Istri untuk membayar hutang 4

Walaupun saat ini dia masih dikuasai rasa muak dan telah kehilangan selera sama sekali untuk berbicara atau melihati tingkah suaminya itu, dia tetap berusaha untuk menghilangkan berbagai rasa kecewa dan dendam kepada siapapun teristimewa kepada Herman. Yang dia inginkan sekarang adalah menunjukkan kepada Herman bahwa dia berbuat apapun yang bisa dia perbuat sesuai keinginan hatinya.


Herman yang tadi malam baru pulang jam 11 malam untuk menunggu keluarnya nomer togel tidak memahami apa yang tengah berkecamuk pada diri istrinya Rini. Yang dia simpulkan hanya bahwa Rini ternyata mau menerima apa yang menjadi keputusan Pakde Karto. Dan itu artinya dia telah sukses dalam menjalankan misinya demi terbebasnya beban hutangnya pada Pakde Karto. Dia sudah tidak lagi dikuasai rasa cemburu atau rasa tertekan yang lain. Memang Herman termasuk lelaki yang paling mudah menyerah. Dengan sikapnya yang sabar dan selalu mau berpikir positip dia dengan cepat beradaptasi dengan kekalahannya. Tentu saja cara begini ini membuat rancu antara orang sabar dengan pikiran positif yang sejati versus orang yang memang tidak memiliki motivasi, daya juang dan stamina untuk bertahan di tengah berbagai kesulitan hidup macam si Herman ini.


Bangunan Villa Rimbun Ciawi milik Pakde Sastro ini relatip kecil dibandingkan halamannya yang hampir seluar 2 hektar itu. Dalam vila ada 2 kamar tidur, 1 utama yang besar lengkap dengan kamar mandi di dalam dan yang lainnya lebih kecil. Ada dapur yang lengkap dan ruang tamu berikut perabotannya yang sangat nyaman. Di belakang rumah ada taman yang asri lengkap dengan kali kecil yang mengalir di dalamnya. Nampak dikejauhan lebih ke belakang hutan pakis dan pinus yang bersuasana sangat alami. Kesejukkan pegunungan di kawasan Ciawi ini membuat villa ini terasa sangat romantis dan tepat bagi mereka pasangan yang sedang berbulan madu. Setelah menyerahkan kunci villa bersama amplop surat Pakde Karto khusus untuk Rini dan bungkusan besar berisi makanan untuk siang itu, Pak sopir minta pamitan untuk balik ke Jakarta.


Sepulang Pak sopir, Rini cepat membuka surat itu. Herman tahu menempatkan diri. Dia berpura tak acuh, berdiri dan jalan ke beranda. Pakde bilang agar Rini menempati kamar utama yang besar, dan Herman memasuki kamar di sebelahnya yang kecil. Pakde akan datang sekitar jam 3 sore, karena masih ada beberapa pertemuan di Jakarta. Tanpa bicara Rini kemudian menyerahkan surat itu kepada Herman agar tahu apa yang dimaui Pakdenya. Dengan membanting pintu dan menguncinya Rini memasuki kamar utama sesuai kemauan Pakde Karto. Dan Herman langsung mengangkat tasnya sendiri ke kamarnya.


Ah.. kamar ini.. betapa mewah dan nyamannya.. Diarah samping nampak jendela besar dengan pintu ke beranda yang memberikan pemandangan indahnya alam pegunungan. Sesudah menaruh kopernya Rini mengamati interior kamarnya. Di samping ranjang mewah yang beralaskan sutra dia dapati vas besar dengan kembang mawar merah yang segar. Haahh.. tentunya sesorang telah menatanya sebelum dia datang. Mungkin Pakde yang, siapa tahu, nginap disini tadi malam dan menyiapkan segalanya, kemudian subuh balik ke Jakarta. Ah.. ada surat kecilnya..


"Rini sayangku.. aku mencintaimu .. Karto."


Lihat di pojok itu. Bukankah itu wewangian aroma therapy di atas lilin kecil dari Korea yang sangat mahal itu? Sangat romantis. Rini sangat tersanjung dengan pernik-pernik itu. Sungguh pintar bulusnya Pakde Karto ini.


Rini ingin tahu lebih banyak lagi apa yang telah diperbuat Pakde Karto. Dia temukan baju tidur lembut tergantung di lemari pakaiannya disamping beberapa gaun-gaun mewah dan baru yang juga siap pakai. Dia pastikan semuanya itu untuk dia. Sesuatu yang belum pernah dia dapatkan dari suaminya sendiri. Dia ambil gaun-gaun itu dan bak peragawati dia memantas-pantaskan gaun-gaun itu pada tubuhnya di depan cermin. Sesekali dia senyum ketika menerawang ke cermin. Ah, bukankah kamu memang cantik dan luwes, Rin. Semua busana-busana itu dalam ukuran yang sungguh tepat untuk tubuhnya. Bukan main Pakde ini.


