Seks Umum
Thursday, 30 December 2010
Rebirth - 3
"Ya?"
"Aku mau tidur dengan kamu," desisnya seraya menggelendot di lenganku.
Dengan tertawa kutarik cuping hidungnya, "Aku sama sekali tidak bergairah."
"Maksudnya kamu tidak suka aku, begitu?"
"Bukan," sahutku cepat, "Masalahnya di aku sendiri. Aku belum bisa."
"Kamu jatuh cinta ya, Ray?"
Pertanyaan itu bagaikan kilat yang menghujam batinku.
"Kok bisa beranggapan seperti itu?"
"Ya," gadis itu berbisik, "Aku juga pernah suatu saat lalu."
"Dan?" tanyaku antusias.
"Dan aku meronta saat orang itu mau menggagahiku."
"Oh?"
Dalam hati aku bertanya-tanya, itukah cinta?
"Tapi dia terus meniduriku dan meruntuhkan cintaku."
Aku teringat pada beberapa sahabat lamaku. Seorang gadis bernasib malang dan seorang bapak yang pathetic. Dunia ini sungguh dipenuhi ironi kehidupan.
"Lalu apa hubungannya denganku?" tanyaku selang beberapa saat kemudian.
"Kamu kehilangan gairah hidup sejak meninggalkannya?"
"Hahahaha," tawa meledak dari mulutku. Gadis ini benar.
Kulangkahkan kakiku menelusuri pinggiran telaga. Kubiarkan suasana mendiamkan kami dan menenggelamkan kami dalam pemikiran masing-masing.
"Jadi?" Fitria bertanya sesampainya di depan teras bungalow.
Kulihat beberapa tukang jual sayur mulai hilir mudik menuju pasar tradisional. Kabut sudah benar-benar tipis sekarang, walau matahari belum juga muncul.
"Ayo, masuk," senyumku mengulurkan tangan.
Fitria mengangguk dan meraih uluran tanganku. Beberapa saat kemudian kami sudah sibuk menelanjangi satu dengan lainnya. Udara dingin memaksa kami bergerak cepat dan saling menempelkan ketelanjangan satu dengan lainnya.
Erangan keluar dari mulutku saat sekali lagi Fitria menjongkokkan tubuhnya dan mengulum batang kemaluanku. Gadis itu menggerakkan lehernya lebih liar daripada tadi. Membuatku terengah dan menjambak rambutnya. Beberapa saat kemudian Fitria mengangkat tubuhnya dan menggandengku ke dalam kamar, di mana ia kemudian merebahkan tubuhnya dengan posisi menantang. Sambil tersenyum kurebahkan tubuhku di sampingnya dan mulai menggerayangi dan menghisap puting payudaranya yang kecil tapi padat dan kenyal. Gadis itu mendesah saat kumasukkan jari tengahku ke dalam kemaluannya, lalu menggerakkannya dengan lembut.
Beberapa menit kemudian aku mulai menimbang-nimbang kesadaranku. Yang di sebelahku ini sekarang adalah seorang PSK. Ingat itu! Dan mungkin saja beragam penyakit dibawanya di dalam rahimnya. Agaknya Fitria menyadari keragu-raguanku, dari lamanya foreplayku, mungkin.
Gadis itu mendekatkan kepalanya dan berbisik, "Aku sehat kok."
Dengan wajah merah dan tertawa kuangkat tubuhku dan perlahan mulai memasukkan batang kemaluanku ke liang kemaluannya. Gadis itu mendesah dan menarik pinggulnya terangkat, membiarkan kemaluanku menyesak tanpa kompromi.
Fitria menggerakkan pinggulnya liar serta menancapkan jemarinya di pundak dan dadaku. Goyangannya membuatku terengah-engah menahan nafsu yang selalu ingin menggapai puncaknya. Gadis ini luar biasa sekali, pikirku kagum.
