Pemerkosaan
Sunday, 18 July 2010
Tirai perkawinan yang terkoyak - 1
"Edan kamu Dung?! Kamu masih menginginkan Dina, anakku? Kamu pasti sudah tidak waras!!", hardik si Somad, ayah Dina sekaligus calon mertuanya itu.
"Aku bersungguh-sungguh dengan ucapanku Pak Somad, aku berjanji akan membahagiakan Dina, maka aku memberanikan diri kembali ke sini untuk melamarnya", tukas Dudung sambil dalam hati tetap komat-kamit membaca mantra gaib yang menjadi andalannya untuk membuat lelaki itu takluk pada kemauannya.
"Sudahlah Pak, serahkan saja keputusannya kepada anak kita, toh mereka ini yang akan berumah tangga nantinya", sela si ibu Dina yang duduk di sebelah Somad.
Wanita berusia 45 tahun ini melirik Dudung seakan memberi tanda setuju akan pinangannya. Tentu saja ibu Dina bisa berkata begitu karena jampi-jampi Dudung sebelumnya telah berhasil menaklukkan hatinya sejak kemarin-kemarin.
"Lalu apa kata orang-orang nanti? Kita ini kan orang terpandang di jawa tengah.. Bukankah pernikahan ini nantinya akan mencemari nama baik kita, istriku?", jawab Somad kepada istrinya sambil menekan ujung batang cerutunya yang telah pendek sampai gepeng di asbak ruang tamu rumahnya yang begitu besar sekaligus mewah ini.
"Sudah lupakah engkau Pak? Bahwa Dudung telah banyak berjasa pada kita semua? Dia telah menyembuhkan penyakit kita sekeluarga, termasuk Dina dan aku! Ingatkah yang paling penting? Sewaktu engkau tergeletak hampir mati terkena guna-guna dari saingan bisnismu? Kalau bukan karena si Dudung ini, mungkin sekarang aku telah menjadi janda Pak", tutur istrinya seakan membela Dudung.
Dudung pun diam-diam membatin dalam hatinya, ini pun terpaksa ia lakukan karena wangsit dari guru kebatinannya yang mengharuskan dirinya memperistri Dina. Menurut gurunya, hanya Dina yang jika diperistri dapat menyempurnakan semua ilmu kanuragannya, termasuk pula ilmu pengobatannya. Sebab Dina mempunyai tanda-tanda lahir yang berjodoh dengan Dudung dalam wangsit tersebut.
"Ngghh..", tampak Somad terperangah dengan ucapan istrinya barusan dan tampaknya ini sangat berpengaruh padanya, sehingga ia seperti kehabisan kata-kata sesaat.
Dudung masih terus merapal seluruh mantera-mantera yang dipunyainya, ketika itu ia teringat akan sesuatu hal dan menatap ke sebuah pintu kamar di penghujung ruang tamu itu. Di sana lah tadi si Dina mendekam setelah tahu kedatangan dirinya kembali malam ini. Namun tekadnya sudah bulat, meskipun sebelumnya ia takut akan penolakan mereka yang selama ini selalu memberikan bantuan finansial apabila Dudung memerlukan biaya untuk mencari maupun membeli ramuan pengobatan alternatif yang diperlukannya serta keperluan usaha sampingan ternak unggasnya.
"Nah kan baru merasa kamu kalau Dudung telah menyelamatkanmu dahulu! Mengenai pernikahan biar saya yang atur saja Pak. Mereka kita nikahkan di villa pribadi kepunyaan Bapak yang agak jauh dari keramaian kota", saran ibu Dina memberi solusi atas argumen suaminya itu.
Kemudian disusul isak tangis dari dalam kamar yang ditatap Dudung tadi. Di sanalah Dina, gadis yang masih berusia 18 tahun itu bersemayam di dalamnya. Tampaknya ia baru saja mendengar percakapan itu dan tangisnya merupakan tanda ketidaksetujuannya atas apa yang baru saja diperbincangkan kedua orang tuanya di hadapan Dudung, sang dukun.
*****
"Dung.., setelah resepsi ini selesai, aku mohon kesabaranmu dahulu kepada Dina. Sejujurnya dia masih tidak menyukaimu, namun setelah aku dan suamiku memberi pengertian padanya agar tidak menolaknya kalau tidak ingin berat jodoh, maka ia mau juga memakai busana pengantinnya untukmu", pesan ibu Dina sambil merapikan kerah kemeja di balik busana jasnya.
