Autumn Diary - 6

Memang cuaca dingin di Korea mempengaruhi kulitku. Jadi makin bersih dan putih. Kemudian kujelaskan bahwa aku memang ada darah campuran sehingga kelihatan berbeda. Tak lama kemudian dia sudah akrab denganku bahkan dia bergeser duduk disampingku. Kami bercanda dan dia melayaniku minum meski dia sendiri tidak mau minum.
Dia berumur 22 tahun dan saat dia menanyakan umurku, aku juga menjawab 22 tahun. Mula-mula dia tidak percaya, katanya wajahku seperti baru berumur 19 tahun. Tapi aku bersikeras dan akhirnya dia percaya. Setelah pukul 2 malam kami tertidur. Kira-kira sekitar pukul 10 pagi aku terjaga. Ada seseorang memelukku. Dan yang membuat aku kaget, tangannya meremas penisku yang memang mengeras setiap pagi. Aku menggeliat malas. Kepalaku masih terasa pening.
Kutoleh ke samping ternyata Jin Yong yang sedang tidur di sampingku sambil tangannya menelusup ke dalam celana jeansku.
"Jin Yong. Jangan." Tolakku pelan karena masih mengantuk sambil mencoba tengkurap.
Tetapi tangan Jin Yong menahanku dan terus memelukku.
"Tidak apa-apa." Bujuknya sambil tetap meremas-remas.
Karena betul-betul mengantuk, aku biarkan saja dia bermain-main dengan batangku sampai tak sampai 2 menit dia berhenti dan menarik keluar tangannya dari celanaku. Kulihat kiri dan kanan. Teman-teman yang lain masih tertidur. Lalu giliran aku yang memasukkan tanganku dalam celana trainingnya.
Spring, 97
Aku benci hangatmu, juga cahaya mentarimu
Kau datang menjelang untuk menghancurkan sebuah cinta
Kau bertahta angkuh di antara indahnya bunga-bunga
Tiada peduli, saat itu ku mulai merajut hari-hari sunyi.
21 Februari 97
Pagi ini hangat cahaya matahari menerobos masuk melalui pintu ruangan tempat aku bekerja. Cahayanya menyilaukan mataku yang masih terasa pedih akibat menangis semalam. Dari awal aku sudah tahu akhir dari semuanya. Akupun tidak berharap akan hubungan yang panjang. Just for fun! Begitu pikirku saat mulai mendekati Lee. Tapi tanpa aku sadari, bersama waktu yang kami lalui berdua, aku mencintainya. Bahkan surat dari pacarku di Indonesia yang berisi protes karena aku tidak pernah telepon atau mengirim surat, tidak aku pedulikan lagi.
Kubujuk hatiku agar tenang. Kuyakinkan diriku bahwa kesedihan ini tidak akan lama. Dan akan aku dapatkan pengganti untuk mengusir kesepianku. Aku harus tegar. Selama ini aku sering membuat cewek menangis. Dan kali ini tidak mau ganti aku yang menangis. Cukup sudah airmata semalam. Dan lagi kami sudah berjanji bahwa tidak ada yang perlu di sesali dan biarlah semua yang pernah terjadi berlalu bersama waktu. Dua hari yang lalu di belakang pabrik, di bawah pohon maple. Kami duduk berdua.
Aku tidak dapat menyembunyikan kekecewaan di wajahku saat Lee mengatakan bahwa dia tidak ikut pindah ke Ansan. Dan memutuskan pulang ke kotanya. Tapi sebentar kemudian aku berhasil menguasai perasaanku. Aku peluk dia dengan bermacam rasa berkecamuk didada. Mau menangis, menjerit atau tertawa tak dapat lagi kurasakan. Mungkin saat itu mataku memerah. Lee membalas memelukku. Saat aku berikan cincin bermata jade yang selama ini kupakai, dia tertegun.
"Aku tak tau apa yang akan kuberikan?" Ucapnya sambil menatapku sendu.
Tatapannya membuatku merasa tidak sanggup kehilangannya. Kutatap lekat-lekat wajah orang yang kusayangi. Belum puas aku curahkan sayangku. Masih belum cukup puas aku membelai rambutnya. Masih ingin lagi kurasakan kehangatannya dalam pelukanku. Kuusap rambutnya penuh perasaan.
"Kau sudah memberi banyak buat aku. Aku simpan disini." Jawabku sambil menepuk dadaku.
