Setengah Baya
Tuesday, 28 April 2009
Tiga wanita - 3
berkunjung dan berjalan-jalan dengan mereka. Keinginanku sejak menginjak
Surabaya ialah merasakan nikmatnya tubuh wanita Cina. Itu memang menjadi
obsesiku. Seorang wanita Cina atau kalau boleh lebih harus menjadi sasaran
birahiku. Tak kusangka, semuanya berjalan lancar. Wanita itu ialah Mei Lan.
Kisahnya bermula dari Ibu Sherlly. Sesudah beberapa kali bersetubuh memuaskan
wanita yang gede nafsu ini, aku menyatakan keinginanku untuk bersetubuh
dengan seorang wanita Cina. Kupikir Bu Sherlly tak akan keberatan mencarikan
wanita-wanita idamanku tersebut. Bukankah ia juga yang memperkenalkanku kepada
Ibu Suwarsih?
"Bu Sher", kataku satu malam, setelah melewati beberapa kali orgasme.
"Ada apa, jantanku", sahutnya sayu.
"Bu Sher jangan marah ya", sahutku sambil mengelus-elus kedua payudaranya yang
bulat dan montok itu.
"Nggak, kok", sahutnya sambil mengelus kemaluanku yang mulai mengeras lagi.
"Sudah berkali-kali saya bersetubuh dengan Ibu dan Ibu Suwarsih. Kalian berdua
selalu puas dengan kejantananku. Hanya aku belum puas. Aku punya obsesi,
menyetubuhi seorang wanita Cina. Kalau lebih dari satu itu lebih baik", kataku.
Hahahaha..", Ibu Sherlly tertawa. "Ngapain pingin wanita Cina?"
"Di tempat asalku, sangat sukar bergaul dengan wanita Cina, apalagi bersetubuh
dengan mereka. Ini jelas sangat menantangku. Ingin kurasakan, seperti apa
nikmatnya bersetubuh dengan wanita Cina itu", kataku
"Kalau itu sih gampang", sahut Ibu Sherlly. "Tapi kamu mesti kuat lho! Wanita
Cina nafsunya gede-gede, kuat-kuat, sangat lama puasnya."
"Kalau soal kuat, jangan khawatir", sahutku. "Ibu khan sudah pernah merasakannya. Yah khan."
"Tentu jantanku. Itu kuakui", sahut Ibu Sherlly. "Mudah kok, ada Mei Lan.
Suaminya sudah nggak kuat. Selalu ejakulasi dini. Mana bisa Mei puas.
Sebentar, kutelepon Mei. Biar esok jadi hari pertamamu menikmati tubuh wanita
Cina impianmu."
Tangannya menjangkau telepon di atas meja kecil di samping tempat tidur.
Diputarnya angka-angka itu, sementara tanganku sendiri terus sibuk
memutar-mutar kedua payudaranya.
"Halloo, Mei", kata Ibu Sherlly. "Nih ada khabar gembira untukmu. Ada
penodong yang galak, mungkin bisa bantu kamu. Kan udah lama puasa. Gimana?
Setuju? Besok siang? Okay! Dijamin deh, orangnya kuat. Malah Mei yang akan
kewalahan. Pokoknya, Mei akan menjadi seperti pengantin baru. Nah, siap-siap
yah? Gimana? Namanya Rudy. Agak hitam. Tapi itu khan bukan soal. Yang perlu
kan burungnya. Hahaa.. Gimana? Oh ya, itu sih gampang. Aku akan keluar dan
kembali sore harinya. Jadi jangan khawatir. Kalian bisa menggunakan ruangan
tamu di depan. Pokoknya buat seperti rumah sendiri deh! Tentu! Mau ngomong
sendiri?"
Gagang telepon diopernya kepadaku. Terdengar desah suara lembut dan sexy seorang wanita.
"Halloo, Bu Mei", kataku sopan.
"Rudy yah", katanya. "Ini Mei. Belum kenal yah? Kata Sherlly kamu sangat kuat.
Mau nemanin Ibu besok? Soalnya Ibu udah lama puasa nih. Ibu mau
bersenang-senang sedikit besok. Gimana? Bisa?"
"Untuk Ibu aku selalu bersedia ", sahutku nakal. "Pokoknya, pasti memuaskan."
