Lain-lain
Saturday, 5 June 2010
Damned true story - 9
Beberapa puluh meter di depanku, aku dapat melihat bayangan bangunan beton berbentuk bambu runcing. Sementara di sekelilingku orang-orang tampak sibuk mengurusi pasar subuh. Ini bulan puasa, dan di jam-jam segini banyak sekali orang yang berbelanja. Aku menyeberangi jalan, menuju ke sisi trotoar yang berbeda. Aku terus melangkah sampai ke sebuah pos polisi.
"Huuhuu.."
Aku terkejut saat mendengar suara tangisan. Semula aku ragu-ragu untuk menengok ke dalam pos tersebut. Tapi entah mengapa, suara tangisan itu menguak rasa ingin tahuku. Aku mendekat dan mengintip.
Seorang gadis duduk bersimpuh di sisi lain pos polisi. Aku hanya dapat melihat bahunya yang berguncang. Aku melangkah dan berpura-pura tidak tahu. Gadis itu berhenti menangis saat aku melintas. Beberapa langkah kemudian aku mendengarnya menangis lagi. Akhirnya kuhentikan langkahku dan membalikkan tubuh.
"Hai," sapaku.
Gadis itu mengangkat wajahnya dan menatapku dengan paras sedikit terkejut. Aku memandang wajahnya yang masih kemerahan itu. Ia tidak cantik, pikirku menilai (sebuah kebiasaan buruk yang selalu kulakukan setiap kali memandang anak hawa), tapi ia cukup manis dengan wajah bundar yang imut.
Gadis itu mengenakan sebuah jaket kulit hitam, mirip dengan yang kupakai saat itu, dengan bawahan jeans biru tua. Dari wajahnya dan bentuk tubuhnya, aku memperkirakan usianya masih di bawah dua puluh. Dan entah mengapa, dalam keremangan lampu kota, aku seolah dapat melihat wajahnya menyiratkan sebuah duka. Ia memandangku sejenak, lalu ia tersenyum.
"Hai juga," sapanya.
Aku ikut tersenyum dan berkata, "Menangis di tengah jalan? Dingin."
Ia tertawa lalu menyeka sisa air matanya, "Thanks."
Aku memandang berkeliling, dan memang beberapa orang yang tadi masih membenahi barang dagangannya menatapku dengan raut mencibir. Aku tersenyum kecut, dapat menduga apa yang telah terjadi pada diri gadis di hadapanku.
"Sepi?" tanyaku seraya mendudukkan tubuhku di sampingnya.
Ia menatapku heran sesaat lamanya, sebelum mengangguk lemah, "Iya, sepi."
"Lagian, ini kan bulan puasa," candaku sambil tertawa. Tapi ia hanya diam saja.
Kukira ia kecewa, saat beberapa menit yang lalu mengira bahwa aku adalah salah seorang hidung belang yang iseng berkeliaran malam-malam. Aku menjadi sedikit tidak enak.
"Pasti kamu takut pulang," tanyaku kemudian.
Ia memandangku dan mengangguk, "Iya, aku takut pulang."
Aku menoleh lagi ke arah orang-orang di pasar subuh. Saat itu kentongan sahur mulai disuarakan oleh beberapa orang. Aku menoleh lagi ke arah si gadis.
"Ayo, aku antar. Nanti kamu terlambat sahur. Mobilku ada di kantor, di sana."
"Aku tidak puasa."
"Mau tidak?" senyumku.
Ia menatapku beberapa saat lamanya.
Aku terkekeh dan bangkit beridiri, bersiap untuk melangkah.
"Tunggu..!" aku mendengar ia berseru di belakangku.
Beberapa orang tampak menatapku. Masih dengan cibiran yang sama.
Namanya Mutia. Lebih tepatnya Cut Mutia, itu yang dikatakannya padaku. Aku tidak ingin berpikir apakah itu nama aslinya atau tidak. Yang kutahu, dua puluh lima menit kemudian kami sudah berada di parkiran basement.
"Ayo masuk..!" ucapku. Ia memandangku ragu-ragu.
"Ayo..!" ajakku lagi, "Nanti warung-warung keburu tutup."
Ia tersenyum kali itu, lalu melangkah masuk.
Tidak ada cerita klise yang ingin kukorek darinya saat itu. Entah mengapa, keberadaannya membuatku sedikit senang. Terus terang saja, aku merasa kesepian setengah jam yang lalu. Dan kebetulan ada seseorang yang menemani.
"Mas, namanya siapa?"
Aku tertawa, berpikir sejenak, "Ray." sahutku dengan senyum getir.
Nama itu sudah menjadi seonggok bangkai di satu cerita. Tapi entah mengapa, hanya 'Ray' yang dapat kupikirkan saat itu.
"Kamu mau diantar ke mana? Simpang empat?" tanyaku sambil menyebutkan nama sebuah lokasi yang memang banyak digunakan oleh penjaja-penjaja seks. Gadis itu terlihat tersipu dan menggeleng.
"Kenapa?" tanyaku, "Kamu takut? Belum dapat pelanggan?"
Perlahan ia mengangguk. Aku tertawa terbahak-bahak.
