Seks Umum
Wednesday, 18 May 2011
Mistis cinta di pulau terpencil - 2
"Pak, Aku pulang habis magrib jadi bapak kesini aja nanti ya"
Aku memberi tahu Pak Sitor ketika jam empat tadi dia sudah standby di depan kantorku.
"Oh, Iyalah, kalau begitu bisalah awak narik satu dua tarikan lagi ya"
Aku hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum dan Pak Sitor segera berlalu dengan cepat. Pak Sitor datang tepat waktu, pas habis magrib dia sudah membunyikan klakson motornya didepan kantorku yang gelap karena tidakpernah ada lampu penerangan.
"Iya Pak. Sebentar aku rapikan kertas dulu"
Aku menyahuti panggilan klakson Pak Sitor yang sudah ber tit tit tit berkali kali, didalam hati aku ngedumel. Nggak sabar amat sih jadi orang!
"Bah, Lama kali kau. Aku kawatir nanti kehujanan, kau lihat lah langit itu. Sudah mau runtuh dia"
"Oh.. Maaf Pak saya kira gelap karena udah malam aja"
"Habis kau dari pagi sampai malam begini cuma melotot melihat kertas yah.. Mana kau tahu mau hujan apa tidak!"
Aku segera melompat menaiki sadel motornya, kulihat langit memang sudah hitam pekat dan angin bertiup dengan kencang seperti mau mematahkan barisan pohon nyiur yang berderet dipinggir pantai.
"Kau pegang yang kuat ya. Aku mau kencang dikit biar tak kehujanan kita"
Belum sempat habis omongannya, motor sudah berjalan dengan kencang, mau tak mau aku harus memeluk tubuh Pak Sitor dari belakang. Nafasku mulai terasa sesak begitu merasakan sentuhan punggung Pak Sitor pada payudaraku. Sentuhan itu mengirimkan ransangan melalui puting susu dan menjalar kesekujur tubuh serta membuat bulu bulu halus dikudukku jadi meremang.
Pandanganku nanar, tubuhku terasa lunglai, apalagi aroma rambut Pak Sitor yang asli dan alami telah mempercepat degup jantungku, akhirnya kurebahkan tubuhku sepenuhnya memeluk erat punggung Pak Sitor. Aku tak peduli lagi motor itu mau kencang atau tidak, aku tak peduli hari mau hujan atau tidak. Yang ada dihati dan otakku adalah rasa senang bisa menikmati duduk berdempetan dengan laki laki.
Ingin rasanya tangan ku kuturunkan dari pingang ke selangkangan Pak Sitor tetapi rasa malu masih tersisa jauh dilubuk hatiku, niat itu aku urungkan hanya pipiku yang kutempelkan tepat didibawah ujung rambut Pak Sitor. Melalui kupingku dapat kurasakan getaran hebat sedang terjadi ditubuh Pak Sitor, jantungnya bedebar kencang dan motorpun jadi melambat. Tubuh Pak Sitor yan biasanya membungkuk memegang stang motor, sekarang berdiri tegak dan duduknyapun seperti sengaja digeser lebih kebelakang.
Tanpa kusadari posisi dudukku sekarang sudah semakin mengangkang, apalagi jalanan sepi serta gelap gulita, maklum daerah terpencil dan ditambah lagi dengan keadan hujan yang akan segera turun. Aku pakai celana panjang dengan bahan dasar yang cukup tipis sehingga aku dapat merasakan bagian alat vital ku menempel ketat ke pinggang Pak Sitor. Pelukanku semakin rapat dan denyut jantung serta denyut vaginaku berpacu dipinggang dan punggung Pak Sitor.
"Upik... Kita sudah sampai"
"Oh"
Aku terperanjat dan kaget, karena konsentrasiku pada saat itu hanya sebatas payudara dan vaginaku yang terasa mulai basah. Setelah lebih sembilan bulan ditingal suamiku ke Australia, tuntutan kebutuhan bathin itu semakin hari semakin menggila, tak heran sedikit saja tersentuh alat vitalku segera bereaksi.
Begitulah awal mula dari malam laknat tersebut terjadi antara aku dan Pak Sitor.
"Bah.. Lama kali lampu ini padam, biasanya setengah jam sudah nyala lagi"
"Iya Pak.. Mungkin ada pohon tumbang dan memutus kabel listrik, maklum angin dan hujan kencang begini"
Aku harus berteriak memberikan jawaban, karena suara ku hilang disela sela gemuruh air hujan yang mengguyur atap rumah yang terbuat dari seng.