"Gimana? Puas dengan Bu Sherlly", katanya.
"Wah, gawat. Nafsunya gede, kayaknya nggak pernah puas, tuh. Nih, lagi rebahan
telanjang bulat di sampingku", sahutku. "Sudah beberapa jam, tapi katanya
belum puas dia. Maunya ditambah."
"Beruntung deh Sherlly ", sahutnya. " Tapi ngomong-ngomong, hemat-hemat
tenaga, yah. Besok Ibu mau sepuas-puasnya. Hihihihii.."
"Siap deh, Bu", sahutku.
Telepon diputus. Aku menoleh, tersenyum kepada Ibu Sherlly, sambil terus
mengelus tubuhnya yang mulus. Sebentar lagi tubuh indah itu akan kugumuli
lagi, bukan saja karena aku suka, tetapi itu juga kerinduannya.
"Nah, mana komisinya", kata Bu Sherlly.
"Komisi?", sahutku pura-pura tak mengerti.
"Yah, tentu dong", katanya. "Kan sudah dicarikan wanita Cinanya. Jadinya,
komisi itu wajib hukumnya." Ia tersenyum nakal. Cepat aku bergerak menerkamnya.
"Ini komisinya", sahutku sambil menerkam tubuhnya. Aku menyerangnya diiringi
tawa cekikikannya yang membangkitkan birahi.
"Jangan sekarang", sahutnya genit. "Ibu lapar, pengen makan."
Walau nafsuku telah menggelegak, aku terpaksa bersabar dan menurutinya ke
ruang makan, tanpa merasa perlu berpakaian. Ia pun tidak berpakaian, sehingga
buah dada dan pantatnya yang motok, putih mulus itu bergoyang-goyang naik
turun dengan indahnya. Aku menelan ludah sembari tersenyum penuh kemenangan.
Pantat dan buah dada yang montok dan indah itu memang telah menjadi milikku.
Bu Sherlly memang milik suaminya, tetapi tubuhnya itu milikku. Sesudah makan
kembali kami bergumul di ranjangnya. Dan kembali kami tenggelam dalam
pertarungan birahi yang panas dan menegangkan. Kuhabiskan dua jam lagi untuk
menggumuli tubuh montok itu, menyetubuhinya dan memuaskan nafsu birahinya.
Dalam kepuasan yang luar biasa itu, aku tertidur di lekukan payudaranya,
menanti hari pertama pertarunganku dengan seorang wanita Cina.
Ibu Mei Lan adalah seorang wanita berusia tiga puluh tiga tahun. Suaminya
sering keluar. Kalaupun di rumah dan bersetubuh dengannya, Ibu Mei tidak
pernah puas. Setelah sekian lama tak pernah orgasme dan sekian sering harus
puasa sex, kini ia sungguh membutuhkan seorang lelaki jantan di ranjangnya.
Penyampaian Ibu Sherly tepat waktunya. Aku tersenyum penuh kemenangan. Tidak
kusangka, begitu mudah menjangkau tubuh seorang wanita Cina di sini.
Hari masih cukup pagi, sekitar jam sembilan. Hawanya cukup sejuk, mendung dan
kelihatannya akan hujan. Bagus, karena seakan menjadi pelindung baru. Aku baru
saja bangun dari tidur dan mandi, setelah melewatkan malam menikmati hubungan
kelamin yang panas dengan Ibu Sherlly. Aku berdiri di depan cermin memandang
tubuhku yang telanjang bulat. Kupandangi kemaluanku yang panjang dihiasi bulu
yang hitam lebat. Kemaluan yang sudah sekian banyak kali memasuki dan menyatu
dengan tubuh Ibu Sherlly dan Suwarsih. Dan sekarang kemaluan yang kubanggakan
ini akan memasuki babak baru pengalamannya, memuaskan birahi seorang wanita
Cina.