"Kalau begitu temani saja aku sampai pagi."
Aku terkejut saat lidahku berkata demikian. Ia melirikku dengan mata yang membesar, lalu ia kembali tersipu. Kasihan, pikirku dalam hati. Tapi satu kepastian telah muncul bagiku.
***
PLAKK..! Gadis itu menamparnya. Tapi pemuda itu tidak perduli. Ia bergeser ke samping, lalu melanjutkan langkahnya.
"Siapa kamu..! Siapa..?" si gadis menjerit di belakangnya.
Terduduk di atas rerumputan, menggerung dan meraung. Hatinya luka. Ray melangkah menjauh. Hatinya kosong. Benaknya sepi. Satu-satunya yang ia sadari, aku harus pergi.
Dan ia memang benar-benar pergi sore malam itu. Sore setelah ia memberikan naskah pada Moogie. Sebuah cerita ngawur tentang 'seseorang' yang ia inginkan 'mati' bagi gadis itu, dengan cara yang cukup mengerikan. Sebagaimana gadis itu juga menginginkan pertobatan 'orang' itu akan dosanya.
Dan lagi-lagi Ray bukan pergi dalam arti ke kota lain, atau ke negara lain. Ia benar-benar meninggalkan gadis itu. Seperti bagaimana ia selalu mengatakan bahwa dirinya adalah seorang Ray Yang Perkasa, ia tidak membutuhkan gadis itu dalam deritanya. Ia tidak membutuhkan siapa pun. Dan bahkan pemuda itu bercerita dengan tertawa pada si gadis, sementara si gadis membaca cerita itu dengan mata berair, bagaimana ia tidak pernah perduli apa yang disebut cinta.
Ia pergi ke kantornya. Lalu meratap di sana, menangisi apa saja yang perlu ditangisinya. Menangisi kebodohannya selama beberapa bulan terakhir. Setelah itu, ia menjadi lebih tenang. Semua akan kembali seperti biasa, pikirnya dalam hati. Tidak sekilas pun di benaknya terlintas kemudian bagaimana keadaan gadis itu sekarang. Entah ia bunuh diri seperti Qra. Atau hanya sekedar menangis membabi buta. Atau bahkan hanya tertawa dengan mengatakan, aku juga tidak pernah serius.
Ia tidak perduli lagi tentang semua pengakuan yang gadis itu inginkan ia untuk menulisnya. Ia tidak perduli betapa besar cinta gadis itu padanya. Ia tidak perduli harus menatap wajah gadis itu di kantor pada hari-hari berikutnya. Ia tidak perduli akan apa yang ditanyakan dan dituduhkan orang-orang padanya. Ia tidak perduli sama sekali.
Ray akan tetap menjadi seorang Ray, bagaimanapun caranya. Dan salah seorang sahabat terbaiknya sudah pernah menyinggung bahwa, dead won't kill evils.
"Never..!" bisiknya sinis pada dirinya sendiri.
Dan selama ini hanya satu kelemahannya yang ia sadari, yaitu bahwa ia mencari cinta. Cinta yang terenggut darinya setelah kepergian Enni. Dan ia terlena karenanya. Ray tidak butuh cinta. Tidak butuh.
"Tak butuh," ia berbisik lagi.
Ray yang sedang jatuh cinta. Akan mati. Mati.. YA..! MATI..!
Ray yang tidak jatuh cinta. Akan tetap dingin seperti es. Seperti pusaran air yang tetap ada selama laut masih membentangi bumi. Menyerap semua yang ada di sisinya, untuk kemudian menghantamkan mereka ke batu-batu karang. Tidak perduli berapa korban yang jatuh. Ray yang tidak jatuh cinta ada di kasur malam itu, dengan wanita pertama yang dapat diajaknya kencan saat itu juga.
Seekor singa yang terluka.. akan semakin buas. Matinya nanti saja.
***
Aku terbangun pagi ini dengan wajah cerah. Gadis itu masih terlelap di sebelahku dengan wajah penuh kepuasan. Akhirnya ia tidak jadi pulang juga. Kuakui memang, semula aku berniat baik padanya. tapi pada akhirnya, hanya 'Ray' yang ada di kepalaku. Menatap wajah Mutia, membuat rasa 'Ray'-ku melambung. Lagi-lagi hal yang kulakukan pertama kali adalah membuka jendela dengan tersenyum, menikmati sinar mentari pagi yang menerpaku.
"Dunia ini indah," pikirku dalam hati.
Air hujan masih menitik dari genting. Satu-satu.
Hal yang kedua yang kulakukan pagi itu, adalah melangkah ke samping tempat tidur, membelai pipi Mutia yang halus. Gadis itu terbangun dan tersenyum. Gejolak cinta terbayang di matanya. Indah sekali.
Hal yang ketiga, adalah tertawa. Aku sudah dapat tertawa lagi! Dan tawa yang keluar adalah milik seorang Ray.
Di ujung sana, seorang gadis meratap. Aku tahu itu.
Di alam sana, seorang gadis menjerit. Aku tahu itu.
Di dalam sini, seorang pemuda tertawa. Aku lebih tahu itu.
TAMAT