Sensasi erotik saat menjadi waria - 2

Jaguar Koh Abong kabur menuju suatu tempat. Aku tidak begitu tahu di mana nih, belok, belok, belok lagi langsung masuk garasi. Koh Abong kemudian turun, kulihat dia berbicara sebentar dengan penjaga garasi itu. Kemudian baru mendatangi dan membuka pintu mobil untukku.

Aku merasa sangat tersanjung. Aku diperlakukan bak putri jelita, bak selebriti yang jadi rebutan para pecintanya. Abong meraih tanganku, menggandeng, naik tangga kayu, membuka pintu dan masuk ke kamar. Kamar tidur yang luas, mewah, sejuk karena AC-nya. Ada meja rias besar, itulah yang diam-diam kucari, dan diam-diam aku melintas di cermin besarnya dan, wow.., aku sendiri tidak mengira, aku benar-benar sangat cantik dan sensual. Aku.., Lisa Ramon.

Dan aku langsung menggeliat saat kurasakan Koh Abong meraih pinggangku. Dia mencium leherku, kudukku, bahuku. Dia terus mencium, turun ke belikatku. Aku menggeliat, "AACCHH..", kukeluarkan desahan untuk Koh Abong. Desahan pelacur waria yang haus, desahan seakan dari waria peot yang sudah setahun tidak ada yang mau ngentot bokongnya.

Kemudian bak gasing di tangannya tubuhku diputar hingga kami saling berhadapan. Dia benamkam wajahnya ke leherku, dia isap leherku dan menyedotnya. Wah, berabe nih, timbul bekas cupang dong, tapi hal itu terlalu nikmat untuk kutolak atau kuhindari.

Kemudian kami saling melumat. Rupanya jago sekali Koh Abong ini dalam kissing. Lidahnya berputar-putar dalam rongga mulutku, sedotannya menguras seluruh air liurku. Kemudian Koh Abong mendorongku ke ranjang, uuhh.., dia menyergapku, menyerangku, menerjangku, meradang.., rasanya Koh Abong ini sangat.., sangat memujaku.. Dia rengkuh tubuhku, di telanjanginya aku, dijilatinya aku, seluruh tubuhku, seluruh pori-poriku, seluruh celah, bukit, maupun lembah yang terhampar di tubuhku tak ada yang tertinggal dari jilatannya.

Aku rasakan begitu nikmatnya saat wajahnya tenggelam dalam selangkanganku, bagaimana lidahnya itu terus mengocok-ngocok celah selangkanganku itu.
'Bau khan Kohh.., baauu khann..', aku mengerang.
'Biarin sayangg.. aku rasanya ingin menelan kamu Lisaa.. biarkan aku menelan kamu yyaa..', pintanya penuh kehausan.
Juga saat dia menjilati duburku, 'JANGANN KOHH.., BAUU KOHH.., JANGAANN..', tetapi Koh Abong tetap tidak menggubrisku.

Dia juga menjilat seluruh permukaan telapak kakiku, jari-jari kakiku, dia jilati betisku hingga pedih rasanya.
Entah dia sudah 'keluar' berapa kali, tetapi malam itu aku telah memuntahkan spermaku 3 kali. Dan dari semua muntahan spermaku, selalu dia minta padaku agar tidak dimuncratkan ke tempat lain kecuali ke mulutnya.
'Jijik khan Koh..', kataku, tetapi dia tidak mempedulikannya.

Dan kulihat bibirnya yang telah belepotan spermaku, begitu sibuk mengecap-ngecap sebelum akhirnya ditelan. Pada pukul 2 malam, setelah 6 jam dia puas mengeksplorasi seluruh tubuhku, dia mengantarkanku ke stasiun Pasar Turi. Dia turun membukakan pintu mobil untukku dan membantu menghidupkan mesinnya, dia khawatir kalau terjadi masalah dengan kendaraan tersebut setelah cukup lama di parkir.

Kemudian dia kembali membukakan pintu dan membantuku keluar. Aku turun untuk pindah ke Daihatsu sewaanku. Tiba-tiba diberikannya berlembar-lembar uang padaku. Aku menolak, tetapi dia memaksa, karena dirinya juga senang, katanya. Aku jadi terharu, Koh Abong sangat baik padaku dan aku menjadi merasa sangat tersanjung.

Sesudah dia pergi, aku kembali berbenah. Kuambil cermin riasku, kuseka semua coreng moreng di mukaku. Lipstik, pensil alis, bedak segala macam merk, shiseido dan sebagainya. Kuganti rokku dengan celana pendek, blusku dengan T-shirt, hingga aku kembali menjadi Norman, staf akunting dari sebuah perusahaan di Jakarta yang sedang bertugas di kantor cabangnya di Surabaya.

Aku kembali ke hotel untuk tidur. Ternyata aku merasa sangat lapar. Kuambil sisa bekal roti dari tasku, kuambil juga Coca Cola kalengku. Aku bangun pukul 8 pagi, walaupun sebenarnya aku masih merasa lelah, tetapi pagi itu aku merasa sangat segar.

Setelah mandi, aku bersiap ke kantor. Aku mengenakan dasi Valentino yang baru kubeli dari Singapore lengkap dengan jepitannya. Kuambil blazer Hugo Boss-ku. Aku pergi sarapan di Bumi Hyatt. Saat aku akan membayar, kurogoh kantongku, aku terperanjat.., Koh Abong.., uang yang diberikannya tadi malam itu.., 2 juta rupiah dalam pecahan ratusan ribu yang masih baru. Ooohh.., aku langsung ereksi kembali.., aku gembira bukan karena besarnya jumlah uang itu, tetapi itu pasti diberikan Koh Abong untukku dengan penuh penghargaan padaku, dan penghargaan itulah yang membuatku berbinar-binar sepanjang hari itu.

Di kantor, Pak Hendro, kepala cabang Surabaya menyambutku dengan sangat santun. Aku tahu, dia berharap pemeriksaan audit olehku akan kuberikan sedikit kelonggaran apabila terjadi hal-hal yang kurang 'pas' di mataku. Aku paham, hal seperti itu lazim di mana-mana. Kebanyakan orang kita memang kurang paham akan makna hakiki setiap aspek dalam akunting. Mereka biasanya sekedar pengguna jasa saja.

Hari itu aku pulang seperti biasa, pukul 3 sore dari kantor cabang itu. Dengan penuh gairah aku menghadapi malam yang kedua untuk kembali menjadi Lisa Ramon di Jalan Irian Barat Surabaya itu. Aku akan membeli pakaian baru dari uang pemberian Koh Abong semalam. Aku mampir ke Mall Tunjungan. Kali ini aku ingin tampil dengan sangat berbeda dibandingkan tadi malam. Aku yakin bahwa hal ini juga akan menjadi suatu surprise bagi diriku sendiri. Aku ingin melihat diriku yang lain dalam kostum yang berbeda, Lisa Ramon pada malam yang ke-dua di Jalan Irian Barat Surabaya.

Aku pilih rok terusan dengan kain yang lembut berwarna hitam, dengan tali kecil yang menggantung pada bahu, sehingga bahuku yang mulus akan nampak terbuka. Kemudian dengan penuh keyakinan pula, aku membeli sepatu berhak tinggi model boot hingga sedikit di atas mata kakiku. Untuk semua itu, aku menghabiskan hampir sejumlah 800 ribu rupiah. Biarlah, aku benar-benar ingin memuaskan diriku sendiri kali ini.

Berdasarkan pengalaman kemarin, setelah puas makan di Restoran Padang di depan hotelku, pada pukul 7.00 malam aku baru keluar dari hotel. Langsung menuju stasiun Pasar Turi, kemudian parkir dan berdandan di sana. Tepat pukul 7.40, aku sudah kembali menjadi Lisa Ramon. Aku segera keluar dari mobilku, memanggil taksi dan menuju Jalan Irian Barat.

