Ayu responden keenamku - 1

Hanya berselang 2 hari dari peristiwa wawancara kami dengan Ida yang kejadiannya telah aku ceritakan tempo hari, aku kembali memiliki peluang untuk menyelesaikan pertanyaan-pertanyaan yang tersisa dan terpotong waktu itu akibat kami terserang gejolak nafsu syahwat, sehingga Ida terpaksa menjelaskannya dalam bentuk praktek bersama aku seperti sama-sama telah kami nikmati hasilnya waktu itu.

Pada hari kedua setelah kejadian itu, sekitar jam 10.00 siang, kami berempat (saya, Ida, istri saya, dan seorang tetangga lain, sebab kebetulan suami ida belum balik dari makassar). Kami larut dalam obrolan mengenai berbagai hal seperti obrolan kami pada hari-hari sebelumnya sebagai layaknya tetangga dekat.

Sekitar jam 12.00 siang, tiba-tiba istriku dan tetangga yang satunya itu merasa lapar lalu masuk kerumah masing-masing untuk makan, sedangkan aku dan Ida masih tinggal sejenak meskipun tentunya tidak lama setelah itu kamipun masuk untuk makan di rumah kami masing-masing tapi sebelum itu kami sepakat untuk mengulangi peristiwa wawancara kami dua hari yang lalu. Kali ini kami janjian ketemu di salah satu penginapan yang khusus saya pesan buat wawancara selama beberapa hari, tapi bayarannya tentu disesuaikan dengan lamanya kami wawancara (hitungan jam, sebab kami tidak akan bermalam di tempat itu).

Pada jam 3.00 sore sesuai perjanjian, kami hampir bersamaan tiba di tempat itu, namun saya lebih duluan menunggu. Tanpa banyak basa basi kami mengambil kunci kamar dan segera memasuki kamar pesanan saya. Walaupun masih setumpuk pertanyaan saya yang tersisa tempo hari, namun aku tidak berminat lagi melanjutkannya kepada Ida. Aku hanya terpokus pada satu soal yaitu bagaimana kami bisa melanjutkan perselinghukan kami tempo hari yang terhenti gara-gara dicari istri/anakku. Aku ingin menikmati dan menunjukkan pada ida gaya dan posisi sex yang aku tahu dari cerita porn dan film-film BF. Demikian pula pikiran Ida tentunya mengarah pada hal yang sama, apalagi setelah ia mengakui kehebatan dan kelebihan saya dalam merangsang dan menyetubuhinya, yang menurutnya jauh lebih nikmat dan berkesan dibanding pemberian suaminya

Waktu itu saya memang tidak membawa lagi pertanyaan yang telah kususun sebab niat kami hanya satu yakni menyelesaikan rasa penasaran kami yang masih tersisa. Setelah aku kunci pintu kamar, kami langsung berangkulan dalam keadaan berdiri dengan masih berpakaian lengkap seolah-olah kami lama sekali tidak ketemu dan saling merindukan. Kami langsung berpagutan dan saling mengisap lidah dan bibir sambil tangan kami saling aktif mengelus, meraba, merangkul dan menggocok-gocok pada tempat-tempat sensitif kami. Hingga akhirnya hanya dalam tempo yang singkat, kami sudah saling bugil berkat keaktifan tangan kami saling mempreteli pakaian, bahkan tanpa sepata katapun kami saling menarik untuk duduk dan berbaring di atas tempat tidur yang masih rapi di kamar itu.

Memang benar, apa yang kami lakukan di atas tempat tidur itu setelah kami sama-sama bugil dan terangsang, tiada lain kecuali saling menyenangkan dan mengerahkan segala kemampuan kami untuk menerapkan gaya-gaya dan posisi sex yang kami ketahui. Kenikmatan yang kami dapatkan di kamar itu, sungguh luar biasa dan mungkin 2 kali lipat kenikmatannya dibanding waktu pertama kali kami lakukan di rumah ida 2 hari lalu. Kami sempat menyelesaikan 3 ronde sebelum kami sama-sama meninggalkan kamar itu karena sudah menjelang magrib. Kami sangat khawatir kalau-kalau istriku dan tetangga lainnya nanti curiga pada kami karena kelamaan keluarnya, apalagi kami secara bersamaan kami keluar. Untuk itu, aku minta agar ida lebih duluan pulang dengan naik becak saja, nanti aku menyusul setelah jam 7.00 malam. Waktu itu aku singga di rumah teman ngobrol seadanya, lalu kemudian pulang ke rumah.