Sejurus kemudian, Fitria menghentakkan tubuhku dan menekan pundakku hingga telentang di atas tempat tidur. Dengan posisiku sedemikian rupa, gadis itu mengangkangi batang kemaluanku dan mendudukinya. Erangan keluar dari mulutku saat gadis itu bergerak maju dan mundur. Gadis itu lalu mengatupkan kedua pahanya, menempelkan telapak kakinya di dadaku, membuat batang kemaluanku serasa dijepit. Rintihan keluar dari tubuhnya yang menegang. Kutarik pundaknya dan setengah memaksa membuat gadis itu tertelungkup.
Kumasuki liang kemaluannya dari belakang. Gadis itu menyentakkan kepalanya sekejap, sebelum tubuhnya melemas dan erangan-erangan keluar dari bibirnya. Kurasakan nafsu sudah nyaris menghancurkan benteng pertahananku. Kubalik tubuh gadis itu dan megangkat kedua betisnya ke pundakku. Kutekan batang kemaluanku melesak dan menggerakkannya lebih cepat. Tubuh gadis itu menggelinjang dan bibir bawahnya tergigit. Geraman tak jelas keluar dari bibirnya, seolah memprotes gerakanku yang sedikit kasar.
Dengan mengeluarkan erangan tertahan kutarik keluar batang kemaluanku dan membiarkan sari-sari kejantananku membasahi perutnya. Nafas gadis itu tersengal, peluh membasahi wajah, leher, dan pangkal pahanya.
Dengan tubuh melemas kujatuhkan tubuhku di sampingnya. Fitria tertawa kecil dan merangkul dadaku. Dalam posisi demikian kurasakan seluruh permasalahanku lenyap dengan sendirinya. Yang tersisa hanyalah rasa capai dan kejang di dengkulku. Ternyata hidup belum berakhir. Ternyata cinta masih dapat kukalahkan.
17 Juli 2001
Pagi itu aku bangun dan mendapati tubuh telanjang Fitria di sebelahku. Gadis itu kembali tadi malam. Sendiri. Ia melarikan diri dari rumah kerjanya, lalu mengajakku bercinta semalam suntuk. Masih teringat jelas kemarin pagi saat ia menolak lembaran seratus ribu yang kusodorkan di tangannya.
"Ngga usah, Ray," kepala gadis itu menggeleng.
"Nanti kamu dimarahi Boss-mu," senyumku memaksa.
Dan akhirnya Pak Karyo datang pukul delapan untuk menjemputnya. Waktu gadis itu pergi, sempat kurasakan kekosongan kembali menghantuiku. Seolah sesuatu yang berarti terenggut lepas begitu saja. Seharian itu kuhabiskan di medan laga memperebutkan kota Cheng Du.
Namun malamnya, ketika Fitria datang menghampiriku, gejolak dan hasrat itu kembali menyeruak seperti seekor monster ganas yang mencabik-cabik kebekuan hatiku. Malam itu kami bercinta dengan luar biasa sekali. Dan pagi ini. Aku harus pergi. Kembali ke peradaban.
"Fitria," bisikku di telinga gadis itu.
Fitria menggeliat dan tersenyum menatapku. Kukecup keningnya, dan gadis itu merangkulku mesra.
"Aku akan pulang siang ini."
"Aku tahu," bisiknya di luar dugaanku. Gadis itu tersenyum.
"Kamu tidak apa-apa?" ucapku seraya membalas senyumnya.
"Asal kamu mau memberikan sekali saja kecupan di bibirku."
Dengan tertawa kukecup bibirnya.
Sejak dulu aku selalu merasa jijik kala membayangkan mengecup bibir seorang PSK. Tapi dalam kasus kali ini terasa begitu berbeda. Entah aku yang berubah puitis atau bagaimana, aku sendiri sudah mulai meragukan identitas diriku. Pagi itu kami bercinta lagi hingga pukul sebelas, saat rombongan tukang jual nasi pecel sudah bosan mengerubungi teras depan.
"Lalu yang ngantar kamu pulang?" tanyaku di garasi.
Fitria tertawa dan mengangkat bahu, "Mungkin ada Oom-Oom yang baik hati?"
Dengan tertawa kubukakan pintu sebelah sopir.