Pada saat itu kudengar derum lembut suara mobil. Sebuah mobil merah hati masuk
ke halaman rumah Ibu Sherlly. Dari balik kaca jendela kamarku, kulihat sesosok
wanita turun. Wanita Cina cantik itu mengenakan baju merah muda berleher
rendah dan celana panjang jeans biru. Rambutnya hitam legam, lebat panjang
sampai hampir menyentuh pinggulnya, dibiarkan tergerai. Dari postur tubuhnya
dan caranya berjalan, langsung dapat kulihat besar dan montok buah dada dan
pantatnya. Nafsu birahiku langsung menggelegak, ingin rasanya aku segera
merengkuh tubuh montok itu dan menyetubuhinya. Tapi aku harus menahan diri.
Aku harus menciptakan kesan baik, sehingga saatnya nanti dia akan mencariku
untuk memuaskan nafsu birahinya. Kalau sudah demikian, seperti Ibu Sherly, dia
pun akan dapat kusetubuhi kapan saja aku mau.
"Bu Mei sudah datang", kata Ibu Sherlly sambil membuka pintu kamarku,
memandang tubuhku yang telanjang bulat.
"Pakai saja kamar tamu. Telepon sudah ku blok. Tak akan ada yang mengganggu. Selamat memuaskan birahi si montok itu.
Aku akan keluar rumah, biar kalian leluasa 'tempur'. Tetapi jangan lupa, malam nanti giliranku."
Tangannya terjulur menangkap kemaluanku, diusap-usapnya sejenak dan lantas
diremasnya. Aku mengerang nikmat dan balas menggerayangi buah dadanya. Ia
berbalik dan meninggalkanku. Kupandangi tubuhnya yang indah padat dibalut
celana ketat. Tubuh yang sudah sekian sering menyatu denganku tetapi seakan
selalu memiliki daya tarik yang baru, sehingga aku pun selalu rindu untuk
menikmatinya. Dari balik jendela kulihat kedua wanita itu bertemu di teras,
berpelukan, berbisik, saling menepuk bahu, lalu tertawa cekikikan. Kulihat Ibu
Sherlly masuk ke dalam mobil sambil mengepalkan tangannya. Ibu Mei tertawa.
Tak lama kemudian, mobil itu menderum meninggalkan rumah. Ibu Mei melambaikan
tangannya dan berbalik memasuki ruang depan.
Aku tersenyum dan berpakaian. Sekarang tidak ada lagi yang menghalangi
hasratku. Rumah ini segera menjadi arena pemuasan nafsu birahi Ibu Mei, dan
sejalan dengan itu pemenuhan obsesiku, menikmati tubuh seorang wanita Cina.
Betapa beruntungnya aku, wanita Cina pertama ini sungguh menawan. Tubuhnya
begitu padat, pantatnya bulat besar, menggantung dan berayun lembut naik
turun, dibalut ketat celananya. Payudaranya menonjol ke depan dengan jujurnya,
dapat kubayangkan betapa nikmatnya meremas, mengisap dan berbaring di atas
kedua bola montok itu.
Aku turun menyambut Ibu Mei. Ia tersenyum manis sekali. Walau baru kali ini
bertemu, langsung saja ia merangkulku lembut. Sudah terasa getar birahinya
yang menggelegar. Kupeluk tubuh montoknya itu dan membimbingnya masuk. Tanpa
membuang waktu, segera mulutku mencari bibirnya. Bibir-bibir kami saling
mengulum, berusaha menimbulkan hasrat birahi yang lebih besar. Dari bibirnya
kurayapi pipi, telinga, leher dan mulai menuruni dadanya yang terbuka.
Sementara itu tanganku dengan leluasa bermain di pantatnya yang besar
tergantung lembut berayun-ayun itu.
"Mau minum?", tanyaku. Ia mengangguk. "Wiski? Anggur? Coke? Orange Juice?"
"Anggur ", sahutnya. "Udara agak dingin, biar badanku menjadi panas.
"Oh, kalau untuk itu Ibu Mei tak perlu kuatir", sahutku tersenyum. "Ibu akan
minum anggur yang lezat, dan menghangatkan badan", sambungku nakal.
Ia tersenyum mencubit pinggangku, paham sepenuhnya akan maksudku. Kutuangkan
anggur merah di gelas berkaki tinggi, satu untuknya, satu untukku. Kuangkat ke
depannya membuat toast. Ia pun tersenyum sambil mengangkat gelasnya.
