Akhir sebuah cinta

Hari sabtu yang sangat membosankan pikirku, mau jalan ama temen kampus, kayaknya agak garing, maklum mereka kan nggak tau kalau gue ini gay. Pacar juga nggak ada, bingung deh mau ngapain? belum lama aku berpikir, ponsel ku tiba-tiba berdering. Lalu kulihat nomor yang tertera pada layar ponselku. Oh, ternyata temen dekatku, namanya Ardi.

Tumben dia telepon, biasanya malam minggu dia sibuk dengan pacarnya. "Hallo Ersal, loe lagi apa nih sekarang?" aku jawab aja dengan males "Gue lagi bingung mau kemana nih nanti malam." terus dia bilang "Udah aja, aku jemput kamu, mau nggak? kebetulan pacar gue lagi ada acara." aku pikir ada baiknya juga main ama si Ardi. Dia kan gay juga. Siapa tahu bisa ngeceng bareng ama dia.

Jam 4 sore si Ardi udah memarkirkan mobilnya di depan rumahku.Aku langsung bukakan pintu dan mempersilahkan dia masuk.Setelah aku siap, kita langsung pergi jalan. "Eh kita mau kemana nih?" Ardi yang ditanya gitu langsung aja menyebutkan nama salah satu mall di kota bandung. Kebetulan dia seneng banget tuh jalan jalan di mall. Lumayan juga malam minggu ini. Agak penuh mall nya. Maklum tanggal muda, banyak yang belanja bulanan. Banyak sih yang cakep cakep, tapi emang dasarnya kita pada penakut untuk ngajak kenalan, ya kita cuma bisa memandangnya saja. Tapi sebenarnya kita juga nggak kalah cakep loh dengan mereka (bukannya promosi).

Jam masih menunjukkan pukul 8 malam. "Ardi, kita jalan diluar aja yuk, kita puter-puter aja sekitar dago.bisa cuci mata tuh disana" Si Ardi menjawab "boleh aja, siapa tau ada yang ngajak kenalan kita." Akhirnya aku yang pegang setir dan dia duduk di sampingku. Baru saja mobil berjalan beberapa meter, ponselnya si Ardi berbunyi "Hallo.." dia memberi salam..dst. tetapi diakhir pembicaraan yang aku dengar dia bilang "Ya udah aku jemput kamu, tapi aku ama temen, nggak apa kan?" Aku tanya ama dia "Emang siapa yang minta jemput?" "Temen gue, baik anaknya, dia pengen ikut jalan, kita jemput dia di daerah Jl. Riau." Aku sih oke aja suruh jemput temennya dia.

Setelah sampai di jalan riau ternyata tidak susah untuk menemukan temennya Ardi. Dia langsung masuk kedalam mobil. Karena duduknya di belakang, jadi aku nggak perhatikan jelas muka dan body nya. "Ersal, kenalin nih temen gue, namanya Edwin" aku langsung menjabat tangan dia dengan ramah. "Win, loe masih kuliah?" dia menjawab "Iya, aku masih kuliah" umur kami kayaknya nggak jauh beda. Aku perkirakan dia baru berusia 20 tahunan. Waktu itu aku masih berumur 23 tahun. "Eh, kita makan aja di kafe halaman aja yach, udah lapar berat nih..!" aku memberi saran kepada Ardi. "Boleh aja sih, Win loe udah makan belum?" si Edwin hanya menjawab "Terserah kalian aja deh, aku sih ikut aja".

Setelah sampai dari halaman kita dapat tempat di pojokan. aku bisa memperhatikan wajah dan bodynya Edwin. Lumayan juga pikirku. dengan tinggi sekitar 173 cm dengan berat badan yang sesuai, ditambah lagi mukanya itu loh.. emhh.. kok ada perasaan lain sih dalam diri ku. Apa gue jatuh cinta yach ama yang namanya Edwin ini. Aku berpikir gimana caranya yach minta no. telp. dia, kalau langsung sih malu banget.Aku berpikir terus, dan akhirnya aku punya akal. Dan ternyata berjalan dengan lancar, aku bisa mendapatkan no. teleponnya. Setelah dari kafe halaman kami berkeliling kota Bandung dan akhirnya pulang.

Hari minggu sih aku emang jarang ada kegiatan di luar, kalau nggak nonton TV paling juga ngerjain tugas kampus. Hari senin siang setelah pulang kuliah aku berencana untuk telp Edwin, kali aja mau di ajak makan siang sama sama. "Dengan Edwin nih..?" suatu pertanyaan yang bodoh, tapi si Edwin menjawab dengan ramah "ini Ersal yach, lagi dimana?" setelah kita bercakap cakap sebentar di telp, akupun bertanya "Edwin, udah makan belum? mau nggak makan siang sama sama?" dia menjawab "Boleh aja, mau makan siang dimana?" akhirnya aku menentukan tempat makan siang. Kebetulan siang itu aku lagi kepingin makan Pizza Hut.

