Namaku Elang - 2

Besoknya, pagi-pagi sekali Srida telepon ke HP-ku. Tanpa 'say hello' dan sejenisnya, dia hanya berkata; "Gila kamu, Lang. Aku orgasme dua kali." Telepon ditutup sebelum aku menjawab. Aku hanya tersenyum puas, lalu kembali terlelap.

Pukul sebelas siang aku dan Venus sedang di Gani Arta, sebuah pabrik yang banyak menjual bahan brokat untuk kebaya. Untuk pakaian seragam sanak famili di pernikahan kami nanti. Sedang asyik-asyiknya Venus memilih bahan, HP-ku yang dititipkan kepadanya berbunyi. Dia mengangkatnya.

"Hallo.. Elang? Sebentar ya. Maaf, dari siapa ini? Srida. Sebentar."
Venus memberikan telepon kepadaku. Dengan segera aku meraihnya, dan berbicara kepada Srida. "Hi. How are you?"
"Baik. Tadi itu Venus ya?" Srida bertanya, agak kaku.
"Bukan." Berbohong.
"Dimana kamu?"
"Sedang menuju ke Jakarta, numpang sama Mas Bambang."
"Oh."
"Kamu dimana?"
"Di Ujung Berung."
"Ngapain?"
"Jalan-jalan saja." Bohong lagi.
"Gila. Masa aku sudah kangen sama kamu."
"Sama."
"Ntar ketemu ya di Jakarta."
"He eh."
Telepon pun ditutup. Aku baru sadar sorot mata curiga dari Venus. "Siapa?"
"Teman. Yang kemarin ketemu waktu reuni."
"Namanya?"
"Tadi bilangnya siapa?"
"Sri apa gitu."
"Srida." Aku tidak dapat berbohong lagi.
"Perasaan tidak ada anak jurusan kita dulu yang bernama Srida."
"Anak Inggris. Temennya Ilen", kataku.
Venus kenal Ilen dan pernah kuajak ke rumahnya.
"Oh.." Venus tampaknya ingat sesuatu.
"Bukannya dia cewek yang dulu kamu taksir?"
"Iya."
"Ngapain dia telepon kamu?" Curiga hadir lagi di tatapan Venus.
"Iseng saja. Dia ternyata kerja di Jakarta juga. Kemarin kebetulan ketemu. Emh, jangan curiga gitu dong." Kurengkuh Venus dalam pelukan.
"Siapa yang curiga? Tapi awas saja ya macem-macem."
"Ngancem nih?" Ledekku.
"Iya."
"Don't worry, she got a boyfriend." Lalu sambil mengecup pipinya, aku berbisik,
"Aku cuma cinta kamu, Venus-ku."
Venus pun 'normal' lagi.

Sorenya setelah mengantar Venus ke stasiun KA (dia mesti kerja besok, di sebuah hotel yang sangat terkenal di Jakarta. Sedang aku masih dinas di Bandung). Saat itu khan sedang Piala Dunia. TV-ku khan mengadakan siaran langsung, caf to caf di hotel Horison, aku berencana ke rumah Ilen. Dengan Nokia 6110, kuhubungi dia.
"Hai. Aku ke sana, ya."
"Abang? Kirain sudah tidak mau ke sini. Mentang-mentang."
"Apaan? Aku ke sana ya."
"Gimana Srida?"
"Cuma teman kok."
"Venus?"
"Barusan aku nganterin dia pulang. Aku belum, masih ada acara di sini. Piala dunia di Horison."
"Boleh dong ikutan. Nginep di sana?"
"Iya."
Sesampai di rumah Ilen, cewek mungil tapi berdada cukup besar itu langsung memelukku erat dan menarikku ke sudut ruang tamunya.
"Hai. Tadi aku ditelepon Srida. Gila, sekarang dia jatuh cinta sama kamu, Bro."
"Cerita apa dia?"
"Nggak. Dia cuma tanya-tanya soal kamu."
"Kamu cerita apa saja?"
"Aku bilang kamu sudah tunangan November kemarin."
"Apaa?" Nyaris tersedak aku.
"Lhoo? Ada yang salah?"
"Ileen. Ember kamu ya?"
"Gimana sih? Abang khan benar sudah tunangan dengan Venus. Ditanya tadi katanya cuma teman. Si Srida pun demikian. Katanya teman."
"Lalu. Ah! Kamu tidak tahu masalahnya."
"Apaan sih? Bingung aku." Ilen terdiam sejenak,
"Oooh. Abang, Abang. Jangan main api."
"Lalu, apa kata Srida. Waktu kamu bilang aku sudah tunangan?"
"Tidak ada. Tapi aku bilang sama dia kamu mau ke sini. Dia bilang entar saja dia telepon lagi."
"Mati aku."
"Emangnya ada apa sih?"

