Sesama Wanita
Thursday, 25 June 2009
Petualang cinta - 3
Aku benar-benar telah terangsang hebat. Aku tidak lagi mempedulikan Nova dan Mbak Ida yang kini tengah berpelukan erat sambil paha-paha mereka saling menggesek kewanitaan mereka. Aku bangkit dari duduk dan menunggingkan badanku, mempersilakan Beni menikamkan kejantanannya. Sejenak Beni melepaskan tubuhku, terdengar suara kain berjatuhan saat Beni membuka Jeans-nya, lalu tubuhku segera terasa penuh terjejali benda hangat yang keras dan tegang, yang membuatku langsung terpejam dan menengadahkan kepala menahan rasa nikmat tak terkira ini. Aku setengah membuka mata sambil meringis-ringis keenakan. Kedua alisku kini menyatu di keningku, mengikuti ekspresi penuh birahi dari Nova dan Mbak Ida di karpet. Terasa pinggul Beni menabrak-nabrak pantatku ketika ia menggerakkan tubuhnya maju mundur. Gesekan kejantanannya terasa membuat dinding-dinding kewanitaanku menjadi panas dan berdenyut. Otot-otot di dalam sana berusaha mencengkeram kejantanan yang bertekstur kasar itu. Aduuhh, rasanya nikmat sekali disetubuhi dari belakang sambil menatap tubuh kawan sekantorku dinikmati habis-habisan oleh seorang wanita petualang berpengalaman.
Bermenit-menit lamanya posisi tidak berubah, namun kenikmatan serta sensasi yang kurasakan terasa kian memenuhi batinku. Badanku terasa begitu nikmat digempur oleh kejantanan Ben, apalagi kedua telapak tangannya kini berada pada payudaraku dan memencet-mencet puting susuku. Uhh, enak sekali rasanya. Dari atas ranjang besar ini, aku melihat tubuh-tubuh indah Mbak Ida dan nova kini saling berdekapan makin erat dan kaki-kaki mereka semakin cepat bergerak pada selangkangan mereka, lalu kedua tubuh semampai itu tiba-tiba mengejang dan wajah-wajah mereka menunjukkan ekspresi kosong yang setengah memejamkan mata dan mulut menganga. Lalu keduanya lunglai di atas karpet sambil terengah-engah dan tetap berpelukan.
Aku membayangkan nikmat dan hangatnya puncak yang telah mereka capai dan menggoyang-goyangkan pinggulku untuk berjuang mencapai puncakku sendiri. Beni tampaknya juga dapat bekerja sama, ia mengikuti gerakan-gerakanku. Namun tidak semuanya sesuai harapan, tiba-tiba Beni mencabut kejantanannya dan melepaskan kedua payudaraku. Aku masih tetap menungging pada kedua lututku di ranjang ketika cairan panas terasa menyemprot ke punggungku. Ahh, sial benar nasibku. Beni telah mencapai puncaknya, dan kini duduk di tepi ranjang sambil terengah-engah pucat.
"Mm.. maafkan saya, Bu.." kata Beni terbata-bata.
"Hmmhh.." Aku menarik nafas panjang sambil menatap kedua matanya penuh rasa marah.
"Nggak apa-apa kok Ben, kamu hebat sekali", Jawabku setelah menguasai emosi.
"Dah, tidur di kamarmu sana!" Beni lalu berjalan tertatih-tatih keluar kamar. Aku menatapnya dengan rasa benci, dasar pria tidak bertanggung jawab! Mending kalau dia suamiku, tapi dia hanya pembantu kawanku, sebal sekali rasanya. Kutelentangkan diri di ranjang besar itu menatap ke langit-langit yang berhiaskan cermin di sana-sini. Menatap bayangan tubuhku sendiri yang gelisah di atas sprei putih yang kusut, menatap bayangan tubuh Nova dan Mbak Ida yang masih saling berpelukan di karpet sambil terpejam dengan ekspresi puas. Sungguh tidak adil, pikirku. Karena birahiku sulit kutahan, akhirnya aku melakukan apa yang selama ini pantang kulakukan, yaitu memuaskan diri sendiri.
Kupejamkan kedua mataku, aku berkonsentrasi penuh membayangkan postur tubuh laki-laki idamanku, The Big D! Kubasahi ujung jariku dengan lidah, lalu kupilin-pilin kedua putingku, membayangkan ia sedang mengulum-ngulumnya. Hmm.. tidak terasa seperti dikulum beneran, tapi siapa peduli itu di tengah kondisi seperti sekarang. Kutekan-tekan sendiri klitoris dan liang kewanitaanku yang terasa becek dan hangat. Uhh.. cukup lama juga aku menggeliat-geliat sendiri di atas ranjang besar itu sambil kedua tanganku menjamah tubuhku sendiri. Sampai tiba-tiba aku merasakan kasur bergerak-gerak karena ada orang lain yang naik ke ranjang. Ah, pasti Mbak Ida ingin memanfaatkan situasi, pikirku. Tadinya aku ingin menolak, tapi kuurungkan niatku karena ingin mencapai puncak yang sejak tadi tidak kesampaian. Kubiarkan saja ia menjamah tubuhku sambil aku tetap dengan setia membayangkan bahwa The Big D lah yang melakukannya padaku.
