Lily Panther - Bintang-bintang pun berebut - 1

SANG JENDERAL

Aku diberitahu Om Lok untuk segera bersiap karena seorang pejabat akan datang, seperti bisa kalau pejabat baik itu sipil maupun militer, bisaanya beliau datang saat jam istirahat, biasa Sex After Lunch or Sex During Lunch.
Saat itu aku tak tahu dari mana seorang Jendral atau pejabat punya duit berlebih untuk membayarku, tak terlintas dalam benakku kalau sebenarnya mereka tidak membayar dari kantungnya sendiri, tapi atas service dari orang lain, kolega, konco KKN, rekanan bisnis atau lainnya. Baru belakangan setelah aku freelance aku tahu semua permainan para pejabat dan pengusaha, terlalu busuk untuk diikuti memang, tapi toh sedikit banyak aku ikutan menikmati manisnya era Orde Baru.

Tepat pukul 12 siang muncullah sang pejabat, dia diantar Om Lok, seorang Chinese lainnya dan Pak Sam, mereka bertiga berada di kamarku, setelah menemani sebentar kemudian Om Lok dan Chinese satunya meninggalkan kamar.
Meskipun aku tidak dikenalkan siapa beliau, tapi aku langsung tahu karena sebagai pejabat militer di Jatim dia sering muncul di Koran atau TV. Aku tahu namanya Pak Im, beliau lebih memilih berkarir di Sipil, sekarang masih menjabat sebagai pejabat tinggi di Jatim.

"Oh, ini toh primadona si Lok", begitu komentar Pak Im ketika melihatku yang waktu itu mengenakan gaun hijau berbelahan dada rendah sehingga tampak tonjolan bukit dadaku.
Aku menawari minuman pada mereka berdua, tentu mereka bisa menikmati tonjolan buah dadaku ketika aku membungkuk menyajikan minuman di meja.
Pak Im memintaku duduk di sampingnya setelah aku memberikan minuman, Pak Sam hanya memandangku dengan penuh arti.
"Jangan bilang Bapak kalau kita udah pernah, pura pura saja kita belum pernah kenal", kata Pak Sam pelan ketika Pak Im sedang ke kamar mandi, padahal Pak Sam sudah lebih dari tiga kali menikmati manisnya tubuhku, sehingga aku cukup akrab mengenalnya.
"Sekali-kali komandan merasakan sisa anak buahnya" lanjut Pak Sam dengan senyum nakal, ada perasaan sakit hati ketika Pak Sam menyatakan "sisa", sepertinya aku ini sesuatu yang habis dipakai lalu dibuang, tapi aku hanya tersenyum penuh pengertian.
Pak Sam segera pamit ketika Pak Im kembali duduk di sampingku.
"Pak, aku tinggal dulu, kalau ada perlu saya ada di lobby dengan si Lok, jangan lupa Pak, nanti kita ada rapat jam 2", Pak Sam mengingatkan seraya pamit meninggalkan kamarku.

Kini aku berdua dengan Pak Im, seorang komandan militer di Jatim saat itu, agak kikuk aku berhadapan dengan seorang pejabat yang berwibawa, apalagi dengan kumisnya yang tebal terlihat lebih galak dan tegas.
Mengingat waktu beliau tidak banyak, aku harus segera menyesuaikan tanpa bertele tele.
"Sepertinya Bapak tidak banyak waktu ya", kataku membuka percakapan
"He eh, memang timingnya nggak pas sih, tapi aku terpengaruh promosi dari Yongki dan si Lok itu, jadi kusempatkan saja, sekalian refreshing sebelum rapat nanti, biar segar dan tidak tegang saat rapat".

