Obat awet muda - 2

"Hehhh... ahhh..." garukan kepala penis di dinding vaginaku terasa luar biasa, seluruh lekuk-lekuk lubangku terasa digaruk. Aku ingin tahu berapa lama Andi kuat menghadapi manuverku, kukerahkan otot-otot vaginaku dan kulihat lagi mata Andi sudah terpana, terbeliak-beliak sehingga kelihatan hanya putih biji matanya saja dan mulutnya mengeluarkan suara seperti tak ada artinya. "Ahhh... ahhh... akkkhh... Mbak Myr... Mbak Myr... enakkk..." Tangannya sekarang memegang dan meremas bukit pantatku. Dan aku sendiri merasa orgasmeku mulai bergelora menuju puncaknya. Aku seperti penunggang kuda menaiki kuda liar dan naik-turun putar... putar... putar... Buah dadaku terasa bebas sekali terpental pental, rambut kemaluanku dan rambut kemaluan Andi terasa bersatu tiap aku meremas memutar di atasnya, "Ahhh ahhha ahhh..." Akhirnya meletuslah orgasmeku dan aku masukkan dalam-dalam penis Andi dan kulebarkan pahaku di sisinya dan kugosok keras keras bibir kemaluanku di atas rambut kemaluannya, dan... dan... dan... Andi pun meletus lagi orgasmenya, "Srottt... serrr..." terasa maninya menyemprot di dalam lubangku tapi tak kuperhatikan lagi. Aku sendiri seperti lupa diri memutar mutar pinggangku dalam gerak melebar dan meremas kuat batang penis Andi.


Akhirnya aku lemas rebah di atas dadanya.


"Mbak Myr luar biasa deh... aku senang sekali bisa diperawani oleh Mbak Myr..."


"Apa? Oh kamu tuh belum pernah toh... Di... Aku kira kamu sering sama-teman mahasiswi atau suster-suster di rumah sakit, kan pada cantik-cantik..."


Andi memerah wajahnya dan berkata,


"Aku pemalu Mbak... jadi tidak pernah dapat. Sekarang aku dapat sama Mbak Myr, aku senang sekali... boleh lagi tidak...?"


Aku cubit zakarnya.


"Tentu.. tentu.. boleh Ndi... asal kamu tidak bosen saja, Mbak kan sudah tua," godaku sambil meremas-remas buah zakarnya.


Ayo kita mandi saja bareng.


Nah pembaca bisa bayangkan apa lagi yang terjadi di kamar mandi kan. Aku disenggamai lagi sambil berdiri, dan air panas mengalir terus (tapi hati-hati jangan kena air sabun lho, baik ke lubang penis atau ke vagina, perih). Aku main dengan Andi sambil berdiri di shower, kakiku sebelah diangkatnya sehingga penisnya mudah masuk menusuk vaginaku, seperti sebatang besi panas menusuk gundukan mentega, "Bless..."


Siang itu aku selesai dengan Andi, lalu aku berbenah dan pergi ke rumah Mbak Nani di seberang. Ia seorang janda seumurku, tapi aku tahu juga ia suka menerima laki-laki. Nani sebenarnya teman aerobikku di tempat senam. Dengan Mbak Nani aku sama-sama berdagang berlian untuk tambahan penghasilan, karena ia banyak relasinya di Dharma Wanita sewaktu suaminya masih ada. Badannya tinggi, hampir sama dengan aku yang 178 cm dan buah dadanya pun ukurannya 38D. Nani tidak punya anak dan di rumah ia tinggal bersama 2 sepupu wanita dan adik-adik suaminya yang masih pada sekolah, ada yang SMA dan ada yang sudah kuliah. Aku jarang ke rumahnya selama ini karena dulu suamiku dulu tak suka aku bergaul dengan dia. Entah kenapa.


"Mbak, Mbak Nani..." panggilku sambil mengetuk pintu.


Kok sepi ya? Aku masuk dari pintu samping dan rupanya sedang pada pergi karena motor anak-anak pada tidak ada.


"Mbak...?"


"Ohh... Ibu Myr," sambut pembantunya, Mbok Warsih.