Maka aku pun bercerita pada Ilen. Kejadian yang terjadi sejak pulang dari rumahnya kemarin. Memang, aku terbiasa berterus terang pada Ilen. Sejak kuliah dulu kami sering berbagi kisah dan isi hati. Ilen memandangku tidak percaya. Terkadang dia tertawa, terkadang tersenyum. Terkadang dia mencubitku, terkadang cekikikan. Terkadang pun menelan ludahnya.
"Gila kamu, Bang!" komentarnya setelah ceritaku selesai.
"Yah, mau dibilang apa?"
"Jadi benar? Dia sampai orgasme dua kali?"
"Katanya sih."
"Gila. Gila. Gila." Ilen menggeleng kepalanya, kembali menelan ludah.
Kusadari suaranya berubah agak serak.
"Kamu terpengaruh, Len?" Aku tersenyum mesum.
"Mau nyobain?"
Dan cubitannya yang menyakitkan pun hinggap di lenganku.
Telepon dari ruang keluarganya berbunyi. Ilen segera ke sana, karena tidak ada orang di rumahnya.
Tak lama kemudian dia sudah ada di sampingku, sambil tersenyum-senyum. "Srida?" Tebakku.
"He eh."
"Apa katanya?"
"Waktu kubilang kamu ada di sini. Dia cuma bilang katakan kepada Elang, jangan macem-macem sama aku. Dia marah Bang. Dan, kedengaran suaranya serak. Mungkin dia menangis."
"Wah gawat, Len."
"Iya. Dia bilang juga kalau kamu jangan lagi menghubungi dia."
"Kenapa tadi tidak kau panggil aku?"
"Srida melarangku."
Aku segera menghubungi nomor teleponnya lewat handphone. Terdengar tanda telepon telah tersambung, namun segera saja busy tone. Tampaknya Srida melihat dari CLI kalau aku yang menelepon, dia tidak mau menyambutnya. Ilen memandangku dengan pandangan menyesal.
"Sudahlah. Nanti saja aku telepon lagi."
Teleponku berbunyi. Aku mengharapkan itu Srida. Tapi bukan, dari Didot, sobatku yang jaga di Horison. Dia memintaku untuk segera kembali ke hotel. Ada yang harus dicek ulang untuk acara live Piala Dunia itu.
"Len. Aku harus ke Horison. Jadi mau ikut?"
"Boleh. Tapi rumah nggak ada orang nih?"

Pas saat itu, bel pintu berbunyi. Ilen membukakan pintu. Ternyata kakak dan iparnya yang datang. Maka Ilen pun bisa pergi denganku. Karena aku lumayan akrab dengan keluarga Ilen, Ilen diijinkan untuk menginap di Horison. Tahu sendiri, piala dunia khan siarannya malam. Dengan segera Ilen mempersiapkan dirinya. Saat hendak mandi, kularang dia. Nanti saja di hotel.

Dalam perjalanan dengan taksi ke hotel Ilen dan aku banyak diam. Sesekali dia tampak tersenyum, kalau kutanya dia hanya bilang ingat soalku dan Srida di dalam taksi. Beberapa kali juga kucoba hubungi Srida di telepon. Kali ini teleponnya dimatikan. Hanya ada voice mail saja. Aku ogah kalau harus ngomong dengan mesin.

Di hotel, kukenalkan Didot dengan Ilen. Kusarankan Didot untuk pindah ke kamarku, sedang Ilen menggunakan kamarnya. Didot protes, dengan berbisik dia bilang dia ada kenal cewek LPK Ariyanti (lumayan terkenal dengan perkinya). Ya sudah, aku akhirnya mengajak Ilen untuk memesan kamar lagi. Tapi Ilen bilang tidak perlu, dia biar sekamar denganku. Aku memandangnya sejenak, meyakinkannya. Dia cuma mengangguk, dan bilang, "Aku percaya kamu, Lang." Didot mengedipkan matanya kepadaku. Dasar otak ngeres. Dia emang gila sih, pacarnya bejibun, padahal anaknya sudah SMA. Bahkan ada pacarnya yang lebih muda dari anaknya di Jakarta sana. Itulah gawatnya kalau suami istri pisah kota. Istri Kang Didot ini kerja di Telkom Bandung. Ngelantur ya? Aku lanjutkan.

Sore sampai malam, kami hanya duduk-duduk berempat. Gaetan Didot sudah ada di situ. Lumayan cakep dan seksi. Namanya Sarita. Rupanya si Didot mengiming-imingi gadis ini dengan janji akan mengenalkannya pada Raam Punjabi. Aku hanya tertawa dalam hati. Lagu lama karyawan stasiun TV, ya itu. Boro-boro kenalin dengan bos Multivion itu, akhir-akhirnya di'jual' ke seorang manajer di kantorku yang botak dan bejat (halo ED! Masih belagak seks maniac?).

Malam setelah acara 'live' selesai dan beres mengemaskan barang-barang yang mesti dibawa pulang ke Jakarta, kami kembali ke kamar masing-masing. Si Didot menawarkan viagra kepadaku. (Waktu itu belum banyak yang jual di Indonesia. Dia dapat dari seorang boss besar suatu perusahaan terkenal di Indonesia yang orangnya suka nyanyi. Didot is (kalau malem) one of his bodyguard). Aku cuma bilang, sinting. Ilen ini adikku. Si Didot cuma nyengir-nyengir saja sambil pesan kalau terdengar erangan dan teriakan dari sebelah kamarku, mohon dimaklumi saja. Dan benar. Tidak sampai sepuluh menit di dalam kamar, Ilