Affair antar penulis - 1

Selesai sudah meeting 4 hari. Walaupun penuh dengan diskusi dan argumen, tapi bisa membantu menyelesaikan Masalah-masalah yang ada. Kami tutup dengan dinner bersama. Tidak ada yang istimewa. Akupun kembali ke hotel berbintang tempat menginap selama di Jakarta, di bilangan Gatot Subroto. Sebenarnya bisa saja kembali dengan pesawat pertama besok pagi, tapi ada keinginan mengusik yang hadir sejak aku tiba. Aku ingin memperpanjang Masa tinggal hingga akhir pekan.
Kubuka lagi agenda, di bagian alamat kutemukan namanya lengkap dengan nomor HP. Aku masih ragu-ragu Kulirik jam tangan, tidak terlalu malam, masih pukul 11. Terkenang kembali bagaimana kami berkenalan. Aku (28) yang suka iseng menulis di sela-sela kesibukan pekerjaan, suatu saat mencoba mengirimkan cerita ke Rumah Seks. Malu sebenarnya, karena tidak pandai menulis, tapi ingin juga mencoba menuangkan pengalaman ke dalam sebuah cerita. Hasilnya, aku banyak menerima email-email, tentu saja banyak yang nakal.
Dari banyaknya email, Dio yang paling sering menulis dan membalas email-emailku yang kadang hanya sepatah dua kata. Dio (38) adalah seorang Deputy Creative Director di sebuah advertising agency di Jakarta. Bahkan Dio pun mengirim ceritanya ke Rumah Seks. Sempat kubaca hasil karyanya 'Bandung Lautan Birahi', yang memang penuh dengan birahi, salah satu pengalaman nyata. Setidaknya itu pengakuannya. Aneh sebenarnya, kami berdua sama-sama sibuk tapi tetap bisa punya waktu menulis dan berkirim email. Malah sempat saling bertukar foto.
Hhmm.., nelepon nggak ya. Kalau aku telepon, kemalaman nggak ya, tapi kalo ngga, sayang udah di Jakarta, kapan lagi. Apalagi kalau aku benar-benar akan pulang besok pagi. Sambil terus berpikir, tanganku memegang gagang telepon. Ah sudahlah kutelepon, mungkin malah lagi sibuk atau nggak ada yang angkat. Bunyi sambungan telepon semakin membuatku gelisah. Linenya nggak sibuk. Akhirnya..
"Halo..", suara pria di sebelah sana menganggetkanku.
Antara percaya dan tidak. Aku jadi bingung.
"Halo..", terdengar lagi
"Selamat malam. Nngg.., Ini dengan Dio?", akhirnya keluar juga pertanyaan itu sambil berusaha terdengar kalem..
"Iya, dengan siapa ini?",
"Mm.., Cleo", sambil menggigit-gigit bibir bawahku.
"Cleo? Yang bener. Kok nomornya, nomor Jakarta. Kamu ada di Jakarta?", terdengar kekagetan di suaranya.
"Iya, Pa kabar?", aku mulai bisa menguasai diri
"Baik. Pa kabar juga? Kok nggak cerita-cerita sih kalo akan ke Jakarta?".
"Hehe.., mau bikin surprise", jawabku asal-asalan.
"Ohh.., gitu ya. Trus sampai kapan? Ketemu dong..",
"Sampai hari ini. Besok pulang"
"Lho kok cepet. Ketemu dong, Cleo.."
Aku masih bimbang. Iya, ga, iya, ga..
"Halo.., masih di situ? Ayo dong, pleasee..", suaranya benar-benar memelas, bikin aku tersenyum.
"Ok then. Temui aku besok malam di cafe di bawah ya", ujarku sambil menyebutkan nama hotel tempatku menginap dan cafe yg kumaksud.
"Ok, sampai ketemu besok", kudengar nada puas dan senang di seberang sana.
Esoknya, di pagi hari aku habiskan waktu di depan laptop. Karena memperpanjang Masa tinggal, segala sesuatu kuusahakan dapat diselesaikan lewat layar kecil itu. Untung saja tidak ada hambatan meminta cuti 1 hari dari atasan. Apalagi karena besok sudah weekend. Sore hari kusempatkan berenang. Segar rasanya, setelah beberapa hari berkutik dengan segala kesibukan. Entah sudah berapa lama aku berenang. Aku sangat menikmati, sepertinya segala kejenuhan terobati. Kalau tidak ingat ada janji, mungkin aku akan berenang sampai malam.
Pukul 7 malam, aku sudah berpakaian lengkap. Dengan rok sportif putih sedikit di atas lutut dan atasan simpel berwarna putih juga, plus sandal sepatu berhak rendah, aku siap turun. Dering telepon, menahan langkahku.
"Hello..",
"Cleo.., aku sudah di bawah.", suara Dio terdengar di seberang sana.
"Aku sudah duduk di meja. Aku tunggu, ya", sambungnya lagi.
"Ok..", aku menutup pembicaraan dan bergegas keluar.
Sesampainya di lantai dasar, baru teringat aku lupa menanyakan pakai baju apa dia malam ini. Tapi sudah kepalang tanggung, sementara aku sudah berjalan ke dalam cafe. Di sebuah sudut, kulihat seorang pria berdiri dan melambaikan tangannya ke arahku. Kayaknya Dio, seraya mengingat-ingat kembali bagaimana wajahnya di foto. Aku balas dengan lambaian kecil dan menuju ke arahnya.
"Hai.., Cleo..", aku mengulurkan tangan .
"Dio.., " ujarnya sambil menjabat uluran tanganku. Sikapnya sangat gentle, ditariknya kursi untukku sedikit keluar supaya aku bisa duduk dengan mudah.
"Terima kasih..", ujarku sambil memperhatikannya. Di umur ke 38 tahun, Dio terlihat matang. Dengan kumis tipis menghias di atas bibir, bikin aku membayangkan bagaimana rasanya dicium pria berkumis. Entah pikiran darimana, aku tersenyum sendiri.
Sekilas, dengan penampilan yang ada, Dio pantas dikatakan sebagai seniman. Rambutnya tergerai panjang sebahu. Mungkin masih bisa dibilang seniman, karena pekerjaannya yang berkaitan dengan kreatifitas.
Karena sudah sering berkirim email, kami bisa lancar berbicang-bincang. Aku pun tidak merasa seperti bertemu dengan orang asing. Dan sama seperti isi email-emailnya yang seru, Dio suka ngobrol. Mengalir begitu saja. Tak kusangka jika pertemuan kami ini tidak sekaku yang kubayangkan.
Hingga saat kami menikmati makanan penutup, Dio mulai mengarahkan perbincangan ke cerita kami di Rumah Seks.
"Jadi.., cerita-cerita kamu itu terjadi beneran atau sekedar fantasi kamu aja?", sebenarnya sudah pernah Dio tanyakan di email, hanya aku tidak pernah memberikan jawaban.
"Mm.., ada deh..",
"Kok ada deh.., rahasia segala sama aku",
"Mm.., memangnya kenapa?",
Agak canggung, hati-hati, Dio bertanya, "Beneran udah ngerasain dildo?"
"Hahahahaha..", terlepas begitu saja tawaku.
"Uppss.., sorry, ga maksud ketawain pertanyaan kamu, loh", sambungku
"Jadi?", tanyanya lagi berusaha mendapatkan jawaban
"Mm..", aku sengaja membuatnya semakin ingin tahu
"Tuh kan, sengaja ya, ngulur-ngulur?"
"Iya..", sahutku sambil menahan tawa
"Jadi?", ulangnya lagi.
Aku mengangguk sambil menikmati es krim yang ada di depanku tanpa memberikan jawaban.
"Kok ngangguk aja?", semakin geli aku melihat mimiknya yang ingin tahu
"Udah", jawabku akhirnya.
"Wow.., rasanya sama ga dengan yang asli?"
"Hampir.., Enakan yang asli dong",
"Enaknya?",
"Enaknya.., kalo yang asli bisa terasa banget pas membesar, siap-siap meluapkan isi", jawabku sambil melirik ingin tahu reaksinya.
"Juga.., bisa bikin kelojotan si empunya karena dihisap sama punyaku", aku menambahkan.
Aku berusaha bersikap wajar, walaupun pembicaraan kami sudah mengarah ke erotis. Benar saja, duduknya mulai gelisah. Badannya didekatkan. Tangannya mengelus halus lenganku.