Kepada sopir taksi, aku minta diturunkan di dekat kerumunan waria-waria di bawah lampu lalu lintas Jalan Irian Barat itu. Begitu aku membuka pintu dan turun dari taksi, kerumunan waria-waria itu nampak terkesima.
'Wee.., anak baru.., anak baru.., waria baru nihh..', suara mereka dengan jelas kudengar.
Aku berusaha untuk menahan diri dan berendah hati.
'Selamat malam teman-teman', satu dua di antara mereka menyahut kemudian mendatangiku.
'Baru yaa.., dari mana, uhh kamu cantik sekalii..'.
'Trims. Aku dari Jakarta. Kesepian nih sendirian di rumah. Boleh gabung yaa.., paling cuma sampai besok koq..'.
Hal ini perlu kujelaskan, karena biasanya para waria kurang suka jika ada 'pesaing' baru, apalagi jika 'pesaing' tersebut sangat seksi seperti diriku ini.
'Ada yang namanya Bella tidak?', aku bertanya sekalian menginformasikan bahwa aku mengenal seseorang di Jalan Irian Barat ini.
'Aku punya pesan untukk Bella dari temannya Norma di Jakarta', kataku lebih lanjut.
'Ooouuwww.., kamu teman Norma. Bagaimana kabarnya?', ternyata Norma sangat dikenal di daerah ini, maklum Norma juga seorang organisator para waria yang biasanya memimpin kegiatan-kegiatan sosial di berbagai kota, atau ikut meramaikan berbagai acara hiburan yang melibatkan banyak waria.

Tak lama kemudian yang namanya Bella muncul kedepanku. Benar kata Norma, Bella ini sangat cantik dan apik, dan juga sangat ramah serta.., menurut Norma cocok dengan seleraku, kontol Bella sangat besar dan panjang, dia adalah satu-satunya waria di Jalan Irian Barat yang memiliki kontol sebesar itu. Aku pasti akan sangat terkesan. Kemudian aku diperkenalkan dengan teman-temannya, juga dengan pemimpin komunitas mereka di Jalan Irian Barat itu, namanya Angel, yang juga sangat baik dan ramah.

Mereka semua mengerumuniku dan memuji penampilanku. Tentu saja aku berbunga-bunga, tetapi aku berusaha untuk tetap rendah hati. Kusambut simpati mereka semua padaku. Aku berusaha ramah pada semuanya, yang jelek, yang tua, yang muda, yang pendek dan lain-lainnya. Aku merasakan kehangatan mereka sebagai sesama banci atau waria.
Jalan Irian Barat ini sangat ramai di malam hari. Mobil segala merk berseliweran, lampunya sengaja disorotkan besar-besar. Penumpangnya ingin menikmati pemandangan para waria di sepanjang jalan itu. Jalan Irian Barat berubah menjadi 'cat walk' bagi para waria.

Nampak sekali malam itu aku menjadi pusat perhatian para tamu yang berseliweran di situ. Didampingi oleh Bella, aku menyambut sapaan mereka dengan ramah. Nampak beberapa anak muda memarkir mobilnya, kemudian turun mendatangiku. Mereka sopan, mengajakku mengobrol, terkadang berbisik ke telingaku.
'Kamu cantik sekali, mirip Sharon Stone', demikian pendapat mereka.
Rupanya kemiripan dengan Sharon Stone itu menjadikanku sangat populer. Bahkan banyak yang memanggilku dengan julukan 'Sharon'.

Beberapa waktu kemudian tak kulihat lagi Bella, mungkin dia sudah dibawa tamunya, juga Angel, Betty, Angie, Bonny, Mariam, Nelly. Aachh.., saat ini mungkin bibir mereka sedang disesaki penis-penis lelaki, atau lidah-lidah mereka sedang menjilati anal pasangannya, atau pantat mereka sedang ditembus kontol lelaki dan dikocok-kocoknya.

