Rebirth - 2

"I finally found you, Kuei!" pria tinggi besar berjanggut panjang di atas kuda merah itu membentak kasar.
Matanya setajam burung elang. Golok besar terangkat di atas kepalanya. Kukembangkan senyum puas di bibirku.
"Yuen-Chang, you'd never give it up, hai-ma?" logat selatan keluar dari bibirku dengan fasihnya.
Sebagai satu-satunya pelindung Yung-An, sudah kewajibanku mengusir pengacau. Terutama bangsat yang sudah mengkhianati kebaikan junjunganku, Lord Liu Zhang. Bahkan di usiaku yang sudah nyaris kepala enam ini kegagahan masih kujunjung tinggi.

Pria berjanggut indah itu tertawa lalu merangsek kudanya maju. Tempik sorak soprai terdengar dari kedua kubu. Kutendang rusuk kudaku dan memutar tombak di atas kepalaku.
"Yieeaa..!" Trakk!! Cringg!!
Debu beterbangan saat kedua chi kami bertemu.

*********

"Permisi." sebuah suara lembut megejutkanku dan menarikku pulang dari impian yang menakjubkan.
Kukendurkan otot-ototku dan tersenyum memandang gadis berpakaian kaos putih di depan teras. Gadis itu menundukkan kepalanya malu-malu. Beberapa saat kemudian bapak penjual sate tadi muncul dari balik tembok pembatas teras. Mulutnya menyeringai puas.
Dengan tertawa kutegur bapak itu, "Saya kira ngga jadi, Pak."
Bapak itu terkekeh dan mendorong tubuh si gadis masuk ke ruang tamu. Mungkin hal ini sudah biasa baginya.

Beberapa saat kemudian bapak itu keluar dan membuka telapak tangannya, "Mas..?"
Dengan tertawa kurogoh dompetku dan mengeluarkan selembar dua puluh ribuan, "Nih, Pak. Terima kasih, ya."
Bapak itu mengambil lembaran uang dan menciumnya seolah baru memperoleh durian runtuh. Sambil tersenyum-senyum kupandangi bapak itu sampai menghilang di kegelapan jalan. Sekejap kemudian aku sudah lupa pada gadis di ruang tamu. Memang pada dasarnya aku hanya iseng.

*********

"Give up!!" sentakku saat kedua gagang senjata kami bertemu.
Pria gagah itu tersenyum sinis, "Lo-Huang, why don't you realize the weakness of your Lord?"
"Shut your honey-mouth up, Kuei!" sentakku dan memutar gagang tombak.
Panglima Guan menarik mundur tubuhnya dan membalikkan goloknya, menggempur tanpa mengucapkan sepatah katapun. Perlahan tekanan chi-nya mulai menusuk tulang-tulang tuaku. Seandainya aku masih muda. Ratusan jurus keluar tanpa sadar.

*********

Tanpa terasa setengah jam berlalu dengan kekalahanku. Gong pemimpin pasukan memaksaku kembali ke kubu. Dan menutup kisah idolaku. Kupandangi telaga yang mengelam di kejauhan dan mulai merasakan dingin sekali lagi mengingatkanku akan bahaya pneumonia. Kuangkat tubuhku dan bergegas masuk ke dalam ruang tamu. Baru saat itu aku sadar aku tak sendiri.

Gadis itu tertidur di atas sofa. Pipinya terlihar kurus. Kaos yag dikenakannya tidak terlalu lusuh. Mungkin pembantu rumah tangga, pikirku geli. Kutekuk lututku dan memandangi wajahnya. Gadis itu sebenarnya manis. Manis untuk hitungan orang desa, tentunya. Tubuhnya terlihat padat. Lengannya berisi, dan buah dadanya tampak kencang terjepit lengan yang menjadi bantalnya.Bibir gadis itu sesekali bergetar. Ah, ia kedinginan, pikirku lalu melepaskan jaket dan menutupi tubuh gadis itu. Kasihan sekali.

Kutaksir umurnya baru sekitar enam belas tahun. Pinggulnya masih ramping dan pangkal lengannya masih kecil. Baru satu atau dua kali berhubungan seksual. Kugaruk-garuk kepalaku menyadari betapa buruknya pengalaman yang mendasari pemikiranku. Gadis itu bergerak dan menggapai ujung jaket hingga menutupi lehernya.

