A Taste of Honey 5 - Beautiful Journey - 1

Tidak terasa sudah hampir setahun aku tinggal disana dan berolah tubuh dengan Hanny, tetangga kosku. Selama menjalin hubungan dengan Hanny, sempat kucicipi kehangatan tubuh beberapa wanita lain. Tentu saja tanpa sepengetahuan Hanny. Ada Titin yang karyawan pabrik garment di Cibinong, ada Ida sang Wanita Penjaga Showroom dan Wiwik, wanita bersuami yang menjadikan aku oase tempat pemuas dahaganya.

Rencana penelitian skripsiku sudah disetujui pembimbing dan seminggu lagi aku harus berangkat ke Banyuwangi selama dua bulan untuk melakukan penelitian tentang kehidupan masyarakat nelayan di sana. Akupun sudah memberitahu Hanny mengenai rencana keberangkatanku.

Aku sudah mulai "bosan" dengan Hanny. Dalam arti begini, setiap kali bertemu untuk bercinta rasanya sudah cukup sekali saja aku orgasme atau paling banyak dua kali. Terakhir kali bercinta seharian pada minggu lalu kubiarkan ia mengejang sampai empat kali, sementara aku hanya dua kali menembakkan amunisi senjata biologisku.

Tiga hari sebelum berangkat kami hanya sempat Quicky.. Quicky di atas sofa ruang tamunya. Ia sebenarnya menginginkan permainan yang panjang dan lama. Namun karena keadaan tidak memungkinkan, dia hanya bisa membekaliku dengan beberapa gigitan memerah di bahu dan dadaku.

Selama di lokasi penelitian aku sempat merasakan kehangatan tubuh wanita di sana. Dua kali pada saat menyeberang ke Bali untuk mendapatkan data pembanding, aku melakukannya dengan PSK. Namun klimaks yang kucapai terasa hambar. Hanya sekedar ejakulasi untuk menumpahkan mani yang sudah penuh. Namun secara emosional aku tidak terpuaskan.

Dua bulan berlalu dengan cepat..

Aku kembali di rumah menjelang tengah malam. Badanku terasa remuk semua setelah melintasi pulau Jawa dari ujung timur sampai hampir di ujung baratnya. Langsung aku tertidur sampai agak siang. Suara Hanny menyapu di pekarangannya tidak mampu membangunkanku. Aku bangun setelah matahari sepenggalah. Setelah mandi dan membereskan pakaian kotor, terasa perutku lapar sekali.

Hanny melambaikan tangannya ketika aku melintas di depan rumahnya.

"Anto!! Kapan kamu sampai!"
"Tadi malam Bu?" kataku agak kikuk setelah selama dua bulan tidak bertemu dia.

Juga kebetulan dari arah berlawanan ada tetangga yang juga lewat. Dia memandangiku dengan mata berbinar-binar.

"Kamu tambah hitam dan agak kurusan sedikit," katanya setelah mengamatiku sesaat.
"Yahh, selama dua bulan terus berjemur di panas matahari, makan juga teratur. Sehari dua kali, pagi dan sore karena siang masih di lapangan", kataku.

Diam sesaat.

"Ya sudah. Kamu istirahat dulu, nanti kukirim air jahe agar tenagamu cepat pulih. Lusa aku berangkat ke Ciamis, ada saudara yang mau menikah. Aku sudah bilang Pak Edi. Eka tidak ikut karena belum liburan. Karena kamu sudah tiba di sini, maka jadwal perjalananku berubah. Kita bisa merasakan asinnya air laut Pangandaran. Aku akan ngomong lagi sama Pak Edi sampai berapa hari berada di Ciamis".

Kupikir dalam beberapa hari ke depan aku tidak sibuk. Konsep laporan penelitianku sudah kusiapkan dari lapangan, rencananya akan kubaca lagi dan kuserahkan ke dosen pembimbing seminggu lagi. Huuhh!! Rekreasi tapi sekaligus kerja keras lagi.

Lusanya kami berangkat pada malam hari. Perjalanan ke Banjar tidak terasa lama, karena di sepanjang perjalanan tangan kami sibuk bekerja menyatakan keinginan dan kerinduan kami masing-masing. Dari Banjar kami melanjutkan perjalanan ke Pangandaran. Agak siang kami tiba di Pangandaran.

Kami masih merasakan lelah karena perjalanan tadi. Sampai di kamar sebuah hotel kami langsung mandi berdua dengan melakukan sentuhan dan kecupan ringan sebagai pemanasan. Kamar yang cukup indah, terletak di lantai dua dengan pandangan sea view di bagian selatan. Di bagian timur dan barat ada jendela kecil untuk memandang sunrise dan sunset. Bed cover warna biru laut menambah sejuk dan menciptakan suasana santai. Kami merencanakan untuk istirahat dulu dan nanti sore baru mulai menikmati indahnya Pangandaran.

