KGB - 2

Ujung jarinya terasa mencoba menguak lubang analku. Bergerak-gerak membuat arah lingkaran dan menggelitik dinding collon. Aku melemaskan rectum dan collon sehingga jemari Kurnia leluasa menjelajahi lekuk-lekuk di dalamnya. Kemudian kurasakan kedua jari Kurnia sudah mulai dapat menyusuri rongga kenikmatanku. Aku mendesah dan melenguh merasakan kenikmatan yang sangat. Aku berusaha merilekskan tubuh dan mengarahkan lubang duburku arah penis Kurnia. Perlahan namun pasti, aku mulai bergerak ke bawah menggapai glans penis itu serta mencoba menenggelamkannya ke dalam lubang Kenikmatan Gairah Birahi.
Kurasakan kenyerian yang sangat. Perutku terasa melilit karena mendapat tekanan batang kemaluan Kurnia. Rectumku terasa pedih, panas dan perih. Walau aku sudah mencoba bersikap serileks mungkin, namun collonku masih kesulitan melumat seluruh penis Kurnia. Keringat tubuhku mulai menitik. Aku mengumpulkan air liur dan meludahkannya ke telapak tanganku. Kutambahkan salivaku ke batang penis Kurnia dan permukaan rectum. Kemudian dengan semangat perjuangan, secara mendadak aku menghentak sekuat tenaga, sehingga keseluruhan batang kemaluan Kurnia akhirnya melesak masuk ke dalam cengkeraman lubang kenikmatanku.
Keringat membanjiri tubuhku menahan kenyerian, karena penis Kurnia yang terlalu besar diameternya. Selanjutnya dengan sedikit mencondongkan tubuh ke depan dengan bertumpu pada kedua belah kakiku yang terlipat, aku bergerak memajumundurkan tubuhku di atas selangkangan Kurnia. Rectumku kudenyut-denyutkan agar dapat memberikan efek remas dan pijatan ala mak erot, atau semacam empot-empotan pada batang kemaluan Kurnia.
Gerakan dan gesekan-gesekan yang kami lakukan memberikan efek sensasional yang luar biasa. Lenguhan dan desahan suara penuh nikmat mengiringi perjalanan mengayuh birahi mengantar kami menuju titik perhentian.
"Ooohh.. aah.. sshzz.. ngh.. fhs.. aach.. ennghss..".
Kata-kata tak bermakna namun mendebarkan hati siapapun pendengarnya itu menghiasi setiap gerakan dan goyangan persetubuhan yang kami lakukan. Jemari Kurnia mengelus-elus punggungku yang basah oleh keringat. Sesekali jemarinya disodorkan kemulutku dan segera kuhisap-hisap dan kugelitik ujung jarinya dengan lidahku. Sekelebat ingatan tayangan tivi goyang Inul Daratista membuatku terpacu meniru melakukan goyang ngebornya. (Namun, sejujurnya, goyangan ngebor ala "Inul" itu tidak dapat sepenuhnya diterapkan. Pasalnya, kemaluan Kurnia akan terlepas dari cengkeraman rectumku apabila aku bergoyang seheboh Inul. Akhirnya aku hanya bergoyang ala mengulek sambel di cobek. Dengan cara itu, penis Kurnia tetap dapat bersemayam ditempatnya, menikmati buaian empot-empot kontraksi otot collon dan rectumku). Kurnia mengimbanginya dengan memutar-mutar dan mendorong-dorong pinggulnya ke atas. Menjadikan senggama sejenis ini seolah bagai tarian erotik di pentas cinta, ditingkah pacuan dengus nafas dan detak jantung yang kian memburu.
Menciptakan variasi gaya bercinta, perlahan kami bergerak hati-hati mengubah posisi senggama. Menjaga agar penis Kurnia tidak terlepas dari cengekeraman rectumku. Aku menjatuhkan badan ke tubuh Kurnia. Meluruskan kaki yang tadi terlipat. Selanjutnya sambil tetap berdekapan kami memutar tubuh ke samping dan kemudian berbalik. Sekarang aku terbaring terlentang dan Kurnia bertumpu dengan kedua belah tangannya berada di antara ke dua belah pahaku yang mengangkang. Kurnia mengaitkan kedua kakiku ke pundaknya. Pinggangku menjadi agak tertarik ke atas. Penis Kurnia masih bersemayam dalam collonku. Kini ia mulai bergerak memompa diriku. Kenyerian yang muncul pada awal penetrasi tadi kurasa telah sirna berganti dengan kenikmatan yang sangat.
