Secret lover - 2

Sesampainya di rumah, kubongkar kembali file-file lamaku, berharap mendapatkan secuil kenangan tentang Revy di situ. Dan saya berhasil mendapatkannya..!! Dua lembar potongan karcis film "Speed" tertanda medio 94 yang lalu masih ada dalam salah satu file-file lamaku. Tersenyum aku seorang diri mengingat betapa lucu mimik wajahnya mengagumi sosok Keanu Reeves yang menjadi tokoh dalam film tersebut, 6 tahun yang lampau sambil terus mendesakku untuk mengikuti potongan rambut Keanu yang memang tengah mewabah saat itu. Hahaha.. makin kayak tikus kecebur got donk kalau saya nekat memapras rambut saya meniru tokoh tersebut. Di lain pihak, entah mengapa saya suka menyimpan benda-benda yang mempunyai memori, mungkin saya adalah orang yang setia pada kenangan. Dan malam itu saya tertidur dengan senyum. Senyum tentang indahnya sebuah kenangan.

Jakarta, 1 Desember 2000, 03:19 PM
Lapar dan haus memang nyaris tidak saya rasakan, namun perasaan yang jenuh dan mengantuk yang tengah melanda diriku dengan hebat, sambil terus mencoba fokus memandangi General Manager-ku yang terus mengomel sepanjang memimpin rapat siang itu. Busyet.. bosku ini pakai baterai apa yah, kok ngomelnya tahan banget dari tadi, pikirku sambil setengah mati menahan mata agar tidak terpejam. Memang sih dia tidak mengomeliku, namun rekan-rekan yang lain yang menjadi sasaran. Tapi tetap saja bikin bete kalau dengar orang yang ngomel melulu. Ini salah, itu salah. Ini kurang, itu kurang. Iseng kulirik ke luar jendela. Hhmm.. ruangan ini di lantai 4, kayaknya lumayan juga kalo GM-ku ini dilempar ke luar jendela, hahahaha..

"Tet.." bunyi teleponku sekali, cukup mengejutkanku. Saya rupanya lupa untuk men-set silent mode sebelum meeting tadi dimulai. Untung cuma SMS, coba kalau phone call yang masuk, bisa bikin ribut seruangan meeting. Sejenak kulirik SMS yang masuk. Ah, dari Revy yang mengajakku keluar mencari makan bersama sore nanti. Lumayan lah, malam libur seperti ini ada juga yang bisa dikerjakan. Berarti selesai meeting, saya harus menelponnya kembali untuk memastikan jadwal datang kita sore ini. Dating? hah? mimpi kamu..!!

Sejak kita bertemu lagi, memang sering kami berjalan-jalan seusai jam kantor. Hampir 2 hari sekali kami jalan, pun hanya untuk dinner dan mengobrol serta bercanda. Rasanya tidak pernah habis bahan obrolan kami. Entah mengapa kami makin terasa dekat satu dengan lainnya. Revy pernah bilang kalau jalan dengan saya banyak ketawanya. Dia bisa bebas bercanda, ketawa, bahkan sampai ngakak. Katanya lagi, komentar-komentar saya sering mengejutkannya, dan membuatnya tidak bisa berhenti untuk tertawa. Rasanya ramai, seperti waktu masih muda dulu, ujarnya lagi. Dia bilang belum ada seorang pun kecuali saya yang mampu membuatnya dapat mengekspresikan apapun rasa di dalam hatinya dengan bebas, tidak juga Heru, tunangannya. Katanya berjalan dengan tunangannya itu adalah jalan-jalan serius, dinner di tempat-tempat yang serius (maksudnya formal kali yah?), membicarakan hal-hal yang serius. Datar tanpa kejutan, tanpa gejolak. But I love him anyway, sambungnya lagi.

Tidak terasa semakin hari kita semakin dekat. Semakin sering kita jalan, ada sesuatu yang mulai mengikat perhatianku kepadanya. Semakin aku mengenal kembali dirinya, seperti saat-saat dulu. Ah.. kalau saja cincin itu belum ada..

