Srigala lapar, trilogi 2 - the elder 6

Pak Anggoro mengikuti tanganku, menyusupkan tangannya memeluk tubuhku. Pagutan kami menjadi lebih intim. Dan terdengar desahan-desahan kecil keluar dari mulut-mulut kami. Tanganku meremas punggungnya. Tangan Pak Anggoro mengelus punggungku. Kutempelkan payudaraku ke dada berbulu Pak Anggoro. Tiba-tiba terdengar bel di pintu. Pak Anggoro bangkit menghampiri. Kulihat seorang petugas dengan seragam dinasnya menyerahkan bungkusan besar dalam tas kantong yang cantik dan secarik kertas tanda pengiriman barang pada Pak Anggoro. Setelah ditandatanganinya lembar kertas pengiriman itu, dia raih bungkusan besar tersebut dan beranjak mendekatiku.

"Maaf Bu Adit, ini bukannya apa-apa. Saya hanya memperkirakan bahwa Bu Adit perlu ganti gaun setelah gaun yang kemarin lecek Ibu pakai. Coba lihat Bu. Mudah-mudahan pas buat Ibu".
Ini merupakan bagian dari sedemikian hebatnya Pak Anggoro menghargaiku. Semua detail ia pikirkan. Rasanya kalau aku tolak akan mengurangi kebahagiaannya. Dengan hati-hati dan ucapan terima kasih, kuterima bungkusan dalam tas kantong cantik itu. Aku buka kertas bungkusnya. Aku temukan dos besar dengan tulisan tanda logo Oscar Lawalatta Fashion. Ah, bukan main wawasan Pak Anggoro pada trend mode yang disukai ibu-ibu seusiaku. Aku pandang Pak Anggoro dengan senyum bahagiaku. Kemudian dos itu aku buka. Sungguh surprise bagiku. Ini sungguh luar biasa. Sutra Obin dalam jahitan "houture couture" Oscar Lawalatta. Sungguh luar biasa bagiku. Aku langsung memperkirakan harga gaun seperti ini. Paling tidak 5 juta rupiah Pak Anggoro telah membelanjakannya pada rumah fashion si Oscar. Kulihat, tidak lupa juga nampak bungkusan yang lebih kecil, pakaian dalam sutra pula berikut celana dalam dan BH-nya. Aku tidak dapat menyembunyikan kegembiraanku. Kucium Pak Anggoro di bibirnya. Kusampaikan kekagumanku. Dan ukuran gaun itu, yang ternyata pas dengan ukuranku, M, medium.

Untuk menyenangkan hatinya, kuambil dan kurentang gaun Oscar itu. Terdiri dari 2 potong, rock & blus. Sutra Obin, yang demikian lembutnya, dengan pola kembang berwarna hijau lumut dan ungu menyebar pada latar kain berwarna merah muda. Oscar yang terkenal dengan gaya sedikit liar, dimana bagian bawah sengaja diekspresikan bebas menampilkan bahan baku yang indah dari Obin, membuat gaun itu sangat berkarakter. Aku senang dengan hal-hal yang berkarakter seperti ini. Setelah kupantas-pantaskan di depan cermin rias, aku pamerkan pada Pak Anggoro. Dengan selera humor yang kumiliki, aku bergaya bak peragawati di atas catwalk-nya. Kami berdua tertawa terbahak penuh ceria dan bahagia di pagi itu. Sekali lagi kami saling merangkul dan berpagut. Aku tahu, Pak Anggoro masih ingin menikmati tubuhku. Ciumannya melepas nafsu birahinya dan tangannya menggerayang melepasi kancing-kancing baju Oscarku. Tali-talinya dilepaskan dari ikatannya.

Dengan senang hati kuserahkan tubuhku untuk dinikmatinya. Aku masih tetap tawanannya dan aku akan melayaninya hingga dia benar-benar merasakan kepuasannya secara total. Aku menyelinapkan tanganku ke celana dalamnya. Dan kini kontolnya yang hangat ada dalam genggamanku. Dia menuntunku ke sofa besar. Aku dipangkunya. Pak Anggoro melepas ikatan kimononya sendiri hingga kami sama-sama setengah telanjang, hanya menyisakan celana dalam kami. Wajahnya langsung tenggelam ke ketiakku. Dia jilat dan lumat-lumat ketiakku. Kemudian merambat ke buah dadaku berikut puting-putingnya. Aku mulai menggelinjang. Birahi segera merambati tubuhku. Apalagi saat bulu-bulu tubuh Pak Anggoro kembali menyentuh bagian-bagian tubuhku.