"Baik Bu", jawab Dudung seperti anak kecil yang tengah mematuhi wanti-wanti dari ibunya.
Memang ibu Dina kini telah menjadi ibu mertua si Dudung, padahal usia Dudung lebih tua darinya beberapa tahun. Jadinya terkesan lucu.. Apalagi Dudung tak mempunyai wali dari orangtuanya yang telah meninggal, dan apalagi kedua istrinya yang tidak hadir menunjukkan ketidaksenangannya pada dirinya karena menambah madu lagi.
"Kamu dan Dina nanti dapat tinggal di rumah baru yang telah disediakan oleh Bapak, namun Dina harus tetap bersekolah. Biar bagaimanapun Dina harus menamatkan SMU-nya terlebih dahulu agar nantinya ia dapat memasuki jenjang perkuliahan. Aku tak mau sekolahnya sampai putus hanya karena pernikahan ini", tukas ibu mertuanya lagi.
Seketika Dudung berjalan di balik busana kebesarannya melewati banyak tatapan mata ketidaksetujuan atas dirinya dari kerabat-kerabat keluarga Dina. Namun ia tidak terlalu khawatir akan hal itu, karena orang tua Dina yang diimpikannya telah berhasil ia taklukkan sudah. Namun yang dikhawatirkannya adalah Dina yang akan menjadi istrinya ini tak boleh ditaklukkan dengan ilmunya, apalagi sampai dizinahinya, kalau itu dilakukan, akan habislah seluruh ilmu yang selama ini ia punyai.
Selain itu usaha berhari-hari dalam semedi demi menegosiasikan agar tidak jadi memperistri si Dina ditolak oleh gurunya, karena syarat menikahi gadis itu menjadi syarat mutlak yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Maka dari itu ia hanya bisa mengguna-gunai ayah dan ibunya saja demi tercapainya tujuan untuk mempersunting anak semata wayang mereka. Dengan langkah mantap namun hati berdebar Dudung menghampiri sosok Dina yang begitu cantik di matanya dalam busana pengantin wanita yang begitu indah dan sangat mahal tentunya.
Dudung tak henti-hentinya menelan ludah dan sebentar-bentar melirik ke arah Dina yang bersanding di sebelahnya mengagumi lekuk liku tubuh gadis belia itu ketika mereka berdua menghadap penghulu. Untaian nasihat dan wejangan dari sang penghulu sama sekali tak didengarnya, Dudung hanya sibuk berkhayal dengan fantasi pikirannya sendiri bagaimana caranya untuk menundukkan si Dina ini nantinya. Tetapi ia dikagetkan ketika telinganya menangkap bahwa untuk kedua kalinya sang penghulu kembali mengucapkan kalimat;
"Bersediakah Saudara Dudung untuk mengambil Saudari Dina sebagai istrinya yang sah baik di kala senang maupun susah sampai ajal memisahkan kalian berdua??"
"Ya! Saya bersedia!", fiuhh.. Hampir saja ia melewatkan moment penting tersebut.
"Bersediakah Saudari Dina untuk mengambil Saudara Dudung sebagai suaminya yang sah baik di kala senang maupun susah sampai ajal memisahkan kalian berdua?"
Keheningan melanda untuk beberapa saat di antara tatapan mata yang menyorot ke arah sang pengantin perempuan. Sebelum pada akhirnya suara manis lembut nan halus sedikit tercekat itu menjawab..
"I.. Ya.. Bersedia"
*****
Dudung merasa nyaman berbaring di ranjang pelaminan besar dan mewah di kamar rumah barunya bersama istri mudanya. Tak pernah diimpikannya sama sekali bahwa dirinya telah menjadi menantu orang kaya serta mendapatkan istri secantik Dina ini. Tak ada orang lain lagi di situ selain dirinya.
Suara gemericik air shower di kamar mandi itu masih terdengar. Di sanalah istri mudanya yang benar-benar masih sangat muda tersebut sedang mandi membersihkan tubuhnya. Aroma sabun wanginya sungguh menebar sampai ke dalam kamar pengantinnya yang dilengkapi oleh kamar mandi. Tadi juga ia telah merasakan bagaimana enaknya membasuh tubuh dengan shower, yang mana selama ini belum pernah dalam hidupnya Dudung menikmati fasilitas mewah seperti yang ada di rumah ini sekarang.