Kami bertemu di Pizza Hut 30 menit setelah pembicaraan selesai. Aku perhatikan Edwin siang itu, ternyata dia lebih cakep dibanding pertama kali aku ketemu itu. Kami memesan pizza untuk berdua. "Edwin, lagi sibuk nggak? Mau nggak main kerumah, kebetulan rumah aku nggak ada siapa siapa?" si Edwin menjawab "Boleh aja, aku lagi santai kok." Akhirnya berhasil juga tahap pertama mengajak dia kerumah. Sesampai di rumah, kita hanya berbincang bincang saja, tanpa terjadi sesuatu hal. Padahal aku sudah ingin memeluk dia, tapi kayaknya nggak sopan banget deh baru kenal kok udah kurang ajar begitu, pikirku. Sore harinya dia minta izin untuk pulang dan dia berjanji besok akan ketemu lagi dengan ku.

Esok harinya aku coba telp dia lagi "Edwin, lagi sibuk nggak?" "Nggak nih, lagi bt dirumah. Emang ada apa?" aku langsung menawarkan diri untuk menemani dia "Mau nggak aku jemput kerumah kamu, terus kita makan diluar, alamat kamu dimana?" setelah dia memberikan alamatnya, aku langsung menuju kerumahnya. Dia mengajak aku untuk makan disalah satu rumah makan di kawasan soekarno hatta.

Setelah kita selesai makan, aku tanya dia "Win, mau kemana lagi nih?" "Eh mau nggak kita main ke time zone?" "Boleh aja." Jawabku. Kami menuju kawasan Cihampelas. Lumayan sih agak jauh juga dari Soekarno-Hatta.Aku main cuma sekali-ekali. Kalau si Edwin nih kayaknya suka banget main di time zone kalau aku perhatikan.Setelah dia puas main di time zone, aku ajak dia untuk tidur di rumahku. "Edwin, mau nggak malam ini kamu tidur di rumahku?" dia balik bertanya "Emang nggak akan mengganggu?" aku langsung jawab "Nggak ada siapa siapa kok di rumah." Dia setuju dengan ajakanku.

Sesampai di rumah kami berbincang-bincang sejenak sambil menonton televisi. Aku duduk dibawah dan dia duduk di kasur. Kebetulan kasurku nggak ada kakinya. "Edwin, kamu udah punya pacar belum?" dia jawab "Belum punya, kemarin ada yang lagi dekat, tapi kayaknya orangnya nggak beres." dan akhirnya dia cerita tentang masa lalunya. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. "Kita tidur yuk, agak ngantuk juga nih.." kataku. Edwin hanya mengiyakan saja.

Dia tidur dipojok kasur, sedangkan aku di sebelahnya. Rasanya ingin aku memeluk dia, tapi masih ragu, takutnya dia nolak. Pelan pelan aku bentangkan tangan ku kearah badannya. Eeh, ternyata nggak ada penolakan sedikitpun. Aku semakin bebas saja untuk memeluk dia, dan kayaknya dia menikmati saja. Walaupun malam itu tidak terjadi sesuatu hal, tetapi hatiku sangat senang bisa peluk dia dengan erat.

Tanpa terasa 2 bulan telah berlalu, setiap kali ada kesempatan kami selalu bertemu, kadang aku yang ajak dia, tapi se Edwin pun sering untuk mengajak ketemu, pikirku mungkin dia juga mempunyai perasaan yang sama seperti yang aku rasakan. Aku coba untuk menyatakan cintaku kepadanya, mudah mudahan saja diterima, andaikata sampai ditolakpun aku sudah siap.

"Edwin, ada sesuatu hal yang ingin aku katakan." dia bertanya"Emang apaan sih yang mau dibicarakan?, kayaknya serius banget" aku coba berfikir untuk mencari kata kata yang tepat "Edwin, mau nggak jadi pacar Ersal. Ersal sebenernya udah suka Edwin dari pertama kali ketemu, bukan gombal loh, "itulah yang terucap dari mulutku". "ehmm.., gimana yach?" Aduh aku pikir aku bakal di tolak nih ama dia, belum beres aku berfikir dia sudah bilang lagi "Edwin juga sebenernya dari pertama sudah suka, jadi Edwin mau sih kalau sekarang kita berpacaran, Edwin juga sayang Ersal." Sungguh indah banget didengar suaranya Edwin. Aku lega banget.

