Romantika kamar kost - 1

Namaku Santi. Usiaku 22 tahun. Cerita ini kualami ketika aku masih kuliah di salah satu kampus di bilangan Jagakarsa. Ide menulis cerita ini muncul karena aku merasa bangga berhasil menggaet cowok idola kampusku. Sungguh. Awalnya aku tidak yakin akan dapat merasakan kebersamaan dengan Sarif (nama cowok itu). Raut wajahnya yang mirip Primus serta tubuh tinggi atletis membuatku merasa minder untuk mendekatinya. Tapi berkat dorongan teman-teman aku berhasil mendekatinya. Bahkan sempat tinggal satu kost dengan Sarif.

Mulanya memang sulit mendekati dia. Karena selain Sarif selalu dikelilingi cewek-cewek cantik, dia juga sering sibuk mengikuti kegiatan organisasi kampus. Sampai akhirnya kutemukan cara untuk mendekatinya, yaitu bergabung menjadi anggota organisasi tempat Sarif beraktifitas.

Singkat cerita, aku berhasil mendapat kesempatan mendekati Sarif pada salah satu kegiatan pertandingan sepakbola. Kuhampiri dia yang sedang duduk bersama teman-teman cowoknya, yang kebetulan juga kenal denganku. Awalnya aku hanya berani berbicara dengan Wahyu, sambil mencuri-curi pandang ke arah Sarif. Tapi rupanya Wahyu memperhatikan ulahku.

"Heh, San! Aku perhatikan, kamu dari tadi melirik Sarif? Naksir..?" tanya Wahyu.
"Eh.., Nggak.." ujarku gelagapan.
"Iya juga nggak apa-apa." Wahyu menggodaku. "Mau aku kenalin..?"
"Iya.. Eh.. Nggak."
"Rif! Kenalin nih, temen gue, Santi."
Tanpa menunggu persetujuanku Wahyu langsung menarik tangan Sarif dan menuntunnya ke arahku.

Tentu saja aku jadi gelagapan. Tapi karena sudah tidak mungkin lagi menghindar, akhirnya aku menyambut uluran tangan Sarif.
"Sarif," ujarnya singkat, memperkenalkan diri.
"Santi."

Itulah awal perkenalan kami. Dan ternyata Sarif tipe cowok yang enak di ajak ngobrol. Sehingga pada hari itu kami langsung terlibat dalam obrolan santai dan akrab. Dan dari situ pula aku sungguh dibuatnya kagum. Karena ternyata dia juga tipe cowok yang tidak terlalu mata keranjang. Karena pada saat ngobrol denganku, dia tidak menggubris cewek-cewek lain yang mondar-mandir di sekitar kami.

Hari-hari berikutnya kami sering ketemu di kampus dan ngobrol di warung depan. Cukup lama aku berusaha mendekati Sarif, tapi belum ada tanda-tanda kalau dia naksir dan menginginkanku jadi pacarnya. Sampai akhirnya aku mendapat siasat yang cukup nekat. Sepulang dari kampus, kuajak dia main ke tempat kost.

Hari itu Sarif masuk kuliah siang. Jadi dia akan keluar kelas sekitar jam tujuh malam. Aku sengaja menunggu dia di warung yang letaknya tepat di depan gerbang kampus. Setelah menunggu sekitar satu jam, akhirnya kulihat Sarif berjalan bersama Wahyu. Kebetulan..! pikirku. Karena Wahyu pasti bisa diajak kompak. Dan benar saja dugaanku.

"Rif..!" panggilku.
"Eh, Santi. Kok belum pulang..?"
"Aku lagi suntuk. Di tempat kostku lagi sepi." kataku sambil menghampiri Sarif Dan Wahyu.
"Main ke tampat kostku, yuk..?" ajakku nekat.
Memang malam ini Wirda (teman sekamarku), sedang pulang ke rumah orangtuanya. Kemudian Oppy dan Cici yang kamarnya terletak di sebelah kamarku juga sedang pulang ke rumah orangtua mereka. Praktis tinggal aku sendiri di rumah kost itu.

Awalnya kulihat Sarif agak ragu. Tapi begitu Wahyu menyetujui, akhirnya Sarif mengiyakan ajakanku. Kami pun berjalan ke tempat kostku yang memang tidak seberapa jauh dari kampus. Untungnya rumah tempat aku kost letaknya agak terpencil dan pemiliknya tidak tinggal di situ. Sehingga tempat kost itu boleh dibilang cukup bebas dari perhatian orang-orang sekitar.

Sesampainya di kamarku, Sarif dan Wahyu langsung duduk di karpet yang berseberangan dengan kasur tempatku tidur. Karena memang aku tidak punya niat membeli kursi dan sejenisnya untuk mengisi kamar yang hanya sepetak itu. Kubuatkan mereka kopi. Dan setelah ngobrol ke sana ke sini, sekitar setengah jam dan setelah menghabiskan kopinya, Wahyu pamit karena dia harus pulang ke rumah orangtuanya. Mendengar Wahyu pamit, awalnya Sarif juga berniat pulang. Namun buru-buru kutahan.

"Ya.., aku sendirian, dong..!" rengekku.
"Rif, temenin aku deh, sampai jam sembilan." pintaku sambil menggamit tangan Sarif.
Entah keberanian dari mana hal ini kulakukan. Mungkin karena aku merasa siasatku hampir kena. Sayang kalau sampai hasil pancinganku ini lepas dari kailnya, pikirku.

"Eh Santi, nggak enak dong sama orang-orang. Cewek sama cowok berduaan di kamar." ujar Sarif mencoba bijak.
"Nggak deh. Nggak akan ada yang lihat." aku sedikit memaksa, "Lagi pula cuma sampai jam sembilan."
"Udahlah Rif. Tempat kost kamu kan cuma di gang sebelah." kata Wahyu mendukungku.
"Iya.."
"Ya udah, sampai jam sembilan." Sarif mengalah.

Lalu Wahyu pun pergi meninggalkan kami berdua di kamar. Cukup lama kami terdiam, tidak tahu bagaimana harus memulai pembicaraan. Karena tempat kostku ini letaknya agak terpencil, maka suasana di sekitarnya agak sepi. Inilah yang menjadi pertimbanganku untuk menjalankan siasat nekatku ini.

Kulihat Sarif mulai gelisah. Sesekali dia melongok ke luar. Karena sikapnya itulah akhirnya aku mendapat ide memulai pembicaraan.
"Kenapa, Rif. Takut ada orang lewat..?" kataku, "Mana mungkin. Rumah ini, kan, di pojok. Dan ke arah sana nggak ada jalan tembus," kataku menjelaskan seraya menunjuk ke ujung jalan yang merupakan jalan buntu.
"Ooh.. gitu," ujarnya singkat, berusaha menenangkan diri, "Terus, yang punya kost tinggalnya di mana?"
"Di Pasar Minggu."
"Kamu kost sendiri?"
"He eh."

Suasana akhirnya mulai cair kembali. Kami pun mulai terlibat pembicaraan seputar kampus dan organisasi tempat kami bergabung. Sampai akhirnya aku mulai mencoba menjalankan siasatku. Kapan lagi, pikirku.

"Rif, aku tinggal sebentar boleh..?" kataku.
"Mau kemana kamu..?"
"Aku mau mandi. Sebentaar aja, boleh..?"
"Iya, deh." Sarif menyetujui permintaanku, walau terlihat ada rasa keberatan di raut wajahnya.
Aku pun berdiri dan meraih handuk yang tergantung di balik pintu kamar. Dan hal ini membuat pintu kamar jadi agak menutup sedikit. Kulihat Sarif meraih majalah usang yang tergelatak di sudut kamar lalu membolak-baliknya. Melihat sikapnya itu, aku mencoba memberanikan diri.

"Rif, pintunya ditutup aja dulu, ya..?" aku mencoba memancing.
"Ntar nggak kenapa-kenapa..?"
"Nggak."
Nah..! Umpanku kena. Aku merapatkan pintu dan langsung menguncinya dari dalam. Mendengar suara kunci, Sarif sempat menoleh ke arahku dengan pandangan heran. Tapi akhirnya dia kembali tenggelam ke dalam halaman-halaman majalah.

"Kamu nggak kepengen mandi, Rif..?" aku mencoba memancing lebih dalam.
"Nggak, ah.." ujarnya singkat tanpa melepaskan pandangannya dari majalah.
Aku mulai nekat. Kulepaskan pakaianku satu persatu. Sarif tetap asyik dengan majalahnya, sampai akhirnya aku meminta dia mengambilkan karet pengikat rambut yang tergeletak di sebelahnya."Sorry Rif, tolong ambilkan karet di sebelahmu itu.." kataku.
Dan pada saat itulah Sarif melongo melihat aku yang sudah tanpa busana sama sekali.

