Menara hati - 1

Satu

Dalam dunia ini mungkin aku bukan siapa-siapa. Bukan seorang selebritis, bukan pula seorang gadis yang bisa menempatkan diriku di antara kerumunan cowok-cowok di lorong kampus. Terkadang dalam hati kecilku tersirat rasa ingin demikian, ingin dikagumi, ingin dilihat dengan pandangan iri. Tapi semua keinginan itu tingal impian saat kulihat gadis pendek berkaca mata di depan cermin.
"Ah, Mia. Kamu hanyalah gadis biasa," demikian selalu kata hatiku berhasil menyeretku kembali ke alam sadar.

Demikian juga yang terjadi di hari Senin yang aneh itu.
"Mia, kamu nggak ke kantin?" tanya Febrita sahabatku. Kugelengkan kepalaku sambil tersenyum.
"Nggak ah, aku mau ke ruang baca saja."
"Kamu selalu begitu, menjauhi keramaian," kudengar sahabatku mengomel.
"Masa?" tawaku kecil. "Kan enak sepi-sepi."
"Hii," balasnya dengan mengerutkan wajah.
Sesaat kemudian kami tertawa bersamaan.
"Ya sudah deh," ucap Febrita kemudian, "Nanti sebelum pulang kamu hampiri aku di kantin, okay?"
Kuanggukkan kepalaku dan melangkah menuju ruang baca.

"Mia?" mendadak sesorang menyapaku. Kutolehkan kepalaku dan tidak melihat siapapun kecuali segerombolan pemuda yang asyik merokok di depan majalah dinding. Dengan heran kulangkahkan lagi kakiku.
"Mia kan?"
Kutolehkan lagi kepalaku dan nyaris melompat mudur saat seorang pemuda bertubuh jangkung sudah berdiri di belakangku. Pemuda itu tertawa melihatku menyeret langkah mundur, "Hey, kok jadi panik begitu."
Kupalingkan wajahku ke kiri dan ke kanan, mencoba mencari senyuman licik yang mengembang dari mulut seseorang. Ternyata tidak ada.
"Kamu nyariin apa? Aku disini, loh," ucap pemuda itu lagi setelah ikut menolehkan kepalanya kesana dan kemari.
Kutatap pemuda itu dengan pandangan curiga, "Kamu siapa?"
"Aku Natan, kakak kelas kamu. Ingat? Yang nyuruh kamu naik sepeda keliling kampus waktu ploncoan?"
Sekejap kemudian kenangan pahit itu terlintas kembali di benakku, saat beberapa kakak tingkat menyuruhku naik sepeda, sesuatu yang sangat kubenci, berkeliling kampus dengan kalung bawang di leherku. "Ingat."

Pemuda itu memasang senyumnya kembali, "Aku mau pinjam catatan."
"Catatan?" tanyaku heran.
"Iya," sahutnya, "Review ekonomi makro-nya Samuelson bab delapan."
"Oh," jawabku dengan mengangguk-anggukkan kepala. Kalau masalah pelajaran sih aku memang sudah terbiasa menghadapi anak-anak tukang pinjam.
"Jadi?"
"Ah, ya," dengan sedikit gugup kurogoh tas besar di gendonganku dan mengeluarkan sebuah buku berwarna merah tua. "Ini."
Sebenarnya dalam hati aku merasa heran, mengapa aku mau meminjamkan buku yang rencananya akan kubaca nanti pada seorang yang baru saja kukenal.
"Hey, thanks," ucap pemuda itu. Matanya berbinar saat melihat buku merah di hadapannya. "Aku kembalikan besok?"
"Terserah," jawabku tanpa sadar. Sesuatu menghipnotisku.
"Besok, di kantin, pukul setengah sepuluh."
"Terserah." Jawaban apa pula itu.
Jemarinya mendadak melayang dan mengetuk lembut kepalaku sebelum pemuda itu berlalu dengan tertawa dan mengucapkan sepatah kata, "Kamu lucu."