Berjam-jam dan hampir sepanjang hari Rini menyibukkan dirinya di kamar utama itu. Dia kembali membaca surat kecil romantis itu, Dia kembali mengamati wewangian mahal dari Korea itu dan berkali-kali mencoba pakaian-pakaian indah dan mewah yang bermacam dalam lemari itu.


Sementara itu Herman memasuki kamarnya. Tidak ada yang istimewa dia temukan dalam kamar itu. Mungkin ini kamar yang biasa dipakai pelayan atau penunggu villa ini. Nampak ranjangnya ditutup dengan sprei yang sudah lusuh. Kalau toh ada semburat wewangian itu karena aroma therapi yang semerbak menyebar keluar dari kamar utama dimana kini Rini berada. Sementara satu-satunya pemandangan adalah jendelanya yang justru menghadap ke arah jalanan dengan lalu lalang berbagai macam kendaraan yang melintas. Selebihnya adalah dinding-dinding kamar yang menjadi batas kamarnya dengan kamar Rini.


Ohh.. tunggu dulu. Bukankah ini dinding artistik buatan dari papan-papan kayu pegunungan. Dan lihatlah, papan-papannya yang artistik ini penuh celah-celah dimana sesorang bisa mengintip ke kamar sebelahnya. Nah, aku bisa ngintip Rini, dong. Sedang apa dia?


Dan itu yang kemudian dilakukan Herman. Dan, ah.. benar.. dia kini bisa melihat istrinya sedang memantas-mantas dirinya dengan busana-busana indah yang pasti telah tersedia baginya. Ah, betapa cantik istriku Rini, begitu kata hatinya. Memang dia selalu bangga akan kecantikkan istrinya. Dan Herman tahu banyak lelaki yang kepingin bisa tidur dengan Rini.


Kemudian dia membayangkan sesaat nanti akan menyaksikan dari celah papan ini bagaimana Pakde Karto si bandot tua itu melahapi tubuh cantik isterinya itu. Ah, jangaann..!!


Tiba-tiba kembali Herman disergap rasa sakit dan cemburu yang menyala-nyala. Rasanya tak mungkin dia bisa rela menyaksikan Rini dalam pelukan Pakdenya. Dan akan melihat bagaimana Pakdenya melepasi satu-satu pakaiannya hingga istrinya bertelanjang. Dan bahkan dia akan dalam rengkuhan penuh birahi Pakde Karto yang juga akan sama-sama telanjang. Tiddaakk..!!


Herman kepingin membenturkan kepalanya ke dinding-dinding kamar itu. Tetapi kenapa?? Bukankah karena pengorbanannya dan juga pengorbanan istrinya hutangnya yang kini mencekik lehernya itu akan lunas? Bukankah dia akan terlepas dari beban yang tak tak terelakkan itu? Dan Pakdenya tidak lagi mengejar-kejarnya? Ah.., aku rasa pantas apa yang mesti aku terima kini. Dan itu artinya, nilai istrinya tidak murah. Bayangkan hutang yang lebih dari 15 juta rupiah cukup dibayar dengan membiarkan Pakdenya tidur dengan isterinya selama 3 hari. Dan bukankah sesudah itu dia bisa kembali memiliki Rini untuk selamanya? Hanya 3 hari, Man!


Pikiran terakhirnya ini langsung meredakan perasaan marah, sakit dan cemburunya. Dia kembali ke lubang pengintipan. Tiba-tiba dia merasakan hal yang aneh pada dirinya..


Celananya langsung berasa sesak. Kini kemaluan Herman ngaceng saat membayangkan istrinya digauli Pakdenya. Memang terbersit rasa cemburunya kembali, tetapi dia juga membayangkan bagaimana nanti saat Rini menerima kenikmatan syahwat yang dilepaskan oleh Pakdenya. Bagaimana nanti dia mendengar rintihan dan desahan-desahan nikmat Rini sekaligus nafas-nafas yang memburu dari Pakde Karto. Bagaimana nanti tubuh telanjang Rini bergesekkan dengan tubuh telanjang Pakdenya untuk bersama-sama mendayung birahi dan melepaskan dendam-dendam nafsunya. Bagaimana nanti bibir Pakdenya yang melumati pentil susu istrinya dan sementara kemaluan Pakde berusaha mencari jalan untuk menembusi kemaluan istrinya. Dan bagaimana nanti saat kemaluan Pakde, yang dia yakin ukurannya pasti lebih hebat dari miliknya, menerjang dan merobek bibir kemaluan isterinya. Dan bagaimana nanti dinding-dinding vagina Rini dirundung rasa gatal kemudian mencengkerami batangan bulat besar dan panjang milik Pakdenya.


