Seks Umum
Tuesday, 31 May 2011
Niki yang tak terlupakan - 2
"Masukin dong Mas..!" Niki menjerit lirih.
Dengan gemetar aku melepas tongkatku, topi bajaku menyentuh mulut vagina Niki. Kemudian dengan hati-hati ia mendorong pelan-pelan, sampai kepala penisku membenam di liang itu.
Aku mengerang, kepala kemaluanku seakan diremas oleh cincin yang melingkari liang sempit milik Niki.
"Uhh.. enak Yang..!" Niki tebeliak-beliak sambil melenguh ketika kemaluanku menyeruak masuk lebih dalam ke liang nikmatnya.
Dinding vaginanya yang lembut tergetar oleh nikmat yang menggelitik karena gesekan ototku.
Niki kemudian pelan-pelan mengangkat pinggul, menarik keluar batang kemaluanku. Ia mendesis panjang. Menggumam sambil menggigit bibir. Demikian pula ketika mendorong, menelan tongkatku yang kembali membenam di liang vaginanya. Niki merasakan nikmat yang tidak habis-habisnya.
"Auughh.. Yang..! Teruus..!"
"E.. emhh.. kamu goyyaang teruss..!"
Kemudian Niki memiringkan badannya, memberi kode padaku. Ia ingin di bawah. Aku menjawab dengan mengangkat alis, sambil mata berkeliling. Ia mengangguk, artinya aman. Lalu, tanpa mencabut batangku, Niki berbaring pelan-pelan dan aku bangkit bertumpu pada palang dinding bambu. Dari sela-sela krey, di restoran tampak dua orang sedang asyik nonton TV membelakangi saung kami. Niki berbaring miring menghadap dinding pagar. Sebelah kakinya melonjor di lantai, sebelah lainnya mengait di palang bambu. Tanganku pindah memainkan klitoris, sementara batang kemaluanku keluar masuk di liang vagina Niki. Membuat birahi kami semakin menggelegak.
Birahi yang makin memuncak membuat Niki dan aku terhanyut, tidak memperdulikan apa-apa lagi. Niki kini telentang, ia meraih bantal untuk mengganjal pantat, memudahkan kocokan batang penis di liang vaginanya. Pinggul Niki dengan lincah berputar-putar, sementara aku semakin cepat mengayunkan pantat, menyebabkan gesekan penis dan vagina semakin terasa mengasyikkan.
Tiba tiba Niki menegang. Pinggulnya menggelinjang dengan hebat. Matanya terbeliak dan tangannya mencakari pahaku dengan liar. Gerakannya semakin tidak beraturan, sementara kakinya membelit di pantatku.
"Akh.. cepetaan.. Yang..!" Niki mendesah-desah. "Gila.. enaak banget..!"
Ketika suatu desiran kenikmatan menyiram menjalari sekujur tubuhnya, ia menggelepar.
"Akuu.. keluaar.. laagii.. Yang.. kkamu..!"
Cakaran itu sama sekali tidak menghentikan gerakanku yang tengah menikmati remasan-remasan terakhir vagina Niki di kepala dan batang kemaluanku. Aku pun hampir mencapai orgasme.
Lalu, "Uhh.. aku keluaar Nik..!"
Aku mengocok dengan cepat dan menggelepar-gelepar tidak beraturan. Gerakan yang membuat Niki semakin melambung-lambung. Kemudian, kami berdua mengejang dengan saling mendesakkan pinggul masing-masing. Puncak birahi Niki menggelegak saat aku menumpahkan puncak kenikmatanku dalam-dalam membenam di vagina Niki yang meremas-remas dengan ketat, bersama semburan cairan kentalku.
Beberapa saat kemudian, kami saling memandang dengan diam. Diam-diam pula kami gantian ke kamar mandi membersihkan sisa-sisa tisyu, menghabiskan makan dengan cepat (dan ternyata tidak habis).
Sambil makan aku hanya bilang, "Nik, kalau ada apa-apa semua tanggung jawabku."
Niki tidak menjawab hanya tersenyum, menggenggam tanganku erat sambil tersenyum penuh kasih.
Dalam perjalanan kembali ke kantor kami tidak banyak bicara. Hanya saat berpisah ia berbisik, "Terima kasih, aku bahagia. Tapi tolong lupakan..!"
