Seks Umum
Thursday, 27 January 2011
From Nias with Love
Di fery tersebut, aku berusaha berkomunikasi dengannya.
"Chi.. A Chi dapet lokasi di kabupaten mana ya?"
Tanpa menunggu jawabannya aku langsung menyela, "..aku di teluk dalam desa Lolomoyo".
"Eee.. samalah, aku juga di desa yang sama," ujarnya mendadak akrab.
Belakangan aku baru tahu bahwa kami bertujuh berada dalam satu desa yang romantis, desa tepi laut yang romantis, apalagi waktu pertama kali masuk batas desa, ternyata para wanita (khususnya yang telah menikah) pada umumnya tidak memakai bra, karena meneurut mereka gerah dan telah habis 'madu'-nya karena sudah menikah jadi tak masalah jika dilihat orang lain.
Anggota cewek kami, keempatnya adalah chinese sedangkan kami ada tiga cowok, jadi dalam satu kelompok di desa yang sama berjumlah tujuh orang. Kami memberi gelaran masing-masing pada si Fredy sang ketua kelompok adalah papa, sedangkan A Lin yang jago masak chinese food sebagai Mami. Dan kami adalah 5 orang anak-anak mereka.
"Dali lima anakku ini, si Jaka dan si A Sui ini koq tiap ali belantam melulu.., pusing aku jadi maminya", ujar A Lin setiap kali kami bertengkar.
Namun kelak pertengkaran demi pertengkaran itulah yang membuat kami justru semakin sering jalan bersama, kebetulan hobby kami juga sama yakni melepas sunset hingga terbenam di batas cakrawala laut yang teduh.
Seperti biasanya, selaku "anak sulung" dalam KKN (94) tersebut, aku selalu care dengan anak bungsu kami, yakni si A Sui yang memang A Sui (Cantik) itu. Dia pernah mengadu kepadaku bahwa sering kali diintip oleh cowok kampung ketika mandi di Sungai di kaki bukit Bavana de solo, jadi aku kerap kali ditugaskan oleh Mami untuk menemaninya sampai habis mandi.
Seperti biasa, si bungsulah yang sering kali melakukan ritual paginya dengan sangat lama. sejak pukul 05.30 hingga 06.15, Mami dan dua anak ceweknya sudah selesai mandi dan cuci.
Dengan setengah mengancam, Mami berkata sebelum ia meninggalkan kami di tepi sungai, "Jaka, kamu jangan terlalu sering melirik si bungsu lho.., nanti malah kain sarungnya melorot", ujarnya seolah tahu apa yang sedang kupikirkan bila melihat punggung pualam A Sui.
"Iya Mami, aku juga berada di sini karena mami tugasin, daripada diintip anak kampung, suer aku akan jaga A Sui Mam", timpalku sambil mengangkat dua jariku.
Pagi itu memang berbeda dengan biasanya, kabut seolah enggan beringsut karena sang mentari juga masih tertutup mega mendung yang terus menyelimuti hingga mendekati pukul 09.00 pagi itu. Kini sudah pukul 06.45 tetapi A Sui belum juga menyelesaikan ritualnya.
"A Sui, panggilku, kamu tak ada masalah kan?", teriakku lirih karena takut didengar orang kampung, padahal dari sungai ke pemukiman desa sebenarnya berjarak hampir 1 km.
"Bang Jaka kesinilah, aku kebelatan nich, angkatkan keranjang cuciannya, lagi pula baju abang yang banyak", ujarnya dengan aksen chinese medannya yang kental.
Ya, mau apa lagi memang kenyataannya pakaianku sendiri yang banyak di dalam keranjang cucian. Lalu aku bergegas menghampirinya. Namun tanpa sengaja aku terpeleset karena kurang seimbang menginjak bebatuan berlumut di depan kami. A Sui yang melihat wajahku hampir membentur cadas sungai, dengan sigap menarik tanganku. Namun tanpa sengaja, dengan refleks, aku sempat menjangkau tangannya, tapi justru karena dia menubrukku, malah kain sarungnya yang teraih olehku.
Masih belum sadar dengan keadaan, Si Pualam malah merepet mengomeli tindakanku yang tak hati-hati. Sementara aku hanya bisa tertegun dan gugup melihat tubuhnya yang polos karena kainnya yang terlepas hingga hanyut ke hilir sungai.
Setelah diterpa angin dingin, barulah A Sui sadar bahwa ia telah dalam keadaan polos di depanku, sejenak aku tersadar ketika ia berteriak kecil sambil terisak.