Ah.. sudah, sudah, sudaahh..!! Herman langsung lari keluar kamar. Dia nggak mau dikejar bayangannya sendiri. Dia menghambur ke taman dimana ada kali kecil yang mengalir di dalamnya. Dia hendak melupakan segala sakit dan cemburunya dengan menyibuki diri menangkapi ikan dan udang kecil dari kali itu untuk dilepaskannya kembali.


Hingga Pakde Karto datang Rini tidak pernah keluar dari kamarnya. Hari itu sama sekali tak ada dialog antara Herman dan Rini sebagai suami isteri. Nampaknya Rini memang menghindar dari kemungkinan dialog itu. Rini pasti kecewa padaku, demikian pikir Herman. Ah biarlah, yang penting dia sudah mau menuruti kemauan Pakdenya. Bayangkan seandainya Rini menolak, apa yang akan menimpa dirinya nanti. Dia bayangkan Satpam Pakdenya yang kekar berotot itu.


Pakde Karto datang lebih lambat dari janjinya disebabkan kemacetan lalu lintas saat memasuki gerbang tol Jagorawi. Begitu mobilnya memasuki halaman Pakde Karto turun dan melemparkan kuncinya kepada Herman yang telah siap di depan gerbang untuk berlaku sebagai pengganti pelayannya. Kini dialah yang harus membersihkan atau mencuci mobilnya sesudah perjalanan yang penuh debu dan kotor dari Jakarta itu.


Dari dalam rumah nampak Rini yang istrinya memperhatikan perlakuan Pakde pada suaminya. Tak terbersit sedikitpun keharuan Rini pada Herman. Rini akhirnya bisa menerima apa yang kini harus dilakukan suaminya. Suatu imbalan yang setimpal atas kepengecutannya sebagai lelaki maupun sebagai suami. Dan kini juga ingin menunjukkan pada Herman bahwa kini dia bulan Rini yang dulu. Dia kini adalah Rini yang bebas dan merdeka yang bisa mengambil keputusan apapun yang dia mau.


Begitu Pakde Karto memasuki teras rumahnya, secara menyolok didepan suaminya Rini keluar dari dalam untuk menyongsongnya. Sambil menebar senyuman dia menggait lengan Pakde Karto memasuki villanya. Herman hanya bisa mengikuti dengan ekor matanya. Dan Rini, lihatlah, dia seperti dewi dari surga. Rini mempersiapkan dirinya secara maksimal untuk menyambut Pakde. Dia memakai busana yang paling sensual. Nampak dari bahu dan dadanya yang setengah terbuka. Bahunya yang bidang itu menyajikan pesona sebersit ketiaknya sedemikian sensual.


Pakde Karto terpana. Dia tidak menduga bahwa Rini sedemikian antusias menyambut kedatangannya. Sebelumnya dia masih berpikir bahwa akan ada sedikit atau banyak kesulitan dalam menghadapi Rini ini. Ada apa? Mungkinkah ini merupakan ungkapan kekesalan Rini pada Herman suaminya? Ah, .. Pakde Karto tak sempat berpikir jauh. Parfum Rini telah menyeret naluri syahwatnya terbang ke-awang-awang. Rini langsung menggelandang Pakde menuju kamarnya. Ah, nanti aku akan tahulah, demikian acuhnya sambil menyambut rangkulan Rini pada lehernya, tangan-tangan Pakde merengkuh pinggul Rini.


Mereka kini saling berpagut. Kehausan bertahun-tahun Pakde Karto pada Rini kini tertumpahkan. Dan bagi Rini inilah puncak pelampiasan dari tumpukkan kemarahan, kekesalan dan kekecewaan pada kehidupannya yang telah beberapa waktu terus menjepit dan menyengsarakannya. Dia terus berusaha menapaki kehidupan yang baru ini. Tanpa ragu-ragu, tangannya dengan terampil melepasi ikat pinggang Pakde Karto. Dia ingin selekasnya menjamah khayalannya. Dia ingin merasakan apa yang pernah dia rasakan dulu bersama Pandi di pantai Parangtritis. Kalau waktu itu gemuruhnya ombak Samudra Hindia, maka kini gemuruh nafsu birahi di dadanya yang akan mengiringi pelampiasan syahwatnya. Gemuruh nafsu birahi Rini dan kehausan syahwat yang amat sangat Pakde akhirnya bertemu dalam kamar Villa Rimbun Ciawi ini.


Akan halnya Herman yang telah siap menerima apapun yang harus dia saksikan. Bahkan kini dia sudah memiliki solusi. Dia akan ikut menikmati apa yang terjadi dari balik dinding artistik kamarnya. Dia akan menyaksikan adegan-adegan yang pasti bisa merangsang birahinya. Dan dia akan bisa meraih kepuasan syahwat juga seperti mereka berdua. Dan kini kembali rasa sesak langsung memenuhi selangkangan celananya. Tangannya bergerak membetulkan letak kemaluannya untuk mengurangi jepitan celananya yang menyakitkan.


Bersambung...