Aku pasrah menerima serangan ciuman dan jilatan di seluruh tubuhku. Kubiarkan Pak Anggoro betul-betul seakan melahap tubuhku. Aku meraba, mengelus dan memijit kontolnya yang semakin mengencang dan membesar. Juga aku meraba bagian peka tubuhnya yang lain. Tangan kananku mencoba meremas bokongnya yang gempal itu. Jari-jari tanganku mencoba merambat ke analnya. Kuraba, bulu-bulu analnya sangat lebat hingga merimbuni lubang analnya. Ingin rasanya aku menikmati aroma wilayah ini. Aku mendesah. Pak Anggoro merebahkan tubuhnya ke sofa sambil menarik tubuhku yang membelakanginya. Kemudian dia raih kaki kananku ke atas. Aku tahu. Dia akan menembakkan kontolnya dari arah belakangku. Aku mencoba membantu dengan meraih kontolnya untuk kuarahkan pada memekku. Sambil saling berpagut dan melumat, kontol Pak Anggoro menembus memekku. Vaginaku melahap seluruh batangnya. Kemudian dia mulai memompa.
Saat itu dia berbisik di telingaku.
"Bu Adit, aku sangat mengagumi Ibu. Ibu sangat mempesona dan berkarakter. Aku selalu ngaceng kalau mengingat Ibu. Tadi malam aku bangun dan perhatikan Ibu yang telanjang. Oh, indah sekali. Aku ingin lebih lama memandangi, tetapi karena AC kamar yang sangat dingin aku tunda keinginanku. Aku selimuti Ibu".
Aku tidak membalas perkataannya. Aku hanya melepas senyumku dan lebih melumatkan ciumanku. Aku sangat senang dan bahagia bertemu dengan pria seperti Pak Anggoro. Bisa bercinta dengannya. Dan dia sangat menghormatiku. Dia telah menunjukkannya pada setiap servicenya bahkan sejak awal pertemuan kami kemarin.

"Bu, Bu Adit mau nggak kalau..?", pertanyaannya tidak diteruskan.
Aku hanya mendesah, "Heecchh..?".
"Saya ingin sekali lagi ngentot mulut Bu Adit", dia melanjutkan maksudnya.
Sekali lagi aku tidak menjawabnya melalui kata. Aku memeluknya dengan penuh semangat dan nafsu. Dan Pak Anggoro yang langsung tahu, bahwa aku akan dengan segala senang hati melakukan keinginannya. Dia bangkit dan membopongku ke ranjang. Kali ini dia yang bergolek telentang. Dia ingin aku yang berperan aktif. Aku sambut keinginannya. Aku turun dari ranjang dan berlutut meraih kaki-kakinya. Seperti yang dilakukannya padaku kemarin, kulakukan hal yang sama padanya sekarang. Dengan segenap perasaan dan kelembutan, aku mulai menjilat dan menggigiti kaki, jari-jari kaki, telapak kaki dan tumit-tumitnya.

Pak Anggoro menggelinjang. Dia mengaduh-aduh kenikmatan. Tangannya meremas bantal di ranjang. Matanya membeliak ke atas menerawang menikmati birahinya yang terlempar dan terayun-ayun dalam alun gelombang samudra nikmatnya bercinta. Ciuman dan jilatanku merambati kaki-kakinya. Betis, paha dan selangkangannya. Bulu-bulu itu sangat membuatku bergairah. Aku meremas-remas bagian-bagian tubuhnya dengan penuh greget. Ciumanku menyedot hingga meninggalkan cupang-cupang memerah di paha dan selangkangannya. Aroma selangkangannya membuatku setengah gila menerima kenikmatannya. Kubenam-benamkan mukaku ke selangkangannya itu. Rambutku yang panjang beberapa kali kusibakkan agar tidak menghalangi isapan dan sedotan bibirku. Dan saat mulutku mulai mengulum biji pelirnya, tangan Pak Anggoro tak kuasa lagi untuk diam. Diraihnya rambutku dan dihelanya ke atas hingga terasa pedih pada kulit kepalaku. Rambutku yang meruapakan mahkotaku itu diremas-remasnya. Aku sengaja belum menyentuh kontolnya yang telah menjulang keras dan kaku. Batangnya penuh dilingkari urat-urat dan kepalanya yang tegang mengkilat-kilat masih belum menarikku untuk menjamahnya.

Ada keinginanku yang akan kulakukan terlebih dahulu. Ini adalah obsesiku yang terlahir tadi saat mulai bercumbu. Aku ingin menciumi lubang pantatnya. Aku ingin menenggelamkan mukaku ke celah bokongnya yang telah kuraba bulu-bulunya yang sangat rimbun tadi. Dan puncak keinginanku itu langsung didorong oleh gejolak libidoku. Kubalikkan tubuh Pak Anggoro yang tinggi besar itu. Kini aku seakan berubah menjadi betina yang dengan liar dan buasnya menggapai mangsanya. Tahu mengenai laba-laba betina yang akan dikawini oleh laba-laba jantannya? Begitu sang jantan selesai melakukan tugasnya, maka seketika itu pula si betina akan merangsek dan menangkapnya. Ya, sang jantan itu akhirnya dilahap dalam arti sebenarnya sebagai mangsanya.