"Shh, tidur saja," ucapku lirih lalu beranjak menuju kamar.
Aku sama sekali tidak bergairah. Mungkin terlalu sibuk dengan pemikiranku sendiri. Mungkin juga karena gadis itu hanya sekedar wanita bayaran. Sampai di dalam kamar, kuletakkan tubuhku di atas tempat tidur. Saat itu mendadak seluruh tulangku terasa lemas. Pasti hawa dingin ini penyebabnya. Atau mungkin juga perasaanku yang kacau balau. Kubuka kembali buku di tanganku dan membiarkan impianku terlelap di medan perang.

Menjelang pukul dua pagi.

Aku memiliki sebuah kebiasaan aneh. Mungkin beberapa orang juga mengalaminya. Dalam kesibukanku sebagai seorang kuli tinta, waktu sangat terbatas. Kami dituntut untuk dapat mengorganisir waktu-waktu luang kami supaya tidak ketinggalan berita. Begitu juga dengan jam tidurku. Aku terbiasa untuk bangun setelah tidurku mencapai lima jam. Entah dalam kodisi dan di lokasi manapun. Seolah-olah di kepalaku ada jam weker otomatis yang selalu membangunkanku saat belnya berdering. Dan itu pula yang terjadi saat itu.

Aku membuka mata dan dalam sekejap melipat tubuhku. Hawa terasa dingin sekali. Dan aku begitu bodoh untuk terlelap tanpa selimut ataupun jaket. Beberapa saat kemudian, kesadaran membuat leherku kering. Kuangkat tubuhku dan membuka pintu kamar. Sedikit tersentak melihat gadis itu masih di atas sofa.

Tubuh gadis itu meringkuk. Jelas saja. Gadis itu hanya mengenakan span tipis berwarna hitam. Dari jauh dapat kulihat pahanya yang menyatu. Bukannya terangsang, tapi rasa iba mulai menyusupiku. Kubuka pintu kamar sebelah, lalu menghampiri gadis yang meringkuk di sofa. Erangan lirih keluar dari bibirnya saat kuangkat tubuhnya dan membawanya ke dalam kamar. Gadis itu terasa ringan di dekapanku.

Kubaringkan tubuhnya di atas tempat tidur dan menarik selimut menutupi tubuhnya. Gadis itu mengeluh sekejap tapi masih pulas. Sepertinya dia sangat capai.
Habis ngapain, Non? 'Mbajak sawah?
Sambil tertawa kutinggalkan kamar itu dan menuju ke dapur untuk membuat kopi.

Kunyalakan kompor gas dan mulai merogoh-rogoh plastik perbekalan yang kubeli sebelum masuk hotel. Kukeluarkan sebungkus Nescafe 2 in 1 dan menuangkan isinya ke dalam gelas. Sambil menunggu air mendidih, kuruncingkan bibirku dan menyiulkan Sweet Child o' Mine kesukaanku.Mendadak pintu kamar terbuka.

"Mas, kamar mandinya di mana?" gadis itu megusap matanya lalu menatapku.
Sambil tersenyum kutunjuk ke arah kiriku, "Di sana tuh."
Gadis itu mengangguk dan berjalan sempoyongan menuju kamar mandi. Akhirnya kubalikkan lagi sebuah gelas dan merogoh sachet baru. Tak berapa lama kemudian gadis itu keluar dari kamar mandi. Gadis itu mengenakan jaket yang kuselimutkan di tubuhnya tadi. Matanya menatapku dengan pandangan yang susah diartikan.

"Ngapain bengong..?" senyumku, "Sini nih. Minum kopi."
Gadis itu terlihat ragu sejenak sebelum akhirnya melangkah ke ruang tamu.
"Duduk," ucapku sedikit memerintah, lalu menyodorkan cangkir kopi di hadapannya. Gadis itu mendudukkan tubuhnya dengan rikuh.
"Ayo diminum, nanti dingin," tawaku dan menyeduh kopiku sendiri.
Gadis itu masih tidak bereaksi, hanya menutupkan jaketku semakin erat.

Beberapa detik kemudian gadis itu meraih jaketku dan melepaskannya.
"Maaf, Mas," ucapnya lirih. Membuatku geli.
"Lha kalau dingin, ya dipakai saja dulu."
Tapi gadis itu sudah meletakkan jakatku di atas meja. Dengan tertawa kuangkat tubuhku dan meraih jaket di atas meja. Gadis itu sedikit menjauh saat kututupkan jaketku di atas tubuhnya."Ngga usah, Mas." Tapi toh dia tidak menolaknya.
"Begitu dong. Biar saya saja yang kedinginan," gurauku.
Akhirnya gadis itu tersenyum.