"Upik sudah jam berapa ini"
"Hampir jam sepuluh Pak." Jawabku
"Aku harus pulang... Hujan begini bisa bisa besok pagi baru berhenti"
Pak Sitor berkata sambil berdiri dan menggulung kaki celananya. Saat itulah tanpa kusadari ada sesuatu yang medorong mulutku untuk bicara, aku sudah berusaha menolak bisikan itu tapi aku tak kuasa. Dia seperti datang dari jauh membisikkan kata dengan penuh gema dan kekuatan gaib.
"Upik... Jangan biarkan dia pulang. Hanya dia satu-satunya manusia yang dapat menemanimu dalam gelap seperti ini"
Aku seperti mencium bau wangi yang aneh yang datang entah dari mana.. Ya.. Itu bau kemenyan putih yang dibakar.
"Hai Upik.. Kenapa kau melotot seperti itu.. Apa yang kaulihat"
Pak Sitor menghampiriku dalam keremangan lampu dinding, aku masih terkesima oleh bisikan dan wanginya bau kemenyan itu.
"E.. E h nggak Pak, Nggak apa, maksud sa.. ya... Tidak aku tidak boleh mengatakan itu. Aku coba melawan bisikan gaib itu.
"Eh macam mana kau ini. Ada apa Upik, kok kau seperti melihat hantu... tak perlu takut Upik, dalam hujan lebat begini jangankan orang, hantu saja sudah segan jalan keluar, jangan kawatir.."
Pak Sitor seperti sengaja memberikan intonasi yang berat ketika mengucapkan kata hantu... apakah dia tahu kalau aku memang sangat takut dengan hantu. Walaupun aku belum pernah melihat hantu itu seperti apa.
"Kalau dia pergi kau akan tinggal sendiri dalam gelap dan sunyinya malam!"
Bisikan itu kembali datang mendera, sementara bau kemenyan semakin semerbak membuat kepalaku mulai pusing. Ketakutan tiba tiba menyelimuti segenap jiwa dan ragaku, aku mulai kehilangan kontrol atas fikiran warasku.
"Pak... Jangan pulang"
Kata kata itu terlempar dan keluar dari mulutku begitu saja, aku tak menghendaki perkataan itu tapi aku juga tak kuasa mencegah bibirku untuk mengucapkannya.
"Diluar gelap Pak dan hujan masih deras nggak usah pulang"
Aku semakin kehilangan orientasi, tubuh dan jiwaku seperti dikusai sesuatu, aku tak berdaya untuk bertindak dan berfikir sesuai keinginanku, oh Tuhan..Kekuatan apa yang telah merasuk kejiwaku.
"Baiklah, aku temanin kau malam ini, tapi tolong panaskan air aku ingin minum kopi"
Seperti robot aku mengikuti permintaan Pak Sitor, aku ingin membantah dan bicara, tapi lidahku kelu dan sama sekali tak bergerak ketika otakku memberikan perintah.
"Wah sedapnya kopi buatan kau ini Upik, sama seperti orangnya manis"
Pak Sitor tiba tiba sudah merangkul bahuku dan kepalaku jatuh dalam pelukannya. Aku hanya diam, kemana kekuatan dan keberanianku selama ini. Dia bukan suamiku, dia hanya tukang ojek, tua dan hitam! Tapi aku tak kuasa menolaknya. Tepat diubun ubun kepalaku, panasnya nafas Pak Sitor menyengat tersembur keluar dari hidungnya yang pesek, seketika tubuh ku terasa kaku, dan panas itu semakin menjalar dari kepala terus kebawah.
Ketika panas itu melewati payudaraku, terasa bagaikan jari jari kekar menggelitik dan menjentik halus kedua putingnya. Payudaraku meregang keras dan memadat, kedua putingnya bagai berlomba mencuat lurus dan kaku, siap menerima remasan dan hisapan. Rasa panas yang diiringi bau kemenyan nan makin menyengat terus menelusuri permukaan tubuhku, aku tidak lagi duduk dipangkuan Pak Sitor tapi sudah terbujur kaku didepannya.
Rasa panas itu sekarang mengelinding dari pusar turun ke arah kemaluanku, bulu bulu halus kemaluanku serentak berdiri bagai dikomando. Perasaan aneh menyelimuti fikiranku, aku bagaikan terbang dan melayang, vaginaku bagai tersengat aliran listrik, berdenyut, mengembang dan menguncup sendiri tanpa bisa kutahan, aku begitu teransang oleh harumnya bau kemenyan dan aliran udara hangat itu.