'BBLLAARR.., SRREETT.., SUUIITT..', sebuah Honda Accord berhenti tepat di sampingku.
Kaca jendelanya nampak bergerak terbuka. Dari balik pintunya nampak bapak-bapak yang gemuk dengan kulitnya yang hitam serta bibirnya yang tebal, sepertinya orang Ambon atau Irian.
'Halloo, apa kabarr? Jalan-jalan nyookk..', aku mendekat, tanganku memegang pinggiran pintu sambil sedikit membungkuk untuk memberi perhatian pada yang di dalam.
Dia berdua, sama-sama berkulit gelap, sama-sama gemuk dan nampaknya juga seumur. Aku merasa agak ngeri juga. Sebagai pendatang baru aku perlu berhati-hati. Tetapi toh aku harus tetap bersikap ramah, tidak pilih-pilih.
'Haii Pak Adop, apa kabar?', tiba-tiba dari belakangku seorang waria menyapa penumpang Honda Accord itu.
Nampaknya di antara mereka sudah biasa bertemu.

Orang yang bernama Pak Adop itu menyambutnya dengan ramah, menanyakan tentang diriku yang baru kali ini dilihatnya di Jalan Irian Barat ini. Dan akhirnya aku tahu, Pak Adop itu adalah pengusaha yang terkenal di Surabaya, dan dia sering mampir ke jalan ini. Dia sangat dikenal baik dan pemurah.
'Jangan khawatir Liss, terima saja kalau dia mengajak kencan. Baik koq orangnya, tetapi hati-hati, barangnya gedee buanget..'.
Kata-kata terakhir yang menyangkut barang Pak Adop itu membuatku merinding dan menggelinjang. Saraf-saraf libidoku langsung bereaksi. Lubang pantatku juga langsung terasa mengencang dan gatal.

'Jangan bengong, non Lisa.., ayoo naik..', teman Pak Adop, Pak Abi namanya sudah turun dengan menggandeng tanganku, membuka pintu Accord itu dan sepertinya aku tak punya pilihan, dan aku masuk ke mobil.
Mobil itu langsung bergerak meninggalkan Jalan Irian Barat.
'Tunggu Pak Adop, masa Lisa sendirian nihh..?', aku bertanya setengah protes.
'Nggak pa-pa lah, sekali-kali sendirian, nggak usah khawatir, pokoknya Lisa akan balik utuh, mungkin ada tambahan sedikit, beberapa cc yang terbawa di tubuh Lisa nanti..', rajuknya sambil diringi tawa kedua tamu baru saya ini.

Aku langsung membayangkan, malam ini aku akan 'dimakan habis' oleh orang-orang hitam ini. Pantatku akan dijebol oleh 'tank-tank' orang-orang Ambon atau Irian ini, seperti halnya tank-tank Amerika dan Inggris yang menembus kota Baghdad. Ah biarlah, hitung-hitung untuk pengalaman, toh mereka baik dan cukup dikenal di tengah komunitas jalan Irian Barat itu. Aku tidak perlu terlalu khawatir.

Dari neon box di depan hotel, nampaknya aku diajak memasuki Motel Kenanga, aku sendiri tidak tahu dimana itu. Seperti halnya kemarin, petugas motel menunjukkan tempat yang masih kosong. Mobil langsung masuk ke garasi yang kemudian secara otomatis menutup. Pak Adop, Pak Abi dan aku sendiri turun dari mobil dan segera naik ke lantai dua.

Kamar yang telah dipesan cukup luas dan bersih. Aku lihat ada dua bed dengan spreinya yang putih. Ada telepon dan TV. Melalui telepon di kamar itu, Pak Adop memesan minuman dan makanan kecil. Aku rasakan angin lembut menghembus telingaku. Pak Adop yang rupanya sangat sigap, sudah dalam keadaan setengah telanjang, dia merangkulku dari belakang, tangannya memeluk dadaku, kontolnya terasa mengganjal di bokongku. Dia menempelkan bibirnya di bawah telingaku sambil berbisik, 'Sharon Stone-ku (lagi-lagi Sharon Stone), aku horny sekali melihatmu..', wajahnya langsung merangsek, merambati punggungku. Tali blusku digigit dan direnggutnya untuk melepaskan blus dari tubuhku.

Bersambung...