Lain-lain
Monday, 28 June 2010
Supter cruentus divum - 3
Aku dan Dara diperintahkan untuk menunggu di ruang utama rumah itu yang sangat mewah dengan perabotan antik berharga mahal. Sebuah lampu kristal besar menambah keangkuhan ruangan itu seperti menggambarkan karakter pemiliknya. Dingin dan kosong terasa dalam hati. Entah apa yang sedang dirasakan Dara saat itu, namun ekspresi wajahnya kembali tegang dan penuh ketakutan ketika terdengar langkah-langkah seorang pria menuruni tangga tepat di depan kami. Tangan lembut milik Dara menggenggam tanganku makin erat ketika tuan rumah, sang 'boss' muncul dari atas tangga. Darahku berdesir ketika pertama kali menatap wajahnya. Ingin segera kusudahi drama ini agar aku dapat terbebas dari kecongkakan yang memuakkan ini.
Pria itu berusia di awal tiga puluh dan berwajah cukup tampan. Tubuhnya yang tinggi dibalut kemeja sutra dan pada jari dan lehernya melingkar cincin dan kalung emas yang mencolok. Pria ini terlihat amat pesolek dengan wajah dingin dan sadis. Pria itu berhenti selangkah di depanku, pandangannya seolah menelanjangiku ditambah seringai culas di wajahnya. Dia kemudian berjalan mengelilingiku memuaskan matanya dengan menjelajahi seluruh tubuhku. Kurasakan sepasang taringku mulai tumbuh dalam mulut ini dirangsang oleh kemarahan, akan tetapi masih dapat kukendalikan hingga kembali normal.
Puas denganku, pria itu melemparkan pandangannya ke arah Dara yang berdiri merapat kepadaku seperti seorang gadis kecil yang minta perlindungan. Pria itu menatapnya penuh hina dengan senyum sinis yang menistakan.
"Hmm, jadi kau sudah punya majikan baru sekarang," suaranya dingin menghardik Dara.
"Bisa kulihat bagaimana kau merasa dekat dengannya, bahkan bau kalian sama.. sama-sama bau pelacur!"
Mataku melotot ke arahnya penuh kegeraman, dia merasakan itu akan tetapi tidak dihiraukannya. Pria seperti dia terbiasa merasa memiliki semua wanita yang dikehendakinya.
"Hai, siapapun anda.. anda tidak punya hak apapun atas diri gadis ini. Dia sekarang bekerja untukku dan untuk itu segala sesuatu tentang dirinya adalah tanggung jawabku!" suaraku rupanya memancing amarahnya.
Segera dia menghampiriku dan menatapku penuh intimidasi sambil tangannya menyentuh daguku dengan kasar.
"Perempuan, siapa kamu hingga merasa bisa seenaknya mengambil sesuatu yang menjadi milikku?"
Dia mangangkat daguku penuh pelecehan, namun Famitha sang pemangsa masih ingin memainkan drama ini.
"Lepaskan tangan kotormu itu dari wajahku atau kau akan merasakan akibatnya!" ucapanku yang ditanggapinya dengan senyum penuh ejekan.
Tangannya dilepaskan dari daguku lalu barkata, "Aha, perempuan ini rupanya punya nyali juga."
"Jarang sekali perempuan berani menantangku seperti ini, sebutkan siapa namamu?"
"Namaku Famitha dan saya tidak peduli siapa anda, saya tidak bisa menerima perlakuan ini. Apabila anda menggunakan kekerasan, saya juga bisa melakukannya pada anda!"
Tiba-tiba terlintas sebuah ide di kepalaku. Sebuah rencana yang menarik buatku untuk memainkan drama ini. Menarik sekali buat seorang pemangsa seperti diriku berada dalam konflik manusia-manusia fana yang sedang dipenuhi hawa nafsu.
"Wah! Perempuan jalang ini mengancamku. Aha kalau begitu maafkan kelancanganku ini. Namaku Jimmy, orang mengenalku sebagai Papa Jim. Aku adalah pengusaha, dan gadis itu adalah salah satu asset perusahaanku. Ehm sebelum diambil alih olehmu," nada suaranya berubah.
Sepertinya dia juga sudah mulai menikmati drama ini. Jelas sekali dia menyembunyikan minat sesungguhnya. Sesuatu yang sudah diantisipasi olehku.
"Sepertinya aku mengerti maksudmu. Aku tahu kalau kau juga seprofesi denganku, dan oleh karena itu anggap saja suatu kehormatan apabila aku punya sebuah penawaran padamu malam ini."
"Hmm.. aku lebih senang begitu. Aku juga seorang pengusaha dan karena itu aku selalu terbuka untuk segala macam penawaran," aku tersenyum menebar pesona dan keanggunanku di hadapannya.
