Weekend yang tak terlupakan

Aku mengenalnya dari kawan kuliahku di kota gudeg, cuma kami berbeda kampus. Aku kuliah di sebuah PTS terkenal, dan dia belajar di sebuah akademi pariwisata di pusat kota. Awalnya ini sebetulnya adalah ide sohibku Wayan untuk mengajakku berakhir pekan di Kaliurang, karena seorang temannya bernama Tari mengundang kami untuk mengadakan pesta ulang tahun di sebuah penginapan di sana. Sebelumnya aku juga sudah tahu si Tari ini punya geng cewek-cewek yang salah satunya punya nama Enya, anak Minang yang bodinya padat berisi, mungkin karena dia rajin ikut aerobik, soalnya aku pernah sekali melihat dia di jalan pakai pakaian senam yang tertutupi bagian atasnya dengan t-shirt berukuran L plus sepatu kets.

Kulitnya putih mulus, tingginya sedang, payudara berukuran cukup, tapi yang paling menarik bagiku adalah wajahnya yang cantik dengan tatapan mata "butuh" tapi seperti sengaja untuk menyembunyikannya untuk mempermainkan para lelaki supaya pusing menebak bagaimana isi hatinya. Mungkin dia tidak menyadari hal ini, tapi cukup jelas terlihat untuk pria seperti aku yang pernah terlibat hubungan erotis dengan beberapa kaum hawa untuk mengetahuinya. Sayangnya dari si Tari aku sudah dengar kalau dia punya pacar anak Betawi seperti halnya aku, yang di saat liburan semester seperti sekarang ini lagi balik kampung. Jadi untuk menghindari perang dunia ke-3, aku sengaja menahan diri untuk tidak mendekatinya. Lagipula dia juga kelihatan cuek, bersikap biasa saja terhadap geng-ku yang semuanya cowok-cowok.

Dan begitulah, sore itu kami berkumpul di kamar Tari di lantai 2 rumah kontrakannya sesama mahasiswi akademi pariwisata. Dari teras di depan kamarnya yang menghadap ke jalan aku bisa langsung melihat teman-teman kongkownya datang satu persatu memasuki garasi yang tepat berada di bawah kamar Tari. Tidak lama kemudian datanglah dia yang kutunggu-tunggu, Enya. Berboncengan motor, dia yang pegang kemudinya. Sewaktu melewati gerbang di bawah sana, antara sadar dan tidak, aku tiba-tiba saja bersiul pelan karena terpesona oleh keindahan pinggulnya yang bergerak condong ke belakang untuk menuntun motornya masuk ke garasi. Dan tanpa bisa kuajak kompromi mendadak imajinasiku melayang begitu saja, membayangkan kalau-kalau saat itu juga aku bisa meraba pinggul dan pantatnya yang bulat menggoda itu.

Sekitar jam 4 sore setelah kami berkumpul semua, kami pun berangkat berboncengan naik motor. Semuanya ada 6 motor, aku memboncengkan Tari sedangkan Enya memboncengkan seorang teman ceweknya yang aku tidak tahu namanya. Begitu tiba di Kaliurang acaranya segera dimulai, yang entah apa tema-nya tidak aku acuhkan. Soalnya aku lebih sibuk memperhatikan Enya diam-diam tanpa dia tahu. Sekitar 1 setengah jam kemudian acara selesai dan kami bersiap untuk pulang. Tanpa diduga-duga Enya mendatangiku dan memintaku untuk memboncengkannya. "Kepalaku lagi pusing, nggak kuat untuk bawa motor. Jadi kusuruh si Tari ngegantiin untuk bawa motornya memboncengin temenku satunya," kata dia. Antara setengah terkejut dan sok cuek aku cuma membalasnya dengan anggukan kepala saja.

Di tengah perjalanan pulang setelah agak lama kami saling terdiam, dia mulai berani untuk merapatkan payudaranya ke punggungku untuk berkata pelan persis di belakang telingaku,
"Bram, sebetulnya aku tadi sore denger lho siulanmu, waktu kamu ada di loteng," katanya. "Cuma aku nggak mau ngeresponnya, nggak enak sama Tari," katanya lagi.
"Lho emang kenapa?" tanyaku pura-pura bego.
"Iya, dia kan naksir kamu, cuma pas acara di Kaliurang tadi dia bilang sama aku, sepanjang perjalanan tadi kamu cuma diem aja," dia bilang.
Untuk sesaat langsung muncul di otakku suatu rencana brilian untuk menanggapi arti kata-kata Enya barusan. Mengingat hari masih sore langsung aku tawarkan ke anak-anak untuk ngumpul-ngumpul di rumahku daripada keluyuran tidak ada juntrungan. Dua teman geng-ku langsung mengangguk setuju diikuti anggukan seorang teman cewek. Yang lain ngomong punya acara sendiri, jadinya ya kami berpisah di tengah jalan. Enya-nya sendiri juga manggut untuk ikut ke tempatku. Siip, pikirku.

