Lain-lain
Tuesday, 6 July 2010
Memuskahkan guna-guna pemikat sukma - 5
"Jadi sekarang sebaiknya bagaimana, Mbah..?"
"Kukira ia benar-benar akan membalas dendam. Oleh karena itu kau harus berjaga-jaga."
"Mbah akan memberi penangkal lagi?"
"Ya. Tapi tolong, bagaimana pun kasihannya kau pada seseorang, jangan biarkan ia tahu soal penangkal ini. Rahasiakan hal ini dari siapapun, bahkan anakmu sendiri. Hanya kita berdua yang tahu masalah ini. Ingat, bila rahasia ini bocor, taruhannya sekarang adalah nyawamu. Di dalam dunia perdukunan, bila seseorang sudah berani melawan seorang dukun, berarti si dukun sudah siap bersabung nyawa dengan orang itu. Kalau rahasia kekuatan orang itu sudah diketahui oleh si dukun, sama artinya dengan menyerahkan nyawanya pada si dukun."
"Aku janji tidak akan membuka rahasia lagi, Mbah," jawabku.
"Karena si dukun yang mengincarmu ini tergolong dukun cabul, maka biarkan penangkal Paku Bumi tetap ada pada dirimu. Dengan pengalaman yang pernah terjadi, kau tentu sudah lebih tahu bagaimana menggunakannya, kan?"
"Iya, Mbah."
"Yang kedua, aku akan memberimu penangkal yang lebih kuat dari yang kemarin. Taruhlah ini di rumahmu di tempat yang tersembunyi. Ia akan menjaga dari ancaman guna-guna hitam yang masuk ke rumahmu. Siapa pun yang mengirim guna-gunanya akan mendapat reaksi perlawanan dari penangkal ini. Hanya orang yang lebih kuat dari penangkal itu sajalah yang dapat masuk ke rumahmu dengan guna-gunanya. Terimalah ini.."
Kuterima bungkusan kuning dari Mbah Purwo. Agak lebih besar sedikit dari penangkal berbungkus hijau yang telah dihancurkan Mbah Dipo.
"Apa masih ada yang lain lagi, Mbah?" tanyaku.
"Ehem, ehem," Mbah Purwo mendehem, "Kalau yang ini terserah kau saja mau menerimanya atau tidak, yakni kemampuan bathin Satu Raga. Dengan memiliki kemampuan bathin ini nantinya kau bisa memanggilku kapan saja diperlukan, terutama dalam keadaan kritis yang berkaitan dengan perdukunan."
"Aku mau, Mbah," jawabku tanpa pikir panjang.
"Syaratnya.., raga kita harus bersatu lebih dulu. Apa kau sanggup, Sur?"
"Eh.. oh.. ap.. apa ini sama seperti waktu memasang Paku Bumi. Mbah?" aku tersipu malu.
"Ya, prosesnya memang harus melalui cara itu, Sur. Namanya juga Satu Raga.. Silakan kau pikirkan dulu. Kalau kau bersedia, kau harus menginap di sini karena prosesnya lama.. Maaf, silakan kau berpikir di ruang dalam, karena pasien yang lain sudah menungguku."
Aku berjalan memasuki bagian dalam rumah Mbah Purwo yang kelihatan biasa seperti rumah pada umumnya. Tidak kulihat siapapun lagi di rumah itu. Pasti ia hidup sendiri. Aku duduk tercenung di atas kursi bambu di halaman belakang.
"Ah, kenapa lagi-lagi aku dituntut melakukan perbuatan itu?" pikirku.
Kalau dulu aku melakukannya dengan Pak Kosim dan ketiga pemuda dalam keadaan tidak sadar karena pengaruh guna-guna. Maka sekarang aku dituntut melakukannya dengan sadar tanpa paksaan. Apa ini bukan akal bulus Mbah Purwo saja untuk melakukannya yang kedua kali dengan diriku? Tapi.. penangkal yang dia berikan dulu sudah terbukti berhasil menyelamatkanku. Masak dia mau menipu?