Sambil terus memompa Kurnia mencumbui diriku. Mulutnya bergantian menghisap-hisap puting susuku, menelusuri leher dan melumat bibirku. Jemari tangannya bergerilya menyusuri lekuk tubuh dan sesekali meremas-remas dadaku. Kurnia menciptakan irama senggama yang nikmat, tiga empat kali cabut benam dengan sekali gesek dan tekan goyang yang dalam. Perhitungan Kurnia sangat tepat sehingga penisnya tidak terlepas dari remasan rectumku. Pubicnya yang lebat dan kasar memberikan tambahan sensasi gelitik di bongkah pantatku. Tidak terhitung lagi berapa kali helaan nafas dan desah, lenguh yang lepas dari mulut kami bagai lantunan lagu acapella.
Seolah terbang ke langit tinggi dan berjalan tanpa menjejakkan kaki ke bumi. Melayang. Aku limbung. Demikian pula dengan Kurnia. Sampai akhirnya, Kurnia memuntahkan seluruh hasrat birahinya di dalam relung tubuhku. Aku dapat merasakan puncak gelora ketika batang kemaluannya terguncang-guncang, menggelepar dan menyentak memancarkan cairan kenikmatan persenggamaan. Diiringi lenguhan suara yang panjang, tubuh Kurnia mengejang dan tangannya mencengkeram erat pundakku. Kupeluk tubuh Kurnia yang rebah di atas tubuhku. Kudengar dengus nafasnya masih tersengal-sengal. Keringat membanjir membasahi lantai kamar mandi.
Aku mencegah Kurnia mencabut penisnya dari tubuhku, Biarlah ia bersemayan sejenak sementara dengan jurus empot-empotan collon dan rectumku aku mencoba memberikan pengakhiran yang nyaman untuk Kurnia.
"Terima kasih, Nug", Kurnia berbisik di telingaku.
"Lu belum keluar kan?", sambung Kurnia.
Aku cuma tersenyum. Dan Kurnia tidak melanjutkan pembicaran selain tetap memeluk dan menindih tubuhku. Namun tidak beberapa lama kemudian kurasakan ia bergerak-gerak kembali seperti hendak mencabut penisnya. Aku membiarkannya. Aku ingin tahu apa yang akan dilakukannya. Kuakui sejak tadi aku memang belum ejakulasi.
"Sini, gantian gue sepongin punya lu?", kata Kurnia tiba-tiba.
Ucapan Kurnia sungguh mengejutkan diriku. Aku tidak mengira ia akan mau berbuat hal yang sama dengan yang kulakukan padanya.
"Kenapa lu, heran? Lu pan udah mau ngebantuin gue, masak sih, gue, tega kagak mau ngegituin lu?", lanjut Kurnia kemudian dengan acuhnya.
"Pertama liat lu datang, sebenarnya gue udah naksir lu. Tapi gak lucu juga dong, kalo baru ketemu langsung gue ajak lu maen. Iya kalo lu mau. Kalo kagak? Nah, gue yang tengsin, man!", Kurnia menepuk-nepuk bahuku.
"Tapi radar di hati gue tetap bilang kalo lu tuh, bisa buat di ajak main beginian, dan gue kagak salah nebak kan?", sambung Kurnia kemudian.
"Ok deh, Kurnia, gimanan kalo giliran gue besok malam aja ya. Lu tadi denger kan, di luar udah kedengeran bel bunyi empat kali. Bentar lagi anak-anak pada bangun. Dari pada ntar kitanya tengsin", sahutku.
