Balas dendam - 1

Seminggu yang lalu, Nurman dan aku datang menghadiri pesta ulang tahun Kristi. Selama di pesta, aku telah minum dua gelas lalu ngobrol bersama Ali, suami Kristi, untuk melepaskan kepenatan yang kualami selama minggu-minggu ini. Ali ternyata pria yang baik. Kurasa ia tidak cocok beristrikan Kristi yang memiliki gaya hidup bebas, selalu mencari kesempatan menggoda pria lain.

Suasana terasa santai diiringi alunan musik yang lembut. Ali menceritakan pekerjaannya sebagai seorang salesman mobil dan gossip-gosip yang sering terjadi di lingkungan pekerjaannya. Ketika kami asyik ngobrol, aku sempat melihat Numan pergi keluar bersama Kristi. Aku curiga. Lalu permisi kepada Ali untuk ke belakang, padahal sebenarnya aku mengikuti kemana Numan dan Kristi tadi pergi. Aku mengendap ke arah dapur dan benar saja kulihat Numan dan Kristi sedang berciuman di dalam sana. Hatiku panas melihat mereka berselingkuh, tetapi aku terpaksa menahan diri karena tak mau terjadi keributan di pesta ini dan mempermalu diri sendiri.

Aku hanya bisa menyuruh Numan untuk menghentikan semua itu, lalu aku pergi meninggalkan mereka kembali bergabung dengan yang lain sambil menenangkan diri. Kristi memang wanita jalang, aku pernah melihatnya berjalan-jalan di sekitar rumahnya hanya dengan mengenakan kutang dan celana dalam saja, padahal saat itu ada tukang taman yang sedang bekerja. Kelihatannya Kristi sudah biasa melakukan itu dengan Numan.

Ali segera menghampiriku begitu aku kembali dan bertanya "Apa Kristi dengan Numan? Aku sudah curiga selama ini," lanjutnya mulai kelihatan marah.
"Mungkin mereka kebanyakan minum saja," kataku menenangkan suasana agar tidak terjadi perkelahian di antara mereka.
"Jangan berbohong. Aku tahu wanita macam apa dia. Ia memang suka sekali berselingkuh, bertelanjang di hadapan orang lain. Kamu tahu nggak, ia baru mau bercinta denganku kalau ada yang menonton."
"Akh masa sih?" tanyaku tak percaya.
"Masa aku bohong. Mau bukti, ayo deh kita lihat lagi mereka," ajaknya untuk membuktikan.
Ali menarik lenganku sambil memberi isyarat untuk tidak gaduh. Kami berjalan menaiki tangga ke loteng, lau menuju ke kamar mandi, pintunya tidak tertutup rapat. Kudorong perlahan dan kusaksikan di dalam sana Kristi sedang memegang kontol Numan.
"Aku minta kalian segera keluar dari rumah ini," kata Ali dengan geram.

Setelah peristiwa itu, Numan dan aku jarang berbicara. Ia pun kelihatannya tak meu lagi bercinta denganku. Aku pun demikian dan merasa lebih suka dengan keadaan seperti ini. Terus terang saja, kehidupan seks kami kurang begitu membahagiakan. Numan adalah tipe lelaki yang egois. Ia bercinta hanya demi kepuasan sendiri. Sudah menjadi kebiasaannya kala bercinta dengan gaya "tembak langsung". Tak ada cumbu rayu. Tak ada sentuhan lembut dan mesra. Ia langsung tancap, dua-tiga menit kemudian terkulai lemas dan tertidur meninggalkan diriku yang gelisah tak terpuaskan. Akhirnya aku jadi terbiasa setelah bercinta dengannya segera pergi ke kamar mandi dan berjuang sendiri untuk mencapai kenikmatan.