Entah bagaimana sikap ida sesampainya di rumah, tapi yang jelas waktu aku pulang ia masih sempat ngobrol bersama tetangga lainnya di depan rumah seperti biasanya tanpa sedikitpun mengundang rasa curiga dari tetangga kalau kami barusan saling memberi kenikmatan di suatu penginapan. Ia nampaknya belum mandi dan wajahnya cukup berseri-seri seperti orang yang baru saja menerima berita gembira atau mendapat keberuntungan. Dia hanya sesekali mengarahkan pandangannya padaku sambil sedikit tersenyum tanpa terpengaruh ngobrolnya bersama tetangga lainnya. Saya perkirakan malamnya ia tidur pulas sekali, karena tengah malam baru menghentikan obrolannya itu, apalagi matanya seolah bengkak pada saat kami berpapasan di belakang rumah di pagi harinya.

Tiga hari kemudian setelah peristiwa kami dengan Ida itu, suaminya datang dari Makassar. Aku tetap berusaha memperlihatkan keakraban dengan mereka seperti biasanya. Namun, aku tiba-tiba teringat dengan surat kuasa yang diberikan oleh Ati untuk mengumpulkan data hasil wawancara dari beberapa pasangan suami istri yang telah pacaran sebelum nikah. Aku lalu masuk kamar komputerku dan menyusun kembali daftar pertanyaan yang akan kuajukan kepada responden-responden berikutnya yang tentunya saya harus sesuaikan lebih dahulu dengan sasarannya.

Responden kedua, ketiga dan keempatku, tidak terlalu menarik untuk diceritakan sebab aku tidak diberi kesempatan oleh mereka untuk mempraktekkan sama dengan responden pertamaku. Bahkan responden keduaku nampaknya malu dan kurang senang terhadap pertanyaan yang kuajukan, sehingga ia tidak bersedia lagi diwawancarai. Sedangkan responden ketiga dan keempat, tetap menjawab seluruh pertanyaanku tapi ia menolak untuk menunjukkannya dalam bentuk gerakan, sebab katanya malu dan takut menghianati suaminya. Bahkan Ia sempat mengancam akan membongkar kedoku jika aku bertindak dan bertanya kurang sopan. Mereka sangat keberatan diwawancarai di luar rumah, apalagi di penginapan.

Berbeda dengan responden kelimaku, mereka justru memancing birahiku setelah mereka tahu bahwa aku sangat takut, malu dan minder mengajukan pertanyaanku yang lebih mengarah kepada porno. Ketika aku sampai kepertanyaan ke-11 saat aku wawancara dengannya dalam kamar penginapan pesananku itu dalam posisi berhadap-hadapan di atas kursi plastik, ia tiba-tiba tertawa terbahak-bahak sambil meraih tanganku dan menuntunku untuk duduk berdampingan di atas tempat tidur, bahkan langsung memeluk dan mencium pipiku.

"Dit, aku tau maksudmu mewawancaraiku. Kamu pasti menginginkan kenikmatan dari tubuhku khan?" kata dia sambil sedikit menarik kepalanya kebelakang lalu menatap wajahku penuh birahi.
"Maaf Bu, terus terang aku.." baru aku mau menjelaskan maksudku yang sebenarnya, ia tiba-tiba seperti binatang buas mendapatkan mangsa yang selama ini diimpikannya. Dengan cepat dan kuatnya mulutnya menerkam mulutku, bahkan memainkan lidahnya dalam mulutku, sehingga terasa sedikit agak sakit karena ia sedikit mengisap agak keras dan menggigit bibirku tanpa disadarinya. Mungkin ia termasuk wanita doyan sex.
"Dit, ngga usah malu-malu, khan ngga ada orang lain yang melihat kita, lagi pula kau menginginkan hal ini khan? Aku akan melayanimu sepuas-puasnya asalkan kau mau merahasiakan perbuatan kita ini kepada siapa saja, terutama kepada suamiku" katanya dengan terus terang dan serius serta sangat bergairah. Bahkan seolah ia memang telah lama menginginkan hal itu terjadi denganku, sehingga ia lebih aktif melucuti pakaianku dan pakaiannya sendiri.

