling mengenal diri melalui telepon dan email akhirnya saya merasa sudah cukup comfortable untuk bertemu langsung dengan dia.

Pertemuan kami atur di sebuah Mall besar di Jakarta Barat yang sangat terkenal dan ramai, pertemuan ini di sepakati pada hari dan jam kerja, di sebuah coffe shop.

Saya sengaja datang 60 menit lebih awal untuk mempelajari situasi dan menyiapkan jalan untuk back out dari pertemuan ini bila ternyata si Anwar itu tidak cocok dengan deskripsi yang telah dia berikan, terus terang pembaca saya sangat nervous sekali waktu itu.

Sambil duduk dan minum cafe late yang sudah dihidangkan saya berharap harap cemas menunggu pertemuan dengan Anwar, jantung saya berdebar debar keras, dan efek dari coffe yang saya minum sepertinya membuatnya menjadi tambah parah. Tiba tiba telepon HP saya berdering, sepertinya jantung saya hampir copot mendengarnya, memang kami sudah berjanji untuk saling menelpon bila sudah dekat di lokasi.

"Hello Mbak, saya Anwar.."
"Oh iya.. Sudah dimana kamu?" desahku sambil gemetar.

Sambil menjawab saya melihat ke sekeliling coffe shop, ketika itu saya melihat seseorang cowok yang sedang berdiri dan celingukan sambil menelpon. Mata kami beradu dan dia tersenyum sambil mengangukan kepalanya, seketika itu saya langsung tahu kalau cowok itu adalah Anwar yang sepertinya sudah saya kenal walau hanya melalui telepon dan email. Dia berjalan menghampiri saya sambil tersenyum dan menyodorkan tangannya untuk berjabatan tangan.

Para pembaca, pertemuan yang mendebarkan ini ternyata cukup menyenangkan, saya seketika merasa nyaman sekali berada di dekat si Anwar setelah bertemu dan mengobrol ngalor ngidul tentang kehidupan kami. Orangnya menurut saya sangat open minded, pintar dan sedikit pemalu, secara fisik cukup menarik, tingginya sekitar 180 cm, kulitnya putih bersih kecoklatan, rambut pendek, badan cukup berisi hanya sedikit gemuk di sekitar pinggang.

Tanpa terasa kami sudah ngobrol selama 1 jam, selama ngobrol mata kami saling bertatapan, dan saya melihat ketulusan dan kejujuran di sorot matanya, sesekali dia menundukan mata bila saya bertanya yang sifatnya sangat pribadi, saya merasa berada diatas angin dan mendominasi pembicaraan. Bahan pembicaraan kami sama sekali tidak menyinggung mengenai permainan sex yang kita gemari tetapi lebih banyak ke keluarga, kerja dan lain lain. Sepertinya kita bisa saling terbuka dengan kehidupan kami. Saya juga merasakan adanya peningkatan atas kepercayaan dan merasa comfortable dengan dia.

Setelah pertemuan itu, kita berjanji untuk saling kontak untuk pertemuan berikutnya melalui email dan telepon, mungkin kita malu untuk memulai pembicaraan tentang fantasi permainan yang memang kami sukai itu secara langsung, mungkin karena ini pun pertemuan pertama kita.

Setibanya saya di rumah saya langsung menyalakan note book dan mulai menulis email untuk Anwar untuk pertemuan kita yang lebih lanjut. Di dalam email intinya saya menyatakan kepada dia bahwa saya ingin menjadikan dia seorang budak sex pemuas nafsu yang mengabdikan badan dan jiwanya kepada saya sebagai Mistressnya, tentunya dengan batas batas tertentu yang dia punyai, untuk itu saya menanyakan komitmen dia dan batas batas yang di sanggupi oleh dia.

Di dalam email saya juga menulis semacam pernyataan atau perjanjian mengenai kerahasian dan kebersihan yang harus di lengkapi dengan hasil pemeriksaan lab atas bebasnya dia dari penyakit penyakit kelamin sebagai syarat saya untuk menyewa dia sebagai budak sex saya.

Setelah kurang lebih 1 minggu (yang serasa lama sekali) saya mendapatkan email balasan dari si Anwar. Dengan berdebar debar saya mulai membuka dan membaca email balasan darinya. Di dalam emailnya dia menyanggupi segala syarat dan keinginan saya, dia juga bahkan melampirkan hasil scan dari hasil pemeriksaan lab yang meluluskan dia dari penyakit penyakit. Dia sangat ingin segera mengabdikan dirinya untuk saya dan juga menuliskan batasan batasan yang dia inginkan.

Pembaca, menurut saya batasan batasan yang di berikan oleh dia cukup bisa dimengerti. Batasan utama yang diinginkan adalah mengenai kerahasiaan sehingga permainan hanya berlaku di dalam tempat yang aman dan discreet dan di luar dari itu hubungan kita tetap hanya sebagai teman biasa, sehingga "public humiliation/punishment" tidak bisa di terapkan di dalam permainan kami. Batasan lainnya juga mengenai penyiksaan yang sampai menimbulkan luka permanen atau mengeluarkan darah juga tidak dapat di tolerir karena dapat menimbulkan bekas dan berbahaya. Kemudian ada juga batasan untuk permainan "force feminization" atau dimana saya melecehkan dia dengan mendandani dia dengan pakaian perempuan. Sebagai tambahan safety kami juga mempunyai semacam kata kode, dimana bila dia atau saya mengatakan kode itu semua permainan akan berakhir.


Bersambung . . . . .. .