Pertempuran terakhir - 1

Aku mengangkat pedang kayuku tinggi-tinggi ketika Tetua Demilis mencari sukarelawan untuk membantu para pemberontak. Serentak setiap orang yang hadir menatap wajahku, dan sedetik kemudian tertawa terbahak-bahak. Tetua Demilis menggeleng-gelengkan kepala melihatku ditertawakan seluruh hadirin sore itu.
"Saudara-saudara sekalian, kita tidak butuh ksatria yang tangguh kalau ia sama sekali tidak memiliki kemauan yang keras untuk menegakkan keadilan di negeri ini!" kata Tetua Demilis.
"Izinkan aku Tetua!" teriakku, "Izinkan aku menjadi sukarelawan, Tetua!"
Tetua Demilis menggelengkan kepala. "Terima kasih Faran, tetapi aku sudah mendapatkan lima sukarelawan yang kubutuhkan. Mungkin kau bisa mencobanya lain kali." kata Tetua Demilis.
Aku kecewa sekali, tetapi apa boleh buat. Aku hanya dapat melihat kelima sukarelawan yang terpilih tersebut berjalan dengan gagah untuk menerima jubah besi dari Tetua Demilis.
Hari semakin senja, namun lapangan ini masih saja dipenuhi oleh orang-orang yang ingin melihat jalannya penyerahan jubah besi untuk para sukarelawan. Kulihat Narayan berdiri di depan sebagai salah satu penerima jubah besi. Dia tersenyum kepadaku, dan aku membalas senyumannya dengan melambaikan tangan. Narayan adalah teman sepermainanku semenjak kecil. Panglima Thad, ayahnya meninggal pada pertempuran Kirrin sepuluh tahun yang lalu.
Pertempuran Kirrin sepuluh tahun yang lalu merupakan pertempuran terbesar yang pernah terjadi diantara para pemberontak dan kaum Mordenis. Dan yang lebih membuat pertempuran Kirrin selalu diingat oleh rakyat negeri ini adalah terbunuhnya Panglima Thad, atau yang lebih dikenal dengan Thad Sang Meteor Merah.
Aku mengikuti upacara penyerahan jubah besi tersebut hingga usai. Kulihat Narayan turun dari panggung dan disambut ibunya dengan suka cita. Aku mendekatinya dan menyalami tangannya erat-erat tanpa berkata sepatah kata pun. Narayan menarik tanganku, memelukku, dan menepuk-nepuk bahuku.
"Terima kasih, Faran! Terima kasih atas dukungan kamu selama ini!"
********
Matahari sudah tidak nampak lagi di ufuk barat ketika aku meninggalkan lapangan yang mulai lengang. Entah mengapa sore itu aku tidak ingin langsung pulang. Aku masih teringat bagaimana ekspresi wajah Narayan ketika menerima jubah besi dari Tetua Demilis. Masih jelas terbayang di benakku kebahagiaan yang terpancar di wajahnya. Cita-citanya selama ini akhirnya berhasil diraihnya.
Aku terus berjalan menuju pantai, tempat satu-satunya yang kusukai. Sebenarnya aku masih merasa kecewa karena aku tidak mendapat kesempatan menjadi sukarelawan para pemberontak. Aku duduk di atas pasir pantai. Kubiarkan air membasahi ujung bajuku. Pantai malam itu sangat tenang, tidak seperti hari-hari terakhir ini. Tiba-tiba kurasakan seseorang menepuk bahuku dari belakang.
"Hey, Arya!" seruku ketika melihat Narayan berdiri di belakangku, mengenakan jubah besinya.
Dia hanya tersenyum melihat keterkejutanku.
"Aku tadi ke rumahmu. Kata ibumu kamu belum pulang, aku yakin kamu pasti kemari." katanya.
Aku mengangguk sambil terus memandanginya. Narayan terlihat lebih gagah mengenakan jubah besinya. Jubah besi itu berwarna keperakan.
"Ini jubah apa?" tanyaku sambil menunjuk jubah besinya.
