Takut hamil - 1

Kejadian ini terjadi beberapa tahun lalu ketika aku masih kuliah di suatu perguruan tinggi di kota BS. Saat itu, aku punya satu teman yang cukup dekat, Dian namanya. Dia gadis Solo tulen, yang kalem, sangat lemah lembut, baik dalam berbicara, berjalan, dan sebagainya. Pokoknya, cewek Solo seperti yang sering dideskripsikan orang ada padanya.

Rambutnya panjang hingga menyentuh pinggangnya, kulitnya putih persih, tinggi sekitar 165 cm, dan berat badan yang tergolong kurus, mungkin hanya 40 kg atau malah kurang. Hanya satu yang kurang dari dirinya, yaitu payudaranya tidak menonjol seperti gadis lain di usianya. Karena ada salah satu teman dari kami yang memiliki payudara sangat menonjol, mungkin ada pada ukuran 36 atau malah 38. Gadis itu bernama Mia. Tapi cerita ini tidak berkisah tentang Mia.

Sebenarnya tidak ada hubungan yang cukup relevan antara diriku dan Dian. Hanya dalam beberapa kali, secara tidak sengaja aku bersama dia dalam satu kereta menuju kota Solo. Akhirnya hal tersebut membuat kami menjadi lebih akrab. Kemudian kami juga punya satu kelompok informal, yang sering bertemu sekedar berhura-hura atau 'cangkruk' istilahnya. Kami saat itu masih semester 5, belum KKN, dan masih banyak terlibat kuliah-kuliah teori dan banyak berkutat pada tugas-tugas membuat makalah.

Aku mendengar bahwa Dian baru saja putus dengan pacarnya, yaitu salah seorang dari kelompok kami juga. Cerita pastinya tidak kuketahui. Iseng, suatu sore aku datang ke kostnya yang kebetulan tidak jauh dari rumah kontrakanku. Dian menerimaku di teras rumah dengan menggunakan celana pendek santai dan kaos oblong. No problem, karena aku temannya, dan sudah beberapa kali ke situ.

Aku bertanya kenapa Dian putus, dan apakah pacarnya tersebut yang menjadi penyebab perpisahan tersebut. Ternyata, hanya karena pertimbangan dari kakaknya, Dian rela berpisah karena alasan masih kuliah dan belum berpikir tentang hubungan yang serius dengan lawan jenis. Lucu. Saat duduk berdampingan itu, aku melirik ke kakinya yang jenjang, dan banyak ditumbuhi bulu-bulu halus.

"Wah, kecamatannya aja kayak gini ya..," kataku sambil mengusap dengkulnya, "Apalagi kalo ibukotanya..?"
Dian hanya meringis tertawa, dan tidak menjawab. Sore itu tidak ada hal yang menarik yang dapat diceritakan.

Keesokannya, setelah selesai kuliah, kira-kira jam 2 siang, hari sangat mendung. Aku bergegas pulang, karena memang tidak ada rencana pergi atau ngelayap, serta masih banyak tugas yang harus kuselesaikan. Makanya aku pulang saja ke rumah kontrakanku. Sesampainya di sana, aku melihat ada motor bebek hitam diparkir di halaman, sedangkankan pintu garasinya terbuka.
Ada tamu, pikirku.
Ternyata tamu tersebut Dian, yang sebenarnya tadi ketemu di ruang kuliah.

"Tumben ke sini, ada apa Di..?" tanyaku.
"Enggak ada apa-apa. Nggak boleh aku main ke sini?" balasnya.
"Emang mau main apa..?" aku berusaha bercanda sambil mendorong motornya masuk garasi.
Aku kemudian mengajaknya masuk rumah.
"Sepi amat tempatmu Ko..?" tanya Dian seraya memperhatikan isi ruang tamuku yang memang sangat lengang.

Selain hanya berdua bersama seorang teman yang sedang mengambil kuliah Doktoralnya, ruang tamu itu berisi seperangkat kursi tamu dan beberapa lukisan. Selebihnya kosong.