Kurnia mengecup bibirku dan kemudian berdiri mengambil pakaiannya yang berserakan di lantai dan mengenakannya kembali, Sementara aku tetap di kamar mandi membersihkan sperma Kurnia yang masih tertinggal di dalam collonku. Aku jongkok mengejan dan kuarasakan cairan hangat sperma mengalir keluar. Terus kulakukan sampai aku yakin semua keluar. Sambil mandi pagi aku membersihkan collon dan rectumku. Kembali terasa pedih, namun kenyerian itu terkubur oleh rasa kenikmatan persenggamaan sejenis yang kami lakukan tadi (Tapi sungguh mati, aku tidak tahu kalau tanpa sepengetahuanku, ternyata ada beberapa pasang mata lain yang menelanjangi semua adegan yang kulakukan tadi. Aku baru tahu ketika siang hari, pada saat makan, Dhana, salah seorang diantaranya menghampiriku dan membisikan keinginannya main denganku. Buatku pucuk di cinta ulam tiba. Pasalnya, aku juga sudah menaruh hati pada beberapa orang tersebut. Dari sepuluh penghuni kamar itu empat orang diantaranya pernah bermain-main denganku. Angka ratio prevalensi yang cukup signifikan).
Di tempat penampungan sementara itu aku hanya berada satu bulan setengah lamanya. Sempat juga aku merayakan ulang tahun di dalam sel. Sahabatku dari luar membawakanku kue tart. Itu adalah kejadian ulang tahun yang memberikan kesan tersendiri bagiku. Berulang tahun di dalam penjara. Ketika itu aku bahkan difoto dengan memakai baju tahanan warna biru sambil memegang kue tart ulang tahun.
*****
Seminggu setelah ulang tahunku aku dipindah ke lembaga pemasyarakatan kelas 1. Di tempat yang baru ini aku beruntung tidak di tempatkan di blok. Namun di sebuah kamar dengan hanya enam orang penghuni yang semuanya asik gaul menurutku. Aku juga heran, ternyata kehidupan penjara tidak seseram yang kubayangkan sebelumnya. Singkat kata, irama kehidupan yang kujalani tidak berubah, hanya tempat aku hidup saja yang berubah.
Salah seorang sahabatku, Wisnu, sempat iri ketika aku menceritakan pengalamanku ini saat ia datang membesukku.
Bahkan, karena antusiasnya ia sempat meninju lenganku seraya berkata, "Sialan, lu, giliran bercinta gak ajak-ajak gue deh..". Ketika aku menceritakan adegan-adegan di dalam penjara.
"Auch..". Aku terpekik.
Rupanya pekikan suaraku sempat membuat pengunjung lainnya berpaling ke arahku. Aku jadi tersipu malu, dan Wisnu tertawa menyaksikan ulahku. Wisnu sempat juga kukenalkan dengan beberapa orang yang pernah "main" denganku.
Apabila di tempat penampungan sementara aku hanya dapat bercinta pada malam hari maka di lapas ini kebebasan lebih banyak kumiliki. Aku dapat memadu cinta pada siang hari. Memanfaatkan waktu jam besuk. Misalnya saja, ketika penghuni kamar lainnya sedang keluar menerima kunjungan atau berolah raga, aku tetap di diam di kamar berasik masyuk dengan Aka.
Aka adalah sosok muda usia yang menarik perhatianku. Bentuk tubuh proposional. Potongan rambut crew cut dengan jambul model film Tin-Tin. Kulit coklat bersih. Tutur bahasa yang santun, Semua itu tidak dapat menyembuyikan latar belakang sosial dan edukasinya. Ia memang berasal dari kalangan berada dan terpelajar. Karena di sini aku tidak bicara soal pelanggaran pasal-pasal KUHP dan sejenisnya, maka aku tidak merasa perlu menceritakan alasan Aka masuk ke dalam sel. Awal mula hubungan ketika aku mendapatkan Aka sedang meringkuk di divan dengan tubuhnya yang demam. Sepertinya ia sedang masuk angin. Aku menawarkan diri untuk mengerik dan memijat badannya. Ia tidak keberatan. Saat kusentuh keningnya memang terasa agak hangat.
"Tuh.., kamu pasti masuk angin, Ka. Mau aku kerik badanmu?", kataku menawarkan diri.
Aka tidak menyahut selain mengangguk seraya melepaskan t-shirt yang dikenakannya. Kemudian ia berbaring tengkurap. Dengan uang logam limaratusan rupiah dan balsam balpirik kayu putih aku mulai mengerik punggung Aka. Tidak memerlukan waktu lama semua punggung Aka sudah bagaikan kulit kuda zebra. Hanya ini bukan hitam putih, namun coklat dan merah kehitaman. Selesai mengerik punggungnya aku memintanya agar membalikan badan untuk mengerik bagian depannya. Ketika sudah membalikkan badan itu aku dapat menyaksikan dari dekat secara keseluruhan tubuh Aka yang mempesona. Tidak kurus dan juga tidak gemuk. Perutnya tidak berlemak dan dadanya bidang kenyal.