Aku tinggal sendiri di rumah karena orangtua ada di Bandung berdinas. Setelah sekitar satu jam-an mereka ada di rumahku, mereka berpamitan untuk pulang. Dan lagi-lagi Dewi Fortuna seperti berpihak kepadaku, Enya karena merasa masih pusing, tidak mau ikut pulang. Dia minta permisi untuk rebahan di ranjang kamarku barang sebentar. Aku langsung tanggap dengan situasi yang terjadi. Cepat begitu selesai mengantarkan teman-temanku pulang sampai gerbang. Aku langsung kembali ke kamarku untuk menghampiri Enya. Kudekati dia perlahan, tanpa berbicara kutaruh punggung tanganku ke dahinya. Seolah-olah seperti seorang dokter yang memeriksa kondisi pasiennya. Sebagai balasannya Enya menyentuh tanganku dengan lembut dan mendekapnya. Langsung kutundukkan kepalaku untuk mencium bibirnya yang ranum. Sedetik kemudian semuanya menjadi liar, kami mulai berpagutan. Tanganku tanpa terkontrol, otomatis bergerak menelusuri seluruh jengkal tubuhnya, seolah ingin memuaskan rasa penasaranku terhadap keindahan tubuhnya. Aku lupa mengenai pacarnya yang sekarang ada di Jakarta. Aku lupa mengenai keinginanku untuk tidak mendekatinya. Aku juga lupa mengenai kemungkinan terjadinya perang dunia ke-3.

Sesaat kemudian kurenggut blus-nya, diikuti bra-nya yang seperti dugaanku menyembunyikan sepasang bukit indah di baliknya. Tidak terlalu besar memang, tapi bentuknya yang bulat dan padat itu benar-benar membuatku seperti tersambar petir di siang bolong. Tanpa ampun langsung kuhirup, kuremas dan kujilat putingnya dengan ujung lidahku. Dan reaksi yang kudapat benar-benar luar biasa, dia mendesis hebat karenanya. Seolah ingin menahan gejolak berahinya yang meluap-luap, dan ini semakin mengangkat syahwatku ke tingkat yang paling tinggi. Sementara tanganku di bawah bergerak secepat kilat berusaha memelorotkan celana dalamnya ke bawah. Tak sabar aku untuk melihat gumpalan daging yang beraroma khas di sana. Begitu kulihat warnanya yang merah-muda menantang, langsung kualihkan lidahku ke sana. Kumainkan dia sepuas hatiku, dan kupaksa klitorisnya untuk mengeluarkan lendir lebih banyak lagi.

Setelah sekian lama, sembari matanya terpejam antara rasa nikmat dan amukan magma birahi di dalam kepalanya. Aku beringsut cepat untuk menurunkan celanaku sendiri. Kulihat penisku sudah demikian jenuh oleh nafsu untuk segera melaksanakan tugasnya. Dengan masih dalam keadaan mata terpejam dan desisan yang keluar dari mulutnya, pelan-pelan kuarahkan sang penis ke liang sanggamanya. Terasa nikmat yang luar biasa di ujung penisku ketika perlahan melewati bibir kemaluannya. Kemudian kugerakkan panggulku turun-naik dengan irama beraturan yang semakin lama semakin cepat. Beberapa saat kemudian di antara desisan suaranya yang kian mengeras kulihat tiba-tiba ia membelalakkan matanya ke arahku seperti ingin melepaskan ledakan emosi yang terdalam. Tahulah aku, bahwa ia sedang berada dalam tahap orgasmenya. Kupercepat lagi gerakan panggulku, dan beberapa menit kemudian aku meledak di dalam liang kemaluannya. Diiringi dengan teriakan kecilnya yang tertahan.

Dan sesaat kemudian segalanya menjadi tenang, seolah kami berdua berada di tengah-tengah lapangan maha luas tanpa seorang pun penonton berada di sisi tribunnya. Lambat-lambat kulihat dengan sudut mataku, tampak dia sedikit menarik ujung bibirnya untuk memberi senyuman yang paling manis yang pernah kulihat. Selama seminggu aku mengenalnya, setiap ada kesempatan selalu kami luangkan waktu untuk bercumbu melepaskan birahi yang berjejalan di benak kepala kami. Sampai akhirnya pada suatu pagi ketika aku berkunjung ke kost-nya, dia berkata bahwa pacarnya sudah kembali dari Jakarta. Aku tidak dapat berkata apa-apa. Peduli apa aku dengan rasa cintanya! Dan sejak itu aku tidak pernah menemuinya lagi. Tapi mungkin aku harus berterima kasih kepadanya karena telah memberiku kenangan selama seminggu yang tak terlupakan. Dan kusiapkan hidupku untuk mendekati cewek lain yang dapat menggugah rasa hati dan berahiku.

Tamat