Pengorbanan seorang ibu - 1

Bagian pertama kisah ini dimulai ketika jam dua siang itu aku, Surti, meninggalkan pasar sambil membawa bungkusan isi dagangan batik, menuju ke hotel Melati. Pegawai hotel yang sudah mengenalku segera mengantar ke kamar Mas Jamal, langgananku pijat. Sudah tiga bulan ini selain jualan batik aku juga berusaha menambah penghasilan dengan menjadi juru pijat. Aku mengikuti jejak rekan seprofesi yang banyak bertebaran di pasar, terutama setelah beberapa bulan belakangan ini dagangan batik sepi. Kadang aku memijit ibu-ibu atau wanita pedagang yang capai, namun lebih banyak memijat pria. Seminggu dua atau tiga kali dipanggil, lumayanlah untuk menambah nafkah dua-tiga ratus ribu rupiah per bulan.

"Sore Mas. Sudah nunggu lama ya?" sapaku.

"Nggak, Mbak Surti. Baru juga selesai keliling. Duduk dulu Mbak, aku mandi sebentar" sahut Jamal, salesman keliling yang setiap mampir ke kota ini selalu memanggilku untuk memijatnya. Ini kali yang keempat aku dipanggilnya. Jamal masuk ke kamar mandi sementara aku duduk di kursi melepas penat. Kuseka sekitar leher yang berkeringat, kurapikan baju dan rok. Tak lama kemudian Jamal keluar berbalut handuk. Tinggi tubuhnya sekitar 170 cm lumayan kekar dan berotot.

"Saya permisi cuci tangan ya, Mas," pintaku sambil menuju ke kamar mandi.

"Silahkan, Mbak."

Selesai cuci tangan kudapati Jamal sudah tengkurap di ranjang tanpa melepas handuknya. Aku mendekat ke bagian kakinya.

"Tumben pakai handuk, Mas?" Tanyaku. Biasanya Jamal pakai celana pendek atau CD.

"Anu Mbak, celanaku kotor semua. Tiga hari keliling belum sempat nyuci Eee, biar lebih gampang mijatnya, naik ke ranjang aja, Mbak" kata Jamal.
Ranjangnya memang agak besar sehingga susah dapat memijat dengan enak kalau tidak naik. Aku naik ke ranjang dan berlutut di kiri Jamal. Mulai memijat telapak kaki, terus naik ke arah betis hingga paha. Ikatan handuk Jamal yang agak kencang menutupi paha agak menyulitkan memijat bagian itu.

"Maaf Mas, handuknya tolong dilonggarkan"
Jamal mengangkat perutnya dan membuka simpul handuknya sehingga handuk itu sekarang jadi longgar bahkan disisihkannya ke samping kiri-kanan hingga seperti selimut yang menutup pantat. Aku dapat merasakan di balik handuk itu tidak ada apa-apa lagi yang dikenakan Jamal. Jantungku, janda 40 tahunan ini, jadi berdegup agak keras. Tapi aku coba tidak berpikir buruk karena pernah tiga kali memijat Jamal dan pria itu selalu sopan. Agak hati-hati kupijat bagian paha dan pantatnya. Beberapa kali handuk itu tergeser sampai kadang-kadang tak mampu lagi menutupi. Beberapa kali pula kubetulkan letaknya namun sempat pula terlihat pantat Jamal, bahkan ceruk hitam di antara pangkal pahanya. Dadaku jadi berdesir. Bagian pantat ke bawah selesai, lalu kupijit bagian pinggang ke atas. Ia menggeser lututnya.

"Kelihatannya cape sekali, Mas?" sapaku mencairkan suasana diam.

"Iya Mbak. Sudah cape keliling, ordernya tambah sedikit aja. Dagangan sekarang lagi sepi Mbak," jawab Jamal.
"Dagangan batik, Mbak sendiri gimana?"

"Sama saja, Mas. Sepi banget. Kalau nggak sepi nggak bakalan saya jadi tukang pijit"

"Tapi pijitan Mbak enak lho"

"Ala Mas ini menghina. Saya kan cuma belajar dari teman-teman"

"Bener lo Mbak, kalau nggak masak aku jadi langganan Mbak Kalau malam sampai jam berapa, Mbak?"

"Saya nggak terima pijit malam Mas. Pokoknya sebelum maghrib sudah harus sampai rumah. Saya nggak mau anak-anak saya tahu pekerjaan sampingan ibunya. Mereka hanya tahu saya jualan batik di pasar"

"Ooo kenapa mesti malu, Mbak?"

"Saya sih nggak malu, tapi kasihan kan kalau anak-anak saya ketahuan teman-temannya punya ibu tukang pijit? Sudah, sekarang balik Mas"

Jamal memutar tubuhnya, tentu saja handuknya ikut terlibat pantatnya sehingga nampaklah bagian depannya yang polos. Beberapa saat sempat kulihat zakar Jamal yang mulai tegang. Buru-buru kubantu Jamal menutupinya, namun tetap saja tonjolan itu membentuk pemandangan yang bikin dadaku berdesir. Bagaimana pun aku tetap wanita yang beberapa tahun silam pernah melihat hal demikian pada diri suamiku yang telah tiada. Dadaku berdegup semakin cepat, tubuhku agak gemetar. Buru-buru kukonsentrasikan pijatan pada kaki Jamal.