Waktu menunjukkan jam 17:36 WIB saat kulangkahkan kaki memasuki lobby gedung kantor Revy, sebuah gedung dengan bentuk menyerupai kipas raksasa di atapnya. Saya memang menjemputnya kali ini, karena mobilnya telah expired surat-suratnya dan harus diuruskan ke pihak yang berwenang untuk perpanjangannya. It takes one or two days, katanya. Telah kutelepon dari lahan parkir tadi, mengatakan bahwa saya akan menunggunya di lobby. Yup.., itu dia. Revy telah menunggu di lobby. Setelan celana panjang hitam dengan blazer senada menutupi kausnya yang berwarna biru muda sangat chic dikenakannya.

Kemacetan Jakarta sore hari telah memaksa kami untuk membongkar kotak kue Revy lebih dulu di jalan ketika jam di mobilku menunjukkan pukul 18:02 WIB. Sebuah restaurant Korean Food yang terletak di BBD Tower (kini Bank Mandiri) di kawasan Diponegoro yang menjadi referensinya kali ini. Katanya dari situ kita bisa makan sambil menikmati gemerlapnya lampu Jakarta di bawah sana dari puncak gedung tersebut. Mendengarnya mengingatkanku pada kafe-kafe di bilangan Bukit Dago Pakar Bandung, tempat kita bisa menikmati city view Bandung sepuas mungkin sambil menghirup dinginnya udara pegunungan, sebuah pemandangan yang selalu menjadi fave saya sampai kapan pun. Andaikan Revy sempat pula merasakannya..

Kali ini Revy memang benar. Indah sekali menyaksikan gemerlapnya Jakarta dari atas sini. Lampu-lampu dari gedung maupun penerangan, berwarna-warni menghiasi pemandangan kota di malam hari. Di bawah sana tampak permainan ornamen lampu dari sebuah restaurant steak terkenal berpendar-pendar indah. Bagus memang, tapi tetap ada sisi romantisnya yang hilang. Tidaklah sesakral city view Bandung, di mana kita dibuat menyatu dengan alam, merasakan sapaan lembut angin yang menghembus wajah kita, tanpa batas dinding kaca dan pendingin ruangan seperti sekarang ini. Namun dengan Revy di hadapanku, apalah yang menjadi kurang bagus? Memandang senyumnya saja seakan mampu memadamkan setiap lampu kota yang ada di bawah sana. Hiperbolik memang, tapi bukankah begitu rasanya fall in love? Hah? Jatuh cinta? mimpi kamu..!!

"Lucu yah Ryo, kalau ingat dulu kita sering dikira pacaran," katanya di tengah obrolan.
"Iya.. dan kalau mereka melihat lagi apa yang kita lakukan sekarang, pasti semua kaget menyangka betapa awetnya kita pacaran, hahahaha.." sahutku.
Dan kami pun tertawa bersama. Seringkali kami berjalan bersama, tidak satu kata cinta pun terucap, pun setelah bilangan tahun telah berlalu. And now what a perfect situation.. Delicious food, good place, romantic sight, beautiful face, fire in the heart, unless.. unless one thing.. ring in her hand. Huh..

-----------------

Masih sempat kulirik jam yang menempel di dinding ruang tamu Revy menunjukkan pukul 22.42 WIB saat kami memasuki unit apartemennya. Sebuah unit apartemen kecil yang asri, dengan 2 kamar tidur dan teras dengan pemandangan menghampar menuju Jl. Casablanca, jelas terlihat dari lantai 7 ini.

Revy meninggalkanku sendiri di ruang tamu, saat ia meminta ijin untuk sebentar ke kamar kecil. Hhmm.. penataan ruangan yang bergaya minimalis namun dengan paduan warna yang terang dan berani mewarnai desain interor ruang tersebut. Iseng kusibakkan tumpukan CD yang berserakkan di karpet. Chaka Khan, Toto, Whitney Houston dan ah.. Syaharani.., sama seperti kasetnya yang selalu kudengarkan di mobil saat pulang-pergi kerja. Perlahan kumainkan dalam stereo set, selembut suara Syaharani melantunkan "Unforgetable" beberapa saat kemudian. Kuhempaskan tubuhku di atas sofa, saat tak lama kemudian Revy bergabung denganku, membawa dua kaleng coke dingin untuk kembali mengobrol dan bercanda, cekikikan dan tertawa lepas. God damned, I hate those ring..