Kemudian kami bercerita panjang lebar, mulai tentang materi kuliah, sampai mungkin siapa ketua RT di Timtim pun kami bahas. Sekitar setengah jam kemudian, hujan turun dengan deras, hingga rumah tetangga depan pun sulit terlihat.

"Wah, aku susah pulangnya nih..!" kata Dian sambil berdiri di depan kaca.
"Ya udah, ditunggu saja, nanti kalo airnya habis hujannya berhenti juga." jawabku.
Lalu aku memasak air untuk membuat teh hangat. Setelah itu, obrolan berlanjut lagi. Nah, pada saat aku menyiapkan teh di meja makan, Dian menyusul. Tidak ada yang menarik untuk aku berpikir jorok terhadapnya.

Pada saat berdampingan itu, aku bertanya kepada Dian, "Di, kamu waktu pacaran sama Ari udah pernah dicium, belum..?"
"Boro-boro disun, dibelai aja belum, ehh bubar." katanya sambil terus mengaduk teh.
"Kamu mau tahu rasanya dicium..?" pancingku.
Dian hanya memandangku, tapi dengan sorot yang lain. Antara takut, malu, atau entah.. mungkin ingin juga.

Aku lalu memegang kedua tanganya, lalu secepat kilat mendaratkan ciuman di pipinya. Dian diam saja. Kesempatan itu tidak kusia-siakan, lalu mulutku kuarahkan ke bibirnya. Dian tetap diam saja. Tidak menolak, tapi tanpa reaksi. Perlahan bibirnya kulumat, dan respon yang terjadi adalah Dian membuka mulutnya, sementara tangannya mencengkeram tanganku.

"Di, tolong mulutnya dibuka..!" bisikku di telinganya sambil kemudian kembali mengecup bibirnya.
Dian kemudian mulai membalas memagut bibirku.
"Nah, begitu.., dibalas aja..!" kataku.
"Rasakan aja, nggak sakit kok..," lanjutku sambil tangan kananku mengusap pinggangnya.

Pagutannya semakin cepat dan terdengar dengus napas yang semakin keras dari mulut Dian. Saatnya mungkin hampir tiba, dan tidak kusia-siakan, bibirku kemudian turun ke lehernya yang jenjang dan putih. Kecupan-kecupan hangat kudaratkan di sekujur lehernya, sementara tanganku tidak hentinya mengelus pinggangnya. Sementara tangan kiriku tengah berusaha menyusup ke belahan kemeja yang dikenakan Dian, dan supaya tidak ada protes dari Dian, bibirnya segera kukulum, lidahnya serta langit-langit mulutnya kujelajahi dengan lidah.

Rupanya Dian mulai terbakar birahi, hingga dia tidak sadar ketika salah satu tanganku telah berada di antara gundukan daging di dadanya. Beberapa kancing baju yang terlepas pun tidak disadari Dian, yang sekarang sibuk membalas lumatan bibirku dan mengeluarkan erangan-erangan kecil.

Aku kemudian menunduk, dan bibirku mencari di antara dadanya yang tipis itu. Hingga akhirnya kutemukan puting payudaranya yang keras, namun terasa lembut. Dian terpekik sejenak, manakala dia tahu, bibirku telah menjepit salah satu puting payudaranya. Namun birahi telah membakarnya, hingga Dian lupa apa saja yang telah terjadi padanya.

Tanganku bekerja cepat. Hasilnya, setengah baju Dian terbuka. Nampak payudaranya sangat putih, namun tidak besar. Aku bahkan dapat memasukkan seluruh payudaranyanya dalam mulutku. Dian hanya bersandar ke dinding. Wajahnya kemerahan, seakan menahan sesuatu. Pada saat aku menyedot dan menghisap payudaranya, Dian hanya mampu menggigit-gigit bibirnya.

