Daun Muda
Sunday, 5 April 2009
Nidar sahabat istimewaku - 1
Singkat cerita, setelah aku lulus dan tinggal di salah satu panti asuhan bersama teman-teman sekampungku, aku merasa terikat sekali, karena semua kegiatan harian kami di tempat itu serba diatur dan dikontrol, sehingga aku sulit bergaul dengan orang-orang di luar asrama, kecuali saat kuliah. Akhirnya aku berusaha kabur dari tempat itu setelah 6 Bulan aku tinggal menderita di tempat itu. Aku lalu numpang di rumah salah seorang keluarga yang kebetulan pimpinan salah satu instansi di kota itu. Namun aku hanya mampu bertahan selama 8 Bulan di rumah itu, sebab perasaanku tidak jauh beda dengan tempatku sebelumnya. Semua serba harus teratur, terkontrol dan harus minta izin jika mau keluar rumah. Bahkan aku merasa terbebani dengan kerja rutin setiap pagi yaitu mencuci pakaian tuan rumah, memasak dan mengasuh beberapa anaknya yang masih kecil-kecil.
Dengan alasan mau lebih konsentrasi belajar dan dipanggil oleh seorang teman mahasiswa untuk tinggal bersama karena sendirian di rumah kostnya, maka aku diizinkan pindah dari rumah itu, meskipun setiap hari minggu aku berusaha untuk tetap datang ke rumahnya membantu. Sekitar satu tahun pertama, aku tinggal kost bersama teman dengan aman, tenang dan lebih konsen belajar, bahkan prestasiku cukup memuaskan. Namun kirimanku sudah mulai tersendat-sendat, apalagi kebutuhanku saat itu semakin besar karena selain uang kuliah, uang rokok, kontrak rumah juga jajan jika aku malas memasak sebab terlambat pulang kuliah. Pikiranku sudah mulai berjalan untuk memperluas pergaulanku, baik dengan tetangga, sesama remaja di lingkunganku maupun sesama teman kuliah agar sewaktu-waktu aku bisa minta tolong dari mereka jika aku mengalami kesulitan selama dalam proses perkuliahanku.
Aku lebih memusatkan perhatianku pada gadis-gadis yang simpatik denganku. Persahabatanku dengan para wanita teman kuliahku cukup luas dan akrab serta tidak sia-sia, sebab mereka tidak jarang membantuku dengan membelikan rokok atau memberikan uang pembeli rokok, bahkan seringkali mentraktirku di warung-warung sehingga aku tidak perlu lagi memasak ketika pulang ke rumah. Aku tidak membeda-bedakan di antara mereka. Kami perlakukan sama, sehingga boleh dibilang hanya sebatas sahabat, karena tujuanku hanya satu yakni mengharapkan bantuan kebutuhanku sehari-hari, apalagi aku sadari bahwa kemampuan orangtuaku untuk membiayai kuliahku sangat terbatas. Sepulang dari tempat kuliah aku juga mencoba menjalin persahabatan dengan gadis-gadis tetanggaku dan bantuan mereka terhadapku juga tidak bisa ternilai besarnya. Kadang aku diantarkan nasi, ikan, kue dan sebagainya.
Selaku pria normal, tentu tidak heran jika di antara mereka ada yang dapat menggaet hati kecilku, meskipun mulanya aku tetap tidak mau menunjukkan adanya perbedaan dalam penilaianku. Tapi karena hatiku pernah disinggahi raca cinta oleh seorang gadis di kampungku, maka aku tidak mampu mempertahankan sikap mempersamakan itu terus menerus. Apalagi gadis tetanggaku yang satu ini mirip sekali dengan mantan pacarku di kampungku dulu. Wajahnya, bodinya, penampilannya, suaranya dan sikapnya terhadapku sulit sekali aku bedakan dengan mantan pacarku sehingga aku berpikir mungkin Tuhan sengaja mempertemukanku dengannya sebagai ujian bagiku atau pengganti kekecewaanku tempo hari. Sampai-sampai suatu hari aku menanyakan asal usul keluarganya siapa tahu ada hubungan famili dengan mantan pacarku itu, tapi ternyata sama sekali tidak hubungan keluarga apa-apa kecuali sama-sama cucu Adam.
Sikap dan perhatianku terhadap Nida (nama gadis tetanggaku itu) semakin memuncak ketika satu bulan menjelang keberangkatanku ke lokasi KKN. Aku mulai berpikiran macam-macam. Di hatiku aku bertekad akan memperjelas dan mengetahui sejauh mana perhatiannya padaku sebelum aku berangkat KKN, sebab siapa tahu sepulang KKN nanti aku tidak sempat lagi tinggal di rumah kostku itu. Namanya saja rumah kontrakan yang sewaktu-waktu ada orang lain yang melamarnya tinggal di tempat itu selama 2 Bulan aku di lokasi KKN bersama dengan teman kostku itu. Nidar nampaknya juga mempunyai perasaan yang sama, terlihat dari sikapnya yang lebih mendekatiku setelah ia tahu aku akan keluar KKN. Kadang ia bawa makanan di rumah kostku di malam hari, mengajakku jalan-jalan, nonton bioskop dan TV di rumahnya pada malam hari.
Hingga suatu malam, Nidar datang membawa sayur nangka dan ikan bakar ke kostku. Kebetulan aku sedang masuk ke WC yang ada di belakang rumah. Rumah kostku waktu itu terbuat dari kayu dengan dinding yang terbuat dari bambu. Lantainyapun terdiri dari belahan-belahan bambu yang tingginya sekitar satu meter dari tanah, sehingga orang bisa masuk ke kolomnya. Setelah membuang hajat, aku lalu masuk ke kolom rumah untuk mendengar dan melihat dari bawah perbincangan Nidar dengan teman kostku itu. Mereka masih berdiri berhadap-hadapan karena kami tidak mempunyai kursi sama sekali di rumah itu.
Lampu yang kami gunakan untuk belajar setiap malam di rumah kost itu, bukan dari listrik, melainkan lampu sumbu yang terbuat dari kaleng susu, yang terletak menyala di lantai. Aku tidak pernah menyangka kalau aku bisa melihat pemandangan yang membangkitkan syahwatku malam itu lewat sela-sela lantai belahan bambu. Nidar ternyata tidak pakai CD sama sekali, sehingga terlihat dengan jelas gundukan putih mulus yang belum berbulu di antara kedua pahanya. Kebetulan ia masih muda sekali. Usianya bari sekitar 18 tahun, dengan tinggi badan 165 cm, tubuhnya agak langsing, putih mulus dengan rambut tidak terlalu panjang. Ingin rasanya aku meraba dan mengelus-elus benda kenyal yang tidak jauh dari hidungku itu, sayang sela-sela lantai diatasku terlalu sempit buat tanganku. Aku hanya terpaku menatapnya tanpa berkedip, terutama ketika ia sedikit merenggangkan kedua pahanya, nampak warna merah pada kedua bibir vaginanya.
Aku hanya bisa bernafas terputus-putus melihatnya dengan jelas sekali akibat cahaya lampu yang memancar dari bawah rok warna putih dan agak tipis yang dikenakannya. Entah apa maksudnya ia tidak mengenakan celana malam itu, tapi yang jelas ia nampaknya tetap menungguku masuk ke rumah. Setelah ia melangkah dan bolak balik seolah gelisah menungguku, akupun segera masuk ke rumah dengan memberi salam, lalu ia jawab sambil tersenyum manis padaku.
"Aduh, Kak Aidit dari mana ini? kok buang hajatnya terlalu lama, jangan-jangan mencret-mencret, ada obat di rumah" katanya sambil tertawa kecil dan memandangiku dengan penuh arti.
"Dit, ada sayur dan ikan bakar saya bawa, siapa tahu belum makan, masih panas-panas lagi, makanlah, aku mau pulang dulu" lanjutnya sebelum aku bicara sambil berbaik arah ke pintu mau pulang.
"Dar, duduk dulu, kita bincang-bincang sebentar, siapa tahu kami nanti tidak tinggal lagi di sini setelah balik dari lokasi KKN, jadi nggak apalah kita gunakan kesempatan kita ini untuk ngobrol" kataku mencegah untuk pulang cepat. Ternyata ajakanku dituruti dan duduk di atas tikar sambil ngobrol, sementara kami berdua tetap makan dengan santai.
"Oke deh, jika gitu permintaannya, asalkan Kakak tidak merasa terganggu dengan kehadiranku disini, Kakak ini kan mau belajar" katanya sambil memperbaiki duduknya dengan melipat kedua kakinya ke belakan agar tidak terlihat barang berharganya yang sama sekali tak terbungkus itu.
Sesekali aku mencoba mengarahkan pandanganku kearahnya siapa tahu aku bisa melihat kembali pemandangan indah itu, tapi nampaknya ia sangat hati-hati dalam duduknya. Tak terasa hidangan di depan kami habis kami lahap. Nafsu makanku tiba-tiba besar sekali malam itu karena kami makan dengan didampingi atau ditemani bicara dengan gadis pujaanku.
"Oh yah, orangtuaku minta kamu berdua datang ke rumahku besok malam", katanya tiba-tiba ketika aku selesai makan.
