Setengah Baya
Monday, 27 July 2009
Lily Panther 12 Piala Bergilir - 1
Serial ini menceritakan pengalamanku sejak awal mula menjadi seorang pekerja sex (baca:"Kisah Seorang Call Girl") hingga menjadi seorang call girl yang freelance, termasuk petualangan dengan berbagai macam dan tipe orang, bermacam permainan dan bermacam macam lainnya.
*****
Dengan naik taksi aku menuju ke Club Deluxe, seorang GM telah menunggu di depan lobby saat taxiku berhenti.
"Cepat mereka udah lama menunggu" sapanya sambil menggandengku menuju salah satu ruangan VIP.
Ada 5 orang berada di dalam, anehnya tidak ada seorangpu Purel yang menemani mereka.
"Ini dia bidadari kita" celetuk salah seorang dari mereka saat melihatku memasuki ruangan
"Wow sayang sekali aku tak bisa ikutan" sahut lainnya
"Aku setuju" teriak lainnya tanpa aku tahu apa maksudnya
"Setujuu" yang lain mengekor seperti suara di gedung DPR.
"Oke semua telah setuju jadi kamu bisa tinggal dan temani mereka" kata si GM, aku masih tak tahu maksudnya, jadi kuturuti saja seperti kerbau dicocok hidungnya.
Satu persatu aku diperkenalkan, tentu saja tak semua nama bisa kuingat satu persatu tapi untuk saat ini apalah arti sebuah nama, toh aku belum tahu apa maunya mereka. GM itu hanya memberitahu bahwa aku di-booking selama 3 malam, mulai kamis-Sabtu, hanya malam sampai pagi ditambah Minggu siang-sore, akan ada permainan, hanya itulah pesannya, justru itu yang membuat aku penasaran. Mereka saling berceloteh, saling mengolok temannya.
Beberapa lagu telah mereka lantunkan dengan suara yang tak terlalu sedap didengar telinga, satu demi satu mereka mengajakku dance, bergiliran kulayani mereka melantai diiringi lagu slow yang tak karuan iramanya. Bisa ditebak bagaimana mereka melantai denganku, semua hampir sama kelakuannya, memelukku erat sehingga buah dadaku menempel di tubuhnya, mencium pipi dan leherku, meremas pantatku dan sebagainya, semua kulayani dengan senyuman manja karena aku masih tidak tahu siapa yang akan meniduri dan menikmati tubuhku kelak, jadi semua kuperlakukan sama.
Malam semakin larut, masih juga belum ada tanda tanda acara ini berakhir dan aku belum mendapat kepastian siapa yang harus tidur denganku malam ini diantara mereka. Akhirnya Pak Ade yang paling muda memberitahu aturan permainannya, mereka adalah anggota klub golf dari Jakarta yang besok ada turnamen di Finna, Bukit Darmo Golf dan Ciputra. Dari keempat orang yang ada di ruangan ini, siapa yang mendapat score best net di hari itu berhak mendapat piala bergilir semalam, yaitu aku, begitu juga di hari selanjutnya sampai hari minggu.
"Nggak ada masalah kan?" tanya Pak Ade menutup penjelasannya.
Aku diam terkejut tak tahu bagaimana harus bersikap, seharusnya si GM itu memberitahu permainan ini terlebih dahulu, apalagi melibatkan banyak orang seperti ini. Kalau aku menolak tentu akan mengecewakan banyak orang, kalau aku terima, sebenarnya tidak ada masalah cuma agak tersinggung dengan si GM karena mengaturku seenak kemauannya sendiri.
"Kalau kamu keberatan ya nggak apa apa, kita cari yang lain, nggak masalah kok" lanjut Pak Ade melihat diamku.
"Eh enggak, nggak apa kok, aku sih oke oke saja" jawabku
"OK gentlemen, kita akhiri acara ini karena besok tee off jam 6.30 pagi, jadi tidak ada alasan kurang tidur kalau kalah" kata Pak Ade pada rekan rekannya
"Dan Lily menjadi milik sang juara besok malam hingga pagi, terserah mau diapain" lanjutnya dan dijawab "setujuu" serentak seraya berdiri dan meninggalkan kamar VIP itu.
Pukul 11 kami semua meninggalkan Club Deluxe, meskipun malam ini tak ada yang kulayani tapi argo sudah jalan, itulah kesepakatannya.
