Madame - 1

Rasanya sayang kalau kisah pribadiku ini terlewatkan begitu saja. So, aku mau semua netter yang membuka HP ini jadi tempat membagi cerita. Ini adalah kisahku waktu melakukan sebuah penelitian ilmiah di Manado, kota yang terkenal dengan kecantikan wanitanya. Saat itu karena prestasiku yang sangat baik, aku mendapat kehormatan untuk menerima dan meminta fasilitas yang aku perlukan untuk penelitian selama satu setengah bulan itu dari sponsor dan pemerintah. Para pejabat daerah itu juga sangat antusias menyambutku, mereka sangat mengharapkan penelitian ilmiah ini menjadi faktor pendorong bagi perkembangan ekonomi wilayahnya. Salah satu dari para pejabat itu pula yang memberiku kehormatan untuk tinggal bersama keluarganya di sebuah kawasan khusus pejabat pemerintah dan pengusaha terkenal di kota itu. Lagi-lagi aku bisa menabung jatah uang akomodasi yang diberikan oleh sponsor dan fakultas.

Oh ya, nama panggilanku Agus, saat ini aku berumur 24 tahun, aku tercatat sebagai exchange student di University of Osaka, negeri para Shogun dan Shamurai. Badanku biasa saja dengan tinggi 170 cm kulit kuning langsat, wajah sering dapat pujian (nggak nyombong lho). Ada yang aneh dalam diriku, di usiaku yang sekarang aku begitu menyukai wanita paruh baya yang berumur antara 37 sampai 45. Rasa-rasanya aku jauh lebih menikmati wanita-wanita dewasa, ibu-ibu kesepian atau para tante girang. Dalam hal hubungan seks, kaum mereka jauh lebih sensitif dan mm pokoknya heboh. Jelas itu karena tuntutan mereka akan kepuasan seks yang lebih dari biasanya dan juga mungkin karena faktor kematangan jiwa serta pengalaman terbang yang melebihi rata-rata (pilot kali yah?)

Nama-nama yang ada dalam cerita ini hanya samaran, jadi kalau ada yang merasa keberatan silakan hubungi hansip di tempat masing-masing. Cerita ini kutulis bersama orang kedua yang juga merupakan pelaku di dalamnya. Jadi nantinya terdapat dua pribadi yang akan berbicara di sini, aku dan seorang wanita yang dalam tulisan ini sebut saja namanya Ibu Linda. Dan percaya atau tidak, cerita ini kami tulis sebagai selingan setiap kali kami melakukan hubungan seksual.

Keluarga Pak Rudy, tempatku tinggal, adalah keluarga kaya dan terpandang di seantero propinsi Sulut. Disamping Pak Rudi sendiri yang pejabat teras Pemda, keluarga itu juga memiliki beberapa perusahaan besar yang bergerak di berbagai bidang. Istrinya sendiri memimpin sebuah grup perusahaan perkapalan dan pengelolaan hasil hutan, ketiga anaknya mereka kirim ke luar negeri. Satu di Australia dan dua lainnya di London. Di rumah itu mereka tinggal dengan tiga orang pembantu, dua sopir dan dua tukang kebun yang sehari-hari "ngantor" dari jam tujuh sampai jam lima sore. Sebagai orang kaya dan terpandang, Pak Rudi juga terkenal dermawan (atau pura-pura dermawan, entahlah). Ada juga seorang adik perempuan Pak Rudi, Lisa yang masih single meski sudah berumur 38 tahun, ia seorang dokter yang bertugas di rumah sakit pemerintah di kota itu.

Seperti kebanyakan perempuan Manado, kulit Mbak Lisa (demikian aku memanggilnya) putih bersih, tubuhnya lebih mirip gadis Amerika sono ketimbang orang melayu. Hidungnya mancung dengan bibir yang sensual sekali. Kalau mau melihat dadanya hmm.. ukurannya terus terang saja di atas rata-rata. Tak kalah cantiknya istri Pak Rudi, aku biasa memanggilnya Ibu, untuk menghormati kedudukannya sebagai pengatur kehidupan rumah tangga itu, orang mengenalnya dengan panggilan Bu Linda. Tubuhnya biasa saja, tak terlalu langsing dan tidak gemuk, pas. Ia sedikit cerewet, mungkin karena semangatnya sebagai wanita karir yang berdisiplin tinggi. Dalam masalah waktu ia termasuk golongan "gila ketepatan". Bu Linda tak pernah kepagian dan tak pernah juga kesiangan, ia selalu tepat waktu. Bicaranya selalu diplomatis, topik pembicaraannya dengan siapapun pasti terdengar sangat ilmiah. Ia memang Sarjana Ekonomi dan Management lulusan UI di Jakarta, jadi jangan heran kalau sesekali ia bicara masalah politik atau kebijakan ekonomi nasional bahkan dunia. Tapi ada satu hal yang kuanggap sebagai kekurangan wanita ini, wajah manisnya lebih sering tampak judes dan "killer", ia pelit senyum!