"Ada perlu apa orangtuamu panggil kami? Ada acara yah? Atau..", belum saya selesai bicara, ia tiba-tiba memotongnya dengan mengatakan
"Ah, tidak ada acara apa-apa kok, hanya sekedar main-main, ngobrol atau nonton TV, siapa tahu kamu tidak injak lagi rumahku setelah KKN", katanya dengan penuh harap agar kami jalan-jalan ke rumahnya besok malam. Setelah aku duduk bersilah tidak jauh dari tempat ia duduk, ia buru-buru pamit dengan alasan nanti dicari sama orangtuanya dan dicurigai macam-macam oleh tetangga, apalagi sudah malam, sendiri lagi.
"Okelah kalau gitu, perlu aku antar nggak?" kataku menawarkan diri untuk mengantarnya pulang, tapi ia menolak dengan alasan tidak enak.
Hampir seluruh pikiranku malam itu terpusat pada Nidar, terutama soal barangnya yang indah sekali yang aku lihat dengan jelas tadi. Keesokan harinya, setelah makan malam, aku mengajak teman kostku itu ke rumah Nidar untuk memenuhi undangan orangtuanya, tapi ia tidak bersedia dengan alasan ngantuk dan capek sekali. Dalam hatiku memang itu yang kuharapkan.
"Oh, sedang makan yah? maaf aku mengganggu nih", teriakku dari luar pintu yang memang tidak tertutup. Entah, mungkin sengaja karena ia menunggu kedatanganku.
"Silahkan masuk Dik, langsung aja makan bareng, kami baru aja mulai. Mana temannya?" katanya berbarengan, bahkan Nidar sempat berdiri sejenak untuk mengajaku makan.
"Silahkan, kami baru aja makan di rumah, biar aku nonton di sini aja. Temanku nggak mau ke sini, capek katanya" sambil kusetel volume TV-nya.
Setelah mereka selesai makan, Nidar lalu mencuci piring dan kedua orangtuanya duduk di sampingku sambil ngobrol, termasuk ia tanyakan soal rencana KKN-ku, bahkan soal-soal rencana tempat tinggalku sekembalinya kami dari lokasi KKN.
"Kalau tidak keberatan Dit, kamu bisa tinggal aja nanti di rumahku setelah kembali dari KKN, kebetulan masih ada satu kamar kosong" tawarannya padaku seolah sangat serius.
"Terima kasih atas kebaikan hatinya. Aku bersyukur sekali ada orang lain yang mau membantuku. Tapi aku belum bisa pastikan, sebab siapa tahu rumah kostku itu masih kosong. Kita lihat aja nanti" jawabku.
"Nggak apa-apa, malah kami senang jika kamu bersedia tinggal di rumahku biar kamu tidak keluarkan biaya kontrakan rumah lagi, lagi pula kamu kan sudah kuanggap sebagai keluarga sendiri" katanya merayuku.
Setelah itu, suasana hening sejenak, tapi tidak berlangsung lama karena mamanya Nidar tiba-tiba bersuara menghela keheningan itu
"Begini dit, aku sengaja memanggilmu ke sini karena Nidar mau pergi nonton ke bioskop malam ini. Katanya ada film yang bagus, tapi tak ada yang kupercaya untuk temani dia kecuali kamu, sebab kamu orangnya baik dan jujur, bahkan kuanggap sebagai keluarga sendiri. Nidarpun takut sama yang lain, nanti macam-macam" katanya penuh harap.
"Yah, nggak apa-apa Bu, jika Ibu masih percaya padaku. Aku justru senang bisa juga ikut nonton di bioskop" kataku dengan rasa gembira dihatiku. Mudah-mudahan saja Nidar berpakaian seperti kemarin waktu ia ke rumah kostku tanpa kenakan CD. Harapku dalam hati.
"Bagaimana Kak Dit, nggak keberatan ngantarku. Aku nggak mau maksa loh, nanti Kak takut ketahuan atu dimarahi sama do-inya, kan berabe jadinya" kata Nidar memancingku sambil tertawa.
"Ah, nggak kok, aku bebas dan nggak ada yang berhak melarangku, lagi pula aku memang banyak teman akrab perempuanku, tapi itu hanya sekedar teman bergaul. Belum ada satupun yang kuistimewakan dalam hatiku. Aku kan tahu diri sebagai orang desa ha..ha.." jawabku.
"Jadi ikhlas nih mau temani aku, nggak bakal ada yang marahin hi..hi".
"Pasti dong, siapa yang mau marahi aku? ayo kita berangkat sekarang" kataku sambil berdiri. Ternyata Nidar sudah siap benar tanpa aku perhatikan kapan ia mengganti pakaian.