"Ayo, diminum kopinya," ucapku kemudian.
Gadis itu mengangkat cangkir kopi dengan kedua tangannya yang mungil dan mulai menyeduh isinya. Beberapa saat kemudian rona merah mulai menjalar di wajahnya.
"Enak?" tanyaku sambil lalu. Gadis itu megangguk.
"Padahal airnya mentah loh," candaku.
Gadis itu membelalakkan matanya dan mengerutkan wajahnya. Tanpa sadar tawa keluar dari mulutku.

"Oke. Nama kamu siapa?" tanyaku setelah lelah tertawa.
"Fitria, Mas," jawab gadis itu malu-malu.
"Jagan panggil aku Mas. Aku Ray," senyumku seraya mengulurkan tangan.
Gadis itu terlihat heran tapi membalas jabatan tanganku, "Fitria."
Nama yang bagus.

"Jadi kamu dari mana?"
Gadis itu menatapku masih dengan pandangan aneh.
"Tbn," ucapnya menyebutkan nama salah satu kota di pesisir utara Jawa Timur.
"Oh," jawabku pendek, "Sudah lama di sini?"
Gadis itu menggelengkan kepalanya, "Saya dari bawah kok, Mas."
Bawah yang dimaksudkannya adalah dari kota di bawah telaga.
"Mas lagi," senyumku geli, "Namaku Ray."
"Iya, Mas Ray."
"Hahahaha."
Fitria ikut tertawa.

Sekejap kemudian suasana kikuk sudah jauh berkurang. Yang ada hanya keakraban dan rasa dingin yang semakin menusuk. Sejauh aku tidak menyinggung kehidupannya, Fitria masih saja tertawa dan tersenyum. Ini menyenangkan. Tidak seks melulu. Yang kami bicarakan malah seputar dinginnya udara, nikmatnya kopi hangat, dan urusan belanja sayuran di pasar.

Dari ceritanya, kuketahui bahwa Fitria memang masih berusia enam belas tahun. Tujuh belas tahun ini. Kedua orang tuanya menitipkannya di rumah salah seorang saudara mereka di Mgt, apa lagi kalau bukan masalah kekurangan dana. Paman Fitria adalah seorang pengusaha bengkel sepeda motor. Di sana Fitria masih sempat mengenyam sekolah sampai kelas tiga SMP, sebelum akhirnya disuruh bekerja menjadi pembantu rumah tangga seorang cukong rumah walet, begitu Fitria menyebut usaha majikannya.

Sampai di situ mendadak raut wajah Fitria berubah drastis. Dari pengalaman interview yang sudah-sudah, ciri-ciri seperti ini adalah awal mula dari kisah yang menyakitkan. Tentu saja aku sudah 'terlalu' hapal dengan semua gejala ini.
"Ngga usah cerita kalau tidak mau," ucapku menenangkannya.
Fitria mengangguk seraya tersenyum. Sejauh ini kami sama sekali tidak berbincang mengenai transaksi seksual. Sementara aku sendiri tidak bernafsu, kurasa Fitria juga sudah larut dalam keakraban yang kuciptakan baginya.

Kulirik jam di dinding yag sudah menunjukkan pukul setengah empat.
"Aku mau lihat kabut," ucapku padanya, "Temani aku, yuk?"
Fitria mengangguk. Kulangkahkan kakiku menuju kamar dan menarik keluar sebuah sweater dari dalam tas. Saat aku keluar dari kamar, kulihat Fitria mengintip dari baik tirai jendela.
"Lihat apa?" tanyaku ingin tahu dan mendekatinya.
"Pak Karyo. Mungkin masih di luar," desis gadis itu membuatku membayangkan wujud si tukang sate kelinci yang kedinginan di luar.
Ah, rupanya gadis ini tidak selarut yang kukira semula.

"Kenapa? Dia nunggu jatah?" tanyaku memastikan dugaan.
Fitria mengangguk, "Biasanya memang begitu, Ray."
"Padahal aku tidak kepingin, loh," senyumku. Fitria menolehkan kepalanya.
"Tenang," ucapku cepat, "Kamu akan dapat duitnya kok."
"Kok bisa?" gadis itu menaikkan alisnya.
"Karena kamu sudah menemani aku semalaman."
Fitria tertawa. Ternyata gadis itu punya lesung pipit yang bagus sekali.
"Kamu baik ya, Ray."
Yah, kalimat yang membosankan.

"Lalu jadi keluar?" tanyaku kemudian.
Gadis itu meletakkan telunjuknya di bibir beberapa saat. Seolah sedang memikirkan sesuatu.
"Ayo."