Aku memberanikan diri duduk di pangkuannya hingga dadaku tepat di depan beliau. Pak Im mencium pipi lalu bibirku sambil tangannya mulai meraba raba di dadaku, kubalas dengan elusan dan remasan di selangkangannya yang kurasakan mulai menegang, ciuman beliau mulai turun ke leher dan bahu, kuremas lebih kuat kejantanannya yang mengeras. Tanpa melepaskan bibirnya dari tubuhku Pak Im menarik turun resliting bajuku, dengan sedikit gigitan beliau menurunkan gaun yang kukenakan hingga turun ke perutku, tampaklah buah dadaku yang menantang tertutup bra.

Sedetik beliau memandangi buah dadaku, ada sorot mata kagum sebelum kepalanya ditanamkan di antara kedua bukit itu, tangan beliau dengan cekatan membuka kaitan bra di punggungku dan kembali giginya menarik penutup tubuhku, untuk kedua kalinya beliau memandang buah dadaku dengan penuh kekaguman, tapi lagi lagi tanpa bicara kepalanya mengusap usap kedua buah dadaku sambil meremas remas dengan gemas.

Bibir Pak Im mulai menyentuh putingku, kurasakan kegelian karena kumis beliau yang tebal serasa menggelitik di dadaku, Pak Im langsung menyedot putingku seperti seorang bayi yang menetek, sambil menyedot lidahnya bermain main di putingku, sementara tangannya tak pernah lepas dari kedua bukit itu. Aku mendesis perlahan di dekat telinganya, bergantian beliau mengulum dari satu puting ke puting lainnya, kuremas rambutnya dan kutekan kepalanya ke dadaku. Begitu rakus beliau terhadap buah dadaku, entah mungkin gemas atau mungkin sudah nafsu.

Kubuka kancing baju premannya dan melepaskannya, lalu kaos dalamnya hingga kini beliau hanya mengenakan celana dinas, terkagum aku memandang postur tubuhnya, begitu padat berisi, meski sudah 50 tahun tapi tetap menjaga kondisi tubuhnya, salut aku dibuatnya, apalagi dengan sedikit bulu di dadanya, sexy rasanya. Mungkin aku sudah terlalu sering melayani orang seusia papa-ku hingga mempengaruhi selera bercintaku terhadap orang seusia mereka. Aku berlutut di depannya, kulepas sepatu dan kaos kakinya, Pak Im hanya tersenyum melihat perbuatanku. Aku mulai membuka ikat pinggang dan reslitingnya, kutarik turun hingga terlepas, hanya celana dalam yang menempel di tubuhnya.

Kusimpan rapi pakaiannya di lemari, lalu aku kembali berlutut di antara kakinya, kugosok gosok dan kuremas kejantanannya yang mulai menegang dari balik celana dalam, kuciumi dadanya yang bidang berbulu, terasa dadanya turun naik, napasnya mulai menderu, aku tahu beliau sedang menahan birahi. Tangannya sudah meraba raba dadaku kembali, kukulum putingnya, beliau mulai meremas remas, jilatanku beralih turun ke perut, kukeluarkan kejantanannya dari sarangnya, lumayan besar dan tegang, kubelai, kuremas, kuciumi dan kukocok dengan tanganku, sesekali kujilat kepala kejantanannya, cairan bening sudah meleleh dari ujungnya, kulirik Pak Im mendesis sambil memperhatikanku menjilati kejantanannya, kulepas celana dalamnya, beliau sudah telanjang. Lidahku terus menjelajahi daerah kejantanannya, dari ujung hingga pangkal bahkan kantong bola, desisan Pak Im makin keras kudengar meski masih sayup.

Setelah hampir dua minggu bekerja, kegiatanku diluar menemani tamu adalah menonton film porno dan tuntutan sebagian besar tamuku, aku mulai terbisaa menikmati oral sex, baik terhadap tamuku maupun mereka terhadap aku, bahkan kudengar aku dikenal "supel" (bahasa jawanya: suka peli alias suka penis) karena permainanku terhadap penis yang membikin sebagian tamuku mendesah desah nikmat, meski belum se-piawai bintang film porno yang sering aku tonton. Begitu juga dengan Pak Im, mendapat permainanku di penisnya, desah kenikmatan keluar dari mulutnya, kombinasi antara jilatan dan kocokan tangan membuatnya merem melek, tangannya meremas remas rambutku sambil menekan kepalaku ke penisnya.