Sekarang yang perlu kupertimbangkan adalah untung-ruginya kalau memiliki kemampuan Satu Raga. Kemampuan ini memang tidak ada gunanya kalau situasinya aman-aman saja. Namun sekarang sudah jelas posisiku dalam keadaan terancam pembalasan Mbah Dipo. Ia tentu akan menggunakan kekuatan yang lebih hebat lagi. Kemarin ia telah membuatku hampir mati beku dan mengelabuiku menggunakan raga Pak Kosim, sehingga aku hampir pula dinodainya. Sekarang pasti akalnya lebih licin lagi. Jiwaku terancam hebat. Ya kalau penangkal berbungkus kuning itu mampu mengalahkannya. Kalau tidak mampu?
Dengan kesaktiannya, kukira Mbah Dipo pasti dapat menemukan penangkal itu di mana pun kusembunyikan, lalu menghancurkannya. Kalau itu yang terjadi, habislah aku. Ia pun kukira pasti telah menyiapkan cara untuk menghadapi penangkal Paku Bumi yang kumiliki. Aku pun tidak dapat menduga kapan ia akan datang. Agaknya aku memang memerlukan penolong yang siap membantuku setiap saat.
"Mari kita makan siang, Sur," suara Mbah Purwo mengejutkan lamunanku yang entah sudah berapa lama.
Tidak terasa matahari telah di atas ubun-ubun.
"Pasienku sudah habis, dan biasanya kalau sudah lewat jam satu siang begini tidak bakal ada yang datang lagi. Sebaiknya kita makan sekarang, kemudian kau tidur beristirahat untuk menyiapkan diri menerima Satu Raga yang prosesnya berlangsung semalaman. Kita mulai nanti setelah makan malam."
Seusai makan, Mbah Purwo memasuki kamar prakteknya. Katanya ia hendak menyiapkan perlengkapan untuk nanti malam. Sementara aku dipersilahkan tidur di kamar di dalam rumahnya. Kurebahkan tubuhku yang penat. Bau harum melati yang bertaburan di atas tilam menyegarkan penciumanku. Rupanya Mbah Purwo paling suka aroma bunga melati, sehingga di setiap tempat tidurnya bertaburan bunga ini. Di halaman rumahnya pun tadi kulihat banyak tanaman ini sedang berbunga lebat. Aroma khas melati ini membuatku dengan cepat terlelap. Biarlah apa yang terjadi nanti terjadilah. Aku perlu menenangkan kondisi fisikku yang cukup lelah, karena tadi pagi harus menyelesaikan cukup banyak cucian sebelum berangkat ke rumah Mbah Purwo. Sementara itu psikisku yang terus didera kejadian-kejadian aneh rasanya juga lelah sekali.
Sambil berbaring, kupejamkan mata. Anganku melayang pada Basuki dan Nina. Sedang apa mereka sekarang? Semoga kedua anakku itu selalu bahagia dalam lindunganNya. Hanya mereka berdua sekarang yang menjadikan hidupku lebih bersemangat. Andai tidak ada mereka, entahlah. Mungkin aku tidak akan bersusah-susah mencari Mbah Purwo guna mempertahankan hidup. Akan kubiarkan segala yang menimpa diriku. Akan kubiarkan diriku menjadi korban guna-guna. Toh hidup lebih lama juga tidak menjamin kehidupanku lebih baik.
Yah, kadang memang aku mengeluh pada Allah. Kenapa hidup keluarga kami yang mulai tertata baik mendadak harus kehilangan tiang penyangga utamanya. Suamiku meninggal. Sehingga porak-poranda lah seluruh yang sudah mulai tertata baik itu. Padahal, menurut pikiran manusia, keluarga kami tidak mengharap yang aneh-aneh atau muluk-muluk. Kami selalu berusaha mencukupkan diri dengan apa yang kami miliki.
Punya sedikit tidak mengeluh. (Kadang-kadang) Punya berlebih, kami pun tidak menjadi sombong. Sementara banyak orang yang hidupnya sudah berkecukupan masih terus memburu harta-benda tidak berkesudahan. Dan sepertinya mereka terus mendapat kelimpahan. Sedangkan kami justru tertimpa kesedihan? Kenapa ini terjadi, Tuhan? Inikah memang yang Kau gariskan? Pertanyaan itu tidak terjawab sampai mataku terlelap. Dan aku yakin, misteri Allah ini tidak akan pernah terjawab oleh siapapun sepanjang masa..