Semenjak bulan September 2001, kami resmi berpacaran. Kami saling mengerti keadaan kita masing masing. Aku pelajari tentang dia, apa yang dia suka, dan apa yang paling dia benci. Ada suatu tempat yang dia suka, dan aku sudah tau semenjak pertama kenal dia. "Time Zone" itulah tempat yang paling Edwin suka. Pernah suatu waktu aku ajak dia ke Jakarta, yang pertama kali dia kunjungi adalah time zone yang berada di mall anggrek. Dan setiap kali kami jalan ke luar kota, tempat itulah yang dia cari.

Pada saat aku ulang tahun, aku ingin sekali bisa menyenangkan hatinya. Aku traktir dia main time zone sepuasnya. mungkin dalam hari itu dia menghabiskan sampai 1000 koin lebih. Karena kami bermain semenjak toko buka sampai dengan toko tutup. Terlihat banget keceriaan dari wajahnya yang cakep itu.

Tahun pertama kami berpacaran, mungkin masih banyak pertengkaran-pertengkaran, tetapi penyebabnya bukan orang ketiga, hanya saja perbedaan sifat saja. tetapi masuk ke tahun kedua, pertengkaran sudah mulai jarang. Mungkin kita sudah mengenal masing masing karakter. Aku semakin sayang kepadanya, begitu juga sebaliknya. Betapa indah hidup di dunia ini bersama Edwin, pikirku saat itu.

Sampai pada suatu saat, aku kebetulan ada job ke luar negeri, itupun hanya 2 minggu. Aku meminta ijin untuk pergi ke sana. dan Edwin pun mengijinkan. Dengan setia dia mengurus segala keperluan yang aku butuhkan. Ternyata baik dalam susah maupun dalam senang dia selalu mendampingiku.

"Edwin sayang, mau nggak kamu antar Ersal ke bandara soekarno hatta?" dia menjawab "Ersal sayang, dengan senang hati Edwin antar Ersal sampai pintu keberangkatan" rencana keberangkatan hari sabtu jam 2 siang. 4 hari sebelum keberangkatan, segala keperluanku telah siap.

Hari kamis siang, Edwin meminta izin pulang dulu ke rumahnya, katanya sih mau ketemu ibunya dulu. Sore hari dia berencana untuk menginap di rumahku. Setelah aku tunggu, ternyata tidak ada kabar dari Edwin. Aku coba untuk menghubungi dia. "Maaf Ersal, Edwin sakit perut. Kayaknya malam ini nggak bisa kesana." Aku jawab "Ya udah, aku sekarang yang kesana aja. Edwin udah minum obat belum?" "Udah barusan, sekarang perutnya lagi dibalur minyak kayu putih."

Pukul 7 malam aku tiba di rumahnya, dan ternyata benar perutnya Edwin sedang sakit. Sesekali dia muntah. Aku pikir hanya masuk angin saja. "Edwin, mau nggak malam ini ke dokter?" "Ah.. nggak usah, besok juga udah sembuh kok" Aku langsung percaya aja apa yang di omongkan Edwin. Pukul 10 malam aku pamit dari rumahnya.

Keesokan harinya aku coba menghubungi Edwin, ternyata dia masih sakit. Aku tengok dia kembali sebelum makan siang. Dia bilang, udah agak baikan sih sekarang perutnya. Aku minta izin untuk pamit, karena masih ada kerjaan yang harus aku selesaikan. Malam harinya aku kembali mengunjungi dia "Edwin sayang, gimana perutnya sekarang, masih sakit nggak?" dia menjawab "Kadang sakit, kadang mual" dan aku perhatikan sekarang agak lebih sering muntah. "Besok Edwin nggak usah antar Ersal ke bandara yach, istirahat aja di rumah." dan dia menyetujuinya. Ada rasa berat aku untuk pamit dari rumahnya. Aku berada di samping tempat tidurnya sambil memandang mukanya.

Ternyata hari ini Edwin lebih cakep walaupun dalam keadaan sakit pikirku. Karena sayangku yang sangat besar terhadapnya, aku akan temani dia sampai dia tertidur pulas. Aku melihat arlojiku, jarum jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. "Edwin sayang, maafin Ersal kalau selama ini Ersal suka berbuat salah sama Edwin. Edwin mau kan memaafkan Ersal?" dia hanya mengucapkan satu kata iya, tetapi tangan kanannya hanya bisa memegang muka dan pipiku saja. Mungkin itu yang dinamakan tanda sayang yang diberikan kepada orang yang disayangi. "Edwin sekarang tidur yach, Ersal masih ada disamping Edwin sampai Edwin benar benar tertidur."