Pak Im memintaku berdiri di atasnya, kuturuti kemauannya, aku berdiri di atas kursi menghadap tempat beliau duduk, kukangkangi beliau atas kemauannya hingga vaginaku tepat didepan wajahnya, kakiku diangkatnya ke sandaran kursi, dengan begitu kepala Pak Im berada di selangkanganku, lidah Pak Im langsung mendarat di bibir vaginaku, menari nari di klitoris dan vagina, aku mendesah menikmati jilatan beliau, tanpa kusadari pinggulku bergoyang mengikuti iramanya, kurasakan jilatannya semakin menghebat menyapu vaginaku, aku menggeliat seakan menjepit kepala Pak Im di selangkanganku, kutekan pantatku ke mukanya hingga kepalanya tertekan ke sandaran kursi, goyangan pantatku semakin tak terkontrol sehingga vaginaku menyapu seluruh wajah Pak Im, Pak Jendral seperti menikmati sapuan vaginaku di wajahnya, aku semakin kegelian ketika kurasakan kumisnya ikutan menyapu daerah kewanitaanku, kuremas rambut beliau dan makin kutekankan pantatku ke wajahnya, aku sudah tak peduli lagi bahwa yang kukangkangi ini adalah seorang Jendral bintang dua yang begitu berkuasa dan dihormati, yang kupedulikan hanya seorang laki laki yang sedang mengharapkan kenikmatan seks dariku.

"Ouh.. oh.. udah ..udah Pak, ntar..ntar.. a.. a.. aku keluar", desahku.
Pak Im lalu menuntun dan merebahkanku di ranjang, tapi bukannya langsung memulai tapi kembali beliau berada di selangkanganku, kami saling menjilat dengan posisi 69, cukup lama dengan posisi itu hingga akhirnya Pak Im membalikkan tubuhku, beliau lalu menindih tubuhku, bibirnya kembali menyusuri leher dan dadaku, tercium aroma vagina ketika Pak Im melumat bibirku.

Kami masih saling melumat bibir ketika kusapukan penisnya di bibir vaginaku yang sudah basah, baik dari dalam maupun dari ludahnya, pelan pelan beliau mendorong masuk kejantanannya, makin lama makin dalam tertanam di liang kenikmatanku, tatapan matanya yang tajam tak pernah lepas dari expresi wajahku saat penisnya melesak hingga semua tertanam ke vaginaku, kulawan tatapan matanya dan terlihat expresi kenikmatan terpancar di wajahnya. Beliau mencium bibirku ketika mulai menarik dan mendorong kejantanannya di vaginaku, aku mendesis nikmat menerima kocokan ringannya, makin lama makin cepat keluar masuk, desahanku makin keras. Tubuh beliau menindih rapat tubuhku, berkali kali ciuman gemas mendarat di pipi dan bibirku, aku menggeliat ketika bibir dan lidah beliau menyusuri leher dan telingaku, kumis beliau terasa menggelitik daerah sensitive itu, sambil mempercepat kocokannya, antara geli dan nikmat bercampur menjadi satu.

Kujepitkan kakiku di pinggul beliau sambil memeluknya erat, kejantanannya makin dalam melesak di vaginaku.
"Aaahh.. aahh", jeritku ketika beliau menyodokku keras, kuremas rambut beliau, sodokan demi sodokan makin melambungkanku tinggi ke awan kenikmatan. Entahlah aku begitu menikmati cumbuan dan kocokan beliau, kini kedua kakiku sudah berada di pundak beliau, pinggulku sedikit terangkat, membuat Pak Im makin bebas dan dalam melesakkan kejantanannya ke vaginaku, dan tentu saja makin nikmat kurasakan.