Aku dapat merasakan denyutan vaginaku semakin kencang dan dari dinding bagian dalamnya aku dapat merasakan aliran cairan hangat menyeruak kepermukaan. Celana dalamku mulai basah dialiri cairan itu, pinggulku tak kuasa kutahan untuk tidak bergerak turun naik.
Tiba tiba secercah cahaya datang menimpa wajahku, aku kaget dan seperti terbangun dari mimpi. Persis dihadapanku bola pijar 40 watt sudah menyala listrik kembali hidup.
"Pak... Aku kenapa"
"Wah tak apa apa Upik... Kau hanya tertidur dan menggigau... Mungkin kau kecapean"
Sepintas aku melihat Pak Sitor memegang sejumput daun daunan ditangan kanannya sedangkan tangan kirinya sibuk mengipas perapian kecil yang entah datang dari mana. Diatas bara kelapa, onggokan kemenyan mengeluarkan asap dan bau yang beraroma kemitisan.
"Upik... Kau sedang capek, sekarang pejamkan matamu... Biar kupijat kau"
Aku ingin berontak. Aku ingin lari, aku ingin berteriak, tetapi kemana tenagaku. Kemana suaraku. Aku hanya bisa terkapar diam dan pasrah. Aku tak kuasa tuk mengangkat kedua tanganku, semua persendianku seperti terkunci dan berat, hanya mataku yang masih terbuka sambil menatap apa yang akan diperbuat Pak Sitor terhadap tubuhku.
Pak Sitor mencelupkan daun daunan ke air kembang di dalam baskom plastik hijau, yang biasa kugunakan buat menarok kain cucian.
"Wah tubuh kau panas sekali Upik. Biar kucipratkan dulu air ini agar kau merasa segar kembali"
Tetes demi tetes air itu jatuh menerpa mukaku, setiap tetesnya kurasakan bagaikan bongkahan air es, dingin dan sangat meyejukkan.
"Sekarang santai saja dan pejamkan mata kau"
Kurasakan kedua jempol Pak Sitor menekan halus kedua alis mataku, gerakannya lembut dan teratur. Mulai dari bagian mata sebelah dalam terus keujung mengikuti garis alisku yang tipis dan tersusun rapi. Tiba tiba kedamaian dan kesejukan seperti dihembuskan kesetiap pori pori kulit dan menjalari seluruh hati dan jiwaku.
Pijatan Pak Sitor mulai turun kearah bahuku, aku sekarang bisa menikmatinya tanpa perlawanan sama sekali. Pijatan itu sedikit demi sedikit terus turun, turun mili demimili dan jari jarinya mulai menelusup kebawah bajuku.
"Upik... Sekarang kau duduk.. Biar kupijat bagian punggungmu"
Tak kuasa aku menolak, Pak Sitor persis duduk behadap hadapan denganku, hembusan safasnya panas menerpa hidungku. Kedua telapak tangannya diletakkan dibahuku, jemarinya meremas lembut batang leherku dan sedikit menyentuh pangkal kupingku.
Oh... Aku merasakan tubuhku melemas dan syahwat mulai terbangun kembali. Tangan itu masih terus menelusup kepunggungku, meraba, membelai sekaligus mengirimkan signal ransangan yang begitu kuatnya. Tangan itu tidak hanya diam disitu, dia terus bergerak dan dengan sentakan halus pengait BH ku terlepas sudah.
"Upik.. Bajumu kubuka ya... Biar lebih leluasa aku memijatnya"
Aku hanya diam dan terpejam, sekarang aku duduk tanpa baju, sementara BH masih mengantung ketahan dikedua lenganku. Pangkal payudara ku sudah tak tertutup dengan sempurna, putih kulitnya memancarkan cahaya kenikmatan dimata Pak Sitor, matanya tak pernah lepas dari situ.
"Oh.. Upik... Ini buah paling ranum yang pernah aku lihat, biarkan aku memegangnya"
Aku tidak mengerti kenapa dia mesti minta izin, karena belum lagi habis ucapannya aku sudah merasakan remasan kasar dikedua payudaraku. Remasan itu keras dan memutar, mula mula dipangkal payudara terus merambat naik menuju putingnya.
Bersambung . . . . .