"Jubah Bintang Perak. Lihat gambar bintang-bintang di bagian belakang." katanya sambil membalikkan badan menunjukkan gambar bintang-bintang yang membentuk sebuah konstelasi.
Aku mengangguk mendengar penjelasannya. "Aku sekarang tidak bisa lagi memanggilmu Arya. Sekarang namamu Narayan Sang Bintang Perak."
Narayan tersenyum kecil. "Jangan begitu."
Kemudian kami berdua duduk di tepi pantai sambil bercakap-cakap tentang jubah itu, tentang cita-cita kami, tentang Panglima Thad, dan tentang kehidupan ini.
"Faran, apa yang kamu percayai dalam kehidupan ini?" tanya Narayan.
"Yang kupercayai?" aku balik bertanya, "Aku tidak mengerti apa maksudmu.."
"Kamu percaya dewa-dewa? Apakah kamu percaya bahwa mereka selalu benar?"
"Dulu, mungkin aku percaya mereka. Bahwa mereka selalu benar dan akan selalu melindungi Nydus. Tetapi tidak lagi semenjak sepuluh tahun terakhir ini, kamu tahu sendiri aku sangat membenci Kaum Mordenis yang setengah dewa itu. Aku heran, mengapa kaum setengah dewa seperti itu bertindak seperti binatang, rakus."
"Lalu apa yang kamu percayai dalam hidup ini?" tanya Narayan lagi.
"Aku tidak tahu." kataku. "Kejujuran, keadilan, kesetiaan, rasa aman, semua sudah tidak ada lagi di Nydus.." kataku mengambang.
Narayan menatapku, menunggu lanjutan kalimatku.
"Namun aku tidak kehilangan seluruh kepercayaanku. Yang kupercayai kini hanyalah rasa cinta dan kasih sayang. Karena disana aku memperoleh semua yang telah hilang, disana aku memperoleh kejujuran, kesetiaan, keadilan, rasa aman.." kataku.
Tanpa sadar kusandarkan kepalaku di bahu Narayan. Narayan mengelus rambutku dengan lembut dan memelukku erat-erat. Kemudian ia mencium kepalaku. Untuk sesaat aku kaget dengan apa yang dilakukan Narayan, namun aku hanya diam saja.
"Faran, kamu sayang nggak kepadaku?" tanya Narayan.
"Tentu saja aku sayang kepadamu, kita kan berteman sejak kecil." jawabku spontan.
"Bukan itu maksudku.."
"Lalu bagaimana?" tanyaku setengah tidak mengerti.
Kemudian dia mendekatkan wajahnya ke wajahku, begitu dekat hingga jantungku terasa berdebar sangat kencang. Sesaat aku memejamkan mataku ketika kurasakan sesuatu yang basah dan hangat menyentuh bibirku. Kemudian aku membuka mataku, kulihat Narayan tersenyum kepadaku.
"Aku sayang kamu, Faran." kata Narayan.
"Aku.. aku.. aku.. aku tidak tahu, Arya." kataku sambil memalingkan wajah.
Narayan menundukkan kepala sambil perlahan melepaskan pelukannya.
"Maafkan aku, Faran."
Aku tersenyum, kuangkat dagunya.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan. Aku juga sayang kamu.." kataku.
Narayan memelukku erat-erat. "Terima kasih, Faran. Terima kasih!"
Tiba-tiba suasana pantai berubah. Angin bertiup semakin lama semakin kencang, dan laut yang tadinya tenang, kini menjadi penuh ombak besar bergulung-gulung seolah ingin menenggelamkan Nydus dan seluruh isinya. Langit yang semula cerah kini berawan, dan halilintar menyambar-nyambar. Narayan memelukku, berusaha melindungiku. Dari jubah besinya keluar cahaya perak lembut yang mengelilingi kami berdua. Ombak besar semakin tinggi dan bergulung-gulung, sedangkan halilintar semakin keras menyambar-nyambar. Narayan mengajakku meninggalkan pantai, tetapi aku menolak.
