Widya, a long day at the office - 4

Wajah Hendra masih tampak dengan ekspresi kaget dan konyol-nya itu ketika pintu bilik pertama terbuka dan Bramantio-si Satpam keluar dengan melongo kepadaku tanpa mampu berkata apa-apa! Antara kaget dan malu aku menghardik mereka berdua bagai seorang kakak yang marah pada adik-adiknya.

"Ngapain kamu berdua disini.. Di toilet wanita?"

Aku segera sadar kalau mereka rupanya sudah janjian ngintip Diana dan Nina disini.

"Lha kamu sendiri ngapain?" ucap Hendra dengan lugu sekenanya.
"Lho ini kan toilet wanita jelas aku ada keperluan masuk ke sini" kataku dengan nada meninggi.

Aku kesal pada mereka berdua karena merasa bahwa mereka telah mengganggu privasi-ku disini. Kesal karena baru sadar kalau dua orang lelaki ini tadi juga telah ada saat aku duduk di closet. Walaupun aku cuma pipis tapi ada semacam sense of privacy-ku yang dilanggar dengan kehadiran dua pria ini kendatipun aku juga sadar kalau mereka juga pasti tidak menyangka aku akan ke sini.

Kulihat Hendra senyum-senyum kecut menatap-ku dengan tatapan tolol-nya sedangkan Bramanto terlihat salah tingkah dan tidak berani memandang wajahku. Tubuhnya yang gempal tampak bergerak-gerak mengikuti nafasnya yang berat agak tersengal-sengal serta sebentuk gundukan panjang mirip polisi tidur tercetak jelas di celana satpam-nya yang ketat. Rupanya si Bramanto ini masih belum bisa menghilangkan sensasi rangsangan akibat 'tontonan' gratis tadi.

"Sorry Wid.. Kita nggak tahu kalau kamu bakal masuk kesini" ujar Hendra dengan guilty face.
"Eh tapi benar khan cerita-ku.. Aku sama 'manto memang sengaja mau buktiin gosip itu" ujarnya lagi setengah membela diri tapi dengan ekspresi penuh kemenangan karena berhasil membuktikan omongannya padaku.
"Iya bu.. Mereka sudah sering begituan disini" ujar Bramanto menimpali.
"Berarti kamu juga sudah sering nyelinap masuk kesini buat ngintip mereka" kataku dengan dengan nada suara agak mengintimidasi satpam itu.
"Eh nggak bu.. Ini baru yang kedua dan ini juga karena Pak Hendra penasaran mau tahu"
"Waktu yang pertama juga aku nggak sengaja pas lagi kontrol aku dengar suara kasak-kusuk.. Nggak taunya ibu Diana dan Mbak Nina itu.." katanya tanpa melanjutkan kalimatnya.
"Sudah yang jelas masalah ini biar aku saja yang ngomong ke Ibu Diana.. Pak Hendra dan kamu diam-diam saja" Aku berbicara dengan tegas dan singkat.

Yang jelas aku ingin cepat-cepat meninggalkan ruangan toilet wanita ini. Sebenarnya aku masih ingin ngobrol banyak sama Hendra tapi karena ada Bramanto si satpam aku jelas harus tetap menjaga image-ku sebagai atasan juga image Diana dan Nina di depan satpam itu seburuk apapun keadaan mereka dimata kita sekarang.

Kita bertiga segera beranjak keluar dari situ. Aku dan Hendra kemudian terlibat perbincangan (lebih tepatnya pergunjingan) seru tentang kejadian yang sama sekali tidak disangka tadi (bagi Hendra mungkin sudah disangka karena mereka memang niat mau ngintip). Waktu sudah menjelang pukul delapan malam ketika Hendra pamit pulang.

Aku sendiri masih asyik mengutak-atik internet explorer-ku sambil menikmati suasana lengang di kantor. Pikiranku kembali terbayang pada kejadian paling menghebohkan yang kualami hari ini. Aku jadi bertanya dalam hati.. Apakah aku betul-betul menikmati apa yang kulihat dari adegan-adegan penuh nafsu yang dipertontonkan Diana dan Nina di toilet tadi? Normalkah aku kalau ada rangsangan yang timbul dalam diriku ketika melihat 'ulah' mereka tadi? Suasana ruangan kantorku yang sudah kosong ini mirip sekali dengan suasana tadi siang pada jam istirahat.