Dan aku telah 'menangkap' Pak Anggoro. Dalam tingginya birahi yang sedang melandanya, Pak Anggoro akhirnya akan menyerah terhadap apapun yang akan kulakukan. Saat aku menyaksikan pesona bulu-bulu kelelakian yang tumbuh di mana-mana di tubuh Pak Anggoro, nafsu betinaku muncul. Aku langsung membenamkan diri di selangkangan belakangnya. Aku cium dan kujilati tempat itu. Dan aku terus merangkak lebih ke atas. Aku memintanya dengan isyarat agar Pak Anggoro menungging. Dan pesona bulu anal di celah pantat Pak Anggoro yang rimbunnya hingga menutupi analnya kini terpampang tepat di depan wajahku. Celah pantatnya kurekahkan. Kulihat samar-samar lubang duburnya. Kudekatkan wajahku. Aku mulai menciuminya. Semerbak bau analnya langsung menyergap hidungku. Aku sudah lupa daratan. Kubenamkan saja hidungku ke dalamnya. Lidahku menari-nari mencari lubang itu.

Pak Anggoro mengaduh. Tangannya menggapai-gapai untuk meraih kepalaku. Aku tahu, dia ingin agar aku lebih membenamkan kepalaku lagi ke dalam bokongnya. Sementara itu tangan kiriku meraih kontolnya yang menggelantung. Tetap tegang. Kukocok kontolnya itu pelan. Kuelus kepalanya, jari-jariku meraba lubang kencingnya. Rupanya Pak Anggoro telah menemukan puncak dari segala puncak nikmat birahinya. Dia langsung mengambil alih perananku. Dia kembali menjadi penguasaku. Dan aku kembali tunduk pada kemauannya. Dia balik telentang.
"Aku mau keluarr.., Bu Aditt.., isep kontolku, Buu.., ayyoo isepp Buu..".
Ah, saatnya datang. Kraih kontolnya dan kugenggam. Kudekatkan bibirku. Aku mulai menyapu kepalanya dengan jilatan-jilatanku. Kemudian kutelan kepala dan batang itu. Aku tahu, kalau sudah seperti ini, Pak Anggoro tidak akan mungkin mampu bertahan.

Dan saat cairan lendir panas menyemprot langit-langit mulutku, dengan teriakan histeris keras, Pak Anggoro kembali meremas-remas kepalaku. Pantatnya diangkat-angkat hingga menyodok tenggorokanku. Aku terus memompanya dengan mulutku hingga tangan Pak Anggoro merenggut kepalaku.
"Sudah, sudah Bu. Aku nggak tahan. Ngilu banget rasanya, Bu.., lepaskan Bu Aditt.., oohh".
Kulepaskan kontolnya dari mulutku. Aku kecapi spermanya di mulutku. Dan kemudian kutelan. Wow, sarapan keduaku.
"Ah, maaf Bu Adit. Sakit ya?", tangannya mengelus kepalaku.
Aku menggeleng sambil merapat dan mencium dadanya. Aku masih terbawa emosiku. Rasa erotisku masih hinggap pada tubuhku. Tapi aku tidak akan memaksakannya pada Pak Anggoro agar membuatku menerima kemurahannya dan meneruskan cumbuannya setelah spermanya tumpah ini. Aku sendiri cenderung bersikap menggantung. Biarlah kusimpan untuk kesempatan yang lain saja.

Disinilah kelebihan seorang perempuan. Dia sudah cukup puas jika telah melihat pasangannya dapat menikmati kepuasannya. Itu merupakan kepuasan utamanya. Dan untuk para lelaki egois, menganggap hal itu masalah biasa. Dianggapnya memang para perempuan tak terlalu memerlukan orgasme pada setiap persenggamaan. Dan toh memang terbukti, anak-anak tetap lahir, kehidupan rumah tangga tetap berjalan seperti biasa dan sebagainya dan sebagainya.
Tapi Pak Anggoro ternyata memang berbeda. Dia masih berusaha merespons ciumanku di dadanya. Hanya saja naluriku sudah berkata untuk mencukupkannya dulu. Aku katakan pada Pak Anggoro bahwa rasanya badanku sudah lelah dan ingin agar pertemuan ini segera disudahi. Dia dapat memakluminya.