Malam semakin larut, ketika kuputuskan untuk berpamitan dan pulang. Why does it feel so hard everytime I say goodbye, seems like I won't never see her again..?
Sepatu kiriku baru saja kukenakan, saat tiba-tiba dari belakangku terdengar suara Revy bertanya, "Ryo, kita sudah lama berteman, and I think I've already knew all about you, except one thing," Revy menahan nafasnya sejenak untuk kemudian melanjutkan, "..and may I know about it now? and please answer the truth".
"Sure whatever you want to know, just ask me," tanyaku terheran. Sebenarnya mau nanya apa sih nih anak?
"Ryo, have you ever had some different feelings about me?" tanyanya tergugup.
"What do you mean with different feelings?" balasku tak kalah kagetnya.
"Come on Ryo, you know what I mean. Don't make it harder for me, please.." kata Revy dengan wajah memelas.
"Why should you know?" tanyaku lagi untuk menghindar.
"I just have to know, Ryo. Please answer me.." balasnya sedikit memaksa.
Shit..!! What should I do? Tell her everything I've been feeling about her? or just lying and tell her everything is right? Perang batin berkecamuk seketika, membuatku ragu untuk memilih apa yang akan kukatakan kepadanya. Waktu merambat perlahan, sampai akhirnya saya menyerah dan memutuskan untuk menceritakan yang sebenarnya. Pikirku toh dia sudah menemukan cinta sejatinya dan sebentar lagi akan menikah. Pengakuanku mungkin hanyalah sebuah intermezzo dalam jejak-jejak hidupnya. Dan lagipula kita sudah sama-sama dewasa, pasti dapat menerima keadaan seberapa buruk pun.

"Have I fallen with you, is that what you wanna know, Rev?", tanyaku pada akhirnya. Revy hanya terdiam dan tertunduk sembari memainkan ujung blazernya dengan kedua tangannya.
"Yes Rev, I have fallen with you. In fact I have been falling in love with you since we're in school," jawabku mencoba untuk tegas. "Apakah saya pernah jatuh cinta sama kamu, Rev? Jawabnya pernah, bahkan selalu.. Saya selalu mencintaimu," lanjutku tidak kuat lagi menahan endapan perasaanku padanya.

Sunyi keadaan setelah itu. Menit demi menit berlalu tanpa kutahu apa yang harus kulakukan. Marahkah dia padaku? Jika tidak, mengapa dia terdiam begitu lama? Lalu saya harus bagaimana? Meninggalkannya begitu saja, atau harus tetap tinggal untuk melihat reaksinya? Sekonyong-konyong Revy menubruk tubuhku, memelukku erat sambil menangis. Saya hanya mampu balas memeluknya sambil mengusap-usap rambut sebahunya yang terurai di pundaknya. What's wrong honey?

"Kamu jahhaatt..!!" serunya tiba-tiba, masih sambil menangis dan memukuli dadaku dengan kedua tangannya. "Kenapa kamu baru mengatakannya sekarang? Tahukah kamu Ryo, betapa setianya saya menyimpan cinta untukmu selama ini, sampai akhirnya saya memutuskan untuk memberikannya kepada orang lain?" serunya lagi sambil sesunggukan.

Tiba-tiba dunia terasa berputar hebat manakala saya mendengar pengakuannya. Revy selama ini mencintaiku? Oh My God.. I've found someone who understand me best, and I just let it slip away? Sesak rasanya nafasku demi mendengar semuanya. Those ring.. those ring takes my happiness away..