Ah?
Aku mimpi.

"Feb, kamu nggak bakalan percaya deh."
Febrita mengangkat kepalanya dan memandangku sambil bergumam tak jelas karena mie goreng di mulutnya, "Aa aa?" Dengan tertawa kutopangkan kepalaku di tangan, "Tadi ada cowok."
Febri langsung menelan makanannya dengan paksa, "Cowok?"
"Iya," jawabku sambil tersenyum. lalu kuceritakan tentang cowok yang barusan saja meminjam buku catatanku.
"Tunggu," mendadak wajah sahabatku berubah serius, "Kamu bilang Natan?"
"Iya, kenapa?" tanyaku heran.
"Natan? Tinggi, putih, cakep?"
Baru kusadari apa yang membuatku terhipnotis seperempat jam yang lalu.
"Kayaknya sih iya."
"Curang!!" Febrita langsung histeris dan mengguncang-guncang tubuhku.
"Eh, eh, tunggu! Ada apa ini?"

Dua

Dengan jantung berdebar tak karuan kupandangi setiap orang yang melangkah memasuki kantin. Aduh, aduh, seruan di hatiku semakin kencang setiap detik.
"Mana Mia? Kok belum datang?" tanya Febrita tak sabar.
"Mana kutahu," bisikku seolah tak ingin Febrita merasakan kegugupanku.

Jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh kurang lima. Tapi Natan masih juga belum muncul. Perlahan rasa putus asa dan kecewa kembali merasuk di hatiku. "Sudahlah, ayo masuk. Cowok gituan paling masih sibuk dengan teman-temannya." Dengan menganggukkan kepala lemah kuangkat tubuhku dan melangkah keluar kantin. Sayup-sayup bisikan itu kembali terdengar di hatiku, mengusik dan memastikan kenyataan, "Ah, Mia. Kamu hanyalah gadis biasa."
Memang. Lalu kenapa?
Tapi catatanku?

Tiga

"Mia, ada teman kamu tuh di depan."
Huh, siapa sih yang main ke rumah sore-sore begini. Dengan kesal kutinggalkan tempat tidur dan melangkah ke luar tamu, "Siapa, Ma?"
"Ngga tau, katanya mau mengembalikan catatan."
Mungkin karena setengah mengantuk dan baru mengalami hari yang mengesalkan aku tak sempat mencerna kata-kata mama. Langsung kulangkahkan kakiku dan membuka pintu depan. Dan di sana suara tawa menyambutku.
"Eh?" seruku tertahan dengan mata membeliak tak percaya saat melihat Natan berdiri di teras dengan tawa yang keluar dari mulutnya.
"Aduh," ucapku tanpa sadar dan melarikan diri masuk ke dalam rumah menuju kamar tidur. "Kenapa, Mia?" sempat kudengar mama bertanya. Mana kutahu, sahutku dalam hati kebingungan merapikan diriku di depan kaca.

"Kok lari?" tanya pemuda itu setelah aku melangkah keluar rumah.
Dengan wajah merah kugelengkan kepalaku. "Nggak apa-apa."
Pemuda itu tertawa lagi dan menyodorkan buku merah kepunyaanku. "Nih, buku kamu."
"Thanks," sahutku dan mengambil buku itu.
"Aku yang thanks," jawab pemuda itu. Aku sama sekali tak berani memandang wajahnya.
"Iya deh," jawabku pendek.
"Sepertinya waktuku tidak tepat, ya?" kudengar pemuda itu bertanya.
"Nggak kok," sahutku cepat.
"Aku langsung balik saja, ya?"
"Kok cepat? Terserah deh."
Walau dalam hati aku kecewa namun aku tak bisa berkata apapun, hanya bisa memandang pemuda itu melangkah ke luar pagar. Derum mesin mobil terdengar beberapa saat kemudian, semakin lama semakin jauh.
"Teman baru kamu?" suara mama mengagetkanku dari belakang.
"Entahlah, Ma," jawabku setengah berbisik dan melangkah masuk menuju kamar.