Yang dinantinya telah usai mandi. Dari balik kamar mandi itulah sosok istrinya keluar dengan busana baju tidur yang sedemikian indah sedikit transparan hingga membuat Dudung terkesima untuk beberapa saat. Dipandangnya Dina yang tengah mengeringkan rambut hitam panjangnya dengan handuk tebal. Sehabis mandi begitu terlihatlah keputihan dan kemulusan tubuhnya dari muka sampai ke ujung jari kakinya. Malahan saking putih dan bersihnya hingga alur-alur urat kebiruan di tubuhnya terlihat nyata di penglihatan Dudung.
Rasanya kedua istrinya terdahulu tak dapat menyamai kecantikan dan keindahan wajah dan tubuh istri ketiganya ini. Dan yang terpenting.. Masih perawan! Istri pertama yang dikawininya ternyata sudah tak perawan lagi setelah diperdaya cinta pertamanya, sedangkan istri keduanya adalah seorang janda tanpa anak yang dikawininya karena rasa kasihan ketika ia melanglang buana menuntut ilmu kanuragan dan menemukan mereka berdua dalam waktu yang terpisah.
"Dina istriku.. Kamu sudah mandi?", tanya Dudung dengan wajah dan suaranya dibuat semanis mungkin kepada istrinya itu. Padahal ini adalah pertanyaan tolol yang tak perlu dijawab, karena sudah tahu si Dina sudah mandi, kenapa masih ditanya? Namun orang yang sedang mabuk kepayang memang begitulah adanya. Dina tak menjawab pertanyaan itu, wajahnya tertegun tanpa ekspresi kepada sosok kurus hitam namun kekar yang terbaring di ranjang pengantin tersebut, suaminya sendiri.
Dudung pun mengambil inisiatif, ia bangun dari pembaringannya dan menarik lengan istrinya ke ranjang peraduan mereka. Masih acuh tak acuh Dina menanggapinya, tapi ia tak menolak ketika Dudung membawanya duduk di tepian ranjang itu. Dudung merengkuh tubuh istrinya yang telah harum mewangi karena habis mandi dan mencoba untuk mencium tengkuk istrinya itu, namun tak disangka-sangkanya Dina beringsut dari pelukannya, sehingga ciuman itu luput.
"Dina sayang, ada apa denganmu? Kini kita sudah resmi menjadi suami istri yang sah.. Aku ingin mencumbuimu", tanya Dudung sambil menahan kesabarannya atas perlakuan Dina tadi.
"Aku letih sekali Mas setelah resepsi seharian ini", keluh Dina memberi tanda bahwa dirinya tidak mau disentuh oleh Dudung.
Namun Dudung tak putus asa, ia langsung memberanikan diri untuk mengusap payudara istrinya yang masih tertutup baju tidur dan kutangnya, tapi Dina melihat gelagat itu dan secara refleks menepis tangan suaminya itu.
"Ahh.. Kenapa?", Dudung pun heran atas ulah istrinya ini.
"Aku benar-benar capek sekali Mas.. Sekarang tidurlah Mas.. Khan masih ada hari esok", jawaban Dina memang masuk akal, akhirnya Dudung pun mengalah untuk malam ini, padahal malam ini adalah malam pertama pernikahan mereka.
Hari-hari berikutnya pun begitu.
"Aku sedang mendapat haid Mas"
"Bah!", umpat Dudung dalam hati. Padahal nafsunya sudah di ubun-ubun. Dia pun memakai pakaiannya untuk pergi.
"Mas Dudung mau kemana?"
"Apa pedulimu? Aku mau plesir..!", gerutunya pada Dina. Tujuannya cuma satu, ia akan meminta 'jatah' ranjang dari salah satu istrinya yang lain malam itu juga untuk digauli.
Setelah seminggu lewat pun masih belum ada perubahan. Padahal seharusnya masa menstruasi istri ketiganya ini telah berakhir.
"Dina ada ujian mid-test besok Mas, harus kebut belajar malam ini"
Dudung pun terdiam. Sia-sia usaha rayuan dan cumbuan yang ia lakukannya selama ini pada Dina yang selalu menolaknya secara halus. Masih juga dia pakai alasan klise untuk menolakku? Lihat saja nanti! Umpatnya dalam hati.
Bersambung . . . .