Seks Umum
Tuesday, 5 April 2011
Seni bercinta bersama Dina - 1
Kami mengobrol kiri kanan, sampai akhirnya aku tahu dia sudah menikah, akhirnya obrolan kami tertuju tentang masalah-masalah kehidupan rumah tangga dan seks perkawinan mereka. Kita sebut saja nama wanita itu Dina (nama samaran). Di dalam obrolan itu, Dina bercerita bahwa dia menikah dengan seorang laki-laki yang usianya lebih dari separuh abad, karena paksaan orang tuanya. Dia berkeluh kesah akan masalah kenikmatan berhubungan intim dengan suaminya, yang menurut dia egois sekali tanpa foreplay (buka, cium, tusuk, keluar) begitu katanya.
"Mending kalau lama, cuma 2 menit keluar deh..!" kata Dina dalam pembicaraannya.
Aku menimpali, "Wah, nggak asik kalo gitu Din..!"
"Iyah nih, Yog, abis gimana lagi..?" di dalam pembicaraan itu akhirnya aku bisa menangkap kalau Dina membutuhkan "sex is warm art not sex is sex".
Pembicaraan kami akhirnya disudahi dengan akan bertemunya kami di suatu cafe di Jakarta selatan.
Setelah kami ngobrol cukup lama, kami kemudian saling bertukar nomer handphone dan akan bertemu esok hari di tempat yang telah kami sepakati. Keesokan harinya aku bangun dengan segar dan burungku berdiri kencang (butuh sentuhan), dan langsung menuju kamar mandi.
"Brr.., segar.." aku membasahi seluruh tubuhku dengan shower.
Selesai mandi aku mencukur dan merapihkan bulu-bulu di sekitar dagu dan pipiku. Kupilih kemeja yang kusukai dan celana jeans, lalu aku semprotkan parfum Hugo kegemaranku. Wah.., aku ingin kelihatan rapih di depan Dina nanti. Setelah acara dandan selesai, aku hidupkan mobil VW kesayanganku dan meluncur ke arah sebuah cafe di selatan pusat perbelanjaan di Jakarta selatan.
Kulihat jam, "Hmm.., masih jam 10 lewat, masih lama." pikirku.
Lalu aku melihat-lihat counter pakaian dan membeli kemeja dan dasi untuk keperluan kantorku sambil menunggu Dina.
45 menit kemudian HP-ku berbunyi dan terdengar suara Dina disana, "Halo, ini Yoga..?" katanya.
"Iyah Din.., Kamu dimana? Aku di lantai satu nih.., Kamu dimana?" katanya.
"Hmm.., Aku masih belanja dulu nih Din. Sabar yah..!" kataku menenangkan. "Bentar lagi Aku kesana kok..!" lanjutku.
"Iyah deh, Aku tunggu di Cafe *** (edited) yah..? Aku laper nih..!" katanya manja. "Kamu pake baju apa..?" katanya.
"Hmm.., Aku pake hem biru dan jeans coklat muda." kataku sekenannya, "Kalo Kamu..?"
"Hmm.., Aku pake kemeja biru dan rok hitam. Rambutku kuikat ke atas." katanya.
"Oke..," kataku, "Sabar yah Din.. bayar dulu nih..!"
"Oke..," kata Dina, "Aku tunggu yah..?"
Lalu HP-ku kututup dan aku ke kasir untuk membayar.
Setelah proses transaksi selesai, aku turun ke bawah sambil membawa beberapa belanjaanku dan menuju cafe itu. Langkah kakiku semakin dekat. Kupandangi isi dalam cafe tersebut. Hmm.., ada beberapa orang saja. Lalu di pojok aku melihat seorang wanita sendiri dan duduk membelakangiku.
"Hmm.., ini dia si Dina..!" kataku sambil mendekat.
"Pagi..!" kataku, dan Dina akhirnya menoleh.
"Pagi." katanya.
Lalu aku menyodorkan tanganku dan menjabat tangan Dina, "Yoga..," aku memperkenalkan diri, dan dia berdiri sambil membalas, "Dina.."
Hmm.. tinggi juga nih Dina pikirku dengan bentuk tubuh proposional, aku menebak kira-kira 170 cm tingginya, dengan kulit putih dan mata yang kecil jelas sekali kalau dia adalah keturunan Chiness.
"Silakan duduk Yog..!"
"Makasih Din,"
"Belanja apa Yog..?"
"Hmm.., ini cuma buat keperluan ke kantor aja, Kamu tinggi yah..," kataku menimpali.