Ternyata Pak Karyo, tukang sate tadi, tidak ada di luar. Yang ada hanya satpam hotel yang mendengkur di pos, serta dua orang penghuni hotel lain yang duduk di teras. Hawa terasa dingin. Kulihat kabut menutupi telaga dan sisi-sisi jalan.
"Ayo, nanti kedinginan," ucapku seraya menarik lengan Fitria.
Sesuatu semacam ini keluar dariku secara spontan, tapi toh dapat membuat jantung para gadis berdebar-debar.
"Pelan-pelan," Fitria mengeluh di belakangku.
Kulepaskan genggamanku dan membalikkan tubuh tertawa, "Biar ngga dingin."
Fitria tersenyum dan mulai mengiringi langkahku.

Hamparan tirai kabut mempesonaku. Kekelaman tampak pekat di tengah telaga. Ilusi-ilusi tentang makhluk halus seolah tergambar jelas di depan mata.
"Ada hantu di sini?" tanyaku sambil lalu.
Fitria menggelengkan kepalanya, "Itu sih cerita anak-anak. Sebenarnya tidak ada satupun yang namanya hantu di daerah ini."
"Oh, ya?" senyumku.
Gadis ini ternyata lebih terpelajar dari yang kuduga. Mungkin karena kehidupan sudah menempanya sedemikian rupa.

"Kalau jin atau tuyul kukira ada," sahutku kemudian.
"Kok tahu?" Fitria menoleh ke arahku tanpa menghentikan langkahnya.
"Nih, di sebelah kamu," ucapku lalu menggeram.
Gadis itu tertawa seraya menutup mulutnya. Khas gadis malu-malu kucing.
"Aku cuma tahu satu hantu," mendadak gadis itu menundukkan kepalanya.
Ah. Satu lagi bahan cerita yang mengalir dari rasa akrab.

"Cukongku," desisnya lirih.
Ternyata memang sebuah kisah klise yang sering ditemui di hari-hari para pembantu rumah tangga bernasib malang.
"Sudah, ngga usah diceritakan," bisikku lalu merangkul pundaknya.
Fitria tidak menolak ataupun menghindar. Kurasakan pundak gadis itu sedikit bergetar.
"Hey lihat!" seruku mendadak.
"Apa?" gadis itu mengangkat kepalanya.
"Ngga ada apa-apa," tawaku, "Aku hanya iseng."

Dengan gusar gadis itu melepaskan rangkulanku dan berlari kecil ke arah depan. Ah, gadis-gadis. Selalu gembira dan jatuh cinta pada orang yang salah. Kulangkahkan kakiku lebih cepat mengejarnya. Beberapa langkah kemudian kusergap gadis itu dari belakang dan mengangkat tubuhnya. Lenganku menyentuh buah dadanya yang kenyal dari dalam jaket. Gadis itu menggelinjang, tapi tak berusaha merota melepaskan diri.

"Waa!!" Fitria berteriak kecil saat kugendong tubuhnya sepanjang jalan.
Yang berkelebat di ingatanku hanyalah kenangan-kenangan bersama beberapa gadisku yang sudah lalu. Semuanya terasa begitu indah dan membuat rindu. Kehangatan yang sama yang kuberikan pada setiap gadis. Sentuhan yang hangat dan aroma tubuh mereka sebagai reaksi kehangatan yang kuberikan. Sekejap aku merasa lebih kotor dari siapapun di dunia ini.

"Kenapa, Ray?" gadis itu bertanya setelah kuturunkan tubuhnya.
"Ngga apa-apa. Aku hanya merasa sedikit bersalah."
"Oh ya? Kamu mau cerita?" Fitria melingkarkan lengannya yang terbalut jaket di lenganku.
Kukembangkan senyumku, "Kamu yakin mau dengar?"
"Kalau ngga mau ya tidak usah. Kamu juga tadi bilang begitu."
"Hahaha," tawaku meledak memecahkan keheningan subuh.

Kutatap kabut yang bertambah pekat saat kami melintasi bukit pinggir telaga yang dipenuhi pepohonan liar.
"Aku seorang pemerkosa," bisikku lirih.
Fitria menarik lengannya dan menghentikan langkahnya. "Apa?"
Aku tahu gadis ini pasti trauma dengan sosok-sosok maut sepertiku. Tertawa kubalikkan tubuhku, "Tapi bukan seperti yang kamu bayangkan."
Otot-otot wajahnya mengendur. Fitria melangkahkan kakinya lagi, "Lalu?"
"Aku meniduri gadis-gadis perawan. Dan membutakan mata mereka dalam arti kiasan. Kamu tahu bukan? Membutakan dalam arti tidak membiarkan mereka menyadari bahwa mereka telah kehilangan milik mereka yang berharga itu."