"Punyaku juga bakalan seneng banget kalo dihisap-hisap", ujarnya hampir terdengar seperti bisikan.
"Juga.." aku sengaja mengabaikan ucapannya, mengangkat sendok yang berisi penuh dengan es krim ke arah mulut.
"Juga.., enaknya.., aku bisa merasakan cairan kenikmatan si empunya", ujarku sambil menjilat es krim dari sendok. Kujilat perlahan-lahan menikmati.
"Kalo dildo, mana punya cairan yang sangat kunikmati itu", sambungku lagi.
Dari ujung mataku, kutahu Dio menelan ludah walaupun kemudian cepat-cepat mengambil gelas minumannya.
"Kamu sendiri, udah pernah lihat atau pakai dildo?", tanyaku berusaha membantunya menenangkan diri
"Belum.., eh ngga.., untuk apa?"
"Siapa tahu.., hehe.., " kerlingku nakal
"Wah nggak deh. Aku masih normal kok"
"Ohh.., "
"Mau lihat?", sambungku lagi
"Mau lihat? kamu bawa?", sahutnya terkejut
"Yah, namanya jalan sendirian. Sibuk terus, ga ada waktu, ya self service", jawabku ringan.
"Di kamar?", aku rasa Dio masih tidak percaya akan ajakanku
"Ya, iya lah. Masak di rumah.., mau lihat ga?", tanyaku lagi
"Mau dong..",
"Ke kamar ku yuk.., " ajakku kemudian.
Akhirnya setelah menyelesaikan pembayaran, kami menuju kamarku. Aku tak tahu apa yang sedang Dio pikirkan. Dalam benakku, aku sudah bosan bermain sendiri. Aku butuh yang asli. Seperti kataku tadi, kenikmatannya tidak sempurna. Walaupun bisa mengatasi hasratku tapi tetap saja tidak sempurna. Sudah tak sabar rasanya, hanya saja aku bersikap seakan-akan semuanya normal-normal saja.
Di lift, kami tidak hanya berdua. Tanpa sengaja, Dio sudah berdiri begitu dekat ke badanku. Tangannya kemudian memeluk pinggangku. Tentu saja aku suka. Kugeser badanku lebih dekat lagi, hingga kurasakan pelukan di pinggang semakin erat. Nafasnya pun terdengar halus di telingaku. Ingin aku membalikkan wajah dan melumat bibirnya, hanya saja kami tidak sendirian di lift. Perjalanan ke lantai atas terasa sangat lama. Ketika akhirnya kami sampai di depan pintu kamar, Dio sudah tak tahan mencium-cium tengkuk dan memeluk dari belakang sementara aku berusaha membuka pintu.
Sampai di dalam, Dio sudah tidak ragu-ragu lagi. Dikecupnya bibirku dengan penuh perasaan. Ohh.., enak juga dicium pria berkumis. Bikin aku melayang, serasa kecupan pertama bertahun-tahun lalu. Badanku memanas, membuat aku terbuai. Kesadaranku hadir beberapa saat.
"Katanya mau lihat dildo", ujarku sambil mengajaknya duduk di sofa.
Kecupan-kecupannya masih terus mengalir.
"Nanti aja. Yang ini lebih asyik", diambilnya lagi wajahku dengan kedua tangannya dan bibirnya kembali mengecup halus.
"Nakal ya..", ujarku sedikit menarik diri.
"Aku buka ya kemejanya", kataku memberanikan diri
Mungkin Dio terkejut, tapi dituruti juga apa mauku. Dilepasnya genggaman di mukaku. Hingga aku bisa membuka kemejanya leluasa. Kemudian aku berdiri. Bisa kulihat tatapan penuh tanyanya. Kubiarkan dia duduk dengan bertelanjang dada.
"Tunggu sebentar ya..", ujarku sambil memberikan sun jauh dan menuju ke kamar mandi.
Kubuka bajuku secepat kilat, juga BH ku. Kubiarkan hanya CD mini yang tersisa. Kemudian kukenakan kemeja Dio yang agak kebesaran.