Aka berbaring telentang dengan menyilangkan kedua tangan di bawah kepalanya. Bulu ketiaknya yang lebat, lurus dan legam tumbuh berserak disekitar pangkal lengannya. Menebarkan aroma maskulin. Dengan posisi seperti itu keseksi-an tubuh Aka jelas tergambar. Apalagi ketika aku melirik ke arah bawah, terlihat siluet bongkah batang kemaluannya yang menggelembung di balik celana hawai-nya. Kentara ia sedang tidak memakai celana dalam (di penjara hampir jadi hal yang biasa melihat aneka kontur penis membayang dibalik celana. Sebab selalu saja ada yang tidak memakai celana dalam).
Aka tersenyum sayu menatapku saat kami tak sengaja beradu pandang. Aku tersipu (saat itu aku sungguh merasa salah tingkah). Namun segera kutepis angan nakalku itu. Aku kembali mengerik tubuh depan Aka hingga tuntas. Sikap Aka yang pasrah dan kooperatif membuatku cepat menyelesaikan tugas mengerik badannya. Wow, betul-betul warna merah hitam yang merata di sekujur tubuhnya.
Setelah itu aku meminta Aka tengkurap kembali. Kini aku mulai memijatnya. Dari pundak, punggung, mengarah ke pinggang. Kemudian berputar-putar disekitar bongkah pantatnya yang kenyal dan padat. Aku meremas-remas bongkah pantat itu. Menekan titik-titik rangsangnya. Aku tahu kalau Aka mulai menginginkan lebih saat terlihat ia mulai meregangkan kedua belah kakinya. Berlainan dengan posisi awal pemijatan yang merapatkan kedua belah kakinya.
Tanganku bergerak ke arah bawah bongkah pantatnya. Jemariku mencoba menguak celah diantara ke dua bongkah itu sambil tetap meremas, menekan dan memijat.
Efeknya mulai terasa ketika dari bibir Aka aku mendengar desahan suara, "Ach.. och.. sshhzzs.. aachh.. nghss.. ouch.." seraya tubuhnya bergerak mengelinjang ke kiri dan ke kanan.
Perlahan tapi pasti aku mulai menaikan pipa celana hawainya ke atas untuk mencapai paha bagian dalamnya. Semakin lama semakin terangkat ke atas sehingga jemariku dapat dengan mudah meraba paha bagian dalam dan menyentuh buah zakarnya yang terlihat menyembul dan terhimpit tubuhnya.
"Dibuka aja kolornya ya biar lebih gampang?", kataku dengan suara setengah tersekat kepada Aka.
"Terserah.. ach.. och.. sshhzz. emmhs.. aacchh..", sahut Aka dengan suara bergetar sambil mendesah-desah menikmati remasan jemariku di bongkah pantatnya.
Ketika kupelorotkan celana hawainya itu, aku hampir berhenti bernafas melihat pemandangan indah yang terpampang dihadapanku. Deretan pubic ikal menyeruak dari belahan bongkah pantatnya itu. Bagai deretan tanaman pinus di bukit manoreh. Sambil terus memijat dan meremas aku mencoba menguak belahan itu. Mataku dengan nanar mencari-cari letak duburnya yang tersembunyi oleh kelebatan pubicnya. Begitu terlihat, tanpa permisi lagi, kepalaku langsung merunduk. Mendekatkan kedua cuping hidungku seraya menghirup aroma semerbak yang terpancar dari zona sensitive itu.
"Hem.. sshz.. oocchh.." tubuhku terasa terbakar.
Aku tidak dapat mengendalikan diri lagi. Tanpa kusadari lidahku sudah menjulur menjilat-jilat (rimming) lubang anal Aka. Aku tidak peduli lagi dengan konvensi dan sejenisnya. Aku merasa sudah mendapat lampu hijau dari desahan-desahan suara Aka sebelumnya.