"Bang Jaka, tolongin dong, kainku hanyut tuch!"
Ketika kainnya berhasil kuperoleh kembali, A Sui berlindung di balik batu besar, menyembunyikan wajah merah kepiting rebusnya karena merasa malu telah terlihat dalam keadaan polos olehku dengan tanpa sengaja. Aku pun menghampirinya dari balik batu besar yang memisahkan kami.
"A Sui, sorry yach aku tak sengaja melihat tubuhmu, ini kain sarungmu, pakailah kembali", ujarku.
Namun tak disangka, tanganku malah direngkuhnya hingga kami saling bertemu di balik batu besar tadi. Sesaat kami hanya saling menatap dan aku menikmati pemandangan indah di depanku. Tubuhnya yang semampai 165/55 dengan lingkar bra 32 cup B terpampang jelas di depan mataku. Lalu A Sui menunduk dan menceritakan bahwa mimpinya semalam ada deja vu, yaitu kejadian yang tadi telah ada di mimpinya semalam dan hal itulah yang membuatnya mandi besar dan berpikir siapakah laki-laki gagah yang ada di mimpinya tadi malam.
Di masa naik sidi kalau di katholik (aku tak tahu istilahnya kalau di adat chinese) dia telah bersumpah bahwa barang siapa yang pertama melihat kemolekan tubuhnya ketika dewasa, maka dia jugalah yang berhak mendapatkan pelayanan pertama darinya, ujar A Sui masih dengan tertunduk malu. Aku keheranan mendengar sumpahnya tersebut. Dia menjelaskan meskipun hal itu bagiku terdengar mustahil, tapi menurutnya, sumpahnya harus dituruti jika tak ingin dirinya terlahir kembali sebagai binatang pada kehidupan berikutnya.
"Namun jika abang Jack berkenan, maka biarlah kita baru menikah dalam kehidupan berikutnya sebagai sesama chinese, tapi sumpah saya harus dipenuhi dahulu", ujarnya sambil menggigil.
Tapi aku masih terdiam menatap aura tubuhnya yang menguapkan hawa hangat di sekitar tubuh mulusnya. Aku memohon maaf padanya dan mengatakan bahwa aku belum siap menerima anugerah yang ingin dipersembahkannya itu. Dengan perlahan aku hanya menutupi kembali tubuh semampainya dengan kain sarung tadi. Tapi dia agaknya enggan beranjak.
"Bang Jack, aku kan belum mengucapkan terimakasih", katanya sambil memelukku.
Badannya yang hangat menjalari tubuh dan menggoyahkan imanku. Pipinya yang tirus bersandar di dada bidangku sambil dengan perlahan mengecup puting perjaka dadaku yang terbuka lebar.
Sungguh lihai dia memperjuangkan sumpahnya sehingga aku tergetar untuk sesaat tak mampu menolaknya. Kami segera larut dalam suasana, meskipun aku masih mencoba menahan diri. Kami hanya bercumbu dan saling menghangatkan satu sama lain. Sesekali payudaranya bergesekan dengan 'dongkrak antik'-ku karena A Sui membenam-benamkan wajahnya.
Aku lalu menyandarkan tubuh mulus dan hangatnya ke balik batu besar tadi. Aku terpaksa menunduk karena tinggiku yang 175 cm. Dia dengan halus menarik kepalaku ke arah dua bukit kenyalnya yang mendongak menantang. Bagaikan bayi yang mendapat mainan baru, aku lalu larut mengulum kedua buah melon mengkalnya. Putingnya yang berwarna merah jambu semakin memerah dam mengeras, pertanda birahinya sudah memuncak. Dengan gerakan mengalir, tanganku meraba kulit mulusnya dari atas bahu hingga ke labia mayoranya yang terasa hangat. Aku agak terkejut ketika menerima kehangatan labia mayoranya tersebut. Tak pelak lagi, jemariku belepotan terkena percikan air birahi yang tersembur dari selangkangannya itu.
Kami segera menghentikan aktifitas kami ketika Mami kemudian muncul dan terkejut melihat keranjang pakaian yang masih tergolek di tepi sungai tanpa melihat keberadaan kami. Dengan perlahan aku memutari batu besar dan dengan perlahan mengejutkan Mami dari belakang. Mami KKN kami terkejut, namun dengan sigap aku segera merangkulnya dari belakang agar ia tak terjatuh ke sungai.