Tangan kananku bekerja kembali, kali ini meremas pantat Dian yang kenyal dan cukup proporsional. Aku yakin, jika dalam keadaan normal, Dian akan marah besar jika pantatnya kuremas. Tapi pada saat ini, dia seakan pasrah pada apa yang akan kuperbuat. Aku dalam posisi sedang menetek sambil berdiri, sementara Dian hanya menyandarkan punggungnya ke tembok. Tangan kananku sambil meremas pantat, mencari restlueting, yang akhirnya kutemukan.

Tangan kiriku berada tepat di selangkang Dian, dan tidak tinggal diam, bekerja mengusap bagian bawah Dian. Untung besar pikirku. Besok-besok belum tentu ada kesempatan seperti ini. Kedua tanganku bekerja optimal. Hingga tanpa disadari lagi oleh Dian, kulot hitam yang dikenakannya telah jatuh ke lantai. Secepat kilat, aku jongkok lalu menciumi kemaluan Dian yang saat itu masih dibalut celana katun coklat muda. Dian sudah tidak mampu lagi berkata-kata.Kurasakan gundukan daging di selangkangan Dian lembab dan mengeluarkan aroma, antara bau keringat dan bau lain, mungkin khas bau kemaluan wanita. Tampak bulu-bulu halus dan panjang ada di jepitan celana dalam. Tidak tertutupi secara sempurna, hingga tampak menyembul di selangkangannya. Benar pikirku selama ini, rambut kemaluannya sangat lebat. Hanya saja cukup halus dan, terutama, wangi. Ah, rajin juga Dian merawat selangkangnya.

Perlahan pinggir celana tersebut kutarik, lalu lidahku mulai mencari-cari. Asin dan lembab terasa di lidahku. Tanpa memperdulikan rasa seperti itu, lidahku terus mencari. Napas Dian semakin memburu, dan setiap kali lidahku menari di antara belantara rambut kemaluannya, Dian menggerakkan pinggulnya searah dengan gerakan lidahku.

"Di, mau yang lebih dari ini..?" tanyanku di sela-sela kesibukan menjilati kemaluan Dian.
"Mau diapain Ko..?" tanya Dian pasrah.
"Aku takut.." sambungnya.
"Enggak pa-pa kok, enggak bakal sakit." kataku.
"Aku jamin lah, nggak bakal sakit. Aku tidak bakal memperkosamu." sambungku lagi.

Lalu Dian kubimbing ke kursi makan, dan segera aku melucuti celana dalamnya yang basah kuyup oleh cairan asin. Kakinya kubuka selebar mungkin. Nampak di sana, sejumput rambut hitam sangat lebat, menutupi gundukan belahan daging. Merah muda dan mengkilap karena basah oleh cairan. Bibir vagina Dian kecil dan tersembunyi, sementara klitorisnya coklat tampak mengeras. Cairan terus saja mengalir dari lubang di bagian bawah.

Dian menutup matanya kembali saat aku jongkok di hadapannya. Saking lebatnya rambut kemaluan Dian, terpaksa kusibak dengan jari lalu lidahku mulai menari, mengusap dan menjilati seluruh bagian vagina Dian. Tangannya diletakkan di bahuku, kadangkala rambutku ditariknya saat klitorisnya kuhisap. Asin tapi sungguh sangat merangsang kelakianku.

Aku sebenarnya tersiksa, karena kemaluanku sakit terhimpit di dalam celana jeans-ku. Tapi apa boleh buat, saat itu aku tidak boleh menyakiti Dian. Sudah janji.

Sambil menjilati serta mengulum kemaluan Dian, tangan kananku meremas-remas payudaranya. Bergantian dari kiri dan kanan. Putingnya keras mengacung. Tiba-tiba tubuhnya mengejang, kedua kakinya mengatup, menjepit kepalaku serta tangannya menarik rambutku. Sakit.

"Ohh, Ko.. kenapa ini.. aduhh..!" katanya dengan suara lumayan keras.
Untung hujan lebat, jadi aku tidak perlu khawatir orang lain mendengar teriakan Dian orgasme. Hal ini berlangsung cukup lama, 5 menit mungkin. Dian orgasme, mungkin yang pertama kalinya dalam hidupnya. Aku biarkan saja, hingga tubuhnya kembali seperti semula. Tetapi lidahku tidak berhenti mengusapi dan menjilati kemaluannya yang saat ini benar-benar sangat basah.