Terasa jilatan-jilatan dari lidah dan bibir yang halus dan hangat menyapu kedua putingku bergantian, pelukan hangat terasa seperti menyelimuti tubuh rampingku, dan sebuah paha halus menyelip di antara kedua tungkaiku, menggosok-gosok di situ. Sebuah jari lentik menyusul masuk ke dalam liang kewanitaanku, disusul satu jari lagi hingga kini dua jari berdesakan di dalam liang kewanitaanku. Uhh.. semuanya membuatku seperti melayang-layang di udara. Ahh, aku tidak tahu apa lagi yang terjadi, yang jelas seluruh tubuhku seperti diselimuti kehangatan yang amat nyaman. Sentuhan jemari-jemari lentik dan bibir lembut bergantian menyapu ke sekujur badan ini, memercikkan bunga-bunga api birahi yang makin lama makin terasa hangat dan nikmat. Kedua jari dalam liang kewanitaanku pun menari-nari dengan gemulai seolah sudah mengenal betul tempat-tempat yang harus dihinggapinya. Ahh.. nikmat sekali, meski aku memejamkan mata, aku seperti dapat melihat tubuhku sendiri sedang menggelinjang-gelinjang dan mengerang-ngerang dijilati oleh lidah-lidah api birahi ini.
Tidak seperti biasanya, puncak kenikmatan kali ini terasa datang perlahan-lahan dan lembut. Kehangatan tiba-tiba menyelimuti tubuhku ketika aku merasakan tubuhku dipeluk dengan hangat dan erat serta leherku dihujani ciuman, menambah kenikmatan di puncak yang kini baru saja kurasakan. Hm.. terbayang wajah dan tubuh The Big D memelukku dengan penuh kasih sayang. Sulit juga membayangkan otot-otot padatnya, karena yang kurasakan menempel di dadaku sekarang adalah payudara wanita lain, dan bukannya dada The Big D yang bidang dan ditumbuhi rambut-rambut halus itu. Tapi rasa nikmat terus mengguyur sekujur tubuhku, hingga sempat aku tak ingat apa-apa untuk beberapa detik.
Pelan-pelan gelombang kenikmatan itu meninggalkan diriku, membiarkan kesadaranku kembali mengambil alih. Masih terasa dekapan hangat pada tubuhku. Terpikir juga olehku untuk mengucapkan terimakasih nanti pada Mbak Ida, sekaligus mengucapkan selamat karena ia berhasil menjamah tubuhku kali ini. Hmm.. hampir aku membuka mata, namun kuurungkan niatku karena masih ingin menikmati kehangatan pelukan yang somehow terasa penuh kasih sayang ini. Aku mempererat pelukanku pada tubuh semampai yang menindihku itu, sampai aku menyadari bahwa bahu tempat daguku bersandar terasa lebar dan berotot kencang seperti bahuku sendiri. Ah.. Aku hampir tidak percaya.
Pelan-pelan aku membuka mata, dan menatap tajam ke arah cermin di langit-langit yang kini menunjukkan dengan jelas siapa yang bercinta denganku barusan.
"Nova?" Aku menjerit agak membentak sambil melepaskan pelukan hangat itu. Kulihat Nova agak terkejut. Tubuh telanjangnya kini teronggok di sampingku dengan tangannya masih memegang bahuku. Wajahnya tampak sayu meski dipenuhi ketakutan. Sorot matanya tampak menyesal dan menatap sendu ke arah mataku. "Hey, apa yang kau lakukan?" tanyaku setengah membentak tanpa mengharapkan jawaban. Dan memang Nova tidak menjawab. Ia hanya menatapku dengan wajah manisnya yang kini tampak sedih. Bibirnya bergerak-gerak pelan meski terkatup rapat, dan matanya yang biasanya tajam itu kini digenangi setetes air yang kemudian bergulir jatuh melewati pipinya.