Kupandangi buku merah di samping kepalaku.
Apa yang baru saja terjadi? Apa yang akan terjadi?

Kubuka buku merah itu dan langsung mendudukkan tubuhku saat melihat gambar kartun seorang gadis berkacamata dengan lidah menjulur disertai bubble words "aku lucu loh". Setengah kesal bercampur girang kututup buku itu dan tertawa sendiri. Mungkin aku sudah gila.

Empat

"Masa? Dahsyat!" Febrita berseru dengan membelalakkan matanya setelah kuceritakan kejadian kemarin. "Benar, aku nggak bohong," ucapku seraya mengeluarkan buku merah yang sejak tadi malam entah sudah berapa kali kubuka dan kututup, hanya untuk melihat gambar di dalamnya. Febrita membuka buku itu dan memandangi gambar yang ada di halaman terakhir.
"Mungkin dia suka kamu, Mia."
Masa?
"Mana mungkin sih, Feb. Memangnya aku siapa?"
Febrita memundurkan tubuhnya dan memandangiku dari ujung kepala sampai ke ujung kaki seperti melihat hantu. "Iya, ya. Aku juga bingung."
Dengan kesal kutarik ujung rambutnya. "Awas kamu."

"Hai."
Sapaan itu mengejutkan kami berdua. Febrita langsung mengerut di sudut kursi dan memandang dengan pandangan terkejut saat melihat seorang pemuda bercelana jeans hitam dan berkemeja kotak-kotak sudah berdiri di sebelahku.
"Eh," hanya itu kata yang bisa kuucapkan. Natan tertawa kecil dan mengulurkan tangannya kembali lalu menjitak kepalaku lembut.
"Anak lucu."
Dan aku sama sekali tak berusaha mengelak! Hanya tertegun, sementara Febrita bangkit berdiri sambil tersenyum-senyum. "Aku lupa ada janji di kantin."
"Feb!" seruku menahan tapi Febrita sudah berlalu dengan tak lupa melirik penuh arti ke arahku. Aduh, sekarang tinggal aku sendiri dan..

"Nanti malam di rumah?"
Ups! Kupalingkan wajahku, ternyata Natan sudah mendudukkan dirinya di sebelahku. Astaga! Kutolehkan kepalaku ke kanan dan ke kiri, mencoba mencari pertolongan.
"Halo, kamu masih hidup?"
"Hah?" ucapku kaget, "Iya, iya, aku di rumah."
Natan tertawa beberapa saat tanpa henti. "Kamu kenapa sih?"
"Nggak apa-apa," jawabku masih setengah panik.
"Nat, ayo masuk, nanti terlambat," mendadak seorang pemuda menghampiri kami.
"Oh," sahut Natan sebelum bangkit berdiri. "Nanti malam jangan lupa mandi."
Mandi? Mandi? Apa maksudnya?
Febritaa!! Di mana kamu!

Lima

Pagi itu aku bangun dengan suasana hati yang luar biasa. Seakan aku ingin berteriak pada semua orang di dunia ini kalau tadi malam Natanael Songko, kakak tingkat yang keren itu mengecup bibirku!
Bibir! Bibir! Seperti yang di film-film barat itu! Sebuah pengalaman sensasional yang tak mungkin kulupakan seumur hidupku. Suasana yang romantis di sebuah restoran elite. Dekapan hangat selama perjalanan pulang, dan sebuah kecupan yang lembut di bibir. Apa lagi yang kuharapkan dari hidupku?
"Duh, anak Mama. Kok ceria sekali hari ini?" Mama tersenyum menatapku dari balik surat kabar. Dengan melompat kecil kuhampiri ia dan kupeluk hingga mama tertawa. "Aduh, kenapa lagi anak Mama satu ini?"
"Aku sayang Mama."
"Mama juga. Tapi ada apa sih?"
"Rahasia dong," jawabku lalu menuju ruang makan.