Dia telepon ke front office untuk segera check out dan agar disiapkan administrasi pembayarannya. Aku pergi mandi sekali lagi. Aku perlu meyakinkan diri bahwa aku dalam keadaa segar dan bersih saat aku pulang nanti. Ketika Pak Anggoro juga telah kembali merapikan diri dan siap pulang, dia mendekatiku. Dari saku celananya, dia keluarkan amplop putih yang menggembung.
"Maaf Bu Adit, aku ingin menyatakan rasa bahagia dan terima kasihku. Ini sama sekali bukan pembayaran, Bu. Ini adalah kebahagiaan yang ingin kushare bersama Ibu. Terimalah".
Aku tahu dia memberiku uang. Kali ini aku menolaknya. Kusampaikan bahwa aku juga senang dengan apa yang telah kami alami bersama, bisa saling bertemu dan meraih kenikmatan bersama. Kukatakan bahwa apa yang telah ditunjukkan dan diberikannya padaku sangat luar biasa untukku. Kukatakan juga bahwa aku merasa sangat dihormati, dihargai dan aku merasa sangat tersanjung karenanya. Aku tidak pernah dan tidak akan pernah mengaitkan hal-hal seperti ini dengan urusan uang. Kukatakan bahwa sebenarnya aku adalah "penikmat seksual" dalam arti sebenarnya. Aku tidak harus mencari yang tampan, kaya dan sebagainya. Aku akan suka pada siapapun yang memang kusuka. Dan itu semua harus ada nilai seninya. Nilai seni bercinta. Dan tak seorangpun mampu membeli kenikmatan seni bercinta itu.

Pak Anggoro memandangiku. Dia nampak mengagumi cara pandangku pada kehidupan seksualku. Dia baru memahami bahwa demikianlah aku adanya.
"Ah, maaf Bu Adit mengenai masalah villa Bogor itu. Dengan ucapan Ibu barusan, rasanya saya keliru kalau berprasangka buruk pada Ibu. Maafkan saya, Bu".
"Tetapi, janganlah Ibu tolak kebahagianku ini. Dengan pemahamanku mengenai bagaimana Bu Adit memandang seni cinta tadi, aku semakin menghormati Ibu dengan sepenuh hati saya".
Dan Pak Anggoro tetap memaksaku untuk menerimanya. Akhirnya aku membiarkannya saat amplop itu disisipkan ke kantong plastik indah dari Oscar, yang sekarang fungsinya adalah untuk membawa pulang pakaian kotorku. Kami sepakat, Pak Anggoro akan mengantarku hingga ke lobby Sogo Departement Store dalam bangunan yang sama dengan Grand Hyatt Hotel ini di lantai bawah.

Sebelum benar-benar keluar pintu kamar, sekali lagi kami saling berpagut dan melumat cukup lama. Pukul 2 siang aku sudah di rumah. Ada beberapa surat yang disisipkan ke bawah pintu. Saat aku mengeluarkan pakaian kotorku ke mesin cuci, kutemukan amplop pemberian Pak Anggoro. Tebal juga. Kutengok isinya. Oohh.., tidak salahkah ini..? Kudapati 2 ikat 100 ribuan rupiah dan 7 lembaran 100 US dollar-an. Bukankan ini artinya senilai lebih dari 25 juta rupiah Pak Anggoro telah membagi 'kebahagiaannya' untukku. Wow, bukan main orang itu. Bukan berarti aku bahagia karena nonokku telah dapat menghasilkan uang sebanyak itu, tetapi yang kurasakan adalah adanya getaran erotis saat memegang ikatan-ikatan uang itu. Bagaimanapun uang itu memang ada kaitannya dengan nonokku yang sempat dinikmati lelaki lain yang bukan suamiku. Dan untuk kenikmatan yang didapatkannya itu, dengan senang hati dia mengeluarkan uang sebanyak itu untukku. Kemana harus kusimpan ini? Tentu aku tidak ingin diprasangkai oleh Mas Adit dengan uang sebanyak ini. Menyenangkan sekaligus membingungkan. Ah biarlah, untuk sementara uang ini tidak akan kugunakan. Akan kumasukkan saja ke rekening bank-ku. Mungkin ini juga merupakan rejekiku yang harus kubagikan pada orang lain yang lebih memerlukannya.

Dan sesuai dengan janji Pak Anggoro, sekitar 10 hari sepulang bertugas dari Kalimantan yang dinilai sukses oleh perusahaan, Mas Adit kemudian diangkat menjadi Wakil Direktur. Hal itu terjadi 20 hari lebih cepat daripada yang pernah dibicarakannya padaku. Saat pengangkatan jabatannya yang baru, semua jajaran karyawan perusahaannya hadir untuk memberikan selamat pada Mas Adit dan juga kepadaku sebagai istrinya.

Jakarta, April 2003

Tamat