Kulihat tangannya agak bergetar ketika menyorongkan karet yang kumaksud, sambil matanya terus memandangiku.
"Kamu, bener, nggak mau mandi..?" godaku lagi. "Kan, enak, kalau kamu mandi di sini, pulangnya bisa langsung tidur."
Kulihat Sarif benar-benar terperangah menatapku.
"Santi.." hanya itu yang keluar dari bibirnya.
Aku pun merasa bahwa pancinganku sudah mengena.

Kuhampiri dia, seolah-olah akan mengambil ikat rambut yang kuminta, sampai posisi tubuhku berada tepat di depannya. Dan karena posisi dia dalam keadaan duduk, maka wajahnya tepat berada di depan kemaluanku. Kulihat dia agak gelisah. Kuraih tangannya ketika dia menyorongkan ikat rambutku. Kudekatkan kemaluanku ke wajahnya yang nampak makin gelisah. Aku tahu benar kalau dia sebenarnya sudah mulai terserang birahi.

"Yuk, mandi bareng, Rif..!" pintaku seraya kutarik tangannya.
Dia mulai menurut. Perlahan dia bangkit berdiri dan mulai melepaskan pakaiannya satu persatu, sementara aku membantu melepaskan celana jeans-nya. Astaga! Aku terperangah mendapati batang kemaluan Sarif ternyata berukuran besar. Ternyata benar apa yang sering diceritakan oleh teman-temanku kalau batang kemaluan orang keturunan Arab itu besar dan panjang.

Aku sempat berpikir untuk membatalkan siasatku. Tapi karena terlanjur sudah begini, akhirnya kubiarkan saja keadaan ini mengalir seperti yang kuinginkan. Toh dia juga tidak merasa terganggu. Bahkan mungkin dia akan berubah marah jika kegiatan ini dihentikan di tengah jalan.

Akhirnya, setelah seluruh pakaiannya terlepas dan terjatuh di lantai, Sarif menarikku ke dalam kamar mandi. Kami tidak saling berkata-kata. Hanya saling berpandangan. Aku terus saja masih terpaku pada benda keras dan agak hitam milik Sarif. Tidak bosannya aku menyentuh barang tersebut, membuat Sarif sesekali meringis. Kami pun mulai mandi bersama. Awalnya memang kami mandi. Tapi tak lama kemudian aku benar benar tidak tahan ingin merasakan batang kemaluan Sarif yang sudah pada ukuran maksimal.

Aku pun mengambil posisi duduk di bak mandi. Kutarik Sarif agar mendekatiku. Mulanya aku masih berusaha untuk romantis, tapi rupanya hasratku sudah tidak sabaran lagi. Kutarik batang kemaluan Sarif dan kuarahkan ke bibir kemaluanku, yang jika saja tidak sehabis mandi pasti sudah basah teramat sangat. Dari sini aku tahu kalau dia ternyata belum semahir Wisnu, pacarku. Sarif hanya terpaku, membiarkan ujung batang kemaluannya menempel di bibir vaginaku.

"Tekan Rif..," ujarku perlahan. "Tapi pelan-pelan dulu. Habis punya kamu gede banget."
Sarif pun mulai menekan penisnya ke dalam vaginaku. Dan aku merasa sepertinya vaginaku terdongkrak. Karena Sarif melakukannya dengan tekanan yang cukup mendadak.
"Aaw.. Aaahh.. Ugh..! Pelan-pelan Rif..!" jeritku menahan sakit.
Karena ukurannya yang cukup besar itu, vaginaku seperti terisi penuh, sehingga hampir seluruh bagian dindingnya tersentuh oleh bantang kemaluan Sarif dan itu memberikan rasa yang belum pernah kurasakan sebelumnya.

"Eh, sorry San. Sakit ya..?"
"He.. eh. Tapi nggak apa-apa. Terus Rif, mainkan pelan-pelan. Uuh.. Mmhh.. Yess..!" aku terus melenguh tidak karuan merasakan kenikmatan saat Sarif menggesek-gesekkan batang kemaluannya di dalam vaginaku. Dan sungguh nikmat. Aku terus meracau tidak karuan merasakan kenikmatan yang selama ini belum pernah kualami.

Bersambung . . . .