Pria berjulukan Papa Jim itu membalas senyumanku lalu berkata lembut, "Bagus kalau begitu, sekarang mari ikut aku. Kita bicarakan itu di ruang kerjaku supaya lebih nyaman."
Aku melepaskan genggaman tangan Dara sambil berkata, "Kamu tunggu saja di sini dan jangan takut karena aku tidak akan jauh darimu."
Ucapanku itu rupanya tidak dapat menenangkannya, karena Dara terlihat masih ketakutan.
Dia mendekatiku lalu berbisik dengan suara gemetar, "Ja.. jangan percaya padanya, Di.. dia terlalu licik dan dia pasti punya rencana jahat padamu juga.. aku.."
"Percaya padaku," sahutku menyela.
Dara tidak sanggup meneruskan lagi ucapannya karena pesonaku menyelimuti pandangannya hingga dia menuruti keinginanku.
Kutinggalkan dia masih duduk di atas sofa kulit itu penuh kecemasan dikelilingi tiga orang anak buah Papa Jim. Dara khawatir sesuatu yang buruk terjadi padaku, namun sebenarnya apa yang dapat menyakitiku? Sebagai mahluk abadi aku tidak memiliki pemangsa, sebaliknya aku merasa dapat menemukan semua kebutuhanku malam ini sekaligus.
Kebencianku pada pria-pria di sini semakin membangkitkan seleraku untuk segera menguras habis darah mereka. Akan tetapi sebelum itu aku memiliki rencana lain untuk memuaskan gairah seksualku yang bangkit seiring rasa dahagaku. Begitu aku selesai dengan mereka semua, maka Dara juga akan bebas dari ketakutan.
Menolong gadis malang itu adalah alasan utamaku ke sini. Aku pun mengikuti langkah pria gemuk itu menuju sebuah ruangan lain diikuti tatapan penuh hasrat dari tiga orang anak buahnya yang sudah terbius oleh pesona Famitha sang dewi malam. Aku mengikuti Raymond memasuki ruang kerjanya yang cukup luas dengan interior klasik yang terkesan amat mewah.
Ruangan itu didominasi warna emas dengan furniture yang semuanya hand-made. Aku kemudian duduk berhadapan dengannya dipisahkan meja kerja yang besar berbentuk oval yang amat artistik. Sayang sekali pemandangan pria gendut di seberang meja itu jauh dari kesan artistik dan klasik dari meja itu. Jaket pendek berbahan sifon yang kukenakan sengaja kulepas di hadapannya sebelum aku duduk. Kini tubuhku lebih terbuka dengan halter neck warna ungu yang membalut tubuhku hingga siluet payudaraku tercetak indah di permukaannya.
Pria gembrot yang biasa dipanggil Papa Jim itu menatapku dengan dingin namun penuh hasrat. Dia kemudian menyalakan rokok yang kemudian dihisapnya melalui filter panjangnya. Tatap matanya kini tertuju pada bagian dadaku yang menyembul membentuk pemandangan yang cukup membuat jakunnya turun naik beberapa kali.
"Nah Raymond, aku kemari bukan untuk kau jadikan tontonan kan? sudah saatnya kita bicarakan penawaranmu tadi," suaraku membuyarkan fantasy bejat yang sempat menggumpal di benaknya.
"Ehm, panggil aku Papa Jim," jawabnya menjengkelkan.
Aku berusaha tampil dengan feminitas manusia-ku walaupun rasa haus ini kian merongrong kerongkonganku yang makin terasa kering.
"Baiklah Papa Jim, waktuku terbatas jadi segera kita bicarakan penawaranmu atau aku segera membawa Dara pergi dari sini," jawabku sedikit ketus.
Pria gendut di depanku tersenyum culas lalu berkata sambil menyembulkan asap rokoknya.
"Aku heran, kenapa kamu tertarik mempekerjakan seorang pecandu seperti Dara?"
"Tentunya aku melihat potensi dalam dirinya yang bisa kukembangkan hingga mendatangkan keuntungan buatku."
"Ah potensi! Itulah persamaan kita berdua. Hanya saja kau melihat potensi dalam dirinya sedangkan aku hanya melihat potensi pasar saja."
"Sifat feminim yang sensitif itu tidak akan membuatmu berhasil dalam bisnis ini Famitha. Maafkan kelancanganku bila aku justru berpendapat bahwa wanita secantik kamu lebih bisa mendapat keuntungan apabila menjadi asset bisnis dibanding pemilik bisnis seperti ini."
