Kejutan Paris - 1

*****
Ada sebuah perahu cinta, berlayar ke timur, selatan, barat, utara
Seluruh penjuru telah diarunginya, mengangkut harapan dan impian
Perahu itu datang dan pergi dengan bebas tanpa kecemasan
Musim semi datang setelah musin dingin pergi
Waktu berputar, berjalan terus, terus, dan terus
Dulu, ada sebuah perahu cinta. Keindahannya telah memudar
Badai telah menerpanya dan karang telah merusaknya
Harapan memudar dan impian hancur berantakan
Berlayar terus tanpa tujuan, mencari pelabuhan cinta
Perahu cinta kini telah menemukan pelabuhannya
Akhirnya dia dapat merapat dan beristirahat
Masih mengangkut harapan dan impian yang tersisa
Tak ingin mengarungi samudera lagi
Pelabuhan itu kini menjadi rumah barunya, sekarang dan selamanya..
*****
Akhirnya Veri mengambil cuti selama seminggu. Veri-ku memang suka sekali jalan-jalan/tamasya. Berkeliling dunia adalah impiannya yang terbesar. Aku berharap aku dapat mewujudkan impiannya, tapi aku bukan anak konglomerat. Yang dapat kuberikan padanya hanyalah cinta tulus dan murni; cinta yang tak akan didapatnya dari pria gay lain. Saat Veri mengabarkan perihal cutinya, aku tentu saja senang sekali sebab kami akan dapat bersama-sama.
"Aku mau mengajakmu pergi. Kamu mau?" tanya Veri mendadak. Pandangan matanya yang teduh terasa memabukkan.
"Ke mana, sayangku? Ke hotel? Akhirnya, kita tak pernah dapat kesempatan untuk.." kataku. Namun belum selesai saya berbicara, Veri sudah memotongnya.
"Kita akan ke Paris," katanya, santai.
Veri mendekatkan tubuhnya dan memelukku. Saat itu, kami sedang berada di ruang tamuku. Tangannya yang hangat dan penuh cinta meraih wajahku dan mengelus-ngelusnya.
"Paris?" tanyaku, terkejut sekali.
"Tapi.."
"Tak ada tapi-tapian. Orangtuamu pasti setuju, lagipula mereka 'kan sayang padaku. Pasti mereka memperbolehkan aku untuk membawamu." Veri tersenyum lebar.
"Semuanya sudah kubereskan, paspor, visa, tiket. Kita tinggal berangkat. Masa kamu lupa? Sbeentar lagi kan tepat satu tahun kita menjadi kekasih. Anggap saja hadiah anniversary untukmu." Veri mendaratkan sebuah ciuman mesra di bibirku. Kusambut ciumannya dengan penuh cinta dan gairah.
"Oh, Veri, kamu baik banget," jawabku, mataku berkaca-kaca.
Seumur hidupku, belum pernah aku dicintai oleh pria yang begitu mencintaiku.
"Tak usah sungkan. Itu semua karena aku mencintaimu. Aku sayang kamu, Endy," bisiknya, terus saja membelaiku.
"Aku juga, Veri. Tapi pasti mahal sekali," balasku, masih merasa tak enak. Aku merasa seolah-olah aku membebaninya.
"Tak perlu sungkan. Kamu 'kan kekasihku. Lagipula, sudah sejak lama aku tidak ke Paris. Dulu kupikir aku pergi sendirian, tanpa ada yang menemani dan mendampingiku. Tapi sekarang aku punya kamu. Dan aku mau kamu menemaniku, sayang. Kamu mau 'kan?" Veri menciumiku lagi, menunggu jawaban ya dariku.
Dan tentu saja kujawab ya. Tak mungkin aku menolaknya. Aku ingin selalu berada di sisinya, dan inilah kesempatanku untuk berduaan saja dengannya.
"Terima kasih, sayang," balas Veri, menciumiku lagi. Bibir kami bertautan dan berpagutan, lapar mencari cinta. Tiba-tiba Veri berhenti menciumiku dan bertanya dengan cemas.
"Kamu kenapa? Kamu sedih? Kok nangis segala?"
"Aku nggak sedih, Veri. Aku cuma kelewat bahagia," jawabku, buru-buru mengeringkan air mataku. Tanpa sadar, air mataku berlinang turun.
"Selama ini, aku selalu disakiti secara mental oleh pria-pria yang pernah kucintai. Kutawarkan cinta yang tulus pada mereka, semuanya kuberikan pada mereka tanpa menuntut banyak sebagai balasannya. Namun mereka semua meninggalkanku. Namun saat aku bertemu denganmu, kurasakan kamu beda sekali. Hatiku mengatakan kamulah belahan jiwaku yang selama ini kucari-cari."
Tak dapat menahan haru, kupeluk tubuh Veri dan menangis terisak-isak bahagia di dalam pelukannya.
"Aku telah mencarimu ke mana-mana, Veri. Dan akhirnya kutemukan kau. Aku sungguh-sungguh mencintaimu, Veri. Kuharap kita bisa selamanya bersama sebagai pasangan kekasih. Jangan biarkan siapa pun memisahkan cinta kita, ya?"
"Jangan khawatir, sayang. Aku akan selalu di sini, mencintaimu. Aku akan selalu menjagamu. Takkan ada yang akan melukai hatimu lagi karena Veri-mu ada di sisimu." Veri melepaskanku dari pelukannya. Jarinya dengan lembut melepas kacamataku, kemudian menyeka air mataku.