Kedua: Di Kantor
Sejak peristiwa di saung itu aku berusaha untuk bersikap biasa, dia juga. Kami masih kerja bersama, makan siang sama-sama dan bercanda seperti biasa, terutama di depan teman-teman. Tapi kami menghindari percakapan yang lebih personal, apalagi membicarakan peristiwa itu. Kuat juga usahaku untuk melupakan hal itu, tapi yang ada aku makin sering melamunkannya. Membayangkan desahan dan rintihannya, gelinjang-gelinjangnya, terutama remasan liang nikmatnya di penisku. Aku tidak dapat melupakannya!
Semakin hari aku semakin tersiksa oleh bayangan Niki. Setiap kali lengan kami bergesekan, dan ini tidak dapat dihindarkan karena memang selalu bersama, getaran birahi menjalari tubuhku, dan berujung di selangkanganku yang mengeras. Ia sendiri nampaknya biasa saja.
Suatu ketika dengan cuek ia menggayut di lenganku saat menaiki undakan ke kantin, burungku langsung menggeliat. Sesudahnya saat memesan makanan, sambil berdesakan ia menempelkan dadanya di lenganku. Aku langsung berkeringat, berusaha untuk tetap tenang ngobrol dengan yang lain di meja makan. Perlu setengah jam untuk 'menenangkan' burungku.
Sampai suatu hari, ia datang ke tempatku. Ruangku terbagi atas kotak bersekat setinggi dada. Setiap kotak berisi meja dan komputer untuk satu orang, yang kalau duduk tidak kelihatan, tapi kalau berdiri kelihatan sampai dada. Selain itu ada satu kotak yang agak besar berfungsi untuk ruang rapat, letaknya di ujung dan selalu sepi kecuali ada meeting.
Ia menghampiriku saat aku sedang sendiri di ruang rapat.
"Yang, nanti bantuin yaa. Aku mau ngelembur."
Panggilan 'Yang' membuat darahku berdesir.
"Boleh. 'Bor'-nya sapa yang mau dilempengin."
Aku melempar canda biar agak santai. Istilah 'ngelembur' oleh orang kantoran seringkali dipanjangkan sebagai 'nglempengin burung'.
"Nglempenginnya sih kamu buka internet aja. Aku sih bagian nglemesin..!" sahutnya cuek, sambil duduk di meja rapat, tepat di depanku.
Darahku berdesir, langsung kontak ke selangkangan dan mengeras. Aku menengok ke pintu masuk. Dua orang temanku sedang ngobrol asyik sekitar lima kotak dari tempatku, yang lain sedang keluar.
"Lagi sepi..!" katanya, menebak arah pandanganku.
Lalu ia mengalihkan pandangannya ke bawah, arah celanaku.
"Tuuh.. lempeng..!" ia terkikik sambil menyentuh dengan kakinya.
Untuk menetralisir, aku duduk di kursi sambil melonggarkan bagian depan celanaku.
"Sorry, aku nggak bisa ngelupain kamu," kataku sambil mencari posisi yang nyaman.
"Memangnya aku bisa..?" jawabnya.
Ia membuka pahanya sedikit sehingga aku makin blingsatan, memutar-mutar kursi yang kududuki sambil mengerakkannya maju mundur.
"Sini dong maju, aman kok..!"
Aku memajukan kursi hingga pahanya tepat di depanku. Tidak menyia-nyiakan tawaran yang kuimpikan siang malam, tanganku dengan gemetar mulai merayapi pahanya, tapi Niki menahannya.
"Sstt.. tunggu..!" ia mendorongku, lalu turun dari meja.
Niki menempelkan pantatnya di pinggiran meja setelah roknya disingkapkan sebatas pinggul.
"Biar gampang nutup kalo ada orang." katanya.
Niki memang brilian dalam merancang 'pengamanan'.
Tanganku kembali menyusuri paha Niki, dengan berdebar-debar merayap terus ke dalam. Niki mulai mendesah, mengepalkan tangannya. Bibirku menciumi lututnya, dengan lidah kujelajahi sisi-sisi dalam pahanya hingga tanganku mencapai pangkalnya. Jariku menyusuri pinggiran CD-nya, tapi aku menyentuh bulu halus, celah basah, benjolan kecil, aku penasaran, kurenggangkan pahanya. Ternyata CD-nya dibolongi persis di sekitar vagina, terang saja jariku langsung menyentuh sasaran.