Iblis dalam bathinku meronta mendengar ucapan itu. Ingin rasanya aku menarik keluar lidahnya hingga putus, namun kupendam jati diriku sebenarnya dan membiarkan sisi feminim-ku yang bereaksi. Pipiku memerah sebagai respon dari rasa marahku padanya. Kubiarkan sentimen kewanitaanku jelas terbaca olehnya hingga dia merasa superior dan berkuasa atas diriku.
"Ah Famitha, kau masih terlalu polos dalam bisnis ini. Sekali lagi maafkan kata-kataku tadi. Hmm.. sudahlah kini kita langsung ke pokok pembicaraan," Raymond kembali menghisap rokoknya lalu dihembuskan ke arahku sambil melanjutkan.
"Aku sebenarnya sudah tidak memerlukan gadis itu, tapi bagaimanapun dia adalah assetku, jadi kau tidak bisa mengambilnya begitu saja."
"Sebutkan harganya, berapapun aku sanggup bayar," jawabku.
Raymond menggeleng sambil tersenyum mengejek, "Heh, aku tidak perlu uangmu. Bisnisku jauh lebih besar dari bisnis eceran macam kamu dan asset-assetku berjumlah banyak. Simpan saja uangmu untuk membiayai rehabilitasi barang inferior yang sudah aus itu."
Kini makin jelas karakter pria rakus di depanku itu. Arogan, licik, penuh hawa nafsu dan gemar mempermainkan perasaan. Suatu kombinasi yang menjijikkan sekaligus merangsang hasratku untuk memangsanya. Aku berusaha menahan diri. Aku masih ingin memainkan peran fana ini lebih lama lagi. Nasibnya jelas berada di tanganku dan akan lebih menyenangkan mempermainkannya lebih dahulu.
"Jangan terus mempermainkan aku Papa Jim, Sebut saja keinginanmu dan akan kupenuhi asal Dara bisa keluar dari bisnis busukmu ini!"
"Heh.. kau memang tidak punya pilihan lain kecuali memenuhi tawaranku apabila masih ingin membawanya."
"Cukup! Apa yang kau inginkan dariku?"
Raymond sedikit memajukan posisi duduknya dan mendekatkan wajahnya ke arahku, kemudian berkata datar, "Tubuhmu."
Seketika hasratku berpesta karena permainanku mulai mencapai bagian yang menyenangkan.
"Aku juga." jawabku dalam hati karena libidoku meningkat seiring rasa haus darahku.
Aku sengaja berdiam diri dan memberi kesan terkejut.
"Kau memang licik Papa Jim, selain rakus kau juga gemar menaklukan setiap wanita yang kau inginkan."
"Hahaha, kau mulai mengerti kan hukum dari bisnis ini. Yang memiliki banyak, mendapatkan banyak. Yang menang mendapatkan semua, yang kalah mendapatkan nista," ucapnya penuh kemenangan.
"Kalau kau pikir dengan membawa Dara daripadaku kau sudah menang, maka aku akan memberikan kemenangan itu padamu, setelah aku mengambil semuanya dari padamu, kau akan keluar dari sini dengannya sebagai dua orang pelacur yang sudah tidak terpakai lagi."
Ucapan itu begitu tajam dan menyakiti perasaanku sebagai seorang wanita. Kini baru aku paham dualisme yang kuhadapi sebagai seorang Lestatian. Berinteraksi dengan manusia berarti merasakan sisa-sisa sifat natural manusia yang berada dalam diriku. Sisi luarku merasa terhina dan amat dinista oleh ucapan itu sementara naluriku sebagai pemangsa justru ter-stimulasi dengan ucapannya itu.
"Bagaimana?" ucapnya sambil mengetukkan jarinya di atas meja.
Aku pun segera bangkit diikuti pandangan Raymond yang penuh tanda tanya. Kelenjar-kelenjar hormon di tubuh mati ini bekerja secara abnormal membuat rangsangan sendiri bagi tubuhku hingga gelombang kenikmatan merayap di seluruh permukaan kulitku. Wajahku penuh ekspresi sensual hingga tatapan penuh selidik itu berubah menjadi pandangan penuh nafsu dan minat. Raymond menatap seperti ingin menelanku bulat-bulat hingga desah napasnya mulai memburu ketika aku, Famitha sang pemangsa merentangkan sayap pesona dan seksualitas di hadapannya.
"Baiklah Papa Jim, nikmati apa yang bisa kau nikmati dariku."
Senyuman culas itu kembali menghiasi wajah bulatnya yang menjengkelkan. Aku pun tersenyum karena bagiku itu adalah wajah orang mati. Tubuhku adalah khayalan semua lelaki dan napasku adalah hasrat dan nafsu para penyembah libido. Aku adalah ratu dan Raymond adalah budakku.