Kuulurkan tanganku menjamah payudaranya, sementara tangannya terulur menangkap
kemaluanku. Kami beradu gelas, meneguk sekali dan sama-sama meletakkan gelas
di meja. Tangan saling mengulur, dan kami telah bertemu dalam pelukan hangat.
Mulut kami bertemu dan bibir saling mengulum dengan penuh gairah. Kurasakan
tubuhnya menggeletarkan nafsu birahi yang semakin tinggi. Dan gelas-gelas
minuman itu sama sekali terlupakan. Aku merengkuh tubuhnya dan perlahan
membimbingnya ke kamar tamu. Kudorong pintu itu dan tak lama kemudian kami
telah berbaring di tempat tidur. Mulutku beralih menjarah lehernya. Ia
menelentang sambil terus mendesah menahan gairah nafsu birahinya. Ia
merentangkan tangannya lebar-lebar, bergerak-gerak agar mulut dan tanganku
leluasa menjarah-rayah seluruh tubuhnya.
Ketika nafsunya yang menggila itu semakin memuncak, tanganku beralih membuka
setiap lembar kain yang menutupi tubuhnya. Kulepaskan baju dan celananya.
Tubuh bahenolnya itu dengan segera sangat merangsang kejantananku. Akupun
melepaskan pakaianku. Dengan kemaluan yang tegak sekeras laras senapan aku
memandangi tubuhnya terbaring lurus di atas tempat tidur. BH kecil merah muda
yang dikenakannya hanya menutup seperempat buah dadanya. Celana nilon tipis
berwarna sama itu juga sama sekali tidak dapat menyembunyikan kemaluannya yang
telah dipenuhi cairan. Dengan tenang tapi penuh gairah kulingkarkan tanganku
kebalik punggungnya untuk membuka kancing BH-nya. Kugeserkan kemaluanku yang
tegak itu ke pahanya yang putih, besar, halus dan merangsang. Ia mendesah.
Terlepasnya BH mencuatkan kedua buah dadanya, laksana dua buah gunung kembar.
Tanganku menerkamnya dan dengan halus meremasnya. Ia mendesah-desah nikmat dan
terus menggeliat-geliat dengan mata tertutup.
Perlahan ku susupkan tanganku ke balik celana dalamnya. Ia menjerit kecil dan
membiarkan diriku menelanjanginya. Kini ia terbaring dengan tubuh telanjang
bulat tanpa sehelai benang pun melekat di tubuh mulusnya. Kulepaskan tubuh
mulus itu, mataku jalang menikmati semuanya. Matanya terpejam menikmati semua
ini dengan mulut sedikit terbuka dan terus mendesah. Tanganku beralih merayapi
segala lekuk tubuhnya, merasakan halus kulitnya dan padat tubuhnya. Kubuka
kedua pahanya dan nampaklah lubang kemaluannya yang telah basah itu. Tanganku
menekan pinggirnya, sehingga terbukalah mulut kemaluannya menampakkan bagian
dalamnya yang berwarna merah muda segar. Tanpa membuang waktu kudaratkan
mulutku ke sana. Kujilat klitorisnya.
"Auu..", jeritnya tertahan dan tersentak bangun.
Ditekannya kepalaku untuk lebih menyatu dengan selangkangnya. Lidahku menyelusup masuk
dan dengan lincah mempermainkan klitorisnya. Ia menggeliat tak tentu arah,
kehilangan pegangan sama sekali.
Menyadari kalau ia telah berada di bawah kekuasaanku, aku tidak ingin membuang
waktu lebih lama. Kurebahkan ia ke atas ranjang. Pahanya sudah membuka lebar,
dengan bibir kemaluannya yang merekah siap menerima diriku. Kurasakan
kemaluanku pun sudah mengeras ingin segera bersatu dengannya. Perlahan-lahan
kuturunkan pantatku. Di bibir kemaluannya aku berhenti sejenak sekedar
mengungkit nafsunya. Ia menggeliat-geliat. Mendadak ia menghentakkan pantatnya
ke atas, maka meluncurlah kemaluanku ke dalam kemaluannya tanpa kendali. Aku
sepenuhnya bersatu dengannya. Kurasakan ia menjepit kemaluanku lembut.
Kenikmatanku adalah kenikmatan sempurna. Jadi beginikah enaknya tubuh seorang
wanita Cina?