Hampir duapuluh menit beliau mengocokku tapi belum ada tanda tanda orgasme, aku salut dengan fisik beliau mengingat usianya yang sudah sekitar 50-an, beliau begitu pintar mengatur irama kocokannya, sepertinya saat mau mencapai orgasme ditahan dengan menghentikan gerakan kocokannya beberapa detik kemudian kembali mengocok dengan cepat.

Kami berganti posisi, beliau mengocokku dari belakang, posisi doggy, sambil mengocok tangannya mengelus punggungku, kedua buah dadaku menggantung dan bergoyang dengan bebasnya seirama dengan kocokan Pak Im. Tanpa membuang waktu beliau langsung meraih kedua buah dadaku dan meremasnya, remasan lembut yang makin liar seliar kocokannya.

"Aaahh..ya pak..trus pak..truuss", desahku sekeras kocokannya yang makin menghebat.
Aku menggoyang pinggulku melawan gerakannya, dan effekknya sungguh hebat, vaginaku terasa teraduk aduk penis Pak Im, beliau makin dalam menancapkan penisnya, makin nikmat tentu saja. Goyanganku makin liar melawan kocokan Pak Im, dan tak lama kemudian tubuhku menegang, aku mencapai orgasme terlebih dahulu, vaginaku berdenyut kencang meremas remas kejantanan Pak Im, beliau tak menghentikan kocokannya justru lebih cepat. Aku menjerit keras dalam nikmat orgasme, sungguh nikmat dalam selingan kocokannya, tiba tiba kurasakan denyutan hebat dari penis Pak Im menghantam dinding vaginaku, seperti meriam yang menembakkan pelurunya secara beruntun, semprotan cairan sperma yang hangat menyirami vaginaku, kembali aku menjerit nikmat menerima denyutan demi denyutan, Pak Im meremas pantatku ketika menyemprotkan spermanya di vaginaku, kemudian tubuhnya melemas dan memelukku dari belakang, kami berdua jatuh telungkup dan Pak Im masih di atas punggungku, napas kami saling berpacu kencang, lalu kami berdua telentang dalam kelelahan yang indah.

Beberapa saat kami membisu, kubersihkan penis Pak Im dengan tissue yang ada di meja kemudian kutinggalkan beliau ke kamar mandi membersihkan diri dan vaginaku. Ketika aku kembali dengan berbalut handuk di tubuhku, ternyata Pak Im sudah berpakaian lengkap bersiap untuk pulang, jam sudah menunjukkan pukul satu lebih.

"Ly, aku pergi dulu, nanti setelah sekitar jam 5 kembali lagi, bersiaplah".
"Siap pak", jawabku manja sambil bergayut di lengannya
"Kamu nggemesin sih, cantik dan menggairahkan, terlalu sayang kalau cuma sekali, istirahat dulu dan jangan terima orang lagi sampai nanti, aku akan bicara sama si Lok", jawabnya sambil mengangkat daguku dan mencium bibirku.

Tak lama kemudian Om Lok, Pak Sam dan Chinese yang tadi masuk kamar, entah kapan Pak Im memanggil mereka, aku masih hanya berbalut handuk ketika menemani mereka berempat. Tak lama kemudian mereka keluar kamar, diluar dugaanku Pak Sam memberiku secarik kertas di genggamanku, setelah mereka pergi kubuka kertas tersebut dan sungguh mengagetkan aku.

"Aku akan kembali nanti setelah mengantar Bapak ke kantor, bersiaplah"
Kuremas dan kusobek kertas itu, "Memangnya aku piala bergilir yang bisa dipindah tangankan", pikirku, kutelepon Om Lok memprotes pengaturan ini, bukannya aku keberatan, tapi pengaturannya yang harus jelas. Setelah dijelaskan Om Lok dan negosiasi akhirnya dicapai kesepakatan sebagai harga satu paket, aku menerima meski dengan sedikit kecewa karena tidak semua sesuai dengan keinginanku.

Bersambung . . .