Anneke, kembang liar dari Madiun - 1

Sesuai dengan perkiraanku, suatu hari, pukul 6.30 pagi, di minggu terakhir bulan Mei, kembali aku mendengar ketukan di pintu yang disusul suara salam yang lembut. Aku yakin itu suar Anneke, si kembang dari Madiun yang selama hampir 3 minggu terakhir membuat hatiku demikian menderita, limbung dan sangat merindukannya. Aku yang saat itu sedang membuat minuman untuk sarapan Mas Adit, bergegas ke depan membuka pintu. Dan Anneke langsung menghambur dan memelukku dengan sangat eratnya.


"Mbak Marini, aku kangen banget", diciumnya pipi dan ujung bibirku dengan penuh kegemasan.


Dia juga peluk Mas Adit yang kakak sepupunya. Kami langsung ajak Anneke untuk makan pagi bersama.


Anneke membawa kembali pula keindahan, kecantikkan dan sensualnya. Rasanya rumahku langsung menjadi cerah. Matahari pagi menerpa bunga-bunga di tamanku. Kupu-kupu dan kumbang beterbangan riang mengawinkan kepala putik dengan bunga sarinya untuk mengambil madunya. Sayap-sayap lembutnya kesana-kemari memotong-motong berkas cahaya matahari yang jatuh ke rerumputan basah embun pagi. Nampak setangkai kecil bunga rerumputan liar terjaga memercikkan tetes bening embun paginya. Anneke langsung menyejukkan hatiku yang duka lara. Kami ngobrol dan bercanda hingga Mas Adit siap untuk berangkat ke kantornya.


Saat aku di kamar untuk sesuatu hal Anneke masuk dan memberikan sebuah bungkusan indah.


"Oleh-oleh khusus buat Mbak".


Tanpa menunggu ucapan terima kasihku, dia langsung berkelebat meninggalkan kamar untuk menemani Mas Adit yang sedang membaca koran pagi di ruang depan. Aku penasaran, kubuka oleh-oleh Anneke itu. Kurang ajar si Anneke ini. Kutemui dalam bungkusan indah itu celana dalam dan BH kumal dengan bau kecut dan pesing yang menyengat dengan secarik kertas bertulisan.


"Mbak Marini yang jelita, Ini celana dalam dan BH baru, lho. Aku telah memakainya selama 1 minggu tanpa pernah aku lepas hingga pagi tadi sesaat aku turun dari KA dan langsung ke toilet di Stasiun Gambir. Menurut mbah dukun, ini sangat manjur untuk mengobati tangan Mbak yang sakit karena cubitanku tempo hari. Semoga bisa menyembuhkan secara kilat. Anneke, yang terus menerus merana dalam kerinduan pada Mbak Marini", Wow..


Cepat kudekapkan gombal-gombal itu ke dadaku, kutengok ke pintu nggak ada orang, kemudian kubekapkan celana dalam pesing dan BH kecut itu ke hidungku dan kuhirup dalam-dalam baunya. Oohh, Anneke-ku.


Tepat padap pukul 7.30 Mas Adit meninggalkan rumah menuju kantornya. Sesudah mobilnya menghilang di belokan gang, Anneke menarik tanganku untuk segera masuk rumah. Begitu menutup pintu depan kami langsung berpagutan dalam gairah birahi dan kerinduan yang menyala-nyala.


Anneke mendorong aku hingga sama-sama rebah ke sofa ruang tamu. Tangan-tangan kami langsung menggerilya bagian-bagian sensual tubuh kami. Kerinduan selama 3 minggu ingin kami tebus dan tumpahkan saat itu pula. Tetapi aku ingat Anneke pasti lelah sesudah perjalanan semalaman. Aku ajak dia untuk menyimpan sebagian besar kerinduan ini untuk kita tumpahkan nanti sesudah bugar kembali. Kuraih tangannya menuju ke dapur. Banyak yang menyenangkan di sana untuk kita kerjakan berdua.


Di dapur Anneke bertanya, apakah sakit akibat cubitan di tanganku sudah sembuh.


"Aku langsung buka hadiah cintamu, aku tengok kanan-kiri nggak ada orang, aku bekapkan ke hidungku dan kuhirup dalam-dalam aroma parfum Madiunmu, uh, seketika lenyap seluruh penyakitku".