Hanya dalam hitungan detik kamipun sudah saling bugil dan saling bergumul di atas tempat tidur yang empuk. Namun, pergumulanku dengan responden kelimaku ini, aku tidak bermaksud menceritakan secara rinci di sini, sebab kami melakukan dengan sangat singkat dengan menerapkan hanya satu posisi sex, yaitu saya dalam keadaan tidur terlentang, sementara responden kelimaku itu berada di atasku lebih aktif, sehingga memaksa spermaku keluar dengan cepat. Iapun nampaknya sengaja ingin menyelesaikan dengan cepat dan tanpa bermaksud menerapkan beberapa gaya sex, sebab izinya dengan suaminya hanya sebentar (ke pasar). Takut ia dicari, sehingga sesaat setelah persenggamaan kami selesai, iapun bergegas pamit duluan dan meninggalkanku dalam keadaan masih terbaring.

Hanya berselang dua hari setelah peristiwa wawancaraku dengan responden kelimaku, aku kembali menemukan obyek wawancara responden) yang tepat untuk menyambut niat busukku. Lina adalah seorang wanita yang seusia denganku, yang aku pilih sebagai sasaran dan responden keenamu. Lina adalah seorang wanita yang penampilannya cukup lemayan, dengan rambut yang panjang dan hitam, warna kulitnya agak kuning langsat dan hidung yang mancung serta bentuk bodinya yang langsing. Dia memiliki 3 orang anak tapi semuanya masih kecil-kecil. Anak pertamanya baru duduk kelas 3 SD. Sedang suaminya bekerja sebagai karyawan pada salah satu pelabuhan very di daerah kami. Lina sering memanggilku dengan kata-kata Mas dan sayapun memanggilnya Mbak, sebab kebetulan dia keturunan orang jawa, yang bersuamikan orang bugis sulsel.

Sejak perkawinannya dengan suaminya itu, Lina sudah saya kenal, bahkan saya menghadiri pesta perkawinannya. Kebetulan suaminya adalah teman kuliahku dulu di salah satu perguruan tinggi di daerahku. Walaupun Kami tinggal agak berjauhan, tapi masih dalam satu lingkungan kota, sehingga kami sering-sering saling mengunjungi sebagai layaknya teman lama. Suatu hari, saya berkunjung ke rumahnya dengan maksud minta bantuannya agar bersedia aku wawancarai. Tentu saja aku sudah membuat perencanaan dengan matang, sehingga aku ke rumahnya saat suaminya sedang ke kantor, meskipun aku tetap pura-pura menanyakan suaminya.

"Mbak, ke mana Andi?" tanyaku padanya sambil berpura-pura tidak tahu kalau suaminya ke pelabuhan. Andi adalah nama panggilan suaminya.
"Masa lupa Mas, suamiku khan setiap hari masuk kerja, ada apa Mas, ada sesuatu yang perlu kami bantu?" katanya sangat serius sambil berdiri di belakan pintu sebelum mempersilahkanku masuk.
"Oh, yah, Mas lupa jika hari ini Andi masuk kerja, tapi jam berapa pulangnya Mbak" tanyaku ingin tahu kalau-kalau ada pesannya mau pulang dengan cepat.

Tanpa Lina mempersilahkanku masuk, aku terus saja melangkah masuk dan duduk di kursi sofanya, sebab kami sama-sama sudah akrab dan semua tetangganya mengetahui keakrabanku dengan mereka. Setelah Lina menyuguhkan secangkir kopi dan kue tradisional buatannya, aku lalu menyampaikan maksud yang sebenarnya. Iapun nampaknya biasa- biasa saja dan tidak keberatan, sebab kami sudah sering humor soal porno, namun disertai dengan suaminya, tapi kali ini kami hanya berdua.