"Besok jam 7 malam kamu sudah siap di Hotel Mercure (sekarang Sommerset kalau nggak salah)" pesan si GM sebelum taxiku berangkat mengantarku pulang.
Hari Pertama
Keesokan harinya berjalan seperti biasa, aku tak terlalu memikirkan siapa yang akan meniduriku malam ini, toh percuma saja berharap karena bagiku mereka seperti tamuku lainnya.
Siangnya aku masih menerima tamu, bahkan dua, beruntunglah tamuku yang kedua tinggal di Hotel Mercure, jadi dari pada mondar mandir, dia kuberi "bonus" free extra time sambil menunggu jam 7 malam, tentu saja dia tidak keberatan mendapat bonus itu meskipun tidak tahu alasannya, Paling tidak bisa mendapatkan satu babak tambahan setelah 2 babak kami bercinta.
Jam 18:40 kutinggalkan tamuku menuju lobby, aku tak berani menunggu di lobby, disamping memang bukan kebiasaanku juga karena khawatir ketahuan tamu terakhirku tadi, maka kutunggu panggilan mereka di mobil. Belum habis Marlboro putihku, si GM menelpon dan memintaku langsung memintaku bergabung dengan mereka di restoran hotel itu, begitu tahu aku udah berada di tempat parkir. Ternyata mereka sudah lengkap mengelilingi makanan yang sudah terhidang di atas meja. Suara celotehan terdengar saat aku bergabung dengan mereka. Untunglah tak banyak tamu di restoran itu, jadi aku tak perlu terlalu khawatir dikenali orang yang pernah mem-bookingku, hanya tamuku terakhir tadi yang kukhawatirkan.
Selama makan, pembicaraan mereka hanyalah seputar permainan golf tadi siang, banyak istilah yang tak kumengerti, seperti birdie, par, boogy, green, rough, best net, gross, handycap dan istilah lain yang sama sekali asing bagiku.
Hingga selesai makan aku masih tidak tahu siapa yang akan meniduriku pertama kali, tapi aku tak peduli siapapun yang akan tidur denganku karena aku tidak dalam posisi untuk memilih. Kucoba menerka siapa laki laki yang "beruntung" itu, tapi terlalu sulit karena antara pemenang dan pecundang semua berwajah ceria, tak ada kesedihan tampak di raut muka mereka.
Akhirnya Pak Bambang berdiri dan mengulurkan tangannya padaku.
"Sorry guys, aku permisi dulu, I have many thing to do" katanya sambil menggandeng tanganku meninggalkan rekan rekannya diiringi celoteh godaan, ternyata dialah pemenang di hari pertama.
Bergandengan tangan kami menuju kamar Pak Bambang, dia bukan yang paling tua diantara rekan rekannya tadi tapi termasuk yang di-tua-kan karena usianya memang diatas 50-an, kutaksir sekitar 55 tahun, hampir 2 kali usiaku. Tak ada yang istimewa pada diri Pak Bambang, kulitnya yang kehitaman karena terbakar matahari akibat sering main golf, kumisnya yang tebal dengan beberapa uban menghiasi kepalanya.
Sesampai di kamar tanpa banyak basa basi dia langsung mendekapku dari belakang dan menciumi tengkukku. Aku menggeliat geli, tangannya sudah berada di dada dengan remasan remasan nakal.
"Bapak nakal deh, sini aku lepasin ."
Belum selesai aku bicara dia langsung menutup mulutku dengan bibirnya dan melumat habis, lidahnya berusaha menembus rongga mulutku, segera kusambut pula dengan lidahku. Kami berciuman sambil saling melucuti pakaian hingga telanjang habis, seperti sudah tidak sabar untuk segera menikmati tubuhku.
"Sejak kemarin aku sudah ingin melakukan ini" katanya sambil merebahkanku ke ranjang
"Kenapa nggak bilang dari kemarin, kan aku bisa menyelinap kemari" jawabku sambil tersengal mendapat kuluman darinya
"Nggak boleh, itu sudah aturan, bisa bisa aku dipecat kalo ketahuan" lanjutnya terus mendaratkan bibirnya di putingku.