Di rumah itu, aku paling dekat secara pribadi dengan seorang dari sopir mereka. Namanya Pak Yos, Yosef Sengkei lengkapnya. Lelaki berumur hampir 51 tahun, pensiunan ABRI yang sudah mengabdi pada keluarga itu tak kurang dari sepuluh tahun. Kami sering berbicara ngalor ngidul. Ia memang ditugaskan untuk mengantarku kemana saja dalam rangka studi di lapangan sehingga kami banyak punya kesempatan untuk ngobrol.

Hanya lima hari sejak aku di sana, ada sebuah kejanggalan yang terjadi pada suasana keakraban dalam keluarga itu, setidaknya ini kata Pak Yos suatu ketika. Ia bilang betapa kelihatan harmonisnya keluarga Pak Rudy sejak aku ada di situ. Bu Linda yang biasanya sangat menakutkan mereka tiba-tiba jadi agak sedikit ramah dan terbuka, masih super disiplin tapi tidak setegang dulu. Mbak Lisa juga begitu, sekarang ia betah di rumah, sejak ada aku kami memang kerap ngobrol pada malam harinya. Biasanya hanya ngomong masalah kehidupan luar negeri atau perkembangan di negara ini. Dulu-dulunya kata Pak Yos, Mbak Lisa nggak pernah sedetikpun terlihat duduk di taman dekat kolam renang di belakang rumah. Habis dari rumah sakit langsung saja ngeloyor tidur, demikian cerita lelaki tua itu dengan polosnya. Kucoba jadi pendengar yang baik, toh ini mungkin bermanfaat bagi diriku.

Tapi memang, mengaku atau nggak aku punya perhatian khusus pada Lisa. Ada sebuah perasaan aneh saat pertama kali menatap perempuan setengah baya itu, meski hanya beberapa detik saja kami saling memandang, tapi aku seperti merasakan seolah ada aura yang kuat memancar dari matanya. Namun sebagai pendatang baru apalagi dengan status "Numpang-Man!!" tentu akan sangat tidak sopan kalau aku langsung menunjukkan reaksi. Dan cepat-cepat aku menangkis semua bayangan-bayangan vulgar tentang kemolekan tubuh Lisa yang sempat bercokol di kepalaku saat aku melihat beberapa kali Lisa menerima kedatangan seorang dokter rekan kerjanya. Mereka kurang lebih seumur, tapi menurut Lisa yang mulai minggu pertama terbuka padaku itu, Dokter Anton (begitu Lisa memanggilnya) sudah beranak istri. Hanya saja menurut cerita dokter itu ia tak sebahagia yang didambakannya. Suatu kali aku pernah juga memberanikan diri untuk memperingatkan Lisa akan hal itu, dan ia tampak termenung saja seakan masalah itu baginya sebuah dilema.

Pak Rudy, lelaki berumur 55 itu tak begitu dekat dengan keluarganya, ia lebih sering berada di luar rumah, maklum pengusaha sekaliber dia dengan bisnis yang beragam ditambah dengan tugasnya di departement pemerintah membuat waktunya hampir-hampir tak ada untuk keluarga. "Dua puluh empat jam saja rasanya tidak cukup, Gus", katanya suatu hari. Yah, itulah gambaran keluarga Pak Rudy dengan beragam karakter mereka. Diam-diam aku juga sering memetik pelajaran dari keluarga itu untuk riset ilmiah ini.

Aku masih ingat, malam itu 27 September 1998. Seperti biasanya kami, aku, Bu Linda dan Lisa berada di ruang keluarga. Kami menghabiskan waktu sambil menonton acara televisi dan menikmati kue-kue kecil sehabis makan malam. Pak Rudy biasanya sampai di rumah cukup larut, antara pukul sepuluh sampai duabelas. Saat itu sudah pukul sembilan malam waktu setempat. Kami semua duduk di sofa menghadap TV di ruangan itu, ngobrol sana-sini tentang semua yang up to date. Tapi anehnya, malam itu perhatianku seperti hanyut pada kedua wanita paruh baya itu, keduanya sudah mengenakan baju terusan sutra yang polos tak berlengan sehingga belahan dada mereka berdua tampak menonjol. Dada dan bahu mereka yang putih mulus itu menjadi titik perhatian mataku. Aku seperti terhipnotis, terutama oleh pesona tubuh Bu Linda yang duduk persis disampingku. Istri Pak Rudy yang berwajah manis itu seperti kehilangan warna judesnya. Pojok mataku lebih sering melirik ke celah gaun tidurnya yang sesekali menampakkan bungkusan buah dada montoknya. Untung aku masih bisa kontrol, mereka beberapa kali menanyakan sesuatu tentang Jepang. Kujawab seadanya dengan mata yang masih saja jelalatan.

Setelah mengamati dengan cukup seksama ternyata Bu Linda berwajah lebih manis dari adik iparnya itu. Meski Lisa lebih muda empat tahun darinya namun kalau mau jujur, aku lebih senang kalau yang ngajak.. mm Bu Linda. Ah pikiranku mulai ngeres, mereka sering berbicara dengan topik yang tak kuketahui, inilah kesempatanku untuk mencuri-curi pandang kearah celah di bawah ketiak Bu Linda. Dan secara tak sadar, aku tak tahu kalau posisi dudukku dan Bu Linda hanya berjarak beberapa sentimeter saja. Aku tak tahu apa yang menggerakkan badanku untuk terus mendekat dan hmm.. kulit halus itu terasa tersentuh bulu-bulu tanganku yang langsung saja merinding.

Aneh sekali, kedua wanita paruh baya itu tidak merasa canggung sama sekali. Layaknya seorang anggota keluarga itu, mereka sama sekali tak tampak terpengaruh oleh posisi duduk aku dan Bu Linda. Tak sampai lima belas menit setelah itu, Lisa menguapkan kantuknya. Rupanya dokter single dan cantik itu terlalu lelah, ia memang mengatakan padaku kalau siang harinya ia habis memimpin sebuah operasi bedah. Tak heran kalau ia tampak begitu lelah, matanya sayu dan sedikit merah.

"Kak Nan, aku pergi tidur dulu ya?" serunya pada Bu Linda, hmm waktu beranjak dari sofa pahanya sempat terlihat olehku. Tapi ah, perhatianku sudah telanjur pada Bu Linda.
"Gus.. Mbak permisi dulu, kamu nggak ngantuk..?"
"Nggak kok, Mbak. Selamat tidur ya", aku mengedipkan sebelah mata.
"Makasih..", katanya sambil berlalu dari hadapan kami, ia sempat membalas kedipan mataku dengan senyum.

Beberapa saat kami berdua terdiam, tinggal aku dan Bu Linda dan TV yang ngoceh tak karuan dengan acaranya. Aku tak tahu apa yang sedang dipikirkan oleh istri Pak Rudy itu. Sementara aku sendiri asik menghayalkan kalau-kalau suatu saat nanti tubuh wanita ini bisa kusentuh, kuraba, kuremas, kucium dan ooww kutiduri sepuas hati.
"Heii.. kenapa aku jadi begini ya? Rasa-rasanya ada yang aneh malam ini, berduaan dengan pemuda ini, sesuatu yang mungkin di luar dugaan?"
"Hmm.. anak ini boleh juga, semoga suamiku pulang lebih larut lagi.."
Batin Bu Linda seperti merasakan sebuah getaran sejuk dari tubuh anak muda yang ada persis di sampingnya.
"Aneh, kenapa aku merasa biasa sekali dengannya, dia bukan siapa-siapa. Bahkan aku baru mengenalnya hanya satu minggu, tapi rasa-rasanya ia seperti orang yang telah kukenal lama" perempuan itu mencoba sedikit menggerakkan bahunya sehingga menimbulkan pergesekan di antara kulitnya.

"Eiit.. apa-apaan ini Bu Linda, mungkinkah dia berpikir sama denganku?"
"Ii.. ibu, bapak pulang jam berapa Bu?"
"Entahlah.. ibu juga nggak pernah perhatiin lagi tuh, pulangnya jam berapa", tangannya meraih remote control diatas meja dan mencoba mengalihkan perhatian kearah TV.
"Apa kamu punya rasa yang sama denganku, Gus? Semoga saja iya..? Tapi benar juga katamu. Apa suamiku tak cepat datang dan menemukan kita sedang.." Batinnya mulai dilanda konflik.
"Kamu di Jepang nggak punya pacar, Gus?" ia menggeser duduknya yang terlalu dekat itu, lengan bagian atasnya tak lagi menempel di ujung bahuku. Aku agak sedikit kecewa. Sudut mataku masih saja mengikuti gerak tubuhnya yang cukup mencurigakan.
"Dulu pernah tapi sekarang sudah nggak lagi..",
"Kalau boleh ibu tahu, kenapa kalian sampai putus? Maaf yah",
"Nggak apa-apa, Bu. Hmm kami nggak punya titik temu saja", jawabku,
"Titik temu..?"
"Ya. Kami tidak cocok dan sama-sama egois, tapi saya rasa bukan karena masalah perbedaan budaya, tapi karena mungkin sama-sama masih muda dan ego saya yang masih tinggi",
"Lho bukannya yang seumur kamu bisa jadi partner atau mm pasangan yang cocok?"
"Nggak juga kok, Bu. Malah saya rasa sebaliknya, saya kira saya hanya akan lebih cocok dengan yang lebih dewasa", aku mencoba menenangkan diri dengan mengatur arah pembicaraan itu.
"Apa pengertian dewasa yang kamu maksud, dari segi umur?"
"Mungkin ya, kalau mau jujur saja saya lebih menyukai wanita yang lebih tua dari segi umur",

"Hei.. hei.. kamu mau sama aku? Hmm, kamu lumayan ganteng lho", batinku.
"Emang kamu pernah pacaran sama yang lebih tua eh dewasa gitu?"
"Pernah sih, tapi sayang.. harus putus juga",
"Kok putus terus sih?"
"Dia sudah berkeluarga, bu.."
"Aku juga mau kalau kamu mau, betapa enaknya selingkuh sama yang lebih muda kayak kamu, kamu mau.? kalau ya, malam ini juga aku kasih kamu, Gus", teriaknya dalam hati.

"Tapi, pantas nggak sih kalau aku.. mm.. sama pemuda seumur ini, gimana rasanya ya? Sudah lama aku menginginkan moment seperti ini", tak disangka wanita bersuami itu kini berkhayal tentang perselingkuhan yang sebelumnya tak pernah sama sekali ada dalam pikirannya, sungguh ajaib anak muda ini, tubuhnya seperti memancarkan gairah birahi yang sangat kuat pada perempuan paruh baya sepertinya. Malah lebih jauh lagi, batinnya terus mengkhayal, matanya tak lagi memperhatikan TV, diintipnya tingkah anak muda setengah umurnya itu dengan seksama lewat pojok matanya.
"Ada kejanggalan pada gerak-gerik anak itu, memang, hmm akan kupancing dia".
"Tapi kau wanita bersuami, Linda, apalagi ia jauh lebih muda darimu. Selayaknya kalau kau memanggilnya NAK, bukan sayang, lagi pula kabar tentang kebiasaan buruk suamimu belum tentu benar."
"Tapi kenapa suamiku belum juga pulang?" Hati wanita itu terus berkecamuk, ia berusaha keras menyembunyikan hal itu dari pemuda gagah yang ada persis di samping tempat ia duduk. Ia juga sepertinya sadar posisi duduk mereka bisa membuat orang lain termasuk suaminya berpikir yang tidak-tidak tapi mengherankan juga, pantatnya terasa begitu berat untuk bergeser.

"Sayang sekali ya, tapi ibu lihat hal itu normal saja kok", ia mencoba mencari pembenaran, tentunya dengan penuh harap kalau jalan pembicaraan itu menjurus ke arah yang ia inginkan.
"Nggak ngerti saya, Bu. Tapi.. ng.. saya masih berharap bisa menemukan yang seperti itu", Waw! Bu Linda menyilangkan pahanya sehingga bagian bawah gaun tidur itu tersingkap cukup menantang. Paha putih mulus itu dengan cepat mengalihkan perhatianku dari daerah ketiaknya.
"Apakah ia lupa kalau seleraku adalah wanita seumurnya? Atau ia memang sengaja memancing reaksi?" mungkin benar kata teman-temanku, bahwa kebanyakan istri pejabat memang gatal seperti ini. Mengetahui suami mereka banyak "jajan" di luar rumah. Atau jangan-jangan ini memang sikap yang ia anggap biasa saja, Ingat, paling tidak dia pernah tinggal di Jakarta cukup lama, tentunya waktu menamatkan kuliahnya di UI.

Bersambung . . . .