Dio masih duduk di sofa menantiku dengan sabar. Kudekati. Aku menjauhkan meja di depannya dan menarik kursi kerja. Kuatur sedemikian rupa hingga bisa duduk di depannya, tak jauh tapi juga tak begitu dekat. Dio masih duduk memandangku dengan tanda tanya yang lebih besar.
"Mau lihat aku dance di depanmu?", tanyaku
"Great.., mau dong", ujarnya antusias
"Duduk aja di situ ya. Boleh nonton, nggak boleh megang", kerlingku nakal
"Yaa.., kok nggak boleh",
"Iyah, mau lihat ga?"
Sedikit kecewa, tapi Dio mengangguk juga. Aku menuju laptop, kupilih CD Cafe del Mar.., mm.., bagus juga. Kupasang dan kusetel dengan volume yg cukup.
Suara musik mulai terdengar, aku melangkah ke arah kursi dan duduk di muka Dio. Hentakan-hentakan musik mulai membahana. Kugoyang badanku mengikuti irama, sambil menatapnya tajam. Aku mulai menggerakkan tanganku. Berawal dari mulut, kubasahi bibirku dengan jilatan lidah. Kumasukan jari-jari tanganku. Kuisap, kunikmati, sambil melirik nakal ke arah Dio. Kukeluarkan sedikit desahan. Kuturunkan tanganku ke bawah perlahan, dengan berat menyusuri tubuh. Bergerak lambat dan berat di bongkahan dada. Kuremas-remas dengan nafsu yang mulai hadir membara. Tanganku pun mulai turun, melewati perut, ke arah bawah. Kupandang Dio dengan mata penuh nafsu dan mulut mendesah-desah. Kakiku kubuka lebar, kujinjitkan seirama dengan hentakan musik. Hingga ujung kemeja semakin tertarik ke pangkal pahaku. Kuangkat kaki kananku, kuarahkan di antara sela-sela celana panjangnya. Kurasakan bongkahan.
Dengan ujung-ujung jari, kuusap-usap perlahan. Dio ingin menahan kakiku, tapi kutarik halus sambil jari telunjuk tanganku bergerak-gerak melarangnya. Kemudian kubuka kancing kemeja perlahan. Satu demi satu. Sangat perlahan. Kubiarkan tanpa melepas, dadaku mengintip dari balik kemeja. Dio pun bisa melihat mini CD ku dengan lebih jelas. Kusandarkan tubuhku ke kursi. Kakiku semakin terbuka lebar, pantatku kuletakkan di ujung kursi. Kukibaskan ujung kemeja, hingga CD ku lebih terlihat. Kuusap-usap CD ku perlahan, seirama musik yang masih berdentang. Kepalaku kusandarkan lemas ke kursi, menikmati usapan. Sengaja kukeluarkan desah lebih keras. Dadaku kutonjolkan. Meskipun putingnya masih tertutup kemeja, cukup membuat Dio menelan ludahnya. Cd ku mulai terasa basah. Terhanyut dengan gerakan tanganku dan suasana.
Tatapanku semakin sayu, gairah semakin menjalar ke seluruh tubuh. Aku merasa seksi dengan gerakan ku sendiri. Ditambah tatapan mata Dio yang semakin membara. Perlahan aku berdiri. Kubalikkan tubuh, kuturunkan kemeja. Hingga di ujung tangan, kubiarkan meluncur begitu saja. Lepas. Kutundukkan badan, tangan kiriku memegang ujung kursi, kuarahkan pantatku ke muka Dio. Tangan kananku mengusap-usap lubangku perlahan di balik CD. Basah. Dio malah menggigit nakal.
"Oughh..", teriakku kaget.
"Eh.., kan ga boleh nyentuh", ujarku protes.
"Tega banget sih, Cleo", ujarnya cemberut.
Aku tersenyum nakal. Kugeserkan kursiku menjauh, biar aku bisa leluasa. Kuhempaskan pantatku ke pangkuannya. Dio membuka kakinya lebih lebar. Ia masih mengenakan celana panjang, walaupun resletingnya sudah terbuka. Entah kapan dibukanya. Kugesek-gesek pantatku. Kuputar-putar. Bisa kurasakan ada benjolan yang membesar. Aku semakin bergairah merasakan barangnya. Semakin terhanyut membuat gerakan-gerakan bergairah.
Bersambung . . .