Lalu diapun bersandar di bahuku. Kuciumi puas-puas rambutnya. Kupeluk erat dan aku patrikan dalam hati segala rasa saat itu, karena aku merasa kalau kami tidak akan berjumpa lagi. Saat itu aku berharap waktu berhenti berputar, agar selamanya dia dapat kumiliki.
Dan pagi ini dia akan pergi. Sedangkan aku berangkat ke Ansan besok petang. Sementara sudah banyak teman-teman yang pulang ke kampungnya masing-masing. Pukul 9 Lee masuk ke ruangan tempatku. Dia sudah berpakaian rapi. Tampak segar. Cahaya matahari yang menyinarinya membuat dia semakin mempesona. Sejenak aku terpaku. Kepedihan memecah di dada. Dia menyalami teman-teman satu persatu. Terakhir dia menghampiriku. Sekuatnya kutahan airmataku. Aku ingin melepasnya dengan rela meskipun hatiku meronta. Kami berpandangan. Kucoba ukirkan senyuman yang termanis.
"Goodbye." Ucapku singkat dengan suara parau menahan sesak di dada.
"Hanya goodbye saja?" Dia tersenyum sambil menjitak kepalaku.
Langsung aku rangkul dia dengan gaya seorang teman biasa karena banyak orang disitu. Kuremas kuat-kuat punggungnya seakan tak akan kulepas lagi.
"Hui. Goodbye." Bisiknya lirih ditelingaku sebelum melepaskan pelukanku. Lalu diapun beranjak pergi.
Dengan hati menangis kubalas lambaian tangannya yang melangkah pergi sambil sesekali menoleh ke arahku.
"Kamu menangis, ya?" Tanya Song Min yang berada di sebelahku.
Pasti dia melihat mataku memerah. Aku diam saja dan meneruskan kerjaku. Kalau sedang sedih seperti ini, bisa-bisa aku hantam dia kalau terus-terusan mengusikku. Tidak tahan lagi, aku keluar menyusulnya. Dari pintu pagar pabrik kupandangi Lee yang berjalan menuju bus stop. Airmataku tidak dapat lagi kutahan. Aku terus ke toilet. Disana kuteteskan airmata yang dari tadi aku tahan.
*****
Padang pasir gersang membentang
Aku tersesat di pusaran anginmu
Seorang pengelana yang kesepian
Berteman airmata, angin dan hujan
Sendiri susuri jalanan panjang
Di bawah langit malam nan hitam
Entah bila semua kan berakhir
LangkaHPun tak ingin berhenti
Sampai kudapatkan kembali
Cinta yang entah kemana pergi
*****
Summer, 97
Baru saja aku selesaikan kerja malamku. Ditingkat paling atas bangunan asrama aku berdiri sendiri. Seperti biasa cuma soju dan rokok 'this'yang menemaniku. Dalam kegelapan malam yang sunyi, kubiarkan anganku berkelana ke masa silam. Bulan dilangit tinggal separuh. Seperti hatiku saat ini. Angin dingin berhembus lirih, seakan berbisik ditelingaku. Membuatku terlena sejenak. 6 bulan yang sudah berlalu tak juga mengikis bayangan Lee dari anganku. Musim panas ini membakarku. Namun mengapa hati masih membeku. Semua kenangan tentang Lee tidak juga usai menbelengguku.
Dua bulan lagi musim gugur tiba. Musim indah yang mempertemukan kami berdua. Tapi kini aku takut menghadapinya. Takut dada ini tidak sanggup menahan terpaan rindu yang menyiksa. Aku sadar semua cerita antara aku dan Lee telah selesai. Namun aku selalu mengharapkan kami dapat bertemu lagi, dan itu sangat menyakitkan hati. Setiap malam kuisi hariku dengan melamun sendiri di tempat ini sambil mengenang saat indah yang kami telah lalui bersama. Masih lekat dikepalaku peristiwa dihari valentine itu. Itulah valentine pertama dan terakhir darimu.
Perutku terasa mual setelah menghabiskan botol bir yang ketiga. Kepalakupun mulai terasa pening. Sebelumnya aku sudah habiskan setengah botol soju. Kutarik Chang Ho untuk mengantarku ke toilet. Disana kumuntahkan cairan yang membuat perutku kacau itu.
"Kenapa kamu terus minum kalau tidak kuat?" Tegur Chang Ho sembari memijit tengkukku.
"Aku memang tidak biasa minum bir. Kalau soju 2 botol pun aku sanggup habiskan" Jawabku sambil menepiskan tangannya yang memapahku keluar toilet.
