Nikmat membawa sengsara - 1

"Selamat pagii..", suara merdu itu menggema di ruangan tamu rumah kosku yang cukup lapang.
Selanjutnya terdengar suara batuk yang panjang, yang dikeluarkan dari kerongkongan yang sama.
Aku memandang si pemilik suara itu dengan rasa kasihan.
"Masih batuk Win?, kok kelihatannya semakin keras saja. Pergi ke dokter dong".
Wiwin, si pemilik suara, hanya tersenyum manis. Dia membuka lemari es dan mengambil sebotol air es, langsung diteguknya tanpa memakai gelas lagi.
"Enggak kok Mas No', ini mah sudah mendingan. Kemarin aku sudah konsultasi ke dokter katanya enggak apa-apa. Udah baik."
Tetapi kata-katanya itu dilanjutkan lagi dengan batuk yang beruntun, membuatnya tersedak-sedak dan terbungkuk-bungkuk.

Itulah si Wiwin, satu-satunya cewek di tempat kosku ini. Namaku Nano, dan bersama ketiga kawanku (Dwi, Deni dan Atok) tinggal di rumah kost ini sudah semenjak dua tahun yang lalu. Kami samasama kuliah di salah satu universitas swasta beken di Jakarta ini, dan rumah kost ini kami pilih karena jaraknya yang sangat dekat dengan kampus. Selain harganya tidak terlalu mahal, rumah ini lumayan luas dan terawat baik (ada satu pembantu yang datang pagi-pagi untuk memasak, mencuci dan membersihkan rumah). Bagi kami, mahasiswa perantauan yang tinggal sendiri di ibukota, kondisi ini cukuplah. Kami merasa nyaman dan kerasan di rumah ini.

Hingga kemudian, datanglah si Wiwin. Wiwin adalah keponakan dari Ibu Hidayat, pemilik rumah kost ini. Ayah dan ibunya tinggal di Bandung tetapi telah bercerai semenjak dia berusia 5 tahun. Wiwin adalah anak tunggal, tampaknya perkembangan hidupnya menjadi kacau setelah perceraian itu. Dia tinggal bersama ibunya (yang sudah kawin lagi dengan duda beranak tiga), tetapi tampaknya sangat kurang mendapatkan kasih sayang. Dia berkembang menjadi gadis super bandel yang semenjak SMP hidupnya lebih banyak dihabiskan untuk berkeliaran pada malam hari bersama gengnya dari pada belajar, selalu merokok seperti kereta api dan membuat berbagai ulah yang merepotkan orang tuanya.

Pada saat berumur 17 tahun, dia mendapatkan dua 'hadiah' sekaligus, hamil di luar nikah dan dikeluarkan dari SMA nya karena kedapatan mengkonsumsi narkoba. Untung saja kehamilannya dapat dihentikan dengan pengguguran kandungan, tetapi untuk persoalan sekolah rupanya sudah tidak tertolong lagi. Si Wiwin sama sekali mogok tidak mau sekolah. Dia memilih tinggal di rumah saja, dan meneruskan kegiatannya lontang-lantung bersama gengnya dan terus memberikan kontribusinya terhadap pendapatan cukai negara dengan terus menerus merokok, tidak henti-hentinya.

Orang tuanya tampaknya sudah angkat tangan betul-betul dengan ulah anak gadisnya itu, sehingga sejak empat tahun yang lalu dia dipindahkan ke rumah Ibu Hidayat, bibinya yang jauh lebih ketat dalam beragama (pak Hidayat mempunyai pesantren kecil yang dikelolanya sendiri). Tetapi keluarga Pak Hidayat yang alim inipun akhirnya angkat tangan terhadap ulah bandel si Wiwin, terutama karena keberaniannya menggoda para santri yang masih muda dan polos.