"Maaf, Mbak, adikku nggak mau tidur. Kalau lagi dipijat wanita memang selalu gitu sih Mbak"

"Ah, nggak apa, Mas. Biasa laki-laki" Aku coba bergurau.
Pemandangan demikian buat tukang pijit perempuan memang bukan hal aneh lagi. Malah kadang beberapa pria yang sudah tak bisa menahan nafsu memegang tanganku dan menempelkan pada batangannya. Tapi dengan halus aku berusaha mengelak. Satu dua kali kuremas benda di balik celana dalam itu tapi setelah itu kulepaskan lagi.

"Waktu mijit apa pernah dijahilin laki-laki Mbak?"

"Kadang-kadang ada sih Mas laki-laki yang nakal"

"Nakal gimana, Mbak?"

"Yah, maunya tidak sekedar dipijit tapi juga mijit hihihi"

"Lalu Mbak juga mau hehehe..?"

"Ah, enggaklah Mas, nggak baik. Takut"

"Apa ada yang pernah maksa Mbak?"

"Iya sih, kasar sekali orang itu. Aku dipeluk-peluknya Ya aku marah dong"

"Apa dia sampai meng anu Mbak?"

"Nggak sampailah, Mas Saya buru-buru keluar kamar"

Pijitanku sampai ke paha Jamal. Mau tak mau bagian handuk yang menonjol itu selalu terpampang di depan mataku. Malah kadang tonjolan itu seperti sengaja digerak-gerakkan Jamal. Lebih-lebih sewaktu tanganku bergerak di sekitar paha dalamnya dan mengenai rambut-rambut lebat di situ.

"Ufhh maaf, ya Mbak terus terang aku jadi terangsang lo setiap dipijit Mbak, Adikku jadi bangun terus" Jamal berterus terang tapi dengan nada bergurau.
Hal ini membuatku tersenyum. Aku percaya pria ini tidak bakal berbuat macam-macam, toh sudah tiga kali kupijat tanpa kejadian luar biasa.

"Nggak apa, Mas. Asal bisa menahan diri saja. Eh, maaf" tanpa sengaja tanganku menyenggol telur dan sebagian penis Jamal sehingga pria itu mendesis sambil mengangkat pantat dan menegakkan adiknya sehingga handuknya tergelincir ke arah perut. Batang keras kaku itu segera saja membuat mataku agak terbelalak karena ukuran panjang dan besarnya yang agak luar biasa. Mungkin sekitar 20 cm dengan diameter 3 cm. Cepat kututup dengan handuk namun bayangan benda itu di benakku tak kunjung hilang.

"Kalau aku nggak bisa nahan diri gimana, Mbak?"

"Jangan bikin saya takut ah, Mas" Aku menekan dada Jamal dan mulai memijat ke arah pundak. Mata kami bertatapan dan Jamal tersenyum. Aku buru-buru menunduk.

"Sebenarnya Mbak nggak cocok jadi tukang pijit lo"

"Kan sudah saya bilang ini terpaksa Mas, karena dagang batik tambah sepi"

"Eh, Mbak, aku tanya serius nih, tapi maaf ya sebelumnya"

"Tanya apa Mas?"

"Kalau Mbak lagi mijit laki-laki yang sedang terangsang kayak aku gini, apa Mbak nggak ikut terangsang?"

"Ah eh oh Mas ini kok tanya itu sih"

"Aku serius pingin tahu lho Mbak Soalnya Mbak kan juga wanita yang masih butuh seks kan? Apalagi Mbak sudah menjanda beberapa tahun"

"Sudah ah Mas, jangan tanya soal itu"

"Jujur sajalah Mbak Aku nggak yakin Mbak sudah mati rasa sama seks. Iya kan?" Aku diam saja, cuma pipiku terasa panas. Pijatanku di bagian dada jadi melemah dan tanganku bergeser turun ke perut Jamal.

"Iya kan, Mbak?" Mendadak Jamal semakin berani dengan memegang kedua tanganku yang sedang memijit perutnya. Kuangkat kepala dan coba menentang tatapan Jamal sambil berusaha menarik tangannya. Tapi pegangan Jamal begitu kuat, jadi aku pilih diam.

"Akh aku malu Mas.."

"Malu kenapa Mbak?"

"Masak soal gituan dibicarakan sama Mas?"

"Nggak apa kan Mbak. Kita kan sudah sama-sama dewasa." Jamal tetap memegangi tangan. Aku diam saja dengan wajah menunduk. Pada dasarnya aku memang pemalu.

"Mbak lihat sini dong"

"Kenapa, Mas?"

"Terus terang nih ya, aku pingin memeluk Mbak, boleh nggak?"