Setelah Lina membaca seluruh isi pertanyaan dan ketentuan wawancara yang kusodorkan saat itu, bahkan saya sedikit menjelaskannya lebih rinci, maka ia nampaknya sedikit bingung dan tercengang seolah ada sesuatu yang dikhawatirkannya. Tapi sikapnya itu tidak lama, lalu ia menanyakan kapan rencana wawancara itu dilakukan dan di mana tempatnya yang paling aman agar kerahasiaannya tetap terjamin dari siapa saja.

"Kalau ngga keberatan dan tidak sampai mengganggu kesibukan Mbak, sebenarnya aku harap wawancara kita bisa terlaksana hari ini, sebab kebetulan pemilik karya ilmiah yang sedang saya susun itu mendesak untuk diujikan" kata saya dengan sopan dan penuh harap agar ia mau melayani permintaanku hari itu sekaligus saya sebutkan tempatnya.
"Kalau begitu kebetulan sekali Mas andi rencana lembur hari ini sebab ada beberapa kapal very akan sandar. Jadi bolehlah kita laksanakan sekarang tanya jawabnya di tempat yang Mas maksudkan itu", Katanya.

Kebetulan dua anaknya yang sekolah di SD, nanti jam 1.00 pulangnya, sedang anak bungsunya yang usianya belum cukup satu tahun itu ia akan bawa bersamanya di penginapan itu. Dalam hati saya tidak mengapa sebab anaknya itu belum bisa bicara dan tidak tahu apa-apa. Jam tangan saya menunjukkan jam 9.15 m wita, maka aku segera pamit dan lebih duluan menunggu Lina di penginapan itu. Hanya beberapa menit saja, Linapun datang sambil menggendong anaknya yang kelihatannya ngantuk sekali karena digendong sambil mengisap susu dalam botol plastiknya. Setelah Lina masuk kamar, aku lalu cepat-cepat menutup dan mengunci pintuk kamar agar kami lebih leluasa wawancara di dalam.

"Silahkan Mas tanyakan pada saya apa saja yang ingin diketahuinya, saya akan mejawabnya secara jujur dan terbuka, bahkan jika perlu aku siap menunjukkan gerakan-gerakannya asalkan Mas tetap berjanji akan merahasiakan segala sesuatunya" kata Lina seolah sudah mengerti arah pertanyaan yang akan kutanyakan padanya. Waktu itu, Lina sedang duduk di pinggir tempat tidur, sementara saya duduk di kursi plastik dekat tempat tidur itu. Demikian dekatnya tempat duduk kami, sehingga lutut kami bersentuhan dengan betis telanjang Lina. Kebetulan Lina saat itu mengenakan baju daster warna kehitam-hitaman yang ujungnya pas di atas lututnya, sehingga jika ia duduk, maka pasti terangkat sedikit hingga batas pahanya.

"Sabar Mbak, kita santai aja dan ngga usah terlalu buru-buru, sebab waktu kita masih banyak" kataku menenangkan agar ia tidak terlalu mendesakku menyelesaikan seluruh pertanyaan dalam waktu singkat. Pikiranku sudah mulai terganggu dengan pemandangan indah di depanku, sebab saat Lina membaringkan anaknya di atas tempat tidur karena tertidur, lina sedikit mengangkat pahanya, apalagi tidak ia sadari kalau dasternya tersingkap ke atas. Tentu saja aku sangat menikmati pemandangan yang selama ini disembunyikan kecuali buat suaminya. nampak CD-nya yang berwarna kuning dan agak tipis, sehingga seolah melengket dan menyatu dengan vaginanya. Napasku tiba-tiba tidak teratur. Nafsu syahwatku sulit sekali terkendali, bahkan susunan pertanyaanku tidak dapat kuingat lagi.

Bersambung . . . . .