Suatu pagi ketika aku masih bermalas-malasan di ranjang, telepon berdering dan kudengar suara Ali di sana.
"Begini, kurasa kita harus berbicara. Bagaimana kalau nanti siang kamu datang ke kantorku dan makan siang barengan?" ajak Ali.
Rupanya ia masih mempermasalahkan peristiwa itu. Aku segera mengiyakan dan setuju untuk bertemu dengannya di rumah makan dekat tempat kerjanya. Kuperhatikan wajah Ali ketika kami sudah berada di sana. Berwajahnya tampan. Tubuh nya atletiis. Rambutnya lebat dan hitam legam mesti kuperhatikan ada beberapa helai rambutnya yang sudah memutih. Usianya memang tak jauh berbeda dengan suamiku, karena mereka adalah teman sekuliah.

Ali nampak tegang. Beberapa kali ia meneguk minuman beralkohol. Ia pesan beberapa gelas lagi. Meski sudah cukup banyak, kelihatannya ia masih bisa mengontrol diri. Aku minta supaya dia berhenti minum.
"Aku ingin menenangkan diri setelah peristiwa itu. Kamu pun pasti demikian," jawab Ali.
"Minum sedikit khan nggak apa-apa. Sekali-kali." Katanya enteng meski wajahnya nampak menegang.

Lalu ia ngoceh kesana-kemari mengenai tingkah laku istrinya yang selalu berselingkuh, termasuk dengan suamiku. Aku lalu mengutarakan juga permasalahan kehidupan kami. Kukatakan bahwa Numan telah bermasalah sejak perkawinan kami.
"Percayalah, aku ini temanmu. Utarakanlah apa yang menjadi uneg-unegmu," usulnya. "Aku tak akan bercerita kepada siapa-siapa."

Ia lalu memesankan minuman untukku. Begitu hawa hangat mengalir ke sekujur tubuh, aku seakan lepas dari suatu belenggu. Bibirku dengan lancar berceloteh tak karuan, menceritakan kehidupan perkawinan kami, termasuk kehidupan seks yang sebelumnya tak pernah kuungkapkan kepada siapapun juga. Anehnya aku tak merasa malu ataupun takut menceritakan hal yang paling intim ini. Entah karena pengaruh minuman atau rasa percayaku kepada Ali, yang menurutku pantas untuk menampung segala kegundahanku selama ini. Sebaliknya, aku merasa beban yang menyesak di dadaku bobol. Aku merasa plong. Terbebas dari tekanan.
"Aku mengerti. Dia memang lelaki yang selalu mementingkan diri sendiri. Tak pernah mau tahu masalah orang lain," kata Ali menanggapi keluhanku.

Tadinya aku berpikir ia akan menertawakanku atau setidaknya melecehkanku. Tapi tidak. Ia justru begitu prihatin dan terus-terusan mencoba menghiburku dengan kata-katanya yang bijak dan penuh kelembutan sehingga aku merasa semakin percaya padanya. Aku terus mengeluarkan uneg-unegku, sampai-sampai aku berani menceritakan bagaimana suamiku di ranjang. "Selama enam tahun pernikahan kami, aku tak pernah merasakan orgasme setiap bercinta dengannya," kataku tiba-tiba. Aku sendiri heran mengapa ucapan itu sampai meluncur dari mulutku.

"Apa pernah.. nggh.. kamu berpikiran untuk mencari pria yang dapat memberikan kepuasan padamu," tiba-tiba Ali bertanya seprti itu.
"Aku yakin, kau dapat dengan mudah mendapatkannya. Kamu cantik dan menarik. Seksi lagi," lanjutnya entah memuji atau apa.
Aku sendiri terhenyak mendengar ucapannya. Tapi aku tidak marah, malah menanggapinya dengan bercanda pula. "Apa ini sebuah tawaran?" balasku sambil mengerling padanya.
"Kurasa aku tidak mengada-ada. Kamu bisa membalas dendam perlakuan Numan padamu dan aku bisa melakukan yang sama atas perlakuan Kristi padaku," balas Ali.
Entah kenapa sebabnya begitu obrolan ini sudah mengarah kepada perselingkuhan, aku jadi semakin berani. Tanpa sadar, kuteguk lagi minuman beralkohol di hadapanku.
"Oopps, jangan banyak-banyak," kata Ali mengingatkan.
"Itu kuat sekali."
"Nggak apa-apa. Aku ingin tahu rasanya yang kuat," balasku semakin genit.
Aku sendiri kaget dengan ucapanku sendiri. Apa ini karena pengaruh alcohol? Atau..? Akh entahlah.