Aku terjengak mendengar permintaan Jamal. Tak mampu bersuara. Perlahan Jamal bangun dan duduk mendekatiku, dipegangnya punggungku.
Katanya, "Sudah sejak pertama ketemu dulu aku ingin sekali memeluk. Boleh kan, Mbak?"
Tanpa menunggu jawaban, Jamal semakin kuat memeluk punggungku dan menarik ke arah dirinya. Aku yang dalam posisi bersedeku jadi kurang kuat bertahan sehingga mau tak mau tubuhku tertarik ke tubuh Jamal. Hanya tanganku saja yang coba menahan supaya tubuh tidak terhempas ke tubuh Jamal.

"Jangan, Mas" Tapi aku tak berdaya menahan ambruk tubuhku ketika Jamal kembali menjatuhkan tubuhnya ke ranjang sambil tetap memeluk. Tubuhku menimpa tubuhnya yang segera menguncikan pelukan ke tubuh sintalku tambah ketat. Wajah kami demikian dekat.

"Aku hanya ingin pelukan begini kok Mbak," Jamal berbisik dan ia memang tidak melakukan apa-apa lagi selain memeluk tubuhku di atasnya. Aku jadi bingung, mau berontak atau tidak?
"Ah, biarkan saja dulu, toh dia tidak melakukan apapun selain memeluk" pikirku sambil berusaha lebih santai. Toh aku pernah mengalami perlakukan lebih kasar dari ini. Aku pernah ditindih pria yang kupijat dan diremas-remas tetekku. Beberapa lagi malah memaksaku mengonani sampai pria itu terjelepak lemas setelah ejakulasi. Perlakuan Jamal yang sekarang ini hanya memelukku termasuk lembut. Entah kenapa dengan pria ini aku tak banyak memberontak. Apa karena aku diperlakukan dengan halus? Atau karena aku menyukai Jamal? Atau? Ah, tiba-tiba aku merasakan bibirku dingin karena menyentuh sesuatu. Kubuka mata dan ternyata Jamal tengah mencium bibirku.

Ufh aku segera menggelengkan kepala menghindari bibir Jamal. Namun bibir pria itu dengan gigih mengejar, bahkan tangan kanannya ikut membantu menahan kepalaku hingga tak bisa menggeleng lagi. Aku pilih mengatupkan mulut dan mata rapat-rapat ketika bibir Jamal menggerayangi. Lidah pria itu berupaya menerobos masuk, tapi kutahan dengan katupan gigi.

"Buka bibirnya dong, Mbak" bisik Jamal. Aku menggeleng sambil berusaha mendorong tubuhnya ke atas. Namun Jamal menahan tubuhku dengan kuat malah sekarang kakinya ikut melibat pahaku dan tubuhnya bangun mendorong tubuh kenyalku sampai terbalik. Sekarang gantian aku telentang sementara tubuh polos Jamal di atasku. Bibir Jamal terus memburu bibirku. Dengan posisi di bawah ruang gerakku semakin sempit. Kecapaian membuat perlawananku kendor.

"Jangan, Mas" bisikku lemah.

"Nggak apa-apa, Mbak, aku cuma ingin ciuman" Desis Jamal sambil bibirnya terus memaksa bibirku membuka, sementara lidahnya pun menembus katup gigiku. Rasa takut, malu, marah dan bingung melandaku. Aku takut Jamal memaksa, memperkosaku. Aku juga malu karena sebagai janda tidak seharusnya diperlakukan begini. Aku ingin marah namun tak berdaya dibanding tenaga Jamal. Aku jadi bingung mau bertindak apa. Dadaku yang membusung pun jadi sesak ditindih tubuh kekar Jamal. Dengan nafas agak memburu, aku akhirnya tak mampu lagi mempertahakan katupan gigi. Kubiarkan lidah Jamal menerobos menjilati langit-langit mulutku. Bibir kami berpagutan semakin ketat. Air liur dan ludah pun membanjir dan mau tak mau ada yang tertelan. Jamal benar-benar menggila dengan ciumannya. Sepuluh menit lebih ia mencium, menjilat, menyedot lidahku tanpa lepas. Akibatnya, aku jadi ikut terbawa iramanya. Aku yang janda ini lama-kelamaan ikut mengimbangi tingkah Jamal. Ya, aku yang melihat Jamal tidak melakukan hal lain kecuali mencium, akhirnya membalas ciuman hot Jamal.
"Ah, biarlah, toh Jamal hanya pingin berciuman. Tidak lebih" pikirku sambil lidahku memasuki rongga mulut Jamal, dan mendadak disedot dengan kuat oleh Jamal seperti hendak ditelan.aku jadi gelagapan.

Agak lama barulah Jamal melepaskan lidahku, lalu beralih menciumi sekujur wajahku. Dari mata, hidung, pipi, dahi, telinga, sekitar leher, dagu sampai akhirnya balik lagi ke bibir manisku. Selama setengah jam lebih aku hanya manda saja diciumi pria yang menurutku tidak berniat buruk ini. Ya, dibanding pria-pria lain yang pernah memaksaku, Jamal tergolong lembut. Dan entah kenapa, ada rasa suka dengannya. Apa karena kegantengannya, apa karena usianya yang masih muda, atau karena aku memang butuh sentuhan lelaki setelah beberapa tahun ini tak lagi kurasakan?

Bersambung . . . .