Setelah itu aku pamit pada teman-teman yang lain dengan alasan sudah mabuk. Sesungguhnya aku mulai gelisah. Bayangan Lee terus menggangguku. Aku menyesal karena lebih memilih minum dengan terman-teman daripada menemani Lee ke pertokoan Kimpo. Padahal hari ini hari valentine. Meskipun kasihan melihat kekecewaan di wajah Lee. Aku tetap putuskan ikut teman-teman minum. Apalagi ada Chang Ho, my best friend. Temanku satu kamar dan satu department kerja. Dia tidak pernah mengijinkan aku mengeluarkan uang saat kami minum bersama. Dan kalau sedang berkumpul dengan kawan dari bagian kerja lainnya, dia selalu memuji kerjaku. Dulu aku sempat menyukainya karena kebaikannya. Tetapi setelah bergaul akrab, aku merasa dia lebih cocok untuk dijadikan kawan saja.
Sampai di asrama ternyata tidak ada orang. Aku beristirahat dikamar sambil menunggu Lee pulang. Hampir satu jam aku berbaring telentang di lantai kamar dan mulai mengantuk. Tiba-tiba pintu kamar terbuka dan kulihat Lee berdiri di pintu sambil menatapku. Dia menghampiri dan duduk di sampingku yang masih berbaring di lantai.
"Sudah cukup minumnya? Kepalamu sudah pening belum?" Ada nada jengkel di suaranya.
"Ayolah. Aku cuma minum sedikit dan terus pulang mencarimu."
Aku lalu bangun. Kucoba menciumnya. Lee menghindar. Dia memang betul-betul tidak mau kucium kalau aku bau minuman. Kalau sekedar bau rokok dia masih bisa tahan.
Lee membuka bungkusan yang dia bawa dan membukanya. Ternyata dia membeli coklat. Bentuknya seperti botol. Disodorkanya coklat itu padaku. Aku terdiam. Terharu. Tanpa kata kutatap tajam dirinya, dan kubuka mulutku. Biasa kalau kami istirahat kerja dia selalu menyuapkanku permen karet, satu keping permen karet kami bagi berdua. Lee lalu memecahkan coklat itu dan menyuapkannya kepadaku. Antara sadar dan tidak kupeluk Lee dan kubisikan kata ditelinganya.
"Lee. I love you." Ucapku dengan dada berdebar. Lee tertawa kecil.
"Kita ini homo ya?" Jawabnya sambil berdiri mengunci pintu.
Aku tahu apa yang di inginkannya. Aku harapkan suasana yang romantis, tapi dia anggap main-main saja. Dia terus mengumuliku. Sambil menciumi leherku, dia mencoba membuka bajuku.
"Aku sedang mabuk nih." Tolakku.
Gara-gara cintaku di ketawain aku jadi tidak bersemangat lagi. Tetapi Lee tidak menggubris kata-kataku. Terus saja dia mencumbuiku. Akhirnya aku biarkan dia membuka bajuku. Kemudian dia mulai melumat putingku dan tangannya meraba-raba seluruh badanku. Aku menggelinjang geli. Mau tak mau aku mulai terangsang. Ditekannya badanku agar berbaring. Aku menurut saja. Kubelai kepalanya yang berada diatas dadaku. Dia mulai melumat putingku sambil dijilati dan lidahnya berputar-putar disana. Kenikmatannya mulai menjalari tubuhku. Apalagi tangan Lee merambat turun dari perutku dan menelusup masuk kedalam celanaku. Telurku diremasnya perlahan. Terasa aliran kehangatan memenuhi penisku dan membuatnya berdenyut keras. Kupejamkan mata untuk menikmati permainan adikku yang kusayangi ini. Dia kini meremas batangku dan memilin kulit di bawah kepala penisku.
"Euh.." aku mendesis.
Kugigit bibir bawahku menahan kenikmatan yang di ciptakan Lee. Kupegang tangannya agar tidak beralih dari area itu. Dia semakin bersemangat dengan aksinya. Dibukanya celana dan CDku. Diturunkannya sampai lutut. Kusilangkan tanganku di kepala agar aku dapat melihat apa yang akan dilakukannya. Dia terus mengurut batangku sambil sesekali menggenggamnya kuat-kuat sebelum mengocoknya naik turun. Terasa penisku ngilu karena urat-uratnya tertekan. Sementara itu tangan yang lainnya meremas buah pelirku hingga rasa geli yang nikmat membuatku mendesis kecil. Tiba-tiba Lee meludahi penisku dan menjadikannya pelumas untuk memudahkan dia mengocok.
Bersambung . . . . .