"Ah kamu tuh.. bisa jinjit Aku kalo pelukan." katanya sambil tersenyum.
"Emang tinggi Kamu berapa Dina..?" kataku.
"Hmm.., 171 Yog, emang kenapa..?"
"Ah nggak.., cuma Kamu tuh pantesnya jadi model." kataku.
"Kamu kali.. yang pantes." katanya, "Terus kalo Kamu berapa Yog..?"
"Aku 186-an deh kalo nggak salah." kataku seenaknya sambil membaca-baca menu.
"Aku pesen Hot Cappucino. Kamu mau pesen apa lagi Din..?" aku menawari.
"Hmm Aku nambah Chess Croissant ajah deh..," katanya kepada pelayan cafe.
"Kamu abis cukuran yah..?" Dina membuka pembicaraan.
"Iyah.., kok tau sih..?" kataku sambil menatapnya.
"Iyah dong, ketauan lagi bau aftershape Kamu." katanya.
Aku hanya tersenyum sambil membakar sebatang rokok, lalu kutawari sebatang kepadanya.
"Rokok Din..? dan dia mengambil satu, lalu aku menyulutkan rokokku dan memberinya zippo-ku.
"Huff.." Dina menghembuskan asap rokoknya seolah ingin melepaskan semua beban ceritanya kepadaku.
"Hmm.., Aku bosen dengan perkawinanku Yog..," katanya, "Mungkin Aku kelihatan bahagia, yah..?" katanya.
"Yah.., tampaknya sih begitu Din, memangnya kenapa..? Apalagi yang Kamu rasakan kurang..?" kataku sambil menatap wajah Dina lekat-lekat.
"Yah.., Aku kehilangan masa dimana Aku bisa merasakan suatu hubungan yang "balance", bukan hubungan hanya sekedar jadi objek seks suami.." katanya.
"Hmm..," aku manggut-manggut, "Lalu apa kamu udah diskusi dengan suami Kamu..? Sebaiknya Kamu diskusikan saja Din, bagiku sih lebih baik begitu.."
"Sudah.. Yog.. cuma yah nggak berhasil, malah Dia nyangka Aku yang hyper." katanya dengan tertunduk.
Jelas sekali Dina menahan suatu kesedihan dan kekecewaan.
"Hmm.., sabar ajah Din. Itu butuh waktu kok..!" aku menenangkannya.
Tanganku membelai jemarinya dan dia tersentak, tapi Dina membiarkanku menggengam tangannya.
"Terus apa Aku salah..?" katanya dan kulihat matanya mulai berkaca kaca.
"Loh..? Kok Kamu jadi sedih gitu sih Din..?"
"Aku udah nggak kuat Yog, kalo cuma dijadikan objek seks ajah." katanya meninggi dan tampak dia begitu emosional.
"Ssstt.." aku menempelkan telunjukku di kedua bibirnya, "Dina, coba sabar dan cerita yah..!" kataku menenangkannya.
"Hmm.., diusia 20 Aku menikah Yog, Dengan lelaki yang seharusnya jadi ayahku. Dan 2 tahun Aku mencoba menjadi istri yang baik buat Dia, tapi kenapa Dia nggak pernah memperhatikan keinginanku untuk tidak menjadikanku hanya sebagai objek seks Dia dan teman di tempat tidur saja. Aku butuh lebih dari itu kan.., Yog..? Yah kan..?"
"Iyah, Kamu betul, cuma apa Kamu nggak ingin mencoba buat berdialog lagi..?" kataku.
"Percuma Yog.., Aku jenuh.. Aku ingin seperti cerita teman-temanku Yog. Yang juga ingin merasakan kesempurnaan dalam bercinta, tapi Aku belom pernah mendapatkannya." Dina berkata dan tetesan air matanya mulai berlinang bergulir ke arah pipinya yang putih bersih.
"Oh.., gosh.. kasian sekali wanita ini." pikirku.
Aku membelai tetes air mata Dina dengan sapu tanganku, "Stt.., sudahlah Din, jelek loh kalo Kamu nangis gitu..!" kataku menggoda untuk mencoba mencairkan suasana hatinya.
"Igh.., Kamu yang jelek..!" katanya tersenyum dan mencubit tanganku.
Akhirnya kami tersenyum lagi.
"Eh.. Yog, Kamu orang mana..? Kok Kamu kaya blasteran gitu sih..?" katanya menyelidik.
"Iyah.., Aku emang blasteran kok," kataku tersenyum.
"Oh yah..?" katanya, "Hmm.., mana sama mana Yog..?"
"Blasteran Jawa sama sunda.."