"Kurasa aku harus tetap disini." kataku.
"Mengapa?" tanya Narayan heran.
"Aku tidak tahu, tetapi aku harus tetap disini."
"Kalau begitu aku akan menjagamu." kata Narayan tanpa melepaskan pelukannya.
Sesaat kemudian badai tersebut reda dengan tiba-tiba, dan kulihat seekor burung kecil berwarna keemasan terbang berputar-putar di hadapan kami.
"Biarkan angin menjadi temanku, dan jadilah api sebagai musuhku. Maka aku akan mengepakkan sepasang sayap emasku dan terbang mengelilingi Nydus, menjaga kalian semua dari kehancuran hingga helai sayapku yang terakhir."
Tiba-tiba burung itu berkata seperti itu sambil terus berputar-putar di hadapan kami, dan menghilang begitu saja.
Aku heran sekali dengan apa yang baru saja terjadi, demikian juga dengan Narayan.
"Menurutmu apa yang baru saja terjadi?" tanyaku kepada Narayan.
Narayan menggeleng. "Aku tidak tahu, sebaiknya kita pulang, dan kita tanyakan kepada Tetua Demilis."
Aku mengangguk. "Kita pulang, tetapi jangan katakan apa-apa kepada Tetua Demilis." kataku.
"Mengapa?" tanya Narayan.
"Tidak apa-apa, besok saja aku tanyakan sendiri."
Narayan mengangguk dan mengapit tanganku mengajakku pulang.
Malamnya aku sama sekali tidak dapat tidur, aku hanya terbaring di ranjang sambil membalik-balikkan tubuhku. Masih terasa di bibirku, ketika Narayan menciumku, tiba-tiba jantungku berdegup kencang ketika aku mengingat hal itu. Hal kedua yang juga kupikirkan yaitu kata-kata burung kecil ketika terjadi badai di pantai.
"Biarkan angin menjadi temanku, dan jadilah api sebagai musuhku. Maka aku akan mengepakkan sepasang sayap emasku dan terbang mengelilingi Nydus, menjaga kalian semua dari kehancuran hingga helai sayapku yang terakhir." aku bergumam menirukan kata-kata burung kecil tadi.
Aku masih tidak mengerti apa yang dimaksudkan burung kecil itu dengan kata-kata "..menjaga kalian semua dari kehancuran hingga helai sayapku yang terakhir."
"Apakah mungkin dialah penyelamat rakyat Nydus seperti yang diceritakan dalam legenda awal terjadinya Nydus?" pikirku.
Kemudian aku bangun dari tempat tidurku. Aku sudah merasa bosan berada di atas ranjang tanpa merasa mengantuk sedikitpun. Aku keluar rumah ingin berjalan-jalan menghilangkan kebosanan.
Malam belum terlalu larut, namun jalanan sudah sepi sekali. Orang-orang lebih suka berdiam di dalam rumah semenjak perseteruan antara para pemberontak dan Kaum Mordenis semakin memanas. Aku berjalan menuju rumah Narayan yang tereletak tak jauh dari rumahku. Kuketuk jendela kamarnya begitu aku sampai di depan rumahnya.
"Siapa itu?" tanya Narayan dari dalam kamarnya.
"Ini aku, Faran." kataku.
"Hey, Faran! Masuk!" katanya sambil menuju pintu depan.
"Nggak usah lewat depan, lewat sini saja. Aku nggak enak, kan sudah malam.." kataku.
Kemudian Narayan membukakan jendela, hingga aku dapat dengan mudah melompat masuk ke kamarnya melalui jendela tersebut.
"Kenapa? Nggak bisa tidur yah?" tanya Narayan.
Aku mengangguk. Kulihat Narayan sedang melepas jubah besinya. Sesaat kemudian ia selesai melepas jubah besinya. Kini yang kulihat, Narayan setengah telanjang berdiri di hadapanku hanya memakai celana dalam. Kutatap lekat-lekat setiap lekuk tubuhnya, bahunya yang kokoh, dadanya yang bidang, dan lain-lain. Narayan merasa jengah karena terus kupandangi. Tiba-tiba dia menghampiriku dan mencium bibirku seperti yang dia lakukan sore tadi di pantai.