Anneke tertawa tergelak-gelak. Sampai saatnya makan siang kami di dapur dan membenahi rumah sambil terus melempar bermacam humor dan tawa. Sesekali bibirnya mendarat di bibirku dan bibirku mendarat di bibirnya. Sambil membersihkan isi lemari esku Anneke membanggakan masakan Koreanya, sisa daging has-ku dia buat "bulgogi", fillet kakapku dirubah jadi "modum unthang" atau sayur kakap merah untuk penyegarnya dia buat "kimchee", acar sawi putih. Dia memang senang masak. Siang itu kami kembali pesta kecil. Kuhabiskan berbagai juice buah yang tersisa. Anneke segar kembali, tak nampak sisa-sisa perjalanannya.


Usai makan siang sambil memberikan kesempatan makanan turun ke lambung kami ngobrol di ruang keluarga. Kami duduk berhimpit saling merangkul pinggul. Kuamati wajah manis Anneke, aku mempertanyakan kenapa sih, wajah manisnya selalu saja membayang di mataku. Kuraba tulang pipinya yang meninggi kemudian lekuk pertemuan antara hidung dengan bibirnya yang sangat sensual, kemudian pinggiran bibirnya yang mencuat seksi banget. Saat ujung jariku sampai di tepian bibirnya itu tiba-tiba mulutnya cepat mencaplok jariku dan menggigitnya, aku berteriak kesakitan sambil mencubit geregetan pada paha Anneke. Ganti dia yang berteriak kesakitan dan lari menghindar. Aku bangkit menyusulnya. Anneke lari menuju kamarnya dan merebahkan tubuhnya ke ranjang. Aku menyusulnya dengan menindihnya serta langsung memagut lehernya. Dia mendongak kegelian. Tangannya menahan tubuhku tetapi kemudian berlanjut untuk memelukku. Kami bergumul. Pagutan di lehernya tak kulepaskan hingga dia mendesah dan merintih penuh kenikmatan birahi.


"Mbak Marini ngangenin banget, sih".


Sambil mengangkat sedikit tubuhku untuk menggeser lumatan bibirku dari lehernya ke bibirnya. Dan arus birahi kami mulai saling mengalir. Kami mulai melumat bibir-bibir kami. Kami saling bertukar lidah dan ludah. Erangan dan desahan menggiring nafsu birahi kami mengalir lembut seirama kecupan-kecupan antar mulut kami. Dan aku merasakan kini saatnya untuk melepas semua dendam dan luka rindu yang telah menumpuk sepanjang 3 minggu sejak kepulangannya ke Madiun. Kulepasi kancing-kancing dan kulucuti blus dan BH-nya, kulepasi kancing dan resluiting jeans-nya kemudian kuperosotkan sekaligus berikut celana dalamnya dan kutarik lepas dari tungkai kakinya. Dia juga melucuti pakaianku hingga kami sama telanjang bulat.


Walaupun aku sudah sering mengamatinya saat mengintip di pintu kamar mandinya tetapi kini saat aku langsung bisa menyentuhnya aku amat terpesona dengan pahanya yang sangat sensual. Guratan besar yang seakan muncul hanya dengan sekali tarik dari kuas pelukis membentuk kontras kontur paha Anneke diatas lembaran sprei ranjangnya yang ungu tua yang kupasang sebelumnya. Keindahannya melaju tanpa putus hingga ke lututnya dan terus melaju ke betisnya. Aku sebut saja pesona tungkai perawan Anneke.


Kemudian aku kembali melumat lehernya dengan sedikt kudorong agar memiringkan tubuhnya. Aku menciumi kuduknya kemudian menggeser ke belakang telinganya.


Aku membisikkan kerinduanku, "Anneke, ijinkan aku melumati setiap pori tubuhmu.., aku sangat merindukan kamu..".


Dia tahu aku demikian menderita merindukan dia. Dan dia tahu saat ini aku ingin bertindak dominan atas dia. Dia hanya mengangguk. Dia menyimpan suaranya untuk lebih memusatkan rasa nikmat jilatan dan kecupan bibirku pada belakang telinganya yang kemudian menyisir kembali ke kuduknya.


Kecupan dan jilatanku turun ke bawah hingga punggungnya dan belikatnya. Aku rasakan gelinjang Anneke yang meggeliat menahan kegelian yang menderanya. Aku ingin benar-benar melumat setiap pori di tubuhnya tanpa ada yang kelewatan. Untuk sementara aku hentikan eksplorasi bagian atas tubuhnya. Aku melata turun dari ranjangnya. Aku merosot ke lantai sambil meraih sebelah tungkai kakinya yang jangkung panjang itu. Aku ingin memberikan kenikmatan tertinggi untuk Anneke..