Akhirnya untuk mengurangi akibat buruk dari ulah begajulan keponakannya itu, Pak Hidayat menempatkan si Wiwin di rumahnya yang dijadikan rumah kosku ini. Si Wiwin (dengan setengah dipaksa) mengambil kursus sekretaris, meskipun mungkin dia datang kursus cuma sebulan sekali. Dia ditempatkan di kamar yang paling besar yang terletak di belakang rumah, sehingga diharapkan kalau dia mau amblas malam-malam hari akan lebih mudah dikontrol karena harus melewati kamar-kamar kost yang lain. Tetapi inipun tidak membantu. Si Wiwin tidak peduli dengan pandangan anak-anak kos, dia tetap dengan santainya meneruskan kebiasaannya setiap hari, berkelana dan merokok seperti kereta api.

Itulah sekelumit kisah hidup si Wiwin, teman kost kami. Dan inilah sekelumit fakta lain mengenai dia, dari segi fisik, si Wiwin (ini sungguhan) astaga-naga cantiknya.

Tubuh si Wiwin ini tinggi juga (+/- 168 cm), kulitnya putih mulus dengan rambut hitam tebal, mata seperti kijang dan mulut super sensual dengan bibir agak tebal. Buah dadanya berukuran 36 D (wuaah.., gede banget), dengan pinggul yang benar-benar membuat mata setiap lelaki melotot memandangnya. Dan hebatnya, tubuh bahenol itu kalau di rumah sering hanya ditutupi dengan selembar daster tipis yang hanya disangkutkan di bahu pemakainya dengan dua utas tali kecil, sehingga keindahan punggung dan lengannya tampak dengan jelas dan menjadi konsumsi gratis mata anak-anak kos.

Pokoknya, si Wiwin sungguh-sungguh top badannya. Lha, kenapa kami selama ini masih bisa menahan diri, tidak menubruk tumpukan daging indah yang setiap hari melintas di hadapan kami itu? Alasannya adalah, semenjak dia masuk ke rumah kost ini (kira-kira setahun yang lalu), si Wiwin sudah disamber si Roni, salah seorang teman sekampusku, dan dengan bangga diproklamasikan sebagai pacarnya. Mereka berkenalan ketika si Roni main ke tempat kost kami, dan dalam waktu seminggu mereka sudah lengket seperti permen karet.

Kami sudah mengingatkan Roni mengenai kabar kabur si Wiwin yang tidak begitu baik dan hobinya yang suka ngelayap dengan sembarang orang, tetapi teman kami itu tidak peduli. Mereka berpacaran dengan bersemangat, dan hebatnya kami melihat bahwa si Wiwin yang begajulan itu akhirnya tunduk juga. Dia sudah agak jarang pergi malam hari, kecuali diantar si Roni. Kalau pacaran mereka juga lebih banyak duduk saja di bawah pohon jambu di halaman rumah, sambil makan bakso yang sering lewat malam-malam. Sungguh romantis.

Nah, kira-kira dua bulan yang lalu, si Wiwin mulai sakit. Dia bilang tubuhnya sering lemas dan panas, ditingkahi dengan sesak napas dan batuk yang tidak ada hentinya. Kamipun dengan mudahnya memvonis, itu pasti akibat rokok yang tidak pernah lepas dari mulutnya. Wiwin sering terbaring lemas di kamarnya, meringkuk di balik selimut tebal. Bapak dan Ibu Hidayat sering menengoknya dan secara rutin membawanya ke dokter. Acara ke dokter ini tampaknya semakin lama semakin sering, tetapi mereka sungguh tutup mulut mengenai apa sakit si wiwin sebenarnya. Kalau ditanya pun, si Wiwin cuma menjawab, "Enggak tahu, TBC 'kali..", sambil mencibirkan bibirnya yang seksi.