"Oke kalau gitu, kita berangkat sekarang" katanya sambil melangkah ke pintu mengikutiku, tentunya setelah kami pamit sama orangtuanya.
Setelah kami duduk di atas becak, kedua orangtua Nidar berpesan agar kami hati-hati dan cepat-cepat pulang. Selama dalam perjalanan kami tidak terlalu banyak bicara, karena takut dicurigai oleh tukang becak. Hanya saja, getaran jantung "dag dig dug" selalu mengganggu pikiranku. Bahkan membuat tubuhku banyak bergerak menyentuh tubuh Nidar, sehingga terasa seolah tubuh kami saling lengket. Sesekali Nidar melirik ke arahku setiap aku mencoba menggeser pantatku ke arahnya, bahkan pahaku sedikit menindis pahanya, namun ia nampaknya juga senang dan takut mengelak dariku. Walaupun dilapisi baju yang terbuat dari kaos, namun tubuh kami seolah bersentuhan langsung tanpa pelapis, sebab terasa sekali panasnya suhu badan Nidar, nafasnya kurang teratur lagi. Sayang harapanku agar ia berpakaian seperti kemarin tidak terwujud, sebab ia sudah pakai celana dalam, tapi rok pendeknya sedikit terangkat keatas.
"Jangan Kak, nanti dilihat Tukang Becak dan melaporkan sikap Kakak" bisik Nidar dekat telingaku ketika kuletakkan tangan kananku di atas paha kirinya yang tidak terbungkus tanpa kusadari kalau di belakang kami ada orang lain yang bisa saja memperhatikan seluruh tingkah lakuku.
"Oh yah, maaf, aku nggak sadar" jawabku seolah tersentak sambil kutarik tanganku dari paha Nidar. Namun pikiranku selalu terarah ke tubuh Nidar yang hangat menyentuhku dengan membayangkan gundukan putih mulus yang ada di antara kedua pahanya. Kali ini tangan kananku kubentangkan di atas sandaran becak, lalu sedikit demi sedikit sengaja kukendorkan agar turun melingkar dileher Nidar, tapi Nidar selalu mencubit pahaku dan menghindari tanganku. Nampaknya ia takut sekali diperhatikan oleh tukang becak. Kali ini kedua tanganku kulipat lagi dengan sengaja menyentuhkan ujung sikuku ke atas payudara Nidar.
Usahaku kali ini nampaknya membawa hasil. Nidar tidak banyak bergerak dan menolak lagi, malah ia semakin merabatkan tubuhnya ke tubuhku, sehingga tukang becak tidak ada celah untuk melihat posisi ujung sikuku yang menyentuh payudara Nidar yang masih montok itu. Terasa hangat dan kenyalnya. Aku terus menggesek-geseknya, terutama jika ada jalan berlubang seiring dengan lompatan becak itu. Tidak puas dengan ujung siku, aku lalu berusaha meremas susunya itu dengan ujung tangan kiriku yang kudorong agak keluar, akhirnya sempat menyentuh payudara itu. Mula-mula aku hanya meletakkan telapak tanganku di atas payudaranya, lalu menekan sedikit demi sedikit dan meremas-remasnya. Nidar hanya diam, malah semakin merebahkan kepalanya ke bahuku tanpa sadar lagi kalau ada tukang becak di belakangnya. Kuberanikan mengangkat pahaku ke atas pahanya yang mulus dan tak terbungkus itu. Nidar masih diam dan sedikit membuka kedua pahanya, tapi sayang tiba-tiba bunyi rem becak berbunyi. Ternyata kami sudah sampai di depan bioskop. Untung tidak ada orang lain yang memperhatikan sikapku itu.
"Maaf Kak, Aku agak terlena dan rasanya ngantuk. Aku tidak sadari kalau kita sudah sampai" katanya sedikit kaget dan malu karena ia menyandarkan kepalanya di bahuku.
"Nggak apa-apa kok, malah aku senang kamu mau bersandar padaku" jawabku sambil turun dari becak.
Ia sempat mencubit sedikit pinggangku sebelum ia turun dan membayar sewa becaknya. Kami langsung bayar karcis lalu masuk. Sayang kami sedikit terlambat sehingga sulit lagi mendapatkan tempat paling di belakang yang kuincar sebelum masuk. Kami mendapat tempat duduk pada baris ke-3 dari layar bioskop itu. Kami masuk dalam keadaan gelap karena filmnya sudah mulai main, namun masih banyak tempat kosong di bagian depan sehingga kami bisa duduk berdampingan. Sengaja kami duduk di tengah-tengah yang kebetulan berjauhan dengan tempat duduk penonton lainnya di kanan kiri kami.
Bersambung...