Aku terpana sesaat. Seperti sore tadi, aku memejamkan mataku. Dadaku terasa sesak dipenuhi oleh rasa tidak menentu yang bergejolak. Sekali lagi, sesuatu yang hangat, basah, dan lembut itu menyentuh bibirku. Kali ini kulumat sesuatu yang hangat, basah dan lembut tadi. Kurasakan bibirnya juga melumat bibirku. Kupegangi kedua pipinya untuk menahan lumatan bibirnya, aku menarik nafas dalam-dalam. Kali ini aku merasakan sesuatu memasuki mulutku, menjelajahi setiap rongga dan sela-sela gigiku. Aku hanya dapat menangkap lidahnya dengan bibirku. Nafasku terengah-engah, sesaat sepertinya aku berada di dunia lain.
Aku memeluk tubuhnya yang setengah telanjang itu erat-erat sambil tanganku mengelus setiap jengkal permukaan tubuhnya. Kemudian kurasakan sesuatu yang keras dari balik celana dalamnya menempel di pahaku. Narayan menyudahi ciumannya di bibirku. Bibirnya turun, dan menciumi leher dan bahuku, sambil tangannya berusaha membuka bajuku.
Sesaat kemudian bajuku sudah terlepas, dan ia masih menciumi leher, bahu dan dadaku. Kurasakan ini sensasi kenikmatan yang sama sekali belum pernah kurasakan sebelumnya. Narayan menuntunku ke tempat tidur, dan membaringkanku disana. Sedangkan ciumannya semakin turun ke arah perut dan pusarku, kemudian dia berusaha membuka celanaku.
"Jangan, Arya.." pintaku.
Namun Narayan terus saja membuka celanaku.
Kini aku hanya memakai celana dalam saja, sama seperti Narayan. Kemaluanku yang mengeras terlihat jelas di balik celana dalamku. Narayan mengelus dan memijat perlahan kemaluanku yang mengeras itu. Aku menjerit tertahan dan menggeliat perlahan menikmati pijatannya. Lalu Narayan membuka celana dalamku dan memainkan kemaluanku yang tegak berdiri. Sedangkan aku hanya menggeliat-geliat menikmatinya. Kemudian Narayan mengulum kemaluanku dan memainkan lidahnya.
Kupegangi kepala Narayan sambil kurasakan nikmatnya kuluman bibirnya, begitu nikmatnya hingga kedua kakiku mengejang. Kemudian kuangkat kepalanya, sehingga aku berhadap-hadapan dengannya. Kurasakan tubuhnya menindihku dan kemaluannya yang keras menyentuh kemaluanku. Lalu aku berusaha naik dan duduk di atas tubuhnya. Kini Narayan telentang di bawahku sambil tangannya memegangi kedua bahuku.
Aku duduk di atasnya sambil kuelus dadanya yang begitu bidang. Kemudian aku menuju ke bawah dan serta-merta melepaskan celana dalamnya. Terlihat batang kejantanannya yang kemerahan berdiri tegak seolah menantangku. Kugenggam batang kejantanannya itu dan kuciumi hingga Narayan menggeliat-geliat. Aku mencoba mengulum batang kejantanannya dan memainkan lidahku.
Narayan semakin menggeliat-geliat di atas tempat tidur sambil berusaha meraih kemaluanku. Kemudian posisi badannya berputar, sehingga kami saling dapat mengulum kemaluan kami. Kurasakan sebuah kenikmatan yang luar biasa saat itu. Semakin aku merasa nikmat, semakin aku bersemangat memainkan batang kejantanan Narayan dengan tangan dan mulutku, hingga pada suatu titik yang aku tidak lagi mampu menahannya.
"Arya, aku mau keluar.." kataku lirih.
"Keluarkan saja, Faran. Aku juga mau keluar.."