"Akan kupastikan, takkan ada lagi air mata kesedihan yang mengalir dari sepasang mata yang indah ini. Kamu tahu 'kan kalau aku lebih suka melihatmu tanpa kacamata, sayang?" Veri menciumi wajahku.
"Cinta kita akan abadi selamanya. Aku takkan pernah meninggalkanmu, sayang. I love you.."
Dan begitulah. Beberapa hari kemudian, kami berdua terbang ke Paris. Takkan ada yang mengganggu kami di sana. Kami dapat sepuasnya bermesraan di sana, terutama di dalam kamar hotel kami. Saat pesawat kami mendarat di lapangan udara Paris, aku tak henti-hentinya mengagumi keindahan kota itu. Ketika menuruni tanga pesawat, Veri melingkarkan tangannya di bahuku dan mendekapku. Kulingkarkan tanganku di pinggangnya. Siapa pun yang melihat kami, asalkan tidak buta, pasti sadar bahwa kami adalah pasangan gay, tapi kami cuek saja. Malam itu, begitu kami tiba di kamar hotel, kami langsung berbaring di ranjang kelelahan. Ranjang kami besar sekali dan juga sangat empuk.
Veri dan aku sudah menanggalkan jaket kami karena suhu di kamar cukup hangat. Malahan, kami merasa bahwa kami harus bertelanjang bulat karena kami mulai kepanasan. Kami berbaring bersisian, kepala kami ditopang sepasang bantal yang empuk sekali. Kutolehkan wajahku dan mendapati Veri sedang menatapku. Kuberikan sebuah senyuman yang paling hangat padanya. Kembali Veri melepaskan kacamataku dan meletakkannya di meja samping. Mendekatiku, Veri memeluk tubuhku seperti memeluk guling.
Aku merasa sangat aman berada di dalam cinta dan lindungannya. Ciuman demi ciuman mendarat di wajah dan leherku. Kututup mataku untuk lebih meresapi cintanya. Pria ini sungguh tahu cara mencintai dan memanjakanku. Dalam hati, aku berdoa, 'Tuhan, Veri begitu baik dan sayang padaku. Kumohon, biarkan aku memilikinya. Biarkan aku mencintainya seumur hidupku. Jangan pisahkan kami. Aku mencintainya, Tuhan. Aku sungguh-sungguh mencintainya..' Aku hampir menangis terharu lagi; aku memang sangat sensitif.
"Aku mencintaimu, Endy. Aku ingin sekali bercinta denganmu. Aku ingin memuaskanmu dan aku juga ingin dipuaskan. Sayang, aku bahagia sekali bisa memilikimu," bisik Veri seraya menciumiku.
Kedua tangannya dengan terampil sibuk melucuti pakaianku. Aku tak mau kalah; kulepaskan pakaiannya juga. Kami bergumul di ranjang yang besar itu. Satu-persatu pakaian kami berterbangan ke lantai. Veri begitu bernafsu padaku. Dia memang termasuk tipe pria yang memiliki libido tinggi. Aku sama sekali tidak pernah khawatir akan kesetiaan cintanya padaku meskipun dia gampang terangsang. Aku percaya padanya karena dia adalah Veri-ku, dan Veri takkan pernah menyakiti hatiku. Saat itu, kami akhirnya sudah tak mengenakan apa-apa lagi. Batang kemaluan kami berdua terekspos, tegak berdiri dan saling beradu pedang. Selama beberapa saat, kami berdua hanya saling bertatapan saja dan mengatur napas kami. Aku berbaring telentang, sementara Veri menindih tubuhku. Kehangatan tubuhnya yang telanjang bulat menghangati tubuhku.
Bibir kami bertemu dan saling bertukar air liur. Lidah kami saling beradu, menjilati langit-langit mulut kami. Aku suka sekali cara Veri menciumku; lembut namun sekaligus bernafsu. Aku sama sekali tidak merasa jijik saat kami bertukar liur karena aku mencintainya. Sepasang puting Veri yang sudah tegang terasa menggesek-gesek dadaku, membujuk putingku untuk tegang juga. Ah, aku tenggelam dalam cumbuan Veri. Lidah Veri menjelajahi tubuhku, mengikuti setiap lekukannya. Sensasi dingin yang ditinggalkan air liurnya membuatku merinding nikmat. Sapuan lidahnya yang sensual membuatku menggeliat nikmat. Kedua tangan Veri tak henti-hentinya meraba-raba setiap jengkal dari tubuhku, memuaskan rasa penasaran mereka. Veri memandangiku dari ujung rambut sampai ujung kaki, tak ada bagian yang terlewat. Dia sungguh memuja tubuhku, membuat wajahku bersemu merah.
Saat lidah Veri menemukan putingku yang masih tertidur, Veri menghisapnya. Aku hampir terlonjak geli karena putingku memang sangat sensitif. Tanpa ampun, Veri mengulum dan menyedot putingku. Aku menggeliat-geliat nikmat sekaligus geli, tapi aku suka sekali perlakuan Veri padaku. Hal itu menandakan dia memang menyukaiku. Setelah puas mengerjai putingku, Veri beralih pada putingku yang satu lagi. Tak ayal lagi, Veri mengeluarkan jurus-jurusnya dan membuatku kembali menggeliat-geliat. Veri tersenyum puas melihat efek dari hasil kerjanya.

Bersambung . . . .