Menjelang tengah hari kami bangun dan makan siang. Kami pilih restoran dengan menu sea food. Setelah melihat-lihat menu aku putuskan untuk memesan udang dan kerang sekalian sebagai aphrodisiac, makanan penambah tenaga seksual.

Setelah makan kami kembali lagi ke hotel dan duduk-duduk memandang ombak laut selatan yang berkejaran dan memecah di pantai. Beberapa lama kemudian matahari sudah mulai condong ke barat. Cuaca sedikit berawan sehingga panas mataharipun agak tereduksi, namun kuperkirakan tidak akan turun hujan. Kuajak Hanny untuk jalan dan berenang di Pananjung sambil menunggu sunset. Kubisikkan agar membawa pakaian ganti, namun sekarang ini tidak usah mengenakan pakaian dalam. Iapun mengerti kalau aku mengajaknya outward adventure di pantai.

Ia mengenakan baju lengan panjang yang agak tebal agar putingnya tidak membayang dari luar, aku mengenakan kaus lengan pendek. Kami sama-sama mengenakan celana pantai yang longgar. Pakaian ganti dan handuk kumasukkan ke dalam tas kecil dan kusandang di bahu.

Kamipun masuk ke Pananjung melalui gerbang Taman Wisatanya. Kami memilih jalan-jalan setapak yang jarang dilintasi orang. Bahkan kadang-kadang menerobos semak-semak. Kalau keadaan sekitarnya kelihatan aman dan sepi, maka kamipun dapat melakukan ciuman, rabaan dan remasan ringan. Ia sangat menikmati perjalanan pendek ke pantai Pananjung ini. Perjalanan yang normalnya paling lama ditempuh tigapuluh menit, kami lakukan dengan santai dan berbelok-belok sehingga setelah sejam lebih kami baru menginjakkan kaki di atas pasir.

Kami terus berjalan di pantai ke arah timur sampai agak jauh dan tidak ada orang lagi yang ada di sana. Kusergap dia dari belakang dan kubanting pelan ke atas pasir. Kuterkam dan kamipun bergulingan di atas pasir yang basah. Kami masih terus berpelukan, berciuman dan berguling-guling. Ketika ombak memecah di pantai, maka tubuh dan pakaian kamipun menjadi basah. Kami saling menatap dan tertawa bersama-sama dan kembali berpelukan lagi.

Kubopong tubuhnya dan kuceburkan di air. Ia berteriak-teriak lepas dan menarik tanganku sehingga akupun juga terjatuh di air. Ia makin tertawa senang dan menekan bahuku. Kami terus bermain air sambil berciuman dan mengusap tubuh pasangan kami. Bibir kami ikut basah oleh air laut yang asin, sehingga ketika berciuman juga terasa sedikit asin. Namun hal ini tidak mengurangi kenikmatannya, bahkan terasa lebih nikmat karena ada rasa yang baru yang sebelumnya belum pernah dilakukan.

Ciuman dan remasanlu semakin lama semakin ganas. Iapun mengerti kalau nafsuku sudah mulai bangkit. Ia mengajakku ke luar dari air. Sambil tetap berciuman kami keluar dari air perlahan-lahan. Handuk besar dari dalam tas kami keluarkan dan kuhamparkan di atas rumput yang terlindung semak-semak agak jauh dari bibir pantai. Beberapa detik kemudian kamipun sudah saling melepas pakaian.

Kubaringkan ia di atas handuk dan segera kupeluk dan kucium. Ia mendesah dan menggesek-gesekkan pipinya pada pipiku. Bibirnya mengulum daun telingaku dan mendesah.

"Ohh.. Anto. Dua bulan lebih aku menunggu saat-saat seperti ini".
Kuciumi telinganya dan kubisikkan,"Hannyku, akan kutumpahkan kerinduanku dan memuaskan penantianmu..".
"Pasti penuh dan kental manimu. Selama dua bulan lebih tidak dikeluarkan. Sirami milikku dengan airmu," katanya.

Kepalaku kubenamkan ke dadanya dan beraksi mencium dadanya yang padat kemudian menggigit belahan dadanya dan menjilati putingnya. Masih ada sisa-sisa air laut.

Kejantananku mulai bereaksi ketika tangannya menyusup di antara pahaku. Pelan tapi pasti kejantananku mulai membesar sehingga terasa mulai mengganjal. Kunaikkan pantatku untuk mengurangi rasa tekanan kejantananku pada perutnya. Kemudian tangannya mengarahkan kejantananku sehingga kepalanya berada sedikit di bawah pusar.

Tangannya kebawah, kemudian meraba, mengusap serta memainkan penisku.

Kini kepalaku bergerak ke leher, dada, menjilt putingnya dengan jilatan ringan kemudian terus ke bawah sampai di selangkangannya. Aku mulai menjilati dan memainkan tonjolan daging kecil bi bagian depan vaginanya. Bibir vaginanya yang berwarna kemerahan kuusap dengan bagian dalam telunjukku. Kembali rasa asin menempel di lidahku, namun kemudian berubah menjadi rasa air yang segar agak lengket.

