Nidar sahabat istimewaku - 2

Mula-mula kami duduk tenang menikmati permainan dalam film itu tanpa kami bicara banyak. Namun baru kami duduk sekitar 10 menit, pikiranku tiba-tiba beralih kepada wanita yang duduk di samping kananku. Ingin rasanya merapatkan tubuhku ke tubuhnya seperti waktu di becak tadi, bahkan lebih dari pada itu. Aku semakin penasaran dan gelisah, apalagi aku tidak terlalu segan lagi karena sikap Nidar dapat terbaca sewaktu di atas becak tadi. Kucoba meletakkan tangan kananku ke atas pahanya, namun ia diam, lalu kusandarkan sedikit tubuhku ke tubuhnya, tapi ia masih tetap diam. Bahkan kuangkat pahaku untuk menindih pahanya yang sedikit terangkat ke atas pelapisnya. Ia nampaknya tetap pasrah, malah ikut bersandar kepundakku, sehingga kepalaku saling bersentuhan.

"Dar, aku sangat mencintaimu sayang. Bagaimana denganmu?" bisikku merapatkan bibirku ke telinganya agar ucapanku tidak kedengaran orang yang ada di belakangku.
"Sebenarnya aku juga sangat mencintaimu Kak. Sudah lama perasaanku ini terpendam dalam hatiku, tapi Kakak selalu bersikap pasif selama ini" jawabnya sambil merapatkan juga bibirnya ke telingaku sehingga terasa nafasnya menyapu telingaku dengan hangat.

Bau rambut yang baru saja dicuci dengan sampho pantene terasa menyengat hidungku sehingga membuat aku semakin bergairah, apalagi setelah aku mengecup sedikit pipinya yang harum karena bedak yang harganya tidak terlalu murah. Tanpa suara lagi, kami saling merangkul dan saling mencium tanpa peduli cerita dalam film itu. Konsentrasiku hanya menyatu padanya.

Kami betul-betul saling terangsang, yang terasa dari keringat dingin dan hawa panas yang keluar dari tubuh kami. Lebih meyakinkan lagi setelah kucoba menyingkap roknya ke atas dan merenggangkan kedua pahanya lalu meraba CD-nya, ternyata sudah sangat basah. Aku masukkan tanganku ke dalam CD-nya lalu meraba, mengelus bibir vaginanya dan menekan-nekan kelentitnya yang sedikit mulai agak keras. Karena ia sangat terangsang dengan permainan tanganku itu, sehingga ia berkali- kali mencium pipi dan bibirku, malah memasukkan lidahnya ke dalam mulutku sehingga kami bermain lidah. Nidar nampaknya tak mampu lagi menahan gejolak nafsunya, sehingga ia membuka resteling celanaku dan mengeluarkan kemaluanku lalu memegang dan menggocok-gocoknya. Terdengar nafasnya tidak teratur lagi, sampai-sampai ia turunkan sedikit CD-nya lalu mengangkat pantatnya dan menduduki penisku, tapi aku segera mencegahnya dengan mendorong pantatnya, sebab ia nampaknya kurang sadar kalau di kanan kiri dan belakang kami banyak orang, yang bisa saja memperhatikan sikapku itu.

"Sabar Dar, jangan keburu nafsu. Kita ini berada di tengah-tengah orang banyak, nanti sikap kita ketahuan, kan malu jadinya" kataku mencoba mengingatkan. Ia lalu kembali memperbaiki cara duduknya seolah menyadari dan menyesali sikapnya barusan itu.
"Oh yah, aku nggak sadar Kak. Maaf atas tindakanku tadi" sesalnya sambil menarik kemabli CD-nya ke atas dan menurunkan roknya yang tersingkap itu.

Untung kuingatkan, sebab beberapa detik kemudian tiba-tiba lampu ruangan bioskop menyala pertanda istirahat sejenak. Hampir saja tindakan kami kelihatan. Kami segera bangkit dan pergi buang air kecil. Sambil buang air kecil, aku berpikir untuk mengajak Nidar pulang saja tanpa harus menunggu hingga selesainya cerita film itu, karena kami juga tidak konsentrasi lagi nonton.

"Dar, kita pulang aja yuk, filmnya kurang menarik. Kita jalan kaki aja, kan nggak terlalu jauh, lagi pula kita bisa santai sambil ngobrol apalagi belum larut malam" bisikku ke Nidar ketika kami sudah duduk kembali di kursi kami masing-masing.
Ternyata Nidar setuju saja, lalu kami keluar biskop dan jalan kaki pulang. Dalam perjalanan, kami lebih mesrah saling pegangan tangan. Kami banyak ngobrol dalam perjalanan mulai dari soal-soal hubungan persahabatanku dengan teman-teman kuliah dan soal rencana KKN-ku nanti sampai ke soal cinta atau pacar kami masing-masing. Kami sama-sama mengakui belum pernah jatuh cinta atu pacaran sama orang lain, lalu kami saling mengutarakan isi hati kami, bahkan Nidar mengajakku bermalam di rumahnya, tapi aku menolak dengan alasan dicari dan dicurigai nanti oleh teman kostku.

Setiap kami lewati jalanan yang sedikit gelap dan tidak ada rumah, kami selalu berpelukan, berciuman, malah saling memegang alat sensitif kami, tapi tak pernah lama sebab takut ada orang yang memergoki kami.
"Kak singgah dulu di rumah nonton TV atau ngobrol, karena belum larut malam, kapan lagi kita bisa ngobrol bersama seperti ini, terutama setelah Kakak ke lokasi KKN dan sudah menyelesaikan kuliahnya, pasti Kakak tidak ke sini lagi kan?" katanya ketika kami sudah berada di depan rumahnya.
Aku setuju saja dan rencanaku nanti jam 12.00 baru aku kembali tidur ke rumah. Tapi belum lama kami duduk nonton TV, tiba- tiba hujan keras terdengar di atap seng. Entah ini pertanda ujian atau keuntungan buatku, tapi yang jelas Nidar nampaknya gembira dan sedikit tersenyum memandangiku.

"Dar, aku pulang saja, nanti hujannya lama dan tambah keras, temanku bisa khawatirkan diriku" kataku mengujinya. Tapi ia terperangah lalu berdiri mencegahku dengan alasan aku basah nanti. Aku tidak tahu apa orangtua Nidar sudah tahu kedatanganku atau pura-pura tidur, sebab suaranya sejak kami datang sama sekali tidak terdengar. Nanti suaranya terdengar ketika aku berjalan ke arah pintu untuk melihat keadaan di luar rumah, walaupun aku belum bermaksud mau pulang, tapi tiba-tiba
"Dit, ndak usah kamu pulang. Masih hujan keras. Bermalam saja di sini. Kamar diluar kan kosong, lagi pula temanmu itu pasti mengerti kalau kamu tidak pulang karena terhalang hujan keras" katanya dari dalam kamarnya yang terletak dekat dapurnya seolah tidak menghendaki aku pulang malam itu. Bahkan mamanya Nidar bangun untuk mencegahku.
"Terima kasih Bu, takut nanti temanku menunggu dan menghawatirkanku. Lagi pula nggak enak sama tetangga, nanti dicurigai aku macam-macam" jawabku mencoba menjelaskan alasanku.

Jam dinding yang tergantung di atas TV menunjukkan pukul 12.00, namun hujan belum reda juga. Aku lalu berbaring sejenak di depan TV, sedang Nidar bolak balik masuk kamarnya di samping TV, tapi akhirnya ia duduk persis di dekatku sambil nonton. Dalam keadaan baring, aku meraih tangannya dan menarik ke arahku, lalu meletakkan ke atas dadaku, malah kuangkat lagi ke selangkanganku, tapi ia tidak menolak, meskipun terasa tangannya lemas sekali. Ketika kumasukkan tangannya ke dalam celanaku

"Ah, jangan kak, nanti dilihat orangtuaku", katanya sambil menarik tangannya seolah takut dan malu ketahuan orangtuanya. Tapi aku lebih berani lagi dengan memiringkan tubuhku ke arahnya sehingga tanganku merangkul kedua pahanya dan ujung kemaluanku yang tegang sejak tadi persis bertumpu di belakang pinggangnya. Ia terdiam sejenak, lalu menindihku dengan merebahkan tubuhnya ke atas pinggangku.

"Sudah larut malam Kak. Aku ngantuk. Masuklah aja tidur, di kamar sebelah ada sarung", katanya sambil berdiri lalu mematikan TV kemudian masuk ke kamarnya. Mamanya tiba-tiba teriak dari dalam
"Dit, masuk aja tidur di kamar, sudah jam 1.00 nih, biar saya yang jelaskan besok pada temanmu jika ia memarahimu. Beri aja selimut Dar"
"Baik Bu, asal Ibu mau tanggungjawab jika aku ditanggapi macam-macam" jawabku sambil menuju kamar paling depan berdampingan dengan kamar tidur Nidar dan sama-sama tidak punya penutup kecuali hanya gorden.
"Dar, jika aku ketiduran tolong dibangunin aku jam 5.00 yah, aku malu ketahuan tetangga" kataku sambil berbaring di atas rosban.
"Okelah jika gitu maumu, jika perlu kubangunin jam 3.00" katanya.

Entah apa yang terlintas dipikiran Nidar malam itu, tapi yang jelas aku tidak bisa tidur sama sekali. Gelisah memikirkan temanku di rumah dan penasaran ingin menikmati kesempatan emas ini dengan Nidar, tapi aku takut juga memulai. Aku sengaja sesekali batuk, menghentakkan tubuh ke kasur dan bergerak-gerak agar Nidar terpancing mau mendahului dan mau mengerti maksudku. Mulanya ia sama sekali terdiam, bahkan aku seolah putus harapan lagi mengira ia sudah tidur nyenyak. Tapi nampaknya ia juga mulai terdengar gelisah, bergerak-gerak dan terbatuk seiring dengan gerakanku malam itu. Sekitar jam 3.00, aku mendengar Nidar turun dari kasur dan melangkahkan kakinya. Dalam hatiku mungkin ia mau kencing, namun harapanku semoga ia mendatangiku. Ternyata harapanku tidak sia-sia, kulihat ada bayangan membuka gorden dan masuk dengan pelan lalu duduk di tepi rosban persis di dekan pinggangku.

"Kak, aku datang" bisiknya berkali-kali di dekat telingaku sambil memegang pinggangku dan menggoyang-goyangnya, namun aku pura-pura tertidur nyenyak.
Ia lalu mencium kening dan pipi serta bibirku sambil memelukku. Terasa nafas dan tubuhnya hangat menempel di tubuhku malah ia mencoba membuka selimutku lalu memasukkan tangannya ke dalam celanaku. Aku semakin sulit menyembunyikan kepura-puraanku karena ia pasti tahu jika aku tidak tidur sebab burungku berdiri dengan kerasnya. Aku lalu putuskan merangkul lehernya, lalu melayani ciumannya, terutama ketika ia masukkan lidahnya ke mulutku, akupun menyambutnya dengan lahap sekali. Kami cukup lama bermain lidah. Aku membuka sarungnya dengan kakiku, ternyata ia tidak pakai apa-apa lagi kecuali sarung. Bugil total sambil menindih dan merapatkan tubuhnya di atas tubuhku.

"Pelan-pelan sayang, nanti kedengaran dari dalam dan kita kepergok" bisikku di telinganya.
Lalu ia duduk di atas kedua kakiku sambil membuka kait celanaku dan menarik ke bawah hingga terlepas seluruhnya. Kini akupun sudah bugil total, sebab sejak tadi aku memang sudah buka baju karena ada selimut. Entah siapa yang ajari Nidar, tapi yang jelas tanpa dituntun ia bisa tahu apa yang harus dilakukannya padaku. Ia melumat bibirku, lalu turun ke leher, dada dan pusarku hingga mulutnya menyentuh batang kemaluanku yang berdiri dan sedikit basah. Warna penisku yang tidak terlalu putih itu nampaknya tidak jadi soal bagi Nidar, karena sulit dilihat di kegelapan malam dengan suara hujan keras terdengar di atas seng, kecuali ketika muncul kilatan petir. Apalagi Nidar cukup merasakan ukurannya yang tidak terlalu kecil dan tidak terlalu pendek ketika ia memegang, menjilati dan memasukkan ke dalam mulutnya lalu memutar-mutarnya ke kiri dan ke kanan.

Pantatku terangkat-angkat dibuatnya ketika Nidar mempercepat gocokan mulutnya ke penisku, sehingga aku ingin muncrat dengan cepat, terutama kedua payudaranya yang agak keras dan montok itu bergerak-gerak menyentuh kedua pahaku, bahkan vaginanya yang basah tanpa bulu itu terasa menekan ujung petisku. Aku semakin tak mampu rasanya menahan gejolak spermaku, tapi tiba-tiba ia berhenti sejenak lalu tidur miring di sampingku, lalu merangkul dan membalikkan tubuhku hingga kami saling berhadap-hadapan. Dalam kondisi seperti itu, aku coba mengangkat satu pahanya dan mengganjal dengan satu pahaku hingga penisku terasa bertumpu di bibir vaginanya yang basah. Aku gerakkan maju dan mundur pantatku agar ujung penisku dapat masuk ke lubangnya. Tapi sulit meskipun ia berusaha membantuku dengan mengerak-gerakkan pinggulnya. Aku buka bibir vaginanya dengan satu tanganku lalu mendorong pantatku ke depan, tapi tetap sulit kecuali hanya ujungnya yang menusuk ke mulut vaginanya.

Karena kami capek sekali dan terasa sulit memasukkan dalam posisi seperti itu, apalagi aku masih yakin jika keperawanan Nidar masih utuh. Aku lalu bangkit dan mengangkangi tubuh Nidar, lalu merenggangkan kedua pahanya dan membuka bibir vaginya dengan kedua tanganku, lalu Nidar membantu dengan memegang penisku dan mengarahkan ke vaginanya. Usaha kami berhasil menusukkan penisku ke lubang vaginanya, tapi hanya ujungnya yang bisa masuk. Kucoba tekan agak keras dan maju mundurkan, bahkan kugoyang ke kiri dan ke kanan seiring dengan gerakan Nidar, namun tetap sedikit saja yang masuk.

"Aduhh, sakit Kak ..aahh" suara nafas itulah yang saling memburuh di antara kami, meskipun sakitnya mengandung nikmat, sebab Nidar tetap menarik pinggulku dan mempertahankannya agar tidak lepas penisku dari vaginanya.

"Bagaimana Dar, enak kan, tahan sayang" ucapku terengah-engah ketika kami sama-sama memaksakan masuknya penisku ke vagina Nidar. Usahaku tidak sia-sia karena batangku sudah masuk 80 %, bahkan 100% ketika berulang-ulang aku hentakkan pantatku ke lubangnya dan terdengar bunyi indah dan menarik dikeheningan malam buta yang diiringi hujan deras.
"Nya..nya..dcat..dcat..dcut" seolah ada getah yang sedikit melengket di antara peraduan paha dan kemaluan kami. Mulai ada dorongan lahar memaksa mau keluar dari batang kemaluanku, tapi aku selalu mengendalikannya agar kami bisa sama-sama menikmatinya dengan lama kesempatan emas ini.
"Uhh..ihh..aahh" Nafas Nidar seolah tak terkendali dan sulit dirahasiakan, untung hujan keras. Kalau tidak pasti orangtua Nidar curiga dan mengetahui perbuatan kami.

"Kak, udah nggak sakit nih, malah tambah nikmat, terus kak, kocok, kocok..aahh" katanya sambil terengah-engah ketika aku tambah mempercepat dan memperkuat goyanganku. Hingga akhirnya Nidar mulai mencakar-cakar dadaku, menggigit-gigit bahuku, dan menjepit pinggulku dengan kedua pahanya, bahkan ikut mengangkat pantatnya dan menggerak-gerakkannya. Ternyata sikapnya itu menunjukkan kalau ia mencapai puncaknya. Sangat terasa diujung penisku, di mana seolah ada denyut-denyut yang menggigit ujungnya seiring dengan rangkulannya yang sangat kuat dan sedikit gemetar.

Setelah hal itu kuketahui, akupun berusaha mencapai puncaknya minimal sesaat setelah dia menikmatinya. Ternyata usahaku berhasil. Belum ia mengendorkan pelukannya dan berhenti gemetar sekujur tubuhnya, akupun mengalami sikap yang sama dan merasakan ada cairan panas yang keluar lewat ujung penisku dan tumpah ke dalam vagina Nidar, sehingga bibir vaginanya membanjir dan meleleh ke pahanya dengan cairan kental.

Kami secara bersamaan mengendorkan pelukan dan berbaring lunglai di atas rosban empuk itu lalu kami bersihkan sama-sama dengan kain selimut. Setelah itu kami saling mengecup bibir dan pipi.
"Kak, terima kasih atas kesediaanmu bermalam. Jika tidak, kita tidak bakal mengalami peristiwa yang sangat bersejarah ini seumur hidup kita sebab aku dan mungkin Kakak juga baru merasakannya. Mudah-mudahan kita bisa menikmatinya kembali yah Kak, sebelum berangkat atau sepulang KKN nanti. Aku dengan setia menunggu Kak dan aku sangat mencintai kak, semoga kita sejodoh kak" kata Nidar seolah puas dan tak ada beban dan rasa takut sama sekali, sehingga ia panjang lebar berbisik dikamar itu.

"Terima kasih juga sayang, aku sangat beruntung malam ini dapat kenikmatan yang luar biasa. Mungkin aku sulit lagi mengalaminya, apalagi dengan seorang gadis cantik seperti kamu" kataku menyambut ucapan bahagia Nidar.

Setelah semua hajat kami terwujud malam itu, Nidar lalu kembali ke kamarnya setelah mencium sekali lagi bibirku. Aku hanya pasrah menerimanya, lalu mencoba melihat jam ternyata sudah jam 4.30, tak lama lagi aku mau pulang. Seiring dengan bunyi kaset di masjid-masjid aku sangat pelan menuju kamar Nidar dan pamit untuk pulang setelah jam 5.00 subuh. Nidarpun mengizinkan dan membukakan pintu dengan pelan agar tidak membangunkan orangtuanya. Setelah tiba di rumah, aku langsung membuka pintu dengan mudah karena pintunya hanya diganjal dari atas, lalu aku terus tidur dan ternyata nyenyak sekali tidurku pagi itu hingga jam 9.00 pagi tanpa mengganggu tidur teman kostku. Ia nampaknya mengerti kalau aku bermalam di rumah Nidar karena hujan keras apalagi hari itu kebetulan tidak ada kuliah kami.

Kepuasan manusia itu ternyata tidak ada ujungnya, sebab ketika aku bangun, aku merasa penasaran lagi ingin sekali mengulangi hubungan kami dengan Nidar. Mungkin karena nikmatnya atau karena baru pertama kali kami alami, bahkan yang terpikir di benakku kalau ternyata kami nanti dapat kesempatan mengulanginya, aku mau lebih memuaskan lagi Nidar, karena aku menyesal tidak sempat menjilati dan memainkan lidahku di kelentitnya dan lubang vaginanya, padahal permainan itu selalu kuimpikan untuk memuaskan pasanganku. Namun sayang, hingga pemberangkatanku ke lokasi KKN, kami sama sekali tidak pernah dapat kesempatan yang kedua kalinya melakukan hal itu, bahkan setelah kami kembali dari lokasi KKN, kami jarang ketemu Nidar karena kami tinggal agak jauh dari lingkungan Nidar. Akhirnya Nidar dikawinkan dengan seorang pria pilihan orangtuanya sewaktu Nidar jalan-jalan Ke Irian Jaya dan hingga saat itu kami belum pernah ketemu lagi.

TAMAT