Perlahan tapi pasti aku menggerakkan pantatku naik turun. Ia menggeliat-geliat
semakin tak tentu arah. Paha mulusnya menggeletar diiringi desah suaranya yang
bergumam tak jelas. Gerakan pantatku semakin cepat dan keras, menciptakan
sensasi yang tak tertanggungkan. Ia pun aktif memutar-mutar pantatnya yang
montok memperbesar rasa nikmat yang semakin menggila. Jari-jarinya mencengkam
seprei seakan mencari pegangan, namun ia telah mengapung seperti kapas kering
tanpa sandaran sama sekali.
"Aauu..", erangnya. "Lebih keras! Lebih keras! Lebih keras lagi!"
Aku tak perlu menunggu perintahnya. Kukencangkan otot perutku dan menaikkan
irama gerakan pantatku. Kugenjot kemaluannya dengan kemaluanku yang semakin
membesar, memanjang dan bertenaga. Melihat geliat tubuhnya dan desah
nikmatnya, nafsuku pun semakin membara. Kemaluannya yang lembut basah
berlendir itu semakin menantang. Ia sudah tak sanggup lagi menjepit batang
kemaluanku. Jari-jariku erat mencengkeram kedua buah dadanya yang semakin
mengeras. Putingnya sudah sekeras lada menusuk-nusuk telapak tanganku.
Remasanku semakin kuat dan ia mengaduh-ngaduh dengan nikmatnya.
"Ooouu.." desahnya. "Teruskan! Teruskan! Achh.. Achh.."
Kutingkatkan kecepatan goyangan pantatku. Bunyi irama keluar masuknya
kemaluanku berkecipak karena kemaluannya telah dipenuhi lendir licin. Ia
menjerit keras dan meraih tubuhku ke dalam pelukannya. Kujatuhkan diriku dan
kurasakan empuk buah dadanya. Aku tahu ia mengalami orgasme saat itu. Tetapi
aku belum. Aku berbaring tenang di atas tubuhnya, sementara kedua kakinya
ketat membelit pinggangku. Kemaluanku masih tetap sekeras laras senapan. Aku
melonggarkan sedikit belitan pahanya di pinggangku dan mulai bergerak lagi
dengan cepat.
"Ooohh..", jeritnya. "Oh.. teruskan! Lebih keras! Lebih keras! Aaa.."
Gerakanku telah menciptakan sensasi yang belum pernah dirasakannya. Ia betul
menikmatinya. Dengan satu gerakan yang teramat manis, kusentakkan pantatku dan
membenamkan kemaluanku dalam-dalam. Ia menggelepar dan meninju-ninju
punggungku. Jeritannya tersekat dibahuku. Aku merasakan spermaku memancar
dengan derasnya, memasuki liang kemaluannya yang juga sudah basah kuyup.
Hangat kunikmati geletar tubuhnya menahankan kenikmatan yang tak ada duanya.
Lama kami diam membatu dengan kelamin yang terus berhubungan. Setengah jam
lewat tanpa satu kata. Hanya desah napas yang menandai masih adanya kehidupan.
Aku mengangkat tubuhku. Ia memandangku dan tersenyum manis sambil
membelai-belai wajahku. Aku mengecup bibirnya yang merah merekah itu dengan
penuh gairah. Kucabut keluar kemaluanku, meneteskan sisa-sisa cairan maniku
yang bercampur dengan lendir kemaluannya ke atas perutnya.
"Ternyata lebih jantan dari dugaanku", sahutnya. "Sherly pasti menjerit
kepuasan setiap malam. Wah, iri hati aku", katanya.
"Kalau itu tak perlu khawatir", kataku. "Tinggal merancang bersama Bu Sherly,
kapan membagi waktunya. Aku juga perlu tubuh yang montok menawan ini",
lanjutku sambil mengelus-elus kedua payudara bulat dan montok.