Ia terhentak dan mengejang sesaat ketika clitnya kujilat dan kujepit dengan kedua bibirku. Kulepas dan kujepit lagi. Ia merengek-rengek agar aku menhentikan aksiku dan segera melancarkan serangan terakhir, namun aku sendiri masih ingin menikmati dan melakukan foreplay yang lama. Beberapa saat aku masih dalam posisi itu. Tangan kirinya memegang kepalaku dan menekankannya ke celah pahanya. Tangan kanannya meremas-remas payudaranya.

Kepalaku kulepas dari selangkanganku dan kemudian mulutku bermain dengan puting payudaranya. Hanny kelihatannya tidak sabar lagi dan dengan sekali gerakan tangannya suda memegang kemudian mengocok penisku dan menggesekkannya pada bibir vaginanya. Tanganku mengusap gundukan payudaranya dan meremas dengan pelan dan hati-hati. Ia menggelinjang. Mulutku menyusuri leher dan bahunya kemudian mencari-cari bibirnya yang sudah setengah terbuka. Penisku yang sudah mengeras mulai mencari sasarannya.

Kuremas pantatnya yang padat dan kuangkat pantatku.

"Anto.. Kumohon.. Masukk.. Kan!"

Tangannya menarik penisku dan memasukkan ke dalam guanya yang sudah basah. Aku tidak melawan dan segera kutancapkan penisku dalam-dalam ke dalam liang vaginanya.

Hanny bergerak menentang arah gerakanku untuk menghasilkan kenikmatan yang semakin dalam. Aku bergerak semakin cepat dan mulai kurasakan aliran yang tidak terkendali di tubuhku. Aku ingin segera mengeluarkannya namun aku harus memuaskannya terlebih daulu. Aku menurunkan irama permainan. Kini ia yang bergerak-gerak liar. Gerakan demi gerakan, teriakan demi teriakan dan akhirnya Hanny sampai ke puncak sesaat kemudian setelah mengeluarkan teriakan keras dan panjang.

"Aachhkk.. Anto.. Ouhh".

Tubuhnya mengejang dan pantatnya naik. Untuk memaksimalkan kepuasannya maka kutekankan penisku ke dalam vaginanya. Ketika dinding vaginanya berdenyut, maka kubalas dengan gerakan otot Kegelku. Iapun kembali mengejang setiap kali otot Kegelku kugerakkan.

Sejenak kubiarkan ia beristirahat tanpa mencabut penisku. Kami saling mengusap tubuh satu sama lain. Aku merasakan ada beberapa pasang mata yang mengintip di balik semak-semak.

"Ada yang ngintip Han!" kataku.
"Biar saja, selagi mereka tidak mengganggu kita. Paling hanya anak-anak kampung atau sesama turis yang tersesat. Aku malah merasa semakin nikmat kalau diintip," katanya tenang.

Ketika gairahnya kembali bangkit, maka aku mengenjotnya lagi dengan perlahan untuk mengembalikan ketegangan penisku yang sudah mulai menurun karena ketika kami beristirahat tidak ada rangsangan kenikmatan. Aku memeluknya kembali, kemudian mengencangkan penisku dan menggenjotnya lagi.

Setelah kurasakan penisku mengeras kembali, maka kuberikan isyarat untuk doggy style. Ia mendorong tubuhku agar dapat mengambil posisi menungging, namun kutahan. Kuangkat kaki kirinya dan kuputar melewati kepalaku. Ia sudah membelakangiku dalam keadaan berbaring. Pantatnya dinaikkan sedikit dan kugenjot lagi vaginanya. Kurebahkan badanku di atasnya. Kami berciuman dalam posisi ia kunaiki tengkurap, sementara kemaluan kami masih terus bertaut dan menjalankan kegiatannya.

Aku menusuk vaginanya berulang kali. Ia pun mendesah sambil meremas rumput di dekatnya. Aku berdiri di atas lututku dan kutarik pinggangnya. Kini ia berada dalam posisi nungging dengan pantat yang disorongkan ke kemaluanku. Setelah hampir dua puluh menit permainan kami yang kedua ini, Hanny semakin keras berteriak dan sebentar-sebentar mengejang. Vaginanya terasa semakin lembab dan hangat. Kuhentikan genjotanku dan kucabut penisku.

Hanny berbalik telentang dan sebentar kemudian aku naik ke atas tubuhnya dan kembali menggenjot vaginanya. Akhirnya aku merasa hampir mencapai puncak dari kenikmatan ini. Kutarik buah zakarku sehingga penisku keliatan agak memanjang.

"Hanny, kayaknya aku nggak tahan lagi, aku mau keluar," teriakku.
"Ouhh.. Tunggu dulu.. Sebentar lagi.. Kita sama..".

Napas kami semakin terengah-engah. Kukendorkan sebentar otot Kegelku dan kemudian kukencangkan, kutahan dan kugenjot lagi dengan cepat.

Bersambung . . . .