"Ibu Nani kemana ya? tadi sih ada, mungkin mandi... maaf ya Bu, Mbok lagi nyuci piring nih, Bu Myr masuk saja."


Aku masuk ke ruang tengah dan duduk di sofanya, dan aku tiba-tiba mendengar suara sayup-sayup mendesah-desah. Jantungku berdegup seketika mendengar suara yang amat familiar kukenal itu. Perlahan-lahan kucari sumber suaranya, dan ternyata datang dari kamar atas, kamar Mbak Nani. Aku naik berjingkat-jingkat, aku masuk ke lorong di atas dan benar! Dari kamar Mbak Nani, lagi ngapain dia? Lututku terasa lemas lagi mengingat Andi tadi pagi, dan terasa bibir vaginaku melembab dan empuk lagi. Nafsuku mulai berkobar-kobar membayangkan apa yang mungkin sedang berlangsung di kamar Nani.


Nahh... kamarnya tidak tertutup, pintunya masih terbuka sedikit, perlahan kudorong dan kusingkap gordin kamar dan astaga... Mbak Nani sedang disetubuhi dan posisinya ia berlutut menungging, pantatnya tinggi ke atas dan goyang pinggulnya kencang. Aku tak bisa melihat jelas siapa laki-laki itu, tapi mataku terbelalak dari posisiku jelas melihat penisnya keluar masuk cepat ke lubang vagina, dan saking pasnya terlihat bibir vagina itu tertarik keluar setiap batangnya ditarik keluar. Batang itu... oh... batang itu basah berkilap-kilap keluar-masuk keluar-masuk dan buah zakarnya bersih sekali kemerahan tak ada rambut sama sekali. Paha Mbak Nani pun basah dengan aliran cairan dari vaginanya berkilat kilat kena cahaya.


Lututku benar-benar lemas, dan celana dalamku membasah. Aku hampir jatuh saking lemasnya, dengkulku dan aku berpegang pada amban pintu. Perlahan kudorong lagi pintunya lebih lebar dan keduanya benar-benar kerasukan, sehingga tidak melihat pintu membuka lebih lebar. Kakiku benar-benar terasa seperti agar-agar jelly, lemas. Aku berpegang pada amban pintu dan Mbak Nani pun dalam badai nafsunya terlihat memutar pinggulnya mengikuti enjotan dari lelaki itu. Buah dadanya terpental-pental dan desahnya benar-benar menghanyutkan, sepeti suara binatang sedang birahi. "Ahhh... shh ssshhh Mas Mas.... enakkk... Uhhh uhhh... hmmm..." seru Nani. Tiba-tiba mereka meregang dan meletup-letuplah orgasme mereka dan terbadai-badai buah dada Mbak Nani karena binalnya ia menjepit penis itu. Dan terpuruk ia dipelukan lelaki tadi dari belakang.


Nafas mereka memburu terengah-engah seperti pelari maraton. Siapa lelaki itu? Perlahan aku mundur dan terduduk di kursi tamu di beranda kamar itu. Nafasnya masih tak terkendali dan celana dalamnya kuyup. Aku bingung mesti ngapain dan aduh gatalnya lubang vaginaku, gila aku tadi baru dengan Andi, kok sekarang sudah begini lagi. Kurapatkan pahaku kencang dengan harapan sedikit terbantu.


Masih tetap membara dan akhirnya aku tidak kuat lagi dan aku buru-buru pulang berharap Andi masih di sana. "Andi... Andi..." seruku dengan parau. Begitu masuk ke rumah, kok tidak menjawab, pikirku. "Andii..." aku mencari ke paviliun, wah kosong semua, sudah pergi dia, keluh kecewaku. Aku naik ke atas dan segera membuka semua bajuku. Mandi, pikirku untuk meredakan ini. Aku terdiam di bawah shower, aduhhh... aliran air malah tambah merangsangku. Bagaimana ini, bagaimana, ah masturbasi saja, dan kuraba klitorisku yang sudah nongol keluar, "Shhh... shhh enakkk..." tiba-tiba terdengar suara bel pintu. "Aduh siapa lagi... Andi pulang?" harapku. Aku segera mengambil handuk dan kulibatkan di sekeliling tubuhku yang sintal, wah... kurang besar. Kugenggam saja handuk itu biar tidak copot.