Tubuhnya yang agak gendut menindihku sambil menciumi seluruh tubuhku sejauh dia bisa menjangkau dengan bibirnya. Terasa agak berat aku menahan tubuhnya dan semakin berat saat dadanya menggenjet dadaku, sesak napas dibuatnya. Tapi rupanya dia salah menterjemahkan sengalan napasku, dikira aku sudah benar benar terangsang oleh foreplaynya padahal pemanasannya jauh dari cukup bagiku untuk terangsang.
"Gimana? Udah nggak tahan? Kita masukin aja ya" bisiknya lembut sok gentleman.
Aku hanya tersenyum, kubuka kakiku lebar saat dia mulai mengusapkan kejantanannya di liang vaginaku, agak susah, mungkin karena vaginaku belum basah.
"Sini aku basahin dulu" kataku sambil memberi isyarat supaya dia bergeser ke arah kepalaku dan bisa kukulum penisnya, segera tubuhnya mengangkang di atas, kusambut dengan jilatan dan kuluman pada kejantanannya.
Beberapa saat aku mengulumnya, kemudian berganti ke posisi 69, saling menjilat dan mengulum, membuat vaginaku basah dengan cepat. Sudah menjadi kodratku, sebenci dan semuak apapun aku sama seseorang tapi kalau dia berhasil menjilati vaginaku, apalagi ternyata begitu pintar, maka dengan sedikit berimajinasi pastilah cairan kewanitaanku keluar dengan sendirinya.
Perlahan lahan Pak Bambang mendorong kejantanannya memasuki liang kenikmatanku, penis ketiga di hari itu yang menikmati hangatnya surga dunia milikku. Dia menatapku tajam dengan sorot mata penuh nafsu seakan ingin menelanku bulat bulat, senyumnya menyeringai bak srigala lapar menatap korban yang sudah tidak berdaya dalam cengkeramannya. Dia menelungkupkan tubuhnya di atasku, memelukku rapat sambil menciumi leher dan bibirku seiring dengan mulainya gerakan mengocok penisnya. Kocokan pelan dan dalam membuat bulu kudukku merinding karena geli bercampur nikmat, aku sendiri heran tak pernah merinding begini saat melayani tamu, irama permainan apapun kulayani baik romantis, pelan maupun keras menjurus liar sejauh tidak menyakiti secara fisik, kalau secara mental sih sudah terlatih untuk menerimanya segala jenis "penghinaan dan perendahan martabat" sejauh berhubungan dengan pekerjaanku, dan bukan tentang pribadiku.
Desahan Pak Bambang mengiringi desahan kenikmatanku, hembusan napasnya yang tersengal mengenai wajahku saat kocokannya mulai berubah cepat, pantatnya turun naik menekan kuat, klitorisku serasa tergesek benda keras kejantanannya. Sodokan demi sodokan begitu dia nikmati, sebentar saja keringat sudah membasahi wajahnya, kuusap lembut dengan tanganku, seperti mengusap wajah Papaku yang sedang berkeringat, beberapa sempat menetes di wajahku. Kudorong tubuhnya menjauh karena terasa semakin berat menindihku, membuat napasku ikutan tersengal, tapi justru dia mencabut penisnya dan telentang disampingku, menarikku ke pelukannya.
Mungkin karena lelah menahan berat badannya sendiri, karena staminanya sudah tak muda lagi, padahal permainan belum 5 menit tapi terasa begitu lama. Kini posisiku di atas, kucium bibirnya sembari menuntun penisnya kembali memasuki vaginaku, kembali aku dalam dekapannya saat kocokannya menghunjam tajam, kuatur posisi pantatku hingga kejantanannya menggeser klitoris, dengan posisi begini akulah yang pegang kendali. Kulawan dengan goyangan pantat setiap kali penisnya meluncur masuk, aku melepaskan diri dari dekapannya, dengan begini lebih bebas bergerak melakukan improvisasi demi kenikmatan tamu dan sedikit bagiku.
Tubuhku mulai turun naik di atasnya, tangan Pak Bambang meremas remas buah dadaku penuh nafsu diiringi desahan kenikmatan kami berdua. Kurobah gerakanku, dari turun naik menjadi berputar di atas penisnya, sesaat kulihat Pak Bambang merem melek menikmati perubahan gerakanku, tangannya makin keras mencengkeram buah dadaku, vaginaku sendiri terasa diaduk aduk penisnya yang tidak terlalu besar, rata rata, tapi sekeras batu. Kupermainkan dengan otot otot vagina yang memeras kejantanannya, dia makin melayang tinggi dan makin cepat mencapai klimaks. Tubuhku ditarik kembali dalam dekapannya tapi aku menolak, aku ingin menikmati wajah wajah tua dalam kenikmatan sexual tertinggi yang tidak mungkin bisa dia dapatkan setiap saat apalagi di rumah.
Beberapa detik kemudian kurasakan semprotan sperma yang kuat menghantam vaginaku, diiringi jeritan kenikmatan dari Pak Bambang, aku teriak kaget tak menyangka begitu kuat denyutannya, lima enam tujuh delapan denyutan yang hebat melandaku disusul denyutan kecil lainnya, mengisi vaginaku dengan cairan hangat sperma. Aku ambruk tak lama kemudian dalam pelukannya, meskipun tidak ikutan orgasme tapi kuatnya semprotan itu begitu nikmat terasa, napasnya menderu kuat ditelingaku, seperti orang yang sehabis lari marathon.
"Ugh, lebih satu minggu aku tak melakukan ini" katanya pelan sambil membelai rambutku setelah dia berhasil mengatur nafasnya normal.
"Emang ibu kemana?" tanyaku lancang.
"Dia lagi ke luar kota, biasa kegiatan kelompok ibu ibu" jawabnya masih mengelus elus rambutku.
"Wah ibu pasti puas dengan permainan Bapak seperti ini, bisa KO dia apalagi lidah Bapak pandai sekali bermain di bawah" aku memuji dan semakin berani bertanya karena beliau juga tidak mengalihkan perhatian ke pembicaraan lain, berarti tidak keberatan.
"Ah enggak, dia membenci permainan oral, tapi masih hebat di ranjang, maklum usia kami cukup jauh, dia kan 44 sedangkan aku sudah 56"
Pembicaraan kami berlangsung cukup lama mengenai keluarganya, terkadang dia memuji kehebatan istrinya bahkan menyanjungnya, aku jadi tambah bingung, dari pembicaraan itu sebenarnya tak ada alasan untuk selingkuh mencari wanita lain tapi tetap saja dilakukannya sebagai selingan hidup, masak makan sayur asem terus, itu alasan klasik yang selalu di ucapkan lelaki, dasar laki laki, dimana saja ternyata sama hanya kemasannya saja yang berbeda.
Handphone-nya berbunyi, rupanya dia memang sudah menunggu makanya ditaruh HP itu di ranjang. Tanpa memintaku turun dari tubuhnya dia terima telepon itu.
"Ya sayang, enggak lho Mama kan ke Bandung sama ibu ibu sekarang Papa ada di Surabaya sayang, nggak bisa, kamu bilang saja sama tantemu ntar Papa akan ganti sampai minggu iya, senin aja deh, malam sayang"
Aku hanya diam saja mendengar pembicaraannya, ternyata dari anak perempuannya yang sedang kuliah di Yogja, berarti hanya sedikit lebih muda dariku. Beberapa saat kami saling membisu, penisnya sudah keluar dari vaginaku, kurasakan cairan sperma menetes keluar. Akhirnya aku turun dari tubuhnya, kubersihkan kejantanannya dengan tisu yang ada di samping ranjang, baunya begitu menyengat, lalu kutinggalkan ke kamar mandi membersihkan sperma yang ada di vaginaku.
Jam menunjukkan pukul 9:35 malam ketika aku keluar kamar mandi selesai mandi, kulihat Pak Bambang sudah duduk di sofa sudah mengenakan celana dalamnya, perutnya kelihatan semakin buncit dengan posisi duduk seperti itu.
Kubuatkan 2 cangkir teh dari mini bar, kuhidangkan ke depan beliau dan aku langsung duduk di pangkuannya dengan sikap manja.
"Besok main dimana lagi Pak?" tanyaku sambil bergelayut di lehernya.
"Bukit Darmo, dekat sini aja, jadi nggak perlu buru buru berangkat jam 5 kayak tadi pagi kalo ke Finna"
"Terus besoknya lagi?"
"Ke Ciputra, tapi cuma 18 hole supaya bisa selesai siang dan sang juara punya waktu untuk menikmati hadiahnya sebelum pulang ke Jakarta flight terakhir"
Bersambung . . . .