"Kita makan dulu, Sur," ajak Mbah Purwo setelah maghrib lewat.
Seperti tadi siang, selama makan aku pun tidak banyak bicara. Bagaimana pun tetap ada rasa jengah dalam diriku mengingat apa yang akan kami lakukan setelah ini. Mbah Purwo yang coba mengajakku ngobrol pun tidak mampu mencairkan suasana hatiku.
"Rupanya kau belum bersikap sungguh-sungguh untuk menerima Satu Raga, Sur? Sikapmu masih takut-takut dan malu-malu.."
"Ak.. aku sudah siap, Mbah."
"Kau jangan menipu mata tuaku ini, Sur. Kalau kau masih terus bersikap begitu, maka akan menghambat proses Satu Raga ini."
"Maaf, Mbah. Aku memang masih merasa malu dan ragu, soalnya.."
Belum selesai aku bicara Mbah Purwo sudah memutus.
"Dalam proses Satu Raga, kita tidak boleh ragu-ragu. Kita harus konsentrasi penuh dan hanya membayangkan wajah mitra kita di dalam pikiran. Kalau pikiran kita tidak konsentrasi, percuma saja kita melakukan proses Satu Raga ini. Tidak ada gunanya."
"Iii.. iya, Mbah. Saya akan coba berkonsentrasi.."
"Tidak mungkin, Sur," tegur Mbah Purwo arif. "Sekarang begini saja.. Apa kau membawa foto suamimu? Coba kupinjam.."
Aku mengingatnya sebentar. Kemudian beranjak ke kamar mengambil dompetku. Di situ selalu kuselipkan foto keluarga kami.
"Ini fotonya, Mbah. Tapi foto keluarga."
"Ini pun cukup. Mari kita ke kamar praktekku dan memulai proses Satu Raga."
Kami duduk bersila, berhadap-hadapan. Mbah Purwo mengamati foto keluargaku beberapa saat. Dengan jari telunjuk dan jari tengah, di kiri kanan ditutupnya gambarku dan kedua anakku sehingga yang tampak tinggal gambar suamiku. Dipandangnya gambar itu tajam-tajam. Lalu sambil memejamkan mata, dibawanya gambar itu ke keningnya, ditempelkannya, dan dibawanya turun melewati wajahnya.
"Pandanglah mataku, Sur!" suara Mbah Purwo berubah garang memerintahku.
Kuturuti permintaannya. Kupandang mata laki-laki yang duduk di depanku itu. Aku terkejut sekali karena ternyata aku saat itu tengah memandang Mas Widodo, suamiku! Suamiku hidup lagi!?
"Bagaimana keadaanmu sekarang, Sur?" tanya Mas Wid.
"Eh.. Oh.. Baik-baik saja, Mas," sahutku kikuk.
"Lalu Basuki dan Nina sekarang di mana?"
"Mereka bekerja di Tangerang, Mas."
"Aku rindu sama kamu, Sur.."
Mas Widodo mendekatiku. Dijembanya aku untuk berdiri. Sebentar kemudian aku dipeluknya. Dan.. diciumnya.. Aku ingin meronta, namun nalarku pelan-pelan berubah total jadi ingin menerimanya. Air mataku mengucur haru menerima kehadiran suamiku kembali. Kubalas pelukannya dengan kerinduan yang amat sangat.
"Jangan tinggalkan aku lagi, Mas," desahku sambil mempererat pelukan.
"Tidak, Sur."
Masih dalam suasana rindu itu kurasakan tubuhku dipondongnya. Kami memasuki bilik kecil berlampu merah. Aroma cendana dan melati membuat kami lebih asyik-masyuk. Oh.. betapa rindunya aku akan belaian dan dekapan Mas Wid. Lama sekali kami tidak bermesraan seperti ini. Aku tidak tahan lagi. Kubuka bajunya.. Aih, sekarang Mas Wid memelihara bulu dada! Tubuhnya juga tampak lebih kekar berotot, tidak seperti dulu, agak kerempeng. Kukecup dada berbulu itu. Syuur.. terasa di sekujur tubuhku. Terlebih ketika tangan kekarnya memelukku ketat dan mulai nakal menggelitiku.
Bersambung . . . . .