Lain-lain
Friday, 18 June 2010
Jealous guy
Pada dasarnya manusia memang lebih banyak dikuasai oleh egonya. Seperti ketika kukenal seorang gadis. Dan kutanyakan padanya,
"Kamu pernah make love.?"
"Hahaha, why do you want to know?" tanyanya geli.
"Nggak pa pa sih, cuma pengen dengar pandangan kamu aja."
"Hm..," dia bergumam sambil melirik nakal berusaha memutuskan bagaimana harus memainkan perannya. Dan akhirnya,
"Ok, bagaimana kalau kukatakan 'pernah'!!"
"Ha..ha..ha..ha..then, I wanna do it with you."
Kali ini dia benar tertawa geli, seraya menekankan kedua lengannya di perut.
"Kok kamu yakin aku bakal menyetujuinya?" Jawabnya setelah agak reda dengan tawanya.
"Iya, karena aku merasakannya aja. Aku merasa kita akan berakhir di sana."
"Di sana?? Di mana..??" teriaknya melotot, tapi masih tersisa senyum itu di ujung bibirnya.
Dan memang kami bergelut di ranjang malam itu. Tidak ada janji untuk melanjutkan hubungan sesudahnya, memang. Tapi hubungan itu berlanjut juga. Hanya karena kecocokkan antara kami. Berbulan bulan lewat. Banyak yang dibicarakan, juga semakin banyak yang disembunyikan. Karena semakin dekat hubungan kami, semakin bebas kami berinteraksi. Dan berarti pula semakin kami harus berusaha keras bertahan untuk tidak lepaskan rahasia tergelap kami. Aku tahu dia juga menutupinya.
Meyakini satu hal tentang kesamaan kami itu. Jika kukatakan kalau aku menikmati satu petualangan baru pada setiap harinya. Bagaimana mungkin dia tidak punya hasrat yang sama. Karena sebelumnya kukatakan bahwa dia memiliki begitu banyak kesamaan denganku. Aku tersenyum getir memikirkan kalimat berikutnya: Bagaimana kalau dia sama sepertiku, menikmati petualangan dengan seseorang yang baru dikenalnya.?
Mungkin ego yang satu inilah yang menyebabkan kenapa sebagian lelaki masih ngotot tentang keperawanan.
Yang membuatku lebih geli adalah, kecemburuan itu. Sebagaimana kukhayalkan, kalau petualanganku adalah biasa saja. Karena itu memang terjadi selamanya begitu, dan tidak lagi istimewa. Hanya satu pelepasan. Tanpa sedikitpun 'rasa' terlibat di sana. Mungkin sesekali aku beruntung menemukan seseorang yang menyenangkan seperti dirinya. Sedangkan dalam bayanganku, dia di sana. Dia mendesah begitu keras, dengan pinggul padatnya meliuk-liuk menggoda akal sehatku. Dan bagaimana juga ketika dia menjambak rambut cowo itu dan membenamkannya di dada montoknya. Memaksanya bermain lebih lama di sana.
Kenapa cewekku semalam tidak melakukan hal itu?
Juga, dengan pinggul kecilnya yang malas digerakkan? Bah! Dan yang paling kubenci adalah saat dia hanya meringis. Kenapa cuma meringis? Apakah begitu sulit untuk mendesah? Walau sepalsu apapun, itu akan lebih baik. Karena memang hanya akan kunikmati desah itu semalam saja.
Aku benar benar tidak puas dengan itu. Dan memikirkan kata 'tidak puas' sempat membuatku horny lagi.
"Berapa kali kamu melakukannya dengan cowokmu dalam seminggu?" tanyaku langsung tentang "the other guy"nya.
"Jarang," jawabnya singkat.
Kemudian kami hanya berdiam diri. Karena pernah kami ribut soal yang satu ini. Dan pertanyaan yang sama akan membawa masalah yang sama tentu saja.
Keesokannya, semua akan baik baik saja. Kembali kami akan tertawa dan bermesraan dengan kata- kata. Tapi kami tidak berkesempatan melakukannya lagi. Entahlah, hingga saat ini. Dengan aku tidak, juga jarang dengan cowoknya. Lantas siapa yang menempati ranjang panasnya itu?
Perbedaan umur antara kami berperan di sini. Mungkin ini juga yang membuatku tidak pada posisi terbaik untuk melakukan tawar menawar dengannya. Aku, bagaimanapun berniat menutup diaryku. Sedangkan dia mungkin malah merasa sedang berada di prime time.
"Apa yang kamu cari?"
"Nothing," jawabannya singkat, sekaligus membungkam mulutku.
"Kamu pernah berpikir untuk settle down dengan seorang cowo?"
"Nope." Kali ini dia plester mulutku dengan jawaban yang lebih singkat, cuek. Aku terdiam lama.
"Lantas, umur kamu kan sudah hampir 30?"
"Aku mau mencapai posisi puncak dalam karirku dulu, tak peduli berapa umurku."
Bah, kali ini seolah dia sumpalkan 1 gram cabe ijo dalam mulutku dan menutup kembali plester itu.
Aku meringis.
Aku senewen.
Bukan karena dugaan, tapi karena aku tahu sesuatu, di antara begitu banyak yang tidak kuketahui tentangnya. Dan sesuatu yang kuketahui itu menyakitkan. Terutama aku tak tahu bagaimana hubungan kami nyatanya bertahan juga. Mungkin seperti kataku tadi, itulah persamaan kami. Aku memang cerewet dan usil dengan menuliskannya sebagai satu cerita. Tapi kesamaan yang aku singgung tadi adalah kelapangan hati, karena dia tidak pernah menanyakan petualanganku. Lapang hati atau ketidak pedulian? Entahlah, bagiku mengetahui dapat membuat hati lebih lapang ketimbang menghitamkannya dengan dugaan-dugaan busuk.