"Hei, apa-apaan kamu Jack! Aku sampai kaget dan jadi basah nich kena pakaianmu yang kuyup itu. Dimana A Sui?", tanyanya sambih mengernyitkan alis matanya.
"A Sui ada di balik batu itu Mam, tadi aku terpeleset demi menyelamatkan keranjang cucian A Sui. A Sui malah juga kebasahan dan sedang mengeringkan badannya di sana".
"Jadi kalian tak 'pa-'pa 'kan? Tak ada yang luka 'kan?", ujarnya cemas layaknya Mami sungguhan saja.
*****
Hari demi hari kami lalui dalam pengabdian terhadap masyarakat demi membawa nama harum kampus kami dan menjunjung Tri Dharma Perguruan Tinggi. Hingga satu saat ketika usai pertemuan di kecamatan, kami memisahkan diri dengan rombongan lain dan menuju ke desa masing-masing.
"Mami, aku dan A Sui jalan lewat pantai aja yach? Kami mau liat sunset sore nanti", ujarku sambil merayu Mami.
"Bolehlah, asal ingat jam setengah delapan paling lambat kita makan malam ya!", ujarnya penuh keibuan.
Senja itu kami lepas sambil berkejaran di pasir putih menuju sedikit hutan bakau lalu menjumpai karang bolong (persis seperti di Yogyakarta). Dari sana aku mengambil foto A Sui dengan silhouette senja temaram. Untung saja tas kamera Lowe Pro-ku terbukti kedap air sehingga tak sampai terlalu mengganggu aktivitas kami ketika saling mencipratkan air laut ke tubuh masing-masing. Kami siram-siraman dan terbahak bersama bagaikan anak kecil yang lupa waktu. Rambutnya yang lurus halus, terurai membawa aroma tubuhnya ke depan hidungku ketika kami terduduk melepas senja sambil menikmati tenggelamnya sang surya. Pakaiannya yang masih basah lekat mempertontonkan kemolekan tubuhnya. Sebelumnya kami telah bergulingan di tepi pantai menyisakan pasir di pipinya. Dengan lembut aku menyibakkan rambutnya sambil menghalau lembut pasir yang tersisa di pipinya yang berlesung pipit.
A Sui bergumam sambil merebahkan kepala ke pangkuanku, aku bertanya tentang hal yang baru saja dikatakannya, tetapi dia hanya tersenyum penuh misteri sambil mendongak menatap mataku. Matanya teduh dan tak terlalu sipit karena dia masih terhitung chinese Siantar yang lahir di Medan. Tatapannya yang mengundang tanya itu membuatku menyibakkan rambutnya yang halus.
"Kalau kamu tidak menjawab apa yang barusan kamu bilang, aku akan menjewer telinga si bungsu yang manja ini yach", ujarku sambil menarik telinganya.
"Coba aja kalau berani, nanti kuadukan ke Mami bahwa Bang Jack jahat," ujarnya manja.
Lalu ia malah menarik kerah bajuku dan memaksaku membukanya!
"Aku mulai kedinginan Bang, pinjam baju Bang Jack yach? Baju Abang 'kan udah kering sedangkan T Shirt-ku masih basah, nanti aku masuk angin dan kamu yang di marahi Mami," ujarnya menyerocos.
"Iya, sabaran dikitlah," kataku sambil membuka kemejaku.
Tanpa sungkan, A Sui melepas T Shirt-nya di depan mataku hingga cahaya lembayung senja memperlihatkan silhouette tubuhnya yang aduhai.
Aku lemparkan kemejaku sambil berkata, "Cepat pakai kemejaku, nanti malah dinikmati tatapan pengintip".
"Dengan cuek malah ia menantangku, "Bukannya kamu yang bilang bahwa pantai ini jauh dari pemukiman penduduk dan pada jam-jam begini 'kan mereka sudah pada di rumahnya masing-masing," ketusnya.
"Kapan lagi Bang, kita bisa menikmati pantai yang indah ini hanya berdua?, minggu depan kita udah usai KKN dan kita akan kembali ke fakultas masing-masing dan abang akan sibuk naik gunung lagi dan lupa kuliah," ujarnya menguliahiku.
"Eit, Abang harus ingat umur yach, jangan asik ikut MALAPA aja, nanti di DO, baru tau" ujarnya bijak.
"Iyalah, kan ada A Sui yang bakal ngingatin terus khan?".
"Itulah susahnya Bang", ujarnya sendu.