Menit demi menit berlalu kudengarkan seluruh cerita Revy, mendengarkan bagaimana dia terus mengharapkan perkataan cinta dari bibirku, bahkan sampai saat dia menuntut ilmu ke luar negeri dan kami tidak pernah berkabar berita lagi. Sampai akhirnya dia memutuskan untuk menerima cinta Heru dan belajar untuk mencintainya, karena cinta Heru adalah kenyataan baginya, sedangkan cinta saya hanyalah sebuah mimpi. Saya tak tahu harus berkata apa. Yang saya lakukan hanya berusaha meredakan tangis dan menyekakan air matanya dengan sapu tanganku. Beberapa saat hingga akhirnya keadaan Revy cukup tenang, dan kami masih terus saja berpelukan.

I think of you every morning, dream of you every night Darling I'll never be lonely, whenever you're inside I love you, for sentimental reasons..

Alunan suara Syaharani lembut melantunkan sebuah tembang lawas "For Sentimental Reasons", makin menghanyutkan kami berdua dalam sebuah dekapan erat yang menyejukkan. Tanpa sadar tubuh kami bergerak perlahan mengikuti alunan lagu. Ya.. tanpa sadar kami berdansa, diiringi lembut musik yang keluar dari stereo set di buffet ruang tamu. Dari jendela masih terlihat Jakarta yang terang, seakan sengaja menyisakan kehangatannya untuk kami berdua. Kami terus tenggelam dalam suatu dansa yang lembut dan romantis, bahkan setelah musik berhenti dimainkan sekalipun. Kami hanya bergoyang lembut, mengikuti kata hati semata. Perlahan kukecup lembut keningnya. Terasa bagaimana ia mempererat dekapannya. Kudongakkan perlahan dagunya, masih sempat terlihat olehku bagaimana Revy memejamkan kedua matanya, sebelum akhirnya kucium bibirnya penuh perasaan. Kami berdekapan dan berciuman erat, larut dalam galau emosi dan kerinduan yang sekian lama tak terkatakan, bahkan dalam bilangan tahun sekalipun. Segala macam rasa yang pernah kami rasakan, seakan kami tumpahkan pada sebuah ciuman yang dalam. Lembut kuangkat tubuhnya hingga kini aku menggendongnya setelah beberapa saat kita bercumbu, sambil terus berciuman. Perlahan kuberjalan ke sofa dengan tetap merengkuhnya dalam dekapan.

Tiba-tiba kurasakan ruangan menjadi gelap, tatkala tangan Revy berhasil menjangkau saklar lampu yang terletak di dekat pintu utama. Sunyi senyap gelap, hanya desahan nafas kami berdua yang sedang dihanyutkan cinta. Kini kami terduduk di sofa, dengan Revy dalam pangkuanku. Kami masih terus saja berciuman, semakin dalam. Perlahan kutanggalkan dua buah kancing blazernya, untuk kemudian jatuh terjuntai ke karpet. Revy pun berusaha melepaskan satu persatu kancing kemejaku, hingga pada akhirnya ia berhasil mendapatkan kemejaku dalam genggamannya, untuk kemudian dijatuhkannya pula ke karpet.

Kami terus bergumul dalam paduan kerinduan yang tak terbilang. Tak kuingat jelas bagaimana masing-masing kami kehilangan kain penutup tubuh satu persatu, sampai akhirnya kami hanya tinggal mengenakan kain penutup tubuh yang terakhir. Kucumbui dada Revy penuh kehangatan, ketika kurasakan lembut tangannya menyusup ke balik celana dalamku, menurunkannya dan menggenggam erat kejantananku dengan telapak tangannya. Ugh.. sungguh suatu sensasi yang tak terkatakan. Kuturuni centi demi centi tubuh Revy dengan menyisakan bekas-bekas pagutan berwarna keunguan pada sekujur tubuhnya. Nafas Revy terus memburu, dan makin memburu ketika perlahan kusingkapkan celana dalam bernuansa biru muda, sedikit demi sedikit menyusuri kedua kakinya yang jenjang hingga akhirnya terlepas seluruhnya.

Bersambung . . .