Kurasakan langkah Fitria bergeser sedikit menjauhiku. Terserahlah, pikirku.
"Berbagai macam cara telah kupraktekkan untuk memuaskan keinginanku. Tapi pada akhirnya ya begini. Rasa bersalah yang tak kunjung reda."
"Ya sudah," mendadak gadis itu membuka mulutnya, "Berhenti saja."
Tawa kecil keluar dari mulutku, "Itulah. Terkadang susah mengalahkan diri sendiri. Kadang aku ingin berhenti, tapi justeru hawa nafsu dalam diriku seolah berusaha membuatku kembali melakukan kesalahan-kesalahan itu."
"Memangnya sudah berapa banyak sih?"
Kuhela nafasku dalam-dalam, "Entahlah. Mungkin sekitar lima belas."
"Waahh," Fitria menutup mulutnya lalu terkekeh geli, "Banyak juga."
Akhirnya aku terbawa oleh tawanya, "Heheheh, lumayan."

"Kamu tahu ngga, Ray," gadis itu berkata kemudian.
"Apa?" tanyaku ingin tahu.
Fitria menarik kedua tangannya ke belakang punggung, "Aku juga punya penyesalan yang belum terobati. Kurasa kamu juga tahu maksudku."
Kuanggukkan kepalaku dan menggumam mengiyakan.
"Terkadang gadis-gadis sepertiku juga menikmati dosa-dosa kami."
"Oh ya?" tanyaku heran, sebelum kemudian mengerti setelah membandingkannya dengan diriku sendiri.
"Coba deh, kamu duduk di situ," ucap Fitria lalu menunjuk ke sebuah benda mirip rudal kecil yang banyak berdiri di sepanjang pinggiran jalan.

Dengan rasa ingin tahu kududukkan tubuhku. Fitria menghampiri dan membungkukkan kedua lututnya berjongkok di hadapanku. Sesaat kemudian gadis itu mulai membuka retsleting celanaku.
"Hehehe," tawaku geli, "Jangan ah. Nanti dilihat orang."
Fitria tersenyum dan menggeleng, "Diam saja deh. Lagipula ngga ada orang keluar sejauh ini sebelum jam setengah lima."
Akhirnya kubiarkan saja gadis itu membuka retsleting celanaku dan merogoh kemaluanku. Rasa dingin menyentuh kulitku. Fitria tertawa kecil saat melihat kemaluanku mengerut. Lagipula aku sama sekali tak bernafsu.

Fitria memegang batang kemaluanku dan mulai memasukkannya ke dalam mulutnya. Sekejap aku merasa jijik. Aku tak mengira semua ini akan terjadi. Tapi tak lama kemudian sengatan itu mulai menjalar ke otakku. Kurasakan batang kemaluanku mengeras di mulutnya yang bergerak maju mundur.
"Ahh..," desahku menahan nikmat yang merangkak ke tulang punggungku.
Mendadak Fitria melepaskan kulumannya dan memandangku sambil tersenyum.
"Lihat, kamu juga menikmatinya kan?"
Aku tertawa. "Yah, begitulah," jawabku singkat.
"Aku juga," sahut gadis itu mengembangkan senyumnya.

Sedetik kemudian Fitria kembali memasukkan batang penisku ke dalam mulutnya. Lidah gadis itu bergerak menyapu pembuluh-pembuluh darahku. Kuangkat kepalaku merasakan kenikmatan dan kehangatan mulutnya.
"Sudah, sudah," seruku beberapa menit kemudian.
Gadis itu menarik keluar batang kemaluanku dan tersenyum, "Ngga kuat?"
Sambil tertawa kuketuk kepalanya, "Ngga enak saja."

Kuangkat tubuhku dan membetulkan celanaku.
Fitria tertawa kecil dan ikut berdiri, "Aku hanya menunjukkan bahwa aku menikmatinya juga."
"Pada semua orang?" tanyaku tersenyum-senyum.
"Kecuali cukongku dan beberapa tukang perkosa," Fitria menggeram meyakinkanku akan dugaanku terhadap masa lalunya.
Kulangkahkan kakiku menuju kabut yang mulai menipis. Fitria bergegas mengikuti dari belakang.

Bersambung . . . . .