Pada awal-awal sakitnya, Roni dengan rajin mengantar pacarnya itu ke rumah sakit. Hampir tiap hari dia datang, memijiti si Wiwin dan memberinya obat. Sunguh pacar kelas satu. Tetapi pada minggu-minggu terakhir ini, ada perkembangan drastis. Itu dimulai ketika suatu malam, Roni berbicara serius dengan bapak dan Ibu Hidayat di halaman depan rumah. Waktu itu si wiwin baru pulang dari dokter, sakitnya kumat dengan hebat dan dia meringkuk di kamarnya dengan tubuh menggigil. Hampir satu jam tiga orang itu berbicara di depan rumah, dan akhirnya si Roni masuk ke dalam dengan wajah yang sangat aneh, antara marah dan sedih, matanya berkaca-kaca. Dia mendatangi kamar Wiwin tetapi tidak masuk ke dalamnya. Dia hanya memandang tubuh pacarnya yang meringkuk di balik selimut dari balik kaca, berkali-kali menarik napas panjang dan akhirnya pergi tanpa pamit.

Dan ternyata itulah kali terakhir si Roni datang ke tempat kost kami. Waktu kami tanyakan ke Wiwin, dengan santainya dia menjawab, "Kami udahan kok.., putus! nggak cocok 'kali. Mana ada cowok macem Roni yang mau dengan cewek kaya gue". Meskipun dinyatakan dengan bercanda, ada nada kepedihan dalam suaranya. Waktu kami konfirmasikan ke Roni, dia selalu mengelak. Waktu kami desak, ia hanya berkata pendek, "Udahlah. Kami udah putus. Nggak ada apa-apa lagi." Tetapi pada akhir kalimatnya, ia memberikan peringatan yang aneh, dengan suara bergetar, "Kalian semua, jauhi si Wiwin itu. Dia sangat berbahaya." Dan tanpa menjelaskan lebih jauh maksudnya, si Roni cepat-cepat ngeloyor pergi.

*****

Nah, kembali ke depan, di pagi hari yang indah yang ditingkahi dengan batuk rutin dari si cantik. Ketika Wiwin selesai dengan batuknya, muncullah ketiga teman kosku yang lain dari kamar masing-masing. Ini hari minggu, jadi kami bangun telat banget. Si bibik pembantu sudah selesai masak, mencuci dan membersihkan rumah, dan sekarang dia sudah pulang. Jam menunjukkan pukul delapan pagi.

"Selamat pagi, Win", kata Dwi dengan hormat.
Salam yang juga diikuti oleh Deni dan Atok bersama-sama. Wiwin menjawab dengan hormat juga (basa basi), "Selamat pagi, kakak-kakakku sayang. Enak benar tidurnya? ngimpi apa ya semalam?" tanyanya dengan suara nakal.
"Eehh.., mimpi jorok", kata Dwi sekenanya.
Deni dan Atok hanya nyengir sambil menggaruk kepala, memandang tubuh Wiwin yang terbalut daster kebesarannya. Tubuh gadis itu sudah lebih kurus dari sebelum sakit, tetapi tetap sangat seksi. Wajahnya yang sedikit cekung malah tampak semakin merangsang bagi kami. Wiwin terkikik mendengar jawaban itu.
"Waa.., mimpi jorok apaan yah? Mas mimpi main jorok sama siapa hayoo?".
Dwi (yang tampaknya masih setengah ngantuk) menjawab lagi sekenanya.
"Yah, mimpi main jorok sama kamu Win.., sama siapa lagi. Wong kita tiap hari ketemu, ya pastinya kebawa juga dalam mimpi."
Kali ini mata Wiwin yang indah terbelalak, disusul tawanya yang berderai, "Mosok sich Mas? bohong ah".
"Bener", kata Dwi meyakinkan.
"Enak nggak?" tanya Wiwin menggoda.
Wah, ini mulai panas, pikirku.
"Enak dong", kata Dwi lagi.
Kesadarannya sudah kembali penuh dan sekarang dia memang siap main goda-godaan.
"Terutama waktu kamu lagi.., apa yaah..", katanya sambil pura-pura mengingat.
"Waktu lagi dicoblos kontol Mas ya?", tanya Wiwin.