Aku tidak mempedulikannya dan segera bangkit berdiri dari ranjang. Dengan tanpa berusaha menutupi ketelanjanganku, aku melangkah cepat ke arah pintu, dan bergegas kembali ke kamar mandi dan mengguyur kepalaku dengan air dingin. Tanpa menunggu badanku kering, aku melanjutkan langkah kembali ke ruang tamu, mendapati pakaian kerjaku tergeletak kusut di meja makan, dan segera mengenakannya kembali pada tubuhku yang masih basah. Aku terduduk di kursi sambil kedua sikuku bertelekan di meja dan telapak tanganku mencengkeram kepalaku sendiri, menyesali yang terjadi barusan. Bukan diriku sendiri yang kusesali, melainkan Nova. Anak muda yang manis itu, yang dulunya lugu namun cerdas, yang secara tak sengaja terseret dalam pola hidupku, yang kini terseret makin jauh.
Ah, karena selama ini aku memproyeksikan Nova untuk bisa menggantikan posisiku di perusahaan, mungkin karena aku juga bercita-cita untuk merubah hidupnya yang dulu kurang bahagia, mungkin juga karena aku sudah begitu mencintai dan menganggapnya seperti adikku sendiri, dan jelas-jelas telah membawanya pada kehidupan yang seperti ini. Apakah aku sudah menyeretnya terlalu jauh di luar kemauan kami sendiri? "Sari!" suara berat Mbak Ida tiba-tiba mengejutkanku. Aku melepaskan cengkeramanku pada kepalaku sendiri, mengusap mataku yang tadi agak berkaca-kaca, dan menatap tajam ke arah wanita itu dengan sorot mata sangat menyalahkan. "Kamu mau nyalahin aku lagi?" tanyanya dengan nada datar sambil terus menatap mataku dari seberang meja makan.
Ia masih mengenakan kimono hitam tipisnya yang tadi sempat kukenakan. Tali kimono dibiarkannya tidak terikat hingga separuh tubuhnya terlihat jelas. Rambut merahnya pun masih belum benar-benar kering, hingga penampilannya secara keseluruhan terlihat agak menakutkan.
"Ini memang yang kamu mau 'kan, Mbak?" tanyaku kembali dengan nada tajam.
Mbak Ida menggelengkan kepala sambil memejamkan mata.
"Nggak", jawabnya singkat.
"Kamu terlalu memaksakan dia untuk menjadi seperti kamu", lanjut Mbak Ida sambil berdiri dari kursinya dan melangkah ke arah rak buku di sudut ruang tamu. Aku diam saja, sambil terus mengikuti ke mana jalannya tubuh semampai itu.
"Apakah itu salah?" tanyaku padanya, seperti tidak mengharap jawaban.
"Nggak!" jawab Mbak Ida tetap membelakangiku.
"Sama sekali nggak salah."
Aku tetap terdiam sambil menatapnya mengambil sebuah buku dan membalik-balik beberapa halaman, menyelipkan sebuah pembatas halaman pada halaman yang dikehendakinya, lalu kembali menghampiri meja sambil menatap wajahku. Diletakkannya telapak tangan kirinya di bahuku sambil memijit-mijit kecil, aku membiarkannya berbuat begitu sambil menunggu kata-katanya lagi.
"Orang seperti kamu, yang kepala batu dan berambisi tinggi.." katanya seperti setengah berbisik, "..yang merasa serba bisa, dan merasa paling kuat.." Ia berhenti sejenak sambil mengangkat tangannya dari bahuku, "..pengen mencoba merubah kehidupan seorang yang lugu seperti Nova? Agar dia bisa jadi seperti kamu? Agar dia bisa hidup bahagia dan bebas seperti kamu? Agar dia bisa memilih ke mana akan hinggap dan tidak harus menunggu dihinggapi?" Cerocosnya dengan nada menyalahkan, ia menyebutkan kembali semua kalimat yang pernah kukatakan padanya tentang filosofi hidupku, tentang ambisi pengejaran cita-cita dan pola pikir "struggle for excellence" yang selama ini aku anut. Entah kenapa, tapi kata-kata Mbak Ida seperti membuatku jadi merasa makin tidak enak dan merasa bersalah. "Cobalah sekali-sekali ngaca, Sar!" Serunya lagi sambil meletakkan buku yang baru diambilnya di hadapanku, "Coba pikir siapa sebenarnya kamu.. apa yang sebenarnya kamu kejar.. apa kamu yakin kalau orang lain juga bisa mengikuti pola pikir kamu?" Dagunya bergerak ke atas sedikit, memberiku komando agar melihat ke arah buku yang diletakkannya tadi.