"Kalau Bapakku liat kita begini pasti ia akan mati beldili, karena dia pasti tak setuju. Lagi pula tamat kuliah nanti, aku akan di kawinkan sama anak rekan bisnis Bapak dari Singapura," ujarnya makin sedih.
Aku cuma bisa menghiburnya sambil menariknya ke pelukan hangatku.
"Kita jalani aja hidup ini sebisanya sampai kita tak mampu lagi menghadapinya", ujarku.
"Ya sudahlah Bang, jangan bercerita yang sedih-sedih", katanya sambil mengibar-ngibarkan kemejaku yang tak di kancingnya, sambil berlari ke arah laut.
Dengan cemas aku langsung memburunya, tapi A Sui malah berbalik. Kami bertubrukan hingga bergulingan di pasir putih yang lembut.
"Bang ini aku kembalikan bajumu. Kita tak perlu baju ini 'kan? Untuk saat ini aku hanya ingin memelukmu. Bila kita tak berjodoh, biarkan kita berjodoh di kehidupan berikutnya saja", katanya manja.
Kami bergulingan hingga ke pelimbahan penyulingan daun nilam penduduk. Air rebusan nilam yang mengandung aloy vera dan olive oil melumuri tubuhnya yang wangi. Perlahan aku mengajaknya ke gubuk penyulingan minyak nilam tersebut.
Bagaikan sepasang pasangan di film 'Tarzan X', kami sepakat bersembunyi di gubuk yang cukup hangat dan terlindung dari tiupan angin laut. Gubuk ini telah ditinggalkan dan hanya dihuni bila akan menyuling lagi keesokan harinya.
Selanjutnya kami larut oleh perasaan dan kenyamanan dipan yang cukup luas untuk kami berpagutan. Pakaian kami dijemur di dekat perapian tungku penyulingan.
"Selepas KKN, Bang Jack pasti melupakan A Sui khan?", ujarnya tiba-tiba.
"Koq bilang gitu, justru aku ingin agar kita terus begini dan bisa terus bersama, tapi kamu bilang malah akan meninggalkanku dengan tunanganmu yang dari Singapura itu khan?".
"Udahlah, pusing aku bila ingat itu, kenapa yach kita tak terlahir satu ras jadi kita bisa.."
Aku langsung menyumbat mulutnya sambil membelai halus puting di dadanya. A Sui yang sudah sejak tadi telah bergairah langsung memeluk pinggangku dengan kakinya. Dengan sabar kubiarkan ia melepas orgasmenya yang pertama, lalu aku kembali bergerilya, namun dia berbalik sambil menepis tanganku.
"Bang, biarlah aku yang mencumbui, abang diam aja yach..", lalu ia menindihku dan mengangkangi selangkanganku. Sambil duduk di pangkuanku, A Sui menggenggam tongkatku yang masih belum mengeras.
"Belum tegang aja udah harus dengan dua tangan megangnya, kalau dimasukin ke punya apa bisa muat ya?"
"Tenang aja, kamu punya kan elastis, yang penting kita pemanasan dulu," ujarku.
A Sui lalu menggosok-gosokkan 'persneling'-ku ke labia mayoranya, tampak ia sangat menikmati aktivitasnya. Aku pun tak tinggal diam meraba dada halusnya yang membusung. Dia terus menggelinjang dan meronta-ronta seperti joki sedang naik kuda liar. Dia naik turun menggesekkan vaginanya hingga akhirnya lemas dan rubuh memelukku.
Dengan perlahan, tubuhnya yang kelelahan kubaringkan telentang dan kini giliranku mencumbu dirinya. Mulai dari atas hingga ke bawah, kumandikan dia dengan jurus mandi kucing seperti yang dahulu di lakukan A Sui di sungai tempo hari. Tak satupun bagian kulitnya yang tak terjamah lidah kesatku hingga membuat A Sui blingsatan merasakan kenikmatan yang membara. Perlahan kembali kutelentangkan tubuh moleknya yang telah bermandi keringat dan air liurku. Kucumbu terus kewanitaanya dengan kontinyu hingga A Sui melepas orgasme susulannya. Ia menggigit memohon agar cumbuanku dituntaskan pada permainan cinta yang sesungguhnya.
"Please, masukkanlah, aku sudah tak tahan Bang, please..", ujarnya sambil menarik batang perkasaku dengan bernafsu.
Sambil mengangkat pantat lembutnya, ia menyambut batang kekarku.