"Ayo aku antar."
"Kamu yakin tidak apa-apa?"
Kugelengkan kepalaku. Fitria melangkah masuk.
Selama perjalanan turun dari telaga, kami berdua tidak megeluarkan sepatah katapun. Seolah sesuatu yang menyedihkan menarik kebisuan kami berdua. Beberapa patah kata yang terucap dari bibirnya adalah hanya pada saat menunjukkan belokan-belokan menuju kediamannya.
Akhirnya kami sampai di sebuah rumah yang.. besar..?
"Aku curiga," desisku dan melirik ke arah Fitria.
Gadis itu tersenyum dan mengerling misterius, "Simpan saja curiga kamu."
Dengan tertawa aku mulai menyadari kebodohanku sendiri. Seharusnya aku tahu begitu melihat betapa terpelajarnya gadis ini. Betapa bagus ia merawat kulit-kulit di tubuhnya. Betapa kata-katanya bukan kata-kata yang biasa diucapkan orang dusun kaki gunung. Astaga. Aku tertipu mentah-mentah.
Fitria meletakkan jemarinya di bibirku, "Sshh. It's a secret between you and me."
Dan sekarang ia malah memakai bahasa Inggris yang fasih.
"Lalu mengapa?" tanyaku perlahan.
"Just for fun?" Fitria mengangkat bahunya dan melangkah keluar.
Just for fun. Aku juga menikmatinya, begitu kuingat pernah dikatakannya.
"Pak Karyo?" lanjutku ingin tahu.
Fitria membungkukkan tubuhnya dan tersenyum, "Khusus untuk pemuda tampan kaya kamu."
Mau tak mau aku tertawa terbahak-bahak. Jadi begitu ceritanya. Baru kali ini kutemui tipuan yang menyenangkan. Kulihat gadis itu sudah membalikkan punggungnya dan menuju pagar. Selintas ingatan berkelebat di benakku.
Bergegas kubuka jendela mobil, "Hey, Fitria!"
Gadis itu menoleh.
"Kamu kuliah di mana?"
Gadis itu membungkukkan tubuhnya dan terkekeh geli. Sudah kuduga. Fitria mendekat lagi dan menjulurkan kepalanya ke dalam mobil, lalu membisikkan nama sebuah perguruan tinggi negeri di Mlg. Sementara aku terkejut-kejut, Fitria mendekatkan bibirnya dan mengecup bibirku.
"Ingat. Terkadang hidup ini terasa berat. Tapi kalau kamu nyantai saja, semua akan berakhir seperti angin yang berlalu. Setuju?"
Kuanggukkan kepalaku dan gadis itu melambai sebelum menghilang di balik pagar. Dalam hati aku nyaris tak mempercayai seluruh pengalamanku selama dua hari ini. Betapa aku begitu tertipu oleh penyamarannya. Betapa kesedihan dan perasaan bersalah telah membutakanku tentang siapa aku sebenarnya.
Kunyalakan Marlboro di bibirku dan membuka tempat asbak di dashboard. Ada uang seratus ribu yang terlipat rapih di dalamnya. Dengan tersenyum kecut kuambil lipatan uang itu. Sekejap kemudian tersentak saat melihat beberapa nomor tertera di salah satu sisinya. Berawal dengan 0341. Tak tertahan lagi tawa keluar membanjir dari mulutku.
Yah, inilah dunia.
Terkadang membingungkan dan menyeret kesadaran dengan kesedihan.
Terkadang mengoyak keberadaan tentang siapa diri kita sebenarnya.
Tapi pada akhirnya semua akan kembali pada tempatnya semula.
Dan inilah aku,
Ray,
Mimpi buruk anak-anak dara.
(persetan dengan gadis-gadis itu)
Kutekan pedal gas dan melaju. Tak sabar lagi untuk melihat gedung-gedung pencakar langit. Itulah duniaku. Di mana aku berada. Di mana aku sebenarnya.
Bersiap-siaplah gadis-gadis, karena aku belum tamat.
TAMAT