"Di, baru kali ini ngerasain seperti ini..?" tanyaku.
"He eh.." sahutnya.
"Itu namanya orgasme.., beruntung lho kamu ngerasain seperti tadi." sambungku.
"O.. orgasme itu kayak itu..?" sahutnya lagi dengan wajah kemarahan seperti kepiting rebus.
"Gimana, enak nggak..?" tanyaku.
"Ngg.. not bad..!" jawabnya menggodaku.
Padahal aku sangat sangat yakin, dibandingkan hidangan yang pernah disantapnya, orgasme yang barusan dialaminya jauh lebih nikmat.

"Ohh.., aaghh.. aduh.. aduh.. jangan Ko..!" erang Dian saat lidahku bekerja secara cepat melumat lagi klitorisnya.
"Udah Ko. Aku udah nggak kuat..!" katanya kemudian.
Aku lalu berdiri, tapi kemaluanku sangat sakit tergencet dalam celana.
"Di, biar fifty-fifty, kamu harus lihat punyaku." kataku sambil mengeluarkan meriamku yang segera megacung tegak di hadapan Dian.

Dian agak kaget melihat batang kemaluanku telah mengacung sedemikian rupa di hadapannya. Aku yakin, itu pertama kalinya Dian melihat batang kemaluan pria dewasa secara langsung.
"Ayo dong dipegang.." kataku sambil mengangsurkan batang tersebut ke arahnya.
Dian menerima batang itu dengan kedua tangannya. Terasa nikmat saat batangku berada dalam genggaman Dian. Tangannya halus, terutama saat mengelus ujung penisku.

"Apa semua laki anunya bisa segede ini..?" tanya Dian.
"Wah, kamu belum tahu aja, kalo Negro bisa 30 centi, hitam, dan gede." kataku sambil menikmati usapan dan belaian tangannya.
Dian kemudian tersadar bahwa bagian bawah tubuhnya tanpa penutup. Ia mengatupkan kedua kakinya rapat-rapat. Lalu mencari celana dalamnya yang dari tadi teronggok di lantai.

"Please.., jangan dipakai dulu dong CD-nya..!" pintaku.
"Punyaku kan belum diapa-apain.." kataku lagi.
"Emang ini diapain, Ko..?" tanya Dian.
"Terserah lah, asal tidak dipotong..!" kataku lagi.
Dian kemudian kuajari mengocok batang tersebut perlahan-lahan. Nikmat sekali.

"Kalo mau, ini masukin aja di mulutmu..!"
"Ah.., enggak ah..!"
"Ya nggak pa-pa sih, tapi khan biar adil. Punyamu tadi kan juga pake mulut." kataku.
Akhirnya meski agak jijik, Dian memasukkan batang kemaluanku ke dalam mulutnya. Perlahan kutekan keluar masuk berkali-kali. Dian tidak sadar, dan akibat kocokan serta himpitan di bibirnya, aku merasa ada sesuatu yang mendesak dari dalam tubuhku.

"Di, aku mau orgasme, tolong dikocok aja.." kataku.
Lalu keluarlah muntahan cairan hangat dari ujung batang kemaluanku. Sperma itu tumpah di dada Dian yang tidak tertutup sempurna, ada yang mendarat di pipi, juga di paha.
"Ogghh.., Dian.. ohh..!"
Dian tidak berhenti mengocok, meski cairan mani sudah selesai tumpah.

"Di, udah.. sakit..!"
"Itu namanya sperma, kalo masuk ke punyamu dan pas waktunya, bisa jadi junior." kataku.
Dian mendengarkan hal itu tetapi lebih sibuk mencari kulotnya dan segera menghambur ke kamar mandi. Aku juga mencari kain lap, untuk membersihkan sisa-sisa air maniku yang tumpah di kursi serta lantai.

Bersambung ...