Memang, pada mulanya Aka sempat terlonjak. Tampak terkejut. Berbalik badan menatap tajam ke arahku, penuh keheranan. Ketika mendadak merasakan basah ujung lidahku menjelajahi analnya. Pada saat itu, sebenarnya, aku juga kaget. Aku takut kalau Aka tidak terima dengan perbuatanku dan lantas memancing keributan. Namun, untungnya, tidak terjadi hal seperti yang kutakutkan.
Kebekuan hanya berlangsung sebentar. Karena sesaat kemudian Aka segera kembali pada posisi semula. Bahkan, kini ia mulai mengangkat pinggangnya dan meyorongkan pantatnya ke arahku. Aku makin leluasa menjilatinya. Decak dan kecipak suara bibir dan lidahku bersahutan dengan suara rintihan kenikmatan Aka.
"Ach.. ouch.. shshsszz.. nghhgs.."
Sambil terus mengelamoti pantatnya, jemariku mencoba merayap ke penisnya. Ternyata batang kemaluannya sudah tegak membatu. Wah, lumayan juga ukurannya. Dapat kurasakan dari jemariku yang kewalahan menggenggamnya.
Langsung aku menggapai tubuhnya agar berbalik arah. Kini Aka sudah terlentang ke arahku dengan penisnya yang ereksi sempurna tersembul dari kerimbunan pubic yang ikal dan lebat. Seksi sekali. Mendadak Aka merenggut tubuhku ke arahnya. Ia segera memeluk tubuhku dan memagut bibirku. Aku merasakan bibirku digigit dan dihisap-hisap. Kemudian ujung lidahnya menerabas masuk menggelitik rongga mulutku. Makin memberikan sensasi rangsang yang menggairahkan. Kami berguling-gulingan. Saling menekan dan memeluk. Tapi aku masih tetap berpakaian. Semacam body contac namun tidak ada penetrasi. Istilahnya sih, petting.
Aku menyelusupkan kepala ke balik lengannya. Menjilat dan menghirup aroma kemaskulinan yang mengairahkan. Aka menggelinjang dan melenguh. Setelah itu aku beringsut ke bagian bawah. Menyergap bongkah penisnya yang sudah mengacung sejak tadi. Menjamahnya dengan pagutan gairah penuh dahaga. Aka terengah-engah mendesah dan melenguh. Jemarinya mengelus dan menjambak-jambak rambutku.
"Aaghh.. oogh.. shhzz.. eengh.. ffsshh.."
Tapi kami masih sadar bahwa hubungan sejenis ini tidak boleh diketahui oleh orang lain atau bahkan sipir. Karena itu, apabila semula dalam posisi berbaring, kini Aka berdiri, sambil membuang padangan ke arah pintu keluar. Sehingga aku pun mengikuti arah gerak tubuhnya. Kini aku berdiri dengan bertumpu pada kedua lututku yang tertekuk. Kepalaku tetap beregerak majumundur meluluhlantakkan hasrat birahi Aka yang sedang terbakar gairah.
Kuluman, pagutan, sepongan yang kulakukan dipadu dengan goyangan pinggul Aka makin membuat suasana bertambah panas. Sontak tubuh Aka mendadak kejang dengan kedua tangannya menekan kuat kepalaku ke arah selangkangan. Terasa penisnya memancarkan cairan kejantanan yang tumpah ruah di dalam mulutku.
"Sshhzz.. hahh.. ssfh.. aaghh.. aaghh.. uufh..", desah suara Aka bergetar saat menyemprotkan spermanya.
Mulutku dengan rakus menghisap, melumat dan mengenyot glans Aka agar menghadirkan sensasi empot-empotan yang sempurna. Seiring dengan tandasnya sperma Aka di mulutku, batang penisnya terasa mulai menyusut dan kembali ke ukuran semula. Aku membiarkan Aka menariknya dari kulumanku.
Dengan punggung tanganku aku menyeka bibirku yang terkena ceceran cairan kejantanan Aka.
"Thanks, Nug. Ntar malam lagi ya?".
Aku tidak menyahut kecuali mengedipkan sebelah mata seraya melemparkan celana hawai ke arahnya. Setelah itu aku bergegas keluar kamar bergabung dengan penghuni lain yang sedang berada di luar menerima kunjungan. Seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Aku yakin pula bahwa setelah ejakulasi tadi Aka sudah tidak masuk angin lagi.
"Wes.. ewes.. ewes.. buablas napsune.."
Tamat