Seperti saat ini, ketika aku mengetahui kalau dia melakukannya dengan seseorang. Apa yang sebenarnya dia cari? Yang 20 cm atau yang bengkok? Aku tahu, kepuasan jelas bukanlah yang terutama untuknya. Maka, aku akan berpikir sosok seperti apa yang dia cari? Tidak juga, pasti dia telah mencoba dengan hampir semua sosok terindah yang bisa dia dapatkan.
"Aku sudah mendapatkannya," jawabnya singkat.
"Siapa?"
"Ya itu, cowokku." Dia tersenyum ringan. Aku melotot.
"Lha, lantas kenapa dia hanya menempati satu pojokan dalam hatimu. Toh kamu juga selingkuh dari dia?"
"Manusia tidaklah sempurna, yang diberikan olehnya adalah perlindungan dan kedamaian. Sedangkan untuk hal-hal lainnya, aku masih harus mencarinya di luar sana."
Eh, tidak. Dia tidak mengatakannya begitu. Dia hanya mengatakan bahwa dia sudah menemukannya. Mungkin semacam guardian angel baginya. Dan dia berkomitmen dengan angelnya?:~. Maksudku dia tentu saja tidak mengatakan tentang "mencari di luar itu". Itu hanya semacam dugaan-dugaan yang menghitamkan hati tadi. Lupakan.
Dia mungkin membungkam mulutku untuk waktu yang lama. Hanya dengan dua kata itu "cowokku" dan "komitmen". Karena berikutnya aku akan membutuhkan waktu yang lama untuk mengetahui dari sisiku, jika dia membutuhkan perlindungan. Dan hanya dengan itu dia bersedia berkomitmen. Lantas, apa yang aku cari? Mungkin akan kujawab dengan cepat dan nyeleneh,
"Aku membutuhkan wanita yang sepertimu, yang setiap saat mendesahkan nada-nada terindah di telingaku. Yang membawaku ke puncak orgasme dalam jepitan pinggul indahmu. Dan kamu akan mondar mandir telanjang sesudahnya, hingga aku kembali tergoda untuk menyeretmu ke dalam pelukanku lagi."
Ha..ha..ha.. tapi tentu tidak sesederhana itu. Hidup memang tidak hanya dijalani di dalam kamar. Tapi, bukankah selalu bisa kudapatkan kedamaian dalam pelukannya? Bukankah akan sangat menyenangkan jika aku mengalami stress yang panjang di tempat kerjaku, dan aku dapat selalu kembali kepadanya, bersembunyi dalam dekapan serta menikmati orgasme terdasyat yang pasti meleburkan semua ketegangan syarafku.
Lantas kenapa hal seperti itu tidak dapat dimasukkan sebagai alasan?
Entahlah..aku hanya dapat menarik nafas panjang. Dia selalu benci jika kulakukan itu.
"Menarik nafas panjang di depanku, seolah aku ini adalah beban berat bagimu," begitu katanya.
Ok, begini. Lupakan soal sex itu. Aku juga tidak mau kalau dikatakan bahwa aku hanya menginginkan sex darinya. Bagaimana jika kukatakan kalau dia adalah sumber inspirasiku? Ha..ha..ha.. aku tidak mengatakannya dengan cengeng seperti umumnya orang merayu gadisnya kan?
You're my inspiration
"..heheuheuheu"
Aku memang selalu benci menggunakan ungkapan-ungkapan cengeng seperti itu. Tapi mungkin ungkapan seperti itu ada benarnya. Karena memang pernah kubuat karya-karya indah disaat-saat kebersamaan kami. Tapi itu juga bukan segalanya. Karena dia punya kehidupan sendiri. Seperti katanya, kalau dia ingin mencapai puncak kariernya. Jelas itu bermakna, bahwa dia tidak sudi hanya duduk di depanku dan menunggu aku mendapatkan inspirasi dari tubuh polosnya. Hueheuheuee..
Aku mungkin duduk merengut saat ini. Berpikir keras, mencari satu saja alasan kenapa kami harus bersatu. Tidak kudapatkan itu. Kalau kukatakan tubuh indahnya menggodaku, nyatanya pernah juga kukencani seorang instruktur fitness. Atau seorang model, bahkan seorang peragawati.
Hah!! 'Got it. Bagaimana kalau kukatakan kami so "click". Dalam setiap pembicaraan kami. Kami selalu bisa menemukan hal-hal lucu dan itu membuat kami tertawa terbahak-bahak. Juga hal-hal lainnya dalam pembicaraan kami, yang memang membuat kami lebih banyak menghabiskan waktu di telepon. Aku menyadarinya sekarang. Benar, dia lebih suka berbicara denganku ketimbang untuk bertemu. Benarkah?
"Neehh..!! Bukan itu!" sentakku pada diri sendiri dan aku akan duduk merengut lagi. Pusing aku dengan kelakuannya.
2 menit, 3 menit, kemudian aku tersenyum.
" Aku tahu!!"
Dia bagiku, atau aku baginya adalah seperti "Taman Impian Jaya Ancol".
Aku selalu bisa saja ke sana jika aku membutuhkan hiburan. Dan mungkin begitu juga dengan dia. Aku bisa datang ke sana kapan saja, 24 jam non stop. Di sana aku bisa makan Ronde panas di tengah malam. Dan banyak lagi hiburannya, nye..nye..nye..nye..nye
Tamat