Nilai sebuah keperjakaan - 1

Part I: Kayla, Gadis Kecilku
Medan, February 1989

Terik sinar mentari jam 11 siang di kota Medan membuat saya terkantuk-kantuk di lantai 3 kelas 1 salah satu SMA yang cukup terkemuka di kota ini. Di depan, guru Kimia yang sudah ubanan sedang menjelaskan rumus-rumus yang rumit. Saya pura-pura memperhatikan dan mendengarkan ocehannya.

Duduk di baris terakhir, dengan leluasa saya bisa memperhatikan teman-teman saya di depan. Di meja di depan saya duduk mahluk yang sangat manis, teman main saya sejak kecil. Namanya Kayla, panggilannya Lala. Di meja tersebut dia duduk di sisi sebelah kiri dan saya sendiri duduk di sebelah kanan. Persis di depan saya duduk Jane, teman akrabnya Kayla. Kayla kelihatannya juga lagi terkantuk-kantuk, dia menyender ke tembok dengan tubuh menghadap ke samping. Memang guru Kimia yang satu ini sangat baik, kami bisa mengobrol atau duduk seenaknya tanpa diomelin.

Lala, mempunyai sifat yang sangat aktif. Saat itu dia duduk dengan mengangkat salah satu pahanya ke kursi. Rok abu-abunya yang cukup pendek untuk ukuran anak SMA tersingkap memperlihatkan pahanya yang langsing, putih dan mulus. Pemandangan ini tentu saja menghilangkan kantuk saya dan perhatian saya langsung tertuju ke paha tersebut.

Pikiran saya melayang ke lika-liku persahabatan saya dengan Lala..
Saya mengenalnya sejak kelas 3 SD dan dulunya kami les privat bersama. Hampir setiap hari saya nongkrong di rumahnya, mengobrol dan bermain bersama kakak-kakak perempuan dan adiknya. Saya sudah dianggap anggota sendiri oleh keluarganya.

Sebenarnya diam-diam saya menaruh hati pada Lala, saya sangat mengagumi hidungnya yang mancung dan mulutnya yang kecil mungil. Entah kenapa saya tidak pernah berani mengungkapkan cinta saya padanya. Padahal saya sendiri termasuk cowok yang tampan. Sebagai buktinya, banyak juga cewek satu sekolahan yang naksir saya, mulai dari Ling-ling, Vina, Ita, Sally, dsbnya (hihi..). Mungkin karena saya terlalu pemalu atau karena dia yang sangat pintar bergaul. Banyak diantara teman kakaknya yang naksir dia dan umumnya lebih dewasa dari saya. Lala sendiri pernah mengatakan bahwa dia lebih menyukai cowok yang matang, jadi ya cerita indah berpacaran bersama Lala harus saya buang jauh-jauh dari kepala saya.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun sejak kami saling mengenal. Tanpa terasa kami sudah memasuki masa remaja. Tinggi badan saya sudah mencapai 170 cm dan saat itu berat badan saya hanya sekitar 57 cm, cukup kurus memang. Saya berubah menjadi seorang kutu buku dan sejak kelas 1 SMA juara umum tidak pernah lepas dari genggaman saya. Satu-satunya hobby saya selain belajar adalah olah raga Tae Kwon Do yang mana saya sudah mencapai ban merah (dua level menuju ban hitam).

Keinginan normal pria dewasa juga sudah berkembang di dalam diri saya. Beberapa teman saya sudah pernah merasakan kenikmatan bercinta dan sering membagi pengalaman mereka.

Lala sendiri berubah menjadi seorang gadis yang rupawan. Rambut panjang sebahu, tinggi 160 cm dan berat 45 kg. Bentuk tubuhnya sangat ideal dan proporsional, terbentuk dari les ballet yang ia tekuni. Sayangnya, Lala terbawa pergaulan teman-teman kakaknya yang sering keluar masuk diskotek. Sekolah merupakan hal yang sangat dibencinya. Banyak isu miring telah saya dengar mengenai Lala, tentang gaya hidupnya yang selalu pulang malam dan berganti cowok. Tetapi bagi saya dia tetap Lala yang lama, Lala yang manis, manja dan polos. Lala yang saya sayangi, itulah sebabnya saya selalu membantu dia mengerjakan tugas dan memberi contekan waktu ujian. Kapanpun dan karena alasan apapun dia membutuhkan saya, saya selalu siap untuknya.

Part II: Kayla yang dewasa

Saya memperhatikan jam tangan saya. Hmm.. jam 11:30, masih satu jam sebelum bel pertanda bubaran berbunyi. Pikiran saya kemudian melayang ke peristiwa yang terjadi beberapa bulan lalu. Kejadian yang menyadarkan saya bahwa Lala sudah tumbuh menjadi wanita dewasa.

Minggu, jam 4 siang, saya masuk ke rumah Lala dengan menggunakan kunci saya (saya mempunyai kunci rumah mereka). Rumahnya Lala berbentuk Ruko dan terletak di jalan utama di kota Medan.Lantai dasar rumahnya yang biasa terisi dua mobil terlihat kosong, sepertinya tidak ada orangdi rumahnya. Kondisi rumahnya yang gelap mengharuskan saya melangkah dengan hati-hati. Saya melanjutkan langkah kaki saya ke lantai pertama yang juga gelap dan kosong. Di ruang tamu lantai pertama, saya memperhatikan sejenak akuarium yang berisi ikan arwana merah.

Hampir saja saya memutuskan untuk pulang ketika sayup-sayup telinga saya menangkap suara radio dari lantai dua. Di lantai ini terdapat dua kamar tidur, yaitu kamar tidur Lala dan kamar tidur kakaknya. Timbul keisengan saya untuk mengejutkan Lala ataupun kakaknya yang mungkin berada di lantai dua tersebut.