Kami pun beralih ke kamar mandi. Aku lebih dulu kembali ke kamar. Ia muncul
dari sana dengan handuk yang menutupi bahunya tetapi terbuka dada hingga mata
kakinya. Aku berdiri menikmati keindahan tubuhnya itu dengan gairah
bernyala-nyala. Ia mendekatiku dengan gerakan nan gemulai, meggairahkan
kelelakianku. Goyangan lembutnya itu terus menggodaku, sehingga kemaluanku
kembali tegak. Tak sanggup menanti lebih lama, aku menerkam tubuhnya itu
dan menggumulinya di atas tempat tidur. Ia menjerit-jerit dan tertawa
keriangan. Ia pun menggeliat-geliat menyiapkan diri untuk persetubuhan
gelombang kedua.
Aku membalik tubuhnya. Dengan diam-diam ia menungging. Pantatnya ditinggikan
sehingga aku dengan mudah dapat menyetubuhinya dari belakang. Pantatnya yang
bulat besar itu merangsang sungguh kelelakianku, namun pada mulanya
menyulitkan aku ketika aku berusaha menggenjot lubang kemaluannya. Tetapi
tentu saja aku tak akan menyerah, malah itu menantangku untuk beraksi dengan
lebih lihai. Kemaluanku kugosok-gosokan ke pantatnya yang putih mulus. Ia
mendesah, sementara itu kulihat kemaluannya telah bergerak-gerak, minta segera
dikawini. Aku membiarkan ia penasaran menanti.
"Masukkan sekarang!"serunya. "Masukkan sekarang juga! Aku tak tahan lagi! Oh,
cepat! Cepat!"
Kuturunkan pantatku dan mengamati kemaluanku yang tegak ke atas. Kugerakkan
perlahan-lahan ke atas. Di depan pintu kemaluannya aku menggerakkan sejenak,
membuat ia semakin menggeliat minta disetubuhi. Mendadak aku menerobos ke atas
dengan gerakan cepat dan keras.
"Aaa..!" jeritnya. "Aaacchh..!"
Kepalanya mendongak ke atas, meneriakkan kenikmatan yang tak terkira. Untung
rumah sudah tertutup rapat sehingga tak ada yang tahu apa yang terjadi. Ia
mengerang-ngerang dengan tubuh yang menggeletar hebat menahankan rasa nikmat
yang tak terhingga. Aku terus menggenjot dengan cepat dan keras. Ia semakin
tidak berdaya seperti kapas kering yang terapung. Akhirnya, dengan satu
hentakan keras spermaku memancar dengan deras ke dalam lubang kemaluannya.
Tangan dan lututnya melemas sehingga ia terjatuh ke bawah. Tubuhku pun melemas
dan terjatuh menindihnya. Kemaluanku yang masih memancarkan sperma tercabut
dari lubang kemaluannya sehingga pantatnya basah tersiram spermaku. Aku jatuh
menindihnya, tanpa peduli dunia sekitar.
Lima belas menit kami terbaring saling menindih tanpa kata-kata. Yang ada
hanya geletar tubuh menahankan sisa-sisa kenikmatan. Ia bergerak sejenak dan
berputar menghadapku. Lelehan spermaku membasahi perutnya. Ia tersenyum
menatapku dengan mata berbinar menandakan kepuasan seksual. Dibelainya wajahku
dan dikecupnya bibirku. Dadanya terasa hangat dan empuk di dadaku.
"Terima kasih!" bisiknya. "Aku belum pernah sepuas ini."
Makan siang itu terasa lebih nikmat karena diselingi dengan gesekan-gesekan
tubuh. Ketika rangsangan itu tak tertahankan lagi, aku pun menyetubuhinya
langsung di meja makan itu. Sekali lagi ia menjerit-jerit nikmat karena
sensasi sex. Mendengar erangan dan melihat geliat tubuhnya itu, nafsuku justru
semakin menggila. Aku menyetubuhinya dari segala posisi. Dari depan, dari
belakang, dari atas atau dari bawah. Semuanya itu pengalaman baru baginya.
Sore itu Ibu Sherly pulang dan mendapati kami masih asyik bergulat di ruang
tengah. Kami sama sekali tidak memperhatikan kalau Ibu Sherly melihat
segalanya dari balik kaca pintu. Ketika Mei menjerit-jerit karena orgasme yang
kesekian kalinya, Ibu Sherly masuk dan bertepuk tangan. Ibu Mei memerah
wajahnya tertangkap sedang bersetubuh.
Tamat