"Bolong..," aku berbisik.
"Iya, biar gampang dipegang," jawabnya.
"Kenapa nggak dilepas aja..?"
"Keliatan dong, 'kan nyeplak di luar. Kalo gini 'kan, kayaknya pake tapi bisa kamu pegang." ia menjelaskan, lagi-lagi brilian!
Aku mulai menggosok klitorisnya, sementara liangnya sudah semakin basah. Niki mengangkangkan vaginanya, pahanya diangkat menopang di meja, kakinya sedikit jinjit. Dengan hati-hati lidahku kuselipkan di celah labia mayoranya, menyapu klitorisnya berulang-ulang. Jariku yang sudah basah oleh cairannya kubenamkan pelan-pelan di liangnya, kuputar-putar mencari 'G-Spot'-nya. Saat kutemukan, G-spot-nya kugosok lembut dengan jari tengah, sementara dari luar lidahku memainkan bagian bawah klitoris. Tidak lama Niki langsung mengejang, menggenggam rambutku kencang. (Saat kami pacaran, aku belum tahu G-spot).
"Yang.. udaah..!" ia berbisik, memberikan saputangan untuk membersihkan jari, mulutku, dan liangnya, sekalian buat mengganjal celana bolongnya biar tidak netes-netes.
Tiba-tiba pandangan Niki berubah serius, dilanjutkan dengan omongan yang tidak jelas.
"Soalnya yang aku print kok laen sama yang dipegang bossku."
Aku bingung tapi langsung menimpali, "Yang punyaku bener kok.." kataku sambil berdiri.
Benar saja, cewek-cewek Biro tempatku baru saja masuk ruangan.
"Ya udah, nanti dikopiin lagi aja," lanjutnya sambil berjalan keluar, "Terus yang ini jangan lupa disiapin.." saat melewatiku, tangannya menjulur meremas bagian depan celanaku.
Niki sempat ngobrol dulu dengan teman-temanku. Berbasa basi, lalu kembali ke ruangannya.
Rasanya lama sekali menunggu sore. Jam 5 kantor bubar. Aku naik ke tempat Niki yang satu lantai di atasku. Niki sudah menunggu di ruangannya lalu mengajakku ke ruang komputer yang terletak di sebelah. Ia harus menyusun undangan seminar dari bos Hongkong-nya. Kubuatkan program konversi daftar client dari database ke format txt untuk di-merge dalam undangan, sementara Niki melakukan check ulang data undangan.
Jam 7 malam satpam datang mengontrol seperti biasa. Niki memberitahu bahwa ia masih pakai ruang komputer sampai jam sembilan. Aku sendiri makin asyik dengan programku, tidak menyadari kalau Niki sudah menghilang dari sebelahku. Sadarnya waktu HP-ku berbunyi, ternyata Niki telpon dari ruangannya di sebelah.
"Sini dong Mass..!" ia berbisik, membuat darahku kembali berdesir mengalir ke selangkangan.
Aku meng-execute programku lalu bergegas ke sebelah. Ruang di seberangku masih terang, tapi tempat Niki sudah gelap. Aku ragu-ragu, kucoba membuka ruang Niki, ternyata tidak terkunci, aku masuk langsung menutup pintu.
"Dikunci aja.." terdengar suara Niki berbisik lirih.
Ruang itu terbagi jadi ruang pertama tempat Niki biasa duduk, ruang tengah untuk meeting, terus ruang ujung tempat bossnya. Aku mengunci pintu terus menghampirinya di ruang tengah, tempat bisikan itu berasal. Dalam keremangan kulihat Niki duduk di meja meeting nyaris telanjang, hanya tersisa CD-nya.
"Buka baju Sayang, terus naik sini..!" Niki menyapa dengan lembut, sapaan yang membuat birahiku menggelegak.
Niki duduk memeluk lutut kirinya yang ditekuk menopang dagu. Kaki kanannya terlipat di meja seperti bersila. Di bawah cahaya lampu yang lemah menerobos dari luar, sosok Niki bagaikan bidadari yang sedang menanti cumbuan cahaya bulan. Aku berusaha tenang, membuka baju, sepatu, celana, lalu dengan berdebar melangkah keluar dari onggokan pakaian dan menyusul naik ke atas meja.
Bersambung . . . . .