Bibirku melahap jari-jari kakinya yang sangat lembut itu. Kulumati satu-satu, lidahku menari-nari di celah-celahnya. Anneke langsung menjerit tertahan sambil menarik kuat-kuat kakinya. Namun segala upaya menyingkirkan lumatan bibirku pada jari-jari kakinya takkan kupenuhi. Dekapan kuat tanganku pada tungkainya membuat Anneke harus menyerah walaupun gelinjangnya terus menerus memberontak untuk melepas kegelian yang melanda kakinya itu. Apalagi saat lidah dan bibirku menyisir tumitnya, pinggiran dan permukaan telapak kakinya, tendangan kaki mayoret dan anggota Paskibraka ini nyaris membuatku terpental ke lantai. Dia menggelinjang hebat. Dengan nafasnya yang memburu dia juga bangkit dari tidurnya untuk membebaskan kakinya dari pagutanku. Kepalaku diraihnya untuk dilepaskan dari kakinya tetapi tidak berhasil. Rintihan yang menyayat minta ampun atas nikmat birahi yang melandanya membuat aku sendiri terbawa arus dan tenggelam hanyut oleh gelombang nafsu seksualku.


Kini aku merambat ke betisnya yang sangat aku kagumi indah dan sensualnya. Aku perlakukan betis Anneke bak porselin China. Aku menyentuhkan bibirku dengan lembut kepermukaannya. Saat aku mulai mengecupnya aku perlakukan bak anggur tua dari Chevilla. Saat aku sedikit menggigitnya aku perlakukan bak kulit telor chenderawasih burung dari surga itu. Saat lidahku mulai menjilatinya kuperlakukan bak salju yang turun ke pucuk-pucuk cemara di pegunungan Austria. Pokoknya aku serasa keliling dunia dengan betis Anneke ini. Jangan tanya lagi tentang tingkah dan perlawanan Anneke. Dia benar-benar dihantam badai dahsyat dengan gelombang nikmat birahinya yang tak bertara. Kembali dia bangkit dan merangsek dengan tenaga besarnya untuk menjambak keras-keras rambutku agar kepalaku copot dari pagutan di betisnya ini. Aku tidak menyerah. Rasa sakit dan pedih pada kulit kepalaku tidak mempengaruhi belitan tanganku pada tungkainya. Akan benar-benar kupertahankan dominasiku atasnya agar tak lepas sedikitpun. Aku tahu dia akan menggoreskan torehan luka indah pada kenangan birahinya. Aku tahu kenikmatan yang melanda dia sekarang ini tak pernah dia raih sebelumnya.


Pada gilirannya gigitan, kecupan dan jilatan lidahku merambah ke lututnya. Di sini pori dan kulitnya yang bertumpu pada tulang lutut penuh dengan saraf-saraf peka yang tak boleh begitu saja disentuh sapuan lidah. Dan saat lidahku tak mau tahu, Anneke berguling memutar tubuhnya tanpa mau kompromi lagi. Aku ikut terguling. Kali ini kaki sebelah lainnya benar-benar menendang dan menekan kepalaku. Untung aku bisa mengelak. Dengan sigap kutangkap kaki-kaki mayoret ini. Tubuhku mulai kugunakan untuk menindihnya dan jilatan lidahku kunaikkan ke ujung pahanya. Aku sedikit tambahkan tenaga pada kecupan dan gigitan di ujung pahanya. Aku mau tinggalkan cupang-cupang yang menandai kehadiranku di sana. Dan kali ini Anneke yang sudah putus asa melawanku, tingkahnya melemah.


Ah, Anneke. Kini dia menangis minta agar aku menghentikan perlakuanku padanya. Dia mohon aku sudi melepaskan pagutan-pagutanku. Dia minta agar aku menjauh darinya. Tapi dari tingkah tangannya yang tengah menjambaki dengan penuh gemas rambutku aku pastikan dia sedang memasuki keadaan trans, semacam keadaan setengah sadar yang disebabkan telah hanyut tenggelam jauh dalam ke lubuk nikmat yang paling dalam. Dia bukan ingin aku melepaskan semuanya, tetapi ingin agar aku lebih lebih mengketatkan jeratan dan pagutan-pagutanku. Dia terus menangis dengan tangannya yang terus meremasi dengan gemas rambutku. Situasiku kini lebih tenang.


Bersambung...