Lenggang dan nyaman membuat aku merasa kembali rileks. Perlahan tapi pasti aku seperti ter-sugesti oleh semua yang kualami hari ini. Mulai dari nikmatnya air dingin dari shower tadi pagi, kemudian orgasme yang penuh sensasi tadi siang, lalu terakhir adalah suguhan nafsu yang penuh keindahan yang diperagakan dengan sempurna oleh Diana dan Nina diatas wastafel itu.. Oh benakku kembali diserbu berbagai fantasy yang cukup membuat peri baik yang senantiasa berbisik di telinga kananku cemberut. Sementara si peri nakal dengan sepasang tanduk kecilnya tampak tersenyum manis sambil menggelitikku dengan trisula godaannya yang makin tidak ter-elakan lagi. Kurasakan kewanitaanku mulai basah dan aku diselimuti oleh aroma sexual yang tinggi.

Tok.. Tok.. Tok suara ketukan halus terdengar dari balik pintu ruanganku.

"Bu Widya.." terdengar suara lelaki tapi suara itu bagai terjepit diantara kerongkongannya.

Ah itu pasti Bramanto si satpam.

"Iya.. Kenapa? Masuk aja" aku mengundangnya masuk.

Saat yang bersamaan tanpa diundang semua stimulasi yang kuterima hari ini turut memasuki pikiranku dan menentukan keputusan buatku.

"Kebetulan aku lewat dan melihat ruangan ibu masih terang.. Ibu masih lama disini?" suaranya datar dan sopan.

Aku hendak menjawab tapi dia kembali melanjutkan kalimatnya,
"Aku sekalian mau pamit pulang.. Lagian sudah ganti shift.. kalau ibu masih lama dan perlu beli makanan atau minuman bisa titip aku biar nanti aku suruh maintenance yang mengantarkan kemari.." ujarnya.

Bramanto rupanya sudah berganti pakaian. Seragam satpam-nya telah berganti polo shirt dan di tangan kirinya ada tas kecil yang pasti berisi seragam satpamnya.

"Oh tidak.. Terima kasih sebentar lagi aku juga mau pulang" jawabku dengan ramah.
"Manto duduk sini aku mau bicara denganmu," suaraku penuh penekanan dengan nada memerintah. Bramanto tampak agak ragu tapi dia menuruti perintahku dan duduk di kursi di depan mejaku.
"Eh masalah tadii itu bu.. benar lho aku sebenarnya nggak berniat.. Tapi Pak Hendra yang.." suaranya terputus putus karena merasa bersalah.

"Aku tidak menyalahkan kamu tapi aku meminta kamu supaya, merahasiakan hal tadi.. Aku tidak mau mendengar sampai ada orang lain lagi yang tahu hal ini" ujarku sambil bangkit dan duduk ditepi meja kerjaku tepat di depannya.

Dengan sengaja aku meletakkan paha kananku diatas paha kiriku. Gerakan itu sengaja aku lakukan dengan agak demonstratif. Sekarang pasti sebagian besar pahaku yang terbalut stoking nampak jelas dimatanya. Bramanto memperbaiki posisi duduknya. Jakunnya terlihat bergerak menelan ludah. Itu reaksi yang kunantikan!

Sejenak aku memandangi sosok gempal yang nampak rikuh di depanku. Dia kira-kira berusia 25 tahun dan sudah berkeluarga. Tipe pria pekerja yang selalu jadi bahan fantasi-ku! Dia pasti merasa kalau aku memandangnya dengan tatapan yang tidak pantas. Tapi aku telah menentukan pilihanku. Lebih tepatnya adalah hasratku telah menentukan pilihannya bagi keinginan tubuhku.

"Mm.. Maaf Bu tapi aku harus segera pulang" rupanya dia sudah merasa gelisah.
"Kamu sudah berkeluarga?" tanyaku lagi tidak mempedulikan perkataannya.
"Iya bu.. Sudah 4 tahun"
"Istriku sedang hamil," lanjutnya lagi, "Hamil tujuh bulan bu"jawabnya lagi tanpa ditanya.

Betul-betul terlihat gugup sehingga dia menjawab sesuatu yang tidak kutanyakan. Cukup mudah bagiku untuk memanipulasi dan memancing pria sekelasnya. Selama ini aku terbiasa berinteraksi dengan pria berpendidikan dan memiliki intelektual yang cukup tinggi sehingga dengan mudahnya aku mendominasi percakapan dengan Bramanto.

Status sosial serta posisiku yang jauh lebih tinggi darinya membuat dia sangat menghormatiku hingga dengan mudah terintimidasi olehku. Dalam posisi 'in charge' seperti ini, rasa percaya diriku makin tinggi hingga aku mulai memperlakukannya sebagai obyek dari hasratku. Segala sesuatunya telah aku pikirkan dengan matang sehingga aku yakin dengan setiap perbuatanku padanya.