"Halo, Sayang," papa memeluk mama dan mencium pipinya. Dalam hati aku ikut tersenyum, seolah bisa memaklumi. Mungkin tiga bulan yang lalu aku masih memandang dengan penuh keirian pada mama. Sekarang? Nggak lah.
"Hey, sini!" Papa berseru padaku. Kuhampiri lelaki setengah baya itu, memeluknya dengan hangat. Sejak kepergian papa ke Jepang tiga setengah bulan lalu untuk mengambil S2, memang terasa benar ada sesuatu yang hilang dalam keluarga kami.
"Mia kangen loh, Pa," ucapku di telinganya. Papa tertawa dan menggandeng kami ke arah taksi.
"Sori Papa ngga bawa oleh-oleh banyak buat kalian," ucap papa di meja makan.
Mama tersenyum dan menyodorkan mangkuk sayuran. "Nggak apa-apa, asalkan Papa bisa pulang dengan selamat kan cukup. Iya kan, Mia?"
"Iya," jawabku dan menyeduh teh hangat di depanku.
Mama tertawa dan berkata seraya melirik papa, "Tapi nggak bawa oleh-oleh sekalian untuk Mia ngga apa-apa kok, Pa. Mia nggak bakalan sedih kok, Pa."
"Mama!" ucapku dengan nada sebal dan wajah memanas.
Papa melirik ke arahku dan menyenggol sikutku. "Masa? Jadi sudah ada yang menggantikan Papa di hati anak Papa?"
"Nggak ada!" jawabku cepat. Mama tertawa lagi.
"Suruh ke sini nanti malam. Ini perintah."
"Yah, Papa?" ucapku dengan nada lemas.

Enam

"Hahaha," terdengar papa tertawa dari depan teras. Dengan berdebar-debar kuteruskan memutar sendok teh itu walaupun kuyakin gula di dalamnya sudah larut sepuluh menit yang lalu. Akhirnya papa melangkah masuk dan menghampiriku. "Sudah, bawa sana tehnya."
Nyaris aku bersorak girang melihat senyuman di wajah papa.
"Thanks, Pa," seruku seraya memeluknya. Papa menggeliat dan tertawa kecil.
"Heh, heh. Apaan ini?"
"Papa kamu menarik, aku sama sekali tidak mengira kalau dia seorang dosen."

Dengan tersenyum kuperhatikan Natan meminum teh hangatnya.
"Natan," panggilku lirih.
"Ya?" pemuda itu meletakkan cangkir teh dan mengangkat kepalanya menatapku. Kutundukkan kepalaku dan memainkan jepit rambut di jemariku.
"Yang semalam itu.."
Mendadak Natan mengulurkan tangannya dan meletakkan telapak tangannya di atas jemariku. "Aku kan sayang kamu."
Tersenyum kuangkat kepalaku menatap matanya.
Sungguhkah ini?

"Oh, aku punya sesuatu untuk kamu." Natan melepaskan jemarinya dan merogoh ke balik punggungnya. Dengan berdebar kulihat Nathan mengeluarkan sebuah kotak kecil dibungkus plastik.
"Apa itu?"
"Buka saja sendiri," ucap pemuda itu dengan nada misterius.
Hati-hati kukeluarkan kotak itu dan membukanya.
"Astaga, Natan!" pekikku tertahan saat melihat sebotol parfum di dalamnya.
"Kamu suka?"
Melompat kubangkit berdiri dan memeluknya. "Makasih."
Natan melepaskan pelukanku, melepaskan kaca mataku dan mengecup bibirku. Langsung kutarik kepalaku dan melirik ke dalam rumah.
"Gila kamu, ini kan di rumah."
"Aku nggak ingin lupa rasa bibirmu."
Wajahku langsung terasa panas. Malam itu, sebelum pulang, Natan mencium bibirku lagi di dalam mobil. Satu kalimat yang terngiang di telingaku dan membuatku menyusupkan kepala ke balik guling dengan malu-malu. "Aku sayang kamu."

Bersambung . . . .