Rupanya Ali dapat menangkap isyarat dalam ucapanku.
"Aku memang tak sekuat itu, seperti lelaki-lelaki yang lain saja. Tapi kalau kau ingin yang benar-benar kuat dan jantan, ada temanku Bobi. Ia seorang akuntan," kata Ali tanpa tedeng aling-aling, layaknya seorang germo yang tengah menawarkan gigolo kepada wanita kesepian. Seperti diriku?
Sambil meneguk kembali minumanku aku langsung menjawab, "Kurasa kalian berdua saja sekaligus," kataku tanpa tedeng aling-aling juga.
"Kamu serius? Kukira bercanda," kata Ali setengah percaya.
"Kalau aku sudah memutuskan, apapun akan kulakukan. Dengan kalian berdua atau aku mencari yang lain," jawabku meyakinkan.
"Ok, ok. Aku mau. Tunggu sebentar di sini," kata Ali buru-buru untuk kemudian keluar memanggil temannya.

Kulihat Bobi ternyata pria yang biasa-biasa saja. Dari penampilannya tidak mengesankan ia seorang pemuas wanita kesepian. Tubuhnya memang kekar. Kuperhatikan otot-otot lengan atasnya menyembul dari balik kemejanya. Ia katanya sering fitness dan bermain bola. Usianya kutaksir sekitar 25 tahunan. Aku agak kecewa juga. Tapi segera kuhilangkan kesan itu. Bisa saja penampilan membuktikan lain. Dan aku harus membuktikan bahwa ia memang lain dari pada yang lain.
"Halo, sayang. Kenalkan aku Bobi," sapanya penuh percaya diri seakan aku ini pasti menyukainya.

Tanganku segera menyambut uluran tangannya. Kurasakan telapak tanganku tergenggam habis olehnya. Hatiku berdesir membayangkan betapa besarnya bagian yang lain selain tangannya.
"Apakah kalian berdua mampu menangani permasalahanku?" tanyaku bercanda hanya untuk mengalihkan perasaanku yang tak menentu akibat rencana perselingkuhan ini.
"Kelihatannya tidak juga."
"Kuberikan apa yang kau butuhkan," jawab Bobi meyakinkan.
"Hey, aku dulu. Baru kamu, Bob," protes Ali dengan cepat.
"Aku dengar kamu sampai berkali-kali dengan Hanny katanya. Bisa-bisa aku nggak kebagian nanti.."
"Stop, stop," kataku menyela. "apa kalian akan ngobrol di sini terus?" sepertinya aku yang jadi tak sabaran.
"Ok, kalau begitu kita kerurmahku saja. Dekat dari sini. Dari pada sewa hotel," kata Bobi buru-buru.

Akhirnya kami berangkat ke rumah Bobi. Selama 10 menit dalam perjalanan, hatiku gelisah, deg-degan. Aku tak berani membayangkan apa yang terjadi nanti. Seumur hidup baru kali ini aku melakukan perselingkuhan. Itupun baru mau. Semasa gadispun aku tak pernah berkencan dengan macam-macam lelaki karena begitu pacaran langsung kawin. Aku ini tipe wanita kuno, yang tak pernah mengikuti pergaulan masa kini.
"Eh, begini. Beri kesempatan untuk berpikir," kataku kepada mereka.
"Kamu nggak batalin, khan," Tanya mereka berbarengan.
"Nggak, nggak. Tolong tunjukin kamar mandi dan beri waktu sebentar," jawabku segera.
Kulihat kamar itu besar sekali. Kamar mandi berada di pojoknya. Terdengar alunan lembut suara musik.
"Kamu suka tempat ini?" Tanya Ali persis di belakangku.
"Suka sekali, tapi beri waktu sebentar biar aku merasa nyaman," kataku.
"Biar aku saja yang memberikan kenyamanan padamu," bisik Ali seraya merangkul tubuhku dari belakang.

Bersambung . . . .