Dengan mengendap-endap saya menuju lantai dua. Tiba di atas, saya melihat tirai jendela kamar Lala sedikit tersingkap dan saya mengintip dari celah-celah tersebut. Alangkah kagetnya saya ketika menyadari apa yang sedang terjadi. Jantung saya berdegup kencang.

Di dalam kamar, Lala sedang berbaring di kasurnya dengan kaos dan bra putih tersingkap. Tangan kirinya sedang meremas-remas buah dada kanannya dan tangan kiri terlihat menyusup ke celana pendeknya. Matanya tertutup dan terlihat gerakan tangannya di balik celana pendeknya. Karena bra dan kaosnya yang tersingkap, saya bisa melihat buah dadanya yang lumayan montok denganpuncaknya yang kecil dan berwarna merah muda. Saya bisa merasakan kaki semakin gemetar. Gerakan tangan kirinya yang menyusup ke dalam celana pendeknya semakin cepat sampai akhirnya tubuhnya mengejang dan berkelonjotan.

Dengan nafas memburu dan kaki lemas karena menahan adik saya yang sudah membesar (hehe..), saya turun ke lantai pertama tanpa suara sedikitpun. Di bawah, saya berusaha menenangkan diri. Cukup lama saya mondar-mandir di ruang tamunya. Karena tidak ingin mengganggu Lala, akhirnya saya memutuskan untuk pulang ke rumah.

"Gus.. Gus.." bisik Lala.
"Eh.. Eh.. yyaa.." Jawab saya sedikit tergagap karena terkejut. Buyar dech lamunan indah saya.
"Malam ini kita barengan ngerjain tugas Fisika ya," bisik Lala perlahan sambil melirik ke guru Kimia di depan.
"Iya.. ya, jam 7 malam gua ke tempat loe," bisik saya kembali.
Memang kami sering mengerjakan tugas dan belajar bersama tanpa guru les lagi sejak satu tahunterakhir. Kadang saya berpikir bahwa beruntung juga saya dikarunia otak yang encer, buktinya banyak cewek yang minta belajar bareng.
"Loe makan di tempat gua aja, ok? Soalnya semua keluarga gua lagi menjenguk oma gua," kata Lala.
"OK.. OK.." jawabku.

Part II: Keperjakaanku

Malam itu, sehabis makan malam, kami mengerjakan tugas Fisika di meja belajar Lala yang bersebelahan dengan kamar tidurnya. Jam dinding masih menunjukkan pukul 8 malam.

"Gus.. gua ada satu pertanyaan buat kamu, tetapi kamu harus jawab yang jujur ya," tiba-tiba Lala berkata dan membuyarkan konsentrasi saya.
"Kapan gua pernah berbohong ke loe? tanya aja!" jawab saya ringan.
"Hmm.. kamu mencintai saya bukan?" tanya Lala.
Seperti mendengar suara guntur di langit yang cerah, saya hampir melompat karena kaget dengan pertanyaan yang tidak saya sangka-sangka tersebut.
"Appaa?" tanya saya kembali sambil berpura-pura tidak mendengar pertanyaannya, berharap dia tidak mengulangi pertanyaan tersebut.
"Kamu mencintai saya kan?" Dia mengulang pertanyaannya. Memang dia ini orangnya sangat terbuka.
"Hmm.." saya mau mengaku tetapi entah mengapa lidah saya tidak mau bergerak.
"Jujur saja, saya bisa merasakannya. Kamu begitu baik, begitu memperhatikan saya. Tidak mungkin kamu melakukan semua itu kalau kamu tidak mencintai saya," lanjutnya lagi melihat keragu-raguan saya.

Saya merasakan wajah saya yang panas dan pasti memerah. Saya merasa sangat malu.
"Iya.." akhirnya saya menjawab secara perlahan.
"Ohh, itu yang saya takutin. Saya tidak kepengen menyakiti kamu. Saya tidak mau melihat kamu bersedih," kata Lala dengan suara rendah.
"Nggak, kamu nggak pernah menyakiti saya. Saya berbahagia kalo kamunya bahagia," jawab saya tulus.(Cinta yang sejati tidak pernah meminta, hanya memberi).

"Tahun ini saya akan ke Australia bersama Koko dan melanjutkan sekolah saya di sana. Kamu akan selalu mengingat saya khan?" tanya Lala.
Koko itu adalah pacarnya Lala yang akan lulus SMA tahun itu.
Oh, dia akan pergi! Lala ku tersayang akan pergi! Saya termenung.
"Saya tidak pernah.." Sebelum saya menyelesaikan kata-kata saya, Lala sudah menutup mulut saya dengan bibirnya. Inilah pertama kalinya saya mencium seorang wanita. Jantung saya berdegup kencang. Kepolosan dan kehijauan membuat saya mencium bibirnya tanpa lumatan, tanpa gerakan lidah sama sekali.

"Saya akan memberi kamu kenang-kenangan yang tidak pernah kamu lupakan!" bisik Lala di sela-sela ciuman kami.
Tangan saya membelai rambut dan pipinya. Keindahan ciuman membuat saya tidak berniat menghentikan ciuman tersebut. Selanjutnya semuanya berjalan begitu cepat. Cinta mengalahkan segalanya. Tanpa saya sadari, kami sudah berbaring di kasurnya. Saya berada di bawah dan Lala di atas saya. Segala ajaran teman saya mengenai bercinta seakan-akan hilang dari ingatan saya, saya bahkan tidak berani menyentuhnya. Saya cuma menutup mata saya dan menikmati ciuman tersebut.

Bersambung . . . .