Walah, kami semua tersentak kaget. Jorok banget mulut cewek ini! Meskipun kami tahu si wiwin ini cewek urakan, tetapi karena selama ini selalu menjaga jarak dengan dia maka kami tidak tahu bahwa dia punya mulut secomberan itu.
Dwi tersedak-sedak minumnya, berusaha menjawab dengan tenang.
"Iya, waktu itu juga, tapi paling hebat waktuu..", dia pura-pura mengingat lagi.
"Waktu kita main enam sembilan yach? waktu Mas jilatin memek saya dan waktu saya isep kontol Mas yach?", tanya Wiwin semakin menggoda.
Kami hampir pingsan mendengarnya. Blak-blakan banget! tetapi pada saat itu, nafsu kamipun mulai naik. Ini cewek jelas sedang menggoda kami. Dan kami saat ini memang sedang sangat siap untuk digoda!
"Hiyaa.., betullah itu", jawab si Dwi sambil berjingkrak.
"Kamu hebat sekali Win. Bisa saja kamu menebak."

Si wiwin sekarang berdiri di depan kami (kami berempat sedang duduk menggelosor di karpet, di depan TV). Dia memandang kami berganti-ganti dengan mata yang nakal.
"Teruuss.., bagaimana ini? Mas mau sebatas mimpi apa mau direalisasikan? Wiwin mau loh!", dia berkata dengan serius.
Dia menggoyang-goyangkan badannya mengikuti lagu dangdut dari TV, membuat buah dadanya yang super besar bergerak-gerak menggairahkan.

Aku yang pertama mencoba sadar.
"Udahanlah Win. Ini cuman bercanda kok. Lagian kamu lagi sakit, jangan pikir yang macem-macem deh. Gih sono kamu mandi dulu."
Kamar mandi kami memang cuma satu, jadi kami selalu antre mandi kalau pagi.

Tetapi si Wiwin malah membelalakkan matanya yang indah.
"Wii.., emangnya Mas Nano kira gua bercanda? Ini bener nih! Wiwin pingin dan mau!".
Dan tanpa diduga oleh kami semua, dengan cepat Wiwin meraih tali dasternya dan sekali sentak menariknya. Daster itu dalam sekejap jatuh ke lantai.

Kini, Wiwin telah berdiri telanjang bulat di depan kami. Ternyata dia tidak memakai baju dalam apapun. Dengan bebas kami melihat tubuhnya yang sangat bahenol, buah dadanya yang berukuran 36 D tergantung bebas dengan puting cokelat kemerahan. Meskipun sangat besar, buah dada itu tampak tidak merosot meskipun tidak disangga bra. Perutnya yang putih mulus, pahanya yang jenjang, dan sekumpulan bulu lebat yang menutupi selangkangannya. Bulu-bulu itu lebat sekali, sehingga aku tidak bisa melihat belahan kemaluannya sama sekali. Aku menelan ludah. Ini mimpi apa beneran?

Wiwin berdiri dengan tetap memutar mutar badannya pelan ke kanan kiri, mengikuti musik di televisi.
"Hayoo.., Wiwin sudah siap nih. Lihat dong badan Wiwin, nggak usah dibawa ke mimpi segala macam. Mas-Mas kan tiap hari melotot melihat Wiwin kan? Nih dia, sekarang Wiwin kasih gratis buat Mas-Mas."
Dan sambil berbicara dia mulai melenggak-lenggok, seperti penari striptease (tukang kelayapan macam dia pasti sudah tahu, apa malah dia pernah melakukan?).

Kedua tangannya menelusuri tubuhnya sendiri, dan meremas-remas buah dadanya yang menggelembung. Disangganya buah dadanya dengan telapak tangannya, dan dengan gerakan menggoda mendekatkan buah dadanya ke wajahku.
"Niih Mas Nano, nikmati deh.., ayoo, nggak usah malu-malu".
Aku masih terdiam karena kaget dan terpesona. Tetapi kini puting buah dada Wiwin mulai digesek-gesekkan ke wajahku, terasa hangat dan lembut.

Bersambung . . . . .