Tanganku bergerak meraih buku hard cover bersampul cokelat gelap itu, Becoming a Person of Influence judulnya. Pelan-pelan aku membuka halaman yang oleh Mbak Ida telah diberi pembatas. Di situ tertulis sebuah salinan dari sebuah batu nisan di Inggris, yang bunyi terjemahannya kurang lebih begini, "Semasa mudaku, aku bercita-cita mengubah sikap dunia. Namun ternyata tidak mudah. Setelah aku beranjak dewasa, aku bercita-cita mengubah sikap negaraku. Namun ternyata tidak mudah juga. Setelah aku beranjak tua, aku bercita-cita mengubah sikap keluarga dan sahabat-sahabatku. Namun ternyata sudah terlambat. Kini, di akhir hayatku aku terpikir, seandainya sejak awal aku mengubah sikapku sendiri, mungkin keluarga dan sahabat-sahabatku akan ikut berubah sikap, dan mereka bisa membawa perubahan pada negaraku. Dan jika negaraku berubah lebih baik, pengaruhnya akan mengubah sikap dunia menjadi lebih baik." Sejenak aku merenungi tulisan yang baru kubaca. Tulisan itu seperti menyadarkan diriku tentang apa yang seharusnya lebih kupikirkan tentang diriku, tentang masa depanku, dan tentang kehidupan orang lain di sekitarku.
Lama setelah itu, Nova muncul dari kamar mandi dengan mengenakan kimono handuk berwarna merah muda. Tanpa berkata apa-apa dan tanpa melihat ke arahku, ia mengambil pakaian kerjanya di meja makan, lalu membawanya kembali ke kamar mandi, untuk beberapa detik kemudian ia keluar lagi dengan sudah mengenakan pakaian kerja yang tadi dipakainya kemari. "Aku rasa sudah waktunya kalian untuk pulang", ujar Mbak Ida dengan nada datar sambil tidak melihat ke arah kami. Tanpa banyak basa-basi, aku dan Nova melangkah keluar ruangan. Di beranda, Lubas Herera memandangi kami dan berjalan mengikuti kami sampai ke gerbang yang tidak terkunci. Aku melangkah masuk ke Katana hijauku, dan Nova menyusul setelah menutup gerbang dan mengunci gemboknya, meninggalkan Lubas Herera yang kini berdiri dengan dua kaki belakangnya hingga kepalanya seperti melongok keluar dari lubang di gerbang kayu itu. Tatapan bodohnya mengiringi kepergian kami.
Di dalam mobil, Nova meminta maaf padaku dan mengatakan bahwa ia melakukannya padaku tadi karena menyayangiku. Aku menarik tubuhnya dan membiarkannya bersandar pada bahu kiriku sementara aku mengemudi. Kubiarkan ia menangis sejadi-jadinya di bahuku. Meratapi kesepiannya sekarang, meratapi kesendiriannya di kota S, kota yang semula dijadikan tumpuan harapannya untuk masa depan yang baik. Sambil mengemudi, tanpa terasa pipiku sendiri juga dialiri air dari mataku. Aku menenangkan Nova dan menyatakan pengertianku padanya.
Kami berjanji untuk tetap tidak mengulangi kesalahan yang seperti tadi, sekaligus menyatakan diri untuk saling menganggap adik-kakak, agar hubungan kami lebih dari sekedar teman sekerja. Aku pun berjanji pada diriku sendiri untuk lebih memberikan pengertian pada Nova, bahwa perburuan yang selama ini terjadi bukannya didasari oleh pemuasan kebutuhan, melainkan untuk mencari yang terbaik. Oke, kadang-kadang memang ada dorongan yang tak terelakkan untuk lebih mementingkan kebutuhan diri. Namun pikiran logis dan akal sehat tetap harus menduduki prioritas pertama. Aku mengantar Nova kembali ke pondokannya, lalu memacu Katana hijau sekencang-kencangnya kembali ke The Huntress's Lair nama yang diberikan oleh The Big D untuk tempat tinggalku di apartemen P di ujung barat kota.
Nah, ceritanya sudah selesai. Sekedar info, teman saya Nova itu kini sudah menikah dengan seorang banker sukses, dan memiliki seorang anak laki-laki yang manis seperti ibunya. Sebenarnya banyak petualangan yang saya lewatkan bersamanya. Namun kini ia tidak lagi mengembara, tidak juga menggantikan posisi lama saya di kantor. Ia lebih memilih hidup bahagia bersama keluarganya dan mengelola usahanya sendiri. Mbak Ida kini juga sudah pensiun dari avonturirnya. Ia hijrah ke Aussie untuk menetap bersama kekasihnya, seorang wanita pengusaha yang juga sukses di bidang real estate. Sementara saya sendiri? Well, goals saya adalah mencapai posisi tertinggi di kantor dalam beberapa bulan ke depan, menikah, lalu mengundurkan diri dari jabatan bergengsi itu untuk mengelola bisnis sendiri bersama pasangan saya. Semoga apa yang saya pelajari dari kehidupan ini bisa berguna untuk masa depan saya, dan masa depan generasi berikutnya. Semoga juga saya mampu memperbaiki diri saya sendiri dulu, seperti di kutipan buku yang ditunjukkan Mbak Ida pada saya tadi.
Tamat