"Please, pelan-pelan ya Bang..", ujarnya pelan.
Aku menggesekkannya terlebih dahulu, namun masih juga sulit saking terlalu sempitnya. Terpaksa aku sedikit lebih mengangkangkan kakinya dan mengangkat kaki kirinya ke bahuku. Lalu dengan posisi tusuk silang, akhirnya aku berhasil memasukkan 'bazooka'-ku. Dia tampak meringis kesakitan hingga aku terpaksa menahannya dahulu karena tak sampai hati melihat wajahnya. Perlahan mulai kutarik ulur kejantananku, sejalan dengan memuncaknya pelumas yang di produksi A Sui, dan langkah birahi kami pun mulai mendaki puncaknya. Belakangan, malah A Sui yang dengan lihat berguling menggantikan posisiku dan menggejot sauh asmara kami hingga ke puncak orgasme ketiganya.
"Bang dari tadi kok belum keluar? Keluarin di dalam ya, please.., aku pengin merasakan terjangan dan denyutan si Jaka kecil, please jangan dilepas ya Bang..", ujarnya memelas.
Aku mengambil napas dan memeluknya dengan berdiri perlahan. A Sui kupanggul dari depan, kakinya erat memeluk bokong seksiku. Kami saling memacu dan tangannya bergelayut di lehetku sambil bibirnya terus menciumi dadaku.
Akhirnya A Sui kembali memohon, "Bang Jack please keluarin sama-sama ya? Oohh.., aku sudah hampiir.. oh.."
Kembali kurebahkan A Sui ke dipan dengan posisi telentang, setengah berdiri dengan lutut, kutuntaskan goyanganku sambil terus meremas payudaranya. Akhirnya A Sui menarik kedua tanganku dan memelukku erat. Kembali kurasakan hangatnya semburan orgasme dari liang kewanitaan A Sui. Selangkangannya kembali basah oleh curahan air birahi dari vaginanya yang harum.
"Bang, begini aja ya.. biar ku-emut aja, biar aku tak penasaran".
Tanpa menunggu persetujuanku, langsung saja aku ditindihnya dengan posisi dan 69 pelirku dikulum habis. Vaginanya yang harum pun tak luput dari jilatan liar lidahku yang kehausan. Bagai mata air yang tak pernah kering saja vaginanya yang semerbak mewangi.
"Oh, Bang, oh.., please.., ss..", desahnya.
"Aahh.., aku hampir sampai Aa.. Suui..", desahku membalasnya.
"Ohh.., please.., sebentar tahan dikit.., oohh..", ujarnya sambil terburu-buru pindah posisi untuk menunggangi pelirku dan memasukkannya tepat di tengah.
Hanya dengan lima kali genjotan, 'peluru' yang sudah sejak 2 jam yang lalu kutahan, akhirnya berhamburan di vaginanya. Dengan bertubi tubi, A Sui dapat merasakan terjangan peluru maniku menyemburnya berulang ulang. Dan aku dengan kemampuan maksimal, memompakan seluruh persediaan peluruku kedalam vaginanya. Dengan tersenyum penuh kepuasan, A Sui masih berusaha menikmati sisa-sisa denyutan rudalku yang masih berdenyut memompakan peluru yang tersisa.
"Aahh.., betapa nikmatnya sensasi denyutan rudalmu, Bang Jack, please jangan dicabut dahulu, please honey..", ujarnya sambil melumat bibirku yang kelelahan.
Tanpa sadar kami tertidur pulas dan baru terbangun menjelang pukul 09.00 WIKN (Waktu Indonesia Kepulauan Nias). Lalu kami pulang dengan disambut oleh omelan Mami yang sejak tadi mencari-cari kami.
Tapi pada malam harinya kami kembali bersepakat menuju ke gubug asmara tersebut, setelah semua teman kami berangkat tidur. Dengan mengendap-endap, akhirnya kami saling berpelukan kembali di gubug asmara. Ah, akhirnya aku tak mampu lagi menahannya hingga selanjutnya dengan berjalan bugil, kami mandi bersama di pancuran. Lalu hampir tiap malam kami terus melakukannya hingga tak terasa seminggu kemudian kami harus telah kembali ke Medan.
Selanjutnya kami masih sering mengulanginya di sebuah kapal kayu penyeberangan ke Sibolga. A Sui dindaku.., dimanakah kau kini..
I missed U so much, honey..
Please don't let me down, just keep send me your e-mail..
From Nias with Love
Tamat