Ada suatu perasaan tidak enak yang aku rasakan. Dan itu membuat aku tidak bisa berfikir lain hal. Setelah dia tertidur lelap, aku langsung pulang dari rumahnya. Tetapi perasaan tidak enak itu masih saja ada di dalam hatiku.

Pukul 4 pagi aku sudah terbangun, karena aku harus beranjak dari rumah pukul 5 pagi. Pukul 5.30 aku coba telepon dia, ternyata Edwin sudah bangun tidur. Aku tanya kembali kondisi dia. Edwin bilang sudah baikkan. "Ersal, maafkan Edwin yach kalau nggak bisa antar Ersal sampai bandara." "Edwin sayang, Ersal dengar Edwin sudah agak baikan aja, hati Edwin bisa tenang. Ersal sayang banget ama Edwin." "Edwin juga sayang sama Ersal." aku hanya berpesan "kalau Edwin sudah sembuh, Edwin nginep aja di rumah Ersal yach, kan disana nggak ada siapa siapa. Jadi Edwin bisa istirahat."

Dalam perjalanan menuju bandara aku selalu berfikir tentang kondisi Edwin, selain itu juga aku berencana untuk membelikan sesuatu yang membuat hati Edwin senang, tetapi barang yang aku fikirkan belum tau jenisnya. Pukul 1 siang aku sampai dibandara Soekarno Hatta. Setelah aku lihat papan keberangkatan, ternyata pesawat yang akan aku tumpangi mengalami keterlambatan beberapa jam. Aku langsung mengontak Edwin, ternyata ponselnya tidak aktif. Aku pikir mungkin dia sedang istirahat.

Pukul 17.30 aku boarding. Setelah melewati kantor imigrasi aku duduk di ruang tunggu masuk pesawat. Aku coba kembali untuk telp Edwin. 1 nada panggil tidak diangkat 2 kali.. 3 kali.. 4kali.. dalam hatiku "lagi apa yach Edwin? apa mungkin lagi di kamar mandi.." belum juga beres aku berpikir ada suara perempuan terdengar di telingaku "Hallo.. ini siapa?" Aku jawab "Ini Ersal temannya Edwin, Edwin ada?" Suara perempuan itu terdengar kurang jelas. Tetapi dari nada bicara dan suara isak tangisnya aku dapat meraba sesuatu yang sangat menyedihkan dan menyakitkan, aku merasakan suaranya bagaikan pedang tajam sedang menyayat hatiku. Aku merasakan pedang yang sangat tajam sehingga aku tidak kuat untuk menahannya, ponselku pun terlepas dari genggamanku, jatuh tercerai berai seperti hatiku.

Sambil memungut kembali ponselku aku hanya bisa membatin "Ya Tuhan, cobaan apalagi yang Engkau berikan terhadap diriku ini? Mengapa begitu cepat Engkau panggil Edwin yang aku sayang dengan tulus."

Aku berada ditempat umum, dan aku tidak ingin orang lain mengetahui kesedihan yang aku alami. Aku berusaha untuk membendung air mataku. Aku masuk kedalam kabin pesawat. Dan aku duduk disebelah jendela. Aku berusaha untuk membendung airmataku yang berasa ingin tumpah ruah. Tetapi apa dayaku, perjalanan yang memakan waktu kurang lebih 12 jam itu yang membuatku tak tahan. Akhirnya aku menangis dalam kesendirianku. Aku sudah tidak mempedulikan lagi orang di sebelah tempat dudukku, apakah dia sedang memperhatikanku atau tidak. Aku hanya ingin bersama kembali dengan Edwinku sayang.. Setelah aku kembali ke tanah air, yang pertama akan kukunjungi adalah makam Edwinku sayang. Aku akan berusaha tersenyum di depan makamnya, agar dia bisa tenang untuk meninggalkan dunia ini untuk selamanya. Walaupun dalam hatiku terasa berat.

Aku hanya berkata "Edwin, semoga kamu bahagia di kehidupan selanjutnya. Cinta dan sayang Ersal telah engkau bawa serta. Nama Edwin sudah terukir jelas di dalam hatiku. Ersal hanya tinggal menunggu beberapa saat untuk bertemu kembali dengan Edwin. Dan hanya Tuhanlah yang maha tahu kapan Ersal bisa bertemu kembali dengan Edwin dan kedua orangtua Ersal."

TAMAT