Bel berbunyi tak sabar lagi, dan aku cepat turun, kupikir lihat dulu siapa dan kalau tidak kenal biar tak kubuka, aku mau masturbasi, kesalku. Dari jendela kulihat, wah ternyata anak pengantar koran, anaknya Pak RT di ujung jalan. Aku bimbang apakah mau membuka pintu atau tidak? Bagaimana aku, hanya handukan saja. Entah kenapa, impulsif kubuka juga dan aku melihat anak lelaki dengan mulut ternganga terbesar begitu dia melihatku hanya berhanduk dan masih basah kulitku dan rambutku. Dalam hati, aku senang karena berarti aku OK dong.


"Ya...?" tanyaku.


"Oh maap Mbak... eh Ibu... mau nagih uang koran."


Ihh sialan, hanya mau nagih, batinku.


"Bisa lain kali?" ujarku.


"Oh eh... bis bis... bisaa..." paraunya.


Lho kok ia menutup-nutupi depan celananya. Tiba-tiba aku sadar bahwa anak ini sudah lumayan besar, mulai deh aku berpikir lain.


"Eh iya deh, aku bayar saja, masuk dulu deh... aku baru mandi," kataku.


"Ah biar di sini saja Mbak, eh Ibu..."


Kuulurkan tanganku dan kutarik saja masuk dan ia jalan agak membungkuk-bungkuk, rupanya mencoba menyembunyikan sesuatu.


"Kenapa sih?" tanyaku, "Kamu sakit pinggang?"


"Ah.. ah... eh... tidak... tidak..." katanya.


Mukanya merona merah sekali.


"Ya sudah ayo masuk ke sini!"


Kutarik lagi dan kubawa ke ruang tamu.


"Duduk deh..." lau dia duduk, "Namamu siapa?"


Aku masih berdiri di depannya dan tetesan air masih mengalir di pahaku. Si anak itu matanya terbelalak melihat paha mulusku di depan mukanya.


Apa... apa... apa Mbak..." gelagapan terus dia.


Aku tambah geli saja.


"Oh saya namanya Banu..." jelasnya hampir berbisik.


Matanya masih menatap pahaku yang basah, pori-poriku masih menggremeng sehingga bulu-bulu halus di situ kelihatan berdiri.


"Banu mana bonnya?" tanyaku.


"Oh oh... iya ini..."Tangannya menggapai tas yang ditaruhnya di atas pahanya dan aha... rupanya ia berusaha menutupi penisnya yang sudah tegang berat. Ha ha ha, aku mau menikmati siang ini untuk melepas dahaga gara-gara Nani tadi. Biar deh anak Pak RT sudah besar juga kok. Tapi aku mesti hati-hati supaya dia tidak shock.


"Ini buat bulan lalu ya Ban?" tanyaku sambil mengambil kwitansi dan aku jalan ke buffet tempat aku menaruh dompetku.


"Ii.. iiiya... Tante eh Ibu eh... iya..." katanya.


Dari kaca di atas buffet aku melihat matanya mengikuti goyang pantatku di balik handuk yang nyaris tak menutupi pantatku dan pasti bulu di sela-sela pahaku bisa dilihatnya. Sengaja kuregangkan kakiku dan matanya membesar dan membesar. Aku pura-pura mencari-cari dompet dan membelakangi dia dan matanya sudah terkunci ke pantatku yang sintal. Lalu aku berjinjit dan pura-pura mencari di atas lemari tepi buffet sehingga handukku naik ke atas juga. Ha ha ha, pasti dia melihat lebih jelas lagi ujung vaginaku sekarang.


Aku tiba-tiba membalik dan Banu sudah pucat dan seperti orang dihipnotis saja. Aku balik membawa dompetku dan sengaja aku duduk di seberangnya. Kukangkangkan kakiku sehingga handukku naik ke atas paha. Aku pura-pura meneliti rincian kwitansi dan Banu matanya menjalang mencoba mencari apa yang akan bisa dilihatnya. Aku sendiri sudah basah kuyup, vaginaku lemas membayangkan mau menikmati anak ini.


Bersambung...