"Hahahhahha.." Dina tertawa memamerkan deretan gigi putihnya, "Bisa ajah Kamu, Yog..!"
"Tapi yang jelas Aku Indonesia dan Non Rasial." kataku.
Dina memandangku sambil ikut menggenggam jemariku.
"Egh.. hmm agh..," aku gugup di saat Dina mulai mendekatkan diri dan duduk di sampingku.
Hmm.., bau parfum Dina benar-benar matching dan kelihatan sekali kalau dia berasal dari kalangan atas.
"Yog..!" katanya agak gugup juga, "Hmm.., keberatan nggak Kamu kalo Aku minta sesuatu sama Kamu..?" katanya.
"Apa tuh Din..?" jawabku enteng, padahal Satelit bawahku sudah salah orbit.
"Gini Yog.., Aku boleh nggak hari ini merasakan apa yang Aku inginkan..?"
"Hah..? Gila.., terus terang amat nih cewek..?" pikirku, tapi aku berusaha untuk bersikap wajar.
"Dalam batas gimana Aku bisa bantu Din..?"
"Yah.., Aku ingin merasakan apa yang selama ini Aku pendam.." katanya.
"Hmm..," aku berfikir, "Kamu serius dengan kata-kata Kamu itu Din..?"
"Iyah Yog, Aku sadar dan ikhlas dengan keinginanku..!" kata Dina.
"Hmm.., oke-lah kalo Kamu mau, cuma Aku hanya memberikan apa yang Aku bisa berikan untuk membantu Kamu yah Din..!"
"Makasih Yog..!" Dina tersenyum padaku.
"Wow..! Mimpi apa nih semalam..?" pikirku.
Akhirnya kami meninggalkan cafe dan menuju sebuah apartemen dengan menggunakan Jeep Mercy milik Dina. VW bututku kutinggal atas permintaan Dina. Singkat cerita, aku meluncur ke arah apartemen Dina yang ternyata milik Dina pribadi dan jarang ditempati, dia bilang apartemen itu merupakan pemberian suaminya.
"Gila.., ini sih 25 tahun gajiku baru bisa buat beli apartemen kaya begini." kataku pada Dina.
"Ah.., ini kan punya suamiku. Aku sih nggak mampu." katanya merendah.
Akhirnya kami tiba di sebuah ruangan yang indah, kecil dan tertata rapih. Lengkap sekali, berbeda dengan rumah kontrakanku. Lalu Dina menawarkanku coke dingin. Aku menerima sambil melihat-lihat lukisan dan photo yang terpampang di dinding.
Lalu Dina mendekatiku, "Itu suamiku Yog.., gimana menurut Kamu..?"
"Hm.., tua sekali yah..?" kataku jujur dan Dina hanya tersenyum kecut mendengar ucapanku.
Lalu dia berusaha menyandarkan tubuhnya di dadaku. Aku meresponnya sambil memeluk perutnya. Kubiarkan dia bersandar, lalu sambil mencium rambutnya, kubelai lembut perutnya.
"Hmm.., hmm..," Dina mendesah pelan dan membiarkan badannya dalam dekapan tubuhku.
Lalu dia membalikkan tubuhnya dan menatapku. Tangannya membelai pipi, hidung, dan daguku."Dina.. hmm..," aku menempelkan ujung hidungku yang lancip ke leher Dina.
"Ahh.., sstt.." Dina memejamkan matanya dan menikmati hangatnya nafas serta dekapanku.
Sekali-kali kutempelkan bibirku ke lehernya dan kugesekkan pipiku dan daguku, lalu kuciumi bagian telinga Dina.
"Ahh.., hmm, Yog.., hmm.., Kamu hangat sekali.." katanya.
Aku menatap Dina. Terlihat sekali dia menginginkan suatu kehangatan. Lalu aku mengangkat tubuh Dina, kugendong dan kumelangkah ke arah ranjang Dina. Kuturunkan perlahan dan tubuhnya kuraih hingga merapatnya dada Dina di ulu hatiku. Kulumat perlahan bibir Dina dengan lembut dan kutekuni setiap jenjang lekuk bibirnya. Bibir kami saling berpagutan, tangan Dina merangkul pundakku dan nafasnya mulai tidak beraturan.
"Oh Yog.., oh.. hmm..," desah Dina yang mulai menghangat.
Perlahan tangan Dina menerobos kancing kemejaku dan membelai dada serta menyentuh putingku.Aku tersentak dan mendidih lah gejolak libidoku.
"Ohh Dina.., uhh..," aku melenguh pelan.
Bersambung . . .