Tubuh semampai ini, lekuk kewanitaan ini, kaki yang jenjang, jemari yang lentik, payudara yang indah serta senyum di wajah bidadari ini adalah rantai dan pasung yang membelenggunya. Libido yang disembah lelaki busuk ini sudah memerintahkannya untuk takluk padaku. Sedangkan liang kewanitaanku menyebar aroma yang membius dan memancarkan gairah yang didambakan olehnya.
Bagai seekor kucing liar aku menaiki meja oval di depanku. Sepasang hak sepatuku bagai cakar tajam mencengkeram kuat di atasnya. Aku berjongkok hingga celana panjang ketat yang kukenakan menampilkan cetakan daerah pubisku di bagian selangkangan. Papa Jim menganga bagai seekor primata dari balik kerangkeng hawa nafsunya sendiri. Kudorong tubuh gembrot itu hingga tersandar di kursinya. Masih sempat dia tersenyum bak raja iblis dari singgasana neraka.
Jemari lentikku menari dengan lincah melepaskan kancing bajunya satu demi satu. Sangat cepat namun halus tanpa merusak kemeja mahalnya. Masih dalam posisi berjongkok di atas meja, kuulurkan kedua tanganku ke depan hingga tubuhku bertumpu pada sandaran kursinya, singgasana raja iblis itu. Pembuluh nadi di lehernya tenggelam oleh lapisan lemak yang membuatnya seperti seekor orangutan gemuk. Kujilati lehernya hingga dia kegelian, kujilati ke bagian dada hingga aroma parfum mahalnya tenggelam oleh peluh kenikmatan yang mengucur kian deras.
"Haah, nikmatnya," dia berkata pada dirinya sendiri.
Dia pasti puas dilayani oleh sang hawa birahi Famitha yang penuh pesona. Kukecup puting kasar yang ditumbuhi bulu-bulu dada itu. Pria berlemak ini dadanya lebih mirip payudara kendor daripada dada bidang yang maskulin. Kuhisap hingga dia merintih bagai seekor kambing yang sedang disembelih. Kering dan buruk! Aku kini dalam posisi merangkak mirip seekor rusa yang sedang minum di tepi sungai ketika kulepaskan ikat pinggangngya.
Tubuhku merangkak kian rendah ketika kubuka retsleting dan celana dalamnya. Kejantanan Papa Jim menyeruak dari balik celana dalam seolah tersenyum tepat di depan wajahku. Aroma laki-laki tercium kuat di hidungku dan liurku tidak tertahan memenuhi mulut mungil ini ketika penis yang tidak lebih besar dari sosis itu mencapai ereksi maksimalnya. Bibirku yang basah segera membungkusnya, mengulum dengan penuh selera hingga mulutku terasa penuh olehnya.
Aku merangkak di atas bagai seekor rusa, namun aku minum dari sungai hawa nafsu. Dapat kudengar suara deras alirannya ketika mulutku semakin kuat menghimpit dan menghisap kemaluan Papa Jim. Suara air yang deras itu berasal dari deru napas pria gendut yang terdengar seru bak kuda pacuan. Perut buncitnya memang cukup menghalangiku, namun tidak dapat menghalangi syahwat Papa Jim yang telah mencapai puncaknya. Rambutku dicengkeram kuat olehnya ketika lidahku berhasil membawanya ke surga.
"Ahh.. ahh..!" seru 'raja iblis' itu ketika lidah liar milikku berhasil membuatnya menjebol pintu surga.
Seketika mulutku dipenuhi cairan putih yang kental dari penis yang kini telah lunglai sehabis melakukan tugasnya. Aku pun kembali berjongkok seperti seekor burung nazar yang habis melahap bangkai. Kulepaskan senyuman dari bibir yang masih penuh lelehan sperma, kemudian menciumnya penuh hasrat. Lidah Papa Jim dengan rakus menjulur menjelajah ke dalam mulutku. Lidahku dikulumnya dengan rakus dan setelah puas dia mendorongku hingga terduduk di atas meja oval itu.
"Luar biasa, heh lumayan juga untuk seorang pelacur baru, hehehe.." dia tertawa seperti kambing, kering dan buruk.
Mulutnya masih megap-megap karena napasnya masih memburu. Kini dia tersenyum penuh kemenangan. Aku menyeringai dan menatapnya jijik karena di bibir dan kumisnya kini dipenuhi lelehan spermanya sendiri setelah menciumku. Papa Jim masih tersenyum menatapku sambil membersihkan sisa-sisa spermanya sendiri di sekitar mulutnya.
Bersambung . . . .