"Tadi kamu sepertinya menikmati sekali mengintip ibu Diana dan Nina ditoilet itu," aku berucap dengan penuh provokasi, "Ehm.. Ya nggak juga sih.. Tapi ya.." sesaat dia bingung untuk melanjutkan ucapannya itu.
"Ehm.. Ibu juga khan ngerti, namanya juga lelaki normal.. Ya suka juga"

Wajahnya tampak memerah berkata begitu tapi aku melihatnya bagai gunung es yang mulai cair. Nada suaranya terdengar mulai rileks dan lebih enteng. Ada perubahan yang terlihat dari bola matanya yang hanya sekali-sekali berani menatap wajahku. Kulihat mulai ada gairah di matanya. Bagiku itu tandanya Bramanto sudah mulai menduga arah pembicaraanku. Sekarang tinggal menunjukan padanya secara eksplisit.

"Kenapa.. Apa istri kamu dirumah kurang bisa melayani kamu?" kulepas kedua sepatuku dan membiarkan kedua kakiku tergantung bebas.
"Ehm.. Segenarnya sih nggak juga.. Tapi ya dia lagi hamil tua.. Ya jadinya aku sudah lama nggak.." suaranya terhenti ketika kuletakkan kaki kananku diatas pangkuannya.

Entah apa yang berada di dalam pikiranku karena saat itu yang tujuanku adalah memuaskan hasrat yang kian menggebu. Kuyakin Bramanto tidak akan sanggup menolak keinginan-ku. Tinggal masalah kendali bagiku karena siapa yang mengendalikan dialah yang mendominasi. Sementara bayangan tubuh Diana dan Nina yang menggeliat saat menahan kenikmatan kembali membayangi fantasi-ku. Tampak Bramanto terdiam kembali terlihat jakunnya naik turun dan nafasnya menjadi berat pertanda gairahnya memuncak.

Kini kedua matanya menatap-ku dengan tatapan yang sama sekali tidak kusukai. Tatapan itu penuh nafsu terpendam dan hasrat ingin menguasai. Terlihat pandangan khas seorang laki-laki yang memandang wanita di depannya ini sebagai objek sex yang siap memenuhi nafsu sesuai seleranya. Itu adalah hal yang paling kubenci dari pria dalam berhubungan sex apalagi kini tatapan itu keluar dari pria yang kuanggap tidak selevel dengan-ku. Apa boleh buat aku yang memancingnya, kini aku yang harus mengantisipasi itu dengan segera memegang kendali 'permainan' ini.

Tangan Bramanto mulai meraba pergelangan kaki kananku yang kutumpangkan diatas pahanya.

"Kamu menginginkan aku khan?" kataku halus namun penuh penekanan.
"Ah ibu Widya.. Aku nggak enak" ucapnya namun tangannya mulai merayap ke atas kebagian paha-ku.
"Tutup mulutmu dan turuti permintaanku" kataku dengan suara pelan dan halus.
"Layani aku" ujarku singkat setengah berbisik.

Wajah Bramanto masih terlihat bingung ketika aku memindahkan posisi duduku sehingga sekarang tepat berada diatas meja di depannya. Aku kemudian membuka kedua pahaku dan menginjakkan kakiku di pegangan kursi tempat Bramanto duduk.

"Tolong lepaskan stokingnya" ujarku memerintahnya.

Rupanya suaraku dalam keadaan seperti ini membuat Bramanto seperti terhipnotis sehingga tanpa basa-basi lagi dia menuruti permintaanku. Tangannya menelusup ke balik rok-ku dan menarik pantyhose yang kukenakan. Sempat dia berusaha menarik celana dalamku agar turut terlepas turun namun dengan lembut aku memberi isyarat agar dia tidak melakukan itu. Matanya tampak setengah melotot dan berulang kali jakunnya naik turun menelan ludah ketika sepasang betis yang indah mulus terekspose di depan matanya. Tanpa di suruh dia langsung mengangkat kaki kiriku dan mulai menciumi betis-ku. Terasa hangat ketika lidahnya menjilati betisku. Kurasakan sesekali dia mengecup betisku dengan nafas menderu hingga menimbulkan rasa geli yang mebuatku merinding.

"Tolong mulai dari bawah" ujarku sambil meringis menahan geli dan nikmat.

Bersambung . . . .