Kemudian kurasakan sebuah kenikmatan puncak saat itu ketika seluruh cairanku terasa menyembur keluar dari kemaluanku, dan sesaat kemudian kurasakan seluruh otot tubuhku mengejang. Tak berapa lama berselang, kurasakan cairan hangat memenuhi mulutku, aku segera menelannya dan melepaskan batang kejantanan Narayan dari mulutku.
Narayan kemudian berpindah posisi, sehingga kami dapat saling memeluk. Ia mengambil selimut dan menyelimutiku, dan berbaring di sebelahku. Aku memeluknya dan menyandarkan kepalaku di dadanya yang bidang. Aku menarik nafas dalam-dalam, membaui aroma jantan dari tubuh Narayan.
Narayan mengelus kepalaku dengan lembut sambil berkata, "Maafkan aku, Faran.."
Aku menggeleng, "Nggak ada yang perlu dimaafkan, Arya. Nggak pa-pa kok."
Perlahan kuelus dada Arya sambil kutempelkan telingaku. Kudengar suara jantung yang bergemuruh dengan sejuta perasaan yang tidak menentu, sama seperti yang kualami.
Narayan mengangkat kepalaku dan menciumi kening serta wajahku, kemudian memelukku erat-erat dan berkata, "Aku sayang kamu Faran, dan aku nggak ingin kehilangan kamu selamanya.."
Aku memandangnya dan berkata, "Aku juga menyayangimu Arya."
Kemudian kupagut bibir merahnya perlahan, sambil kunikmati setiap desahan nafas dan setiap gerakan bibir yang ia lakukan.
Untuk beberapa waktu kami hanya saling mencium bibir, sambil sesekali kulepas ciumanku sekedar untuk mengambil nafas. Sampai menjelang pagi, yang kulakukan dengan Narayan hanyalah bercakap-cakap di atas tempat tidur.
Sinar matahari menerobos jendela kamar Narayan ketika kubuka mataku perlahan. Aku sempat tertidur sesaat ketika hari menjelang pagi. Kulihat Narayan telah memakai jubah besinya dan duduk di ujung tempat tidur. Begitu melihatku bangun, Narayan mendekatiku dan mancium bibirku.
"Selamat pagi, Faran!" katanya.
Aku hanya tersenyum sambil memandangi Narayan yang terlihat begitu gagah mengenakan jubah Bintang Peraknya. Kemudian aku bangun dari tempat tidur, dan memeluk Narayan dari belakang erat-erat.
"Eh, apa-apaan ini!" Narayan berseru kaget.
Aku tersenyum. "Aku akan sangat merindukanmu, Arya!" kataku.
Narayan menoleh hingga wajah kami saling berhadap-hadapan, dan sedetik kemudian kurasakan bibirnya mencium bibirku.
"Aku juga akan sangat merindukanmu, Faran!" katanya seusai menciumku.
Kemudian aku melepaskan pelukanku. "Arya, aku harus pulang. Karena aku khawatir ibuku mencariku." kataku.
Narayan mengangguk.
"Faran.."
"Ada apa lagi?" tanyaku.
"Terima kasih untuk semuanya!" kata Narayan.
"Sama-sama, aku juga terima kasih, Arya!" balasku sambil melangkah keluar kamar Narayan.
Biasanya sepagi ini orang-orang sibuk berangkat ke pasar atau ke kuil dewa untuk sembahyang. Namun pagi ini kulihat orang-orang bergegas menuju lapangan. Aku heran, hingga kutanyakan kepada orang yang lewat.
"Mengapa hari ini semuanya bergegas ke lapangan, Pak?" tanyaku.
"Tetua Demilis menginginkan kita berkumpul disana, Nak.." jawab orang itu sambil berlalu dari hadapanku.
"Tetua Demilis menyuruh berkumpul? Pasti telah terjadi sesuatu.." pikirku.
Aku segera menuju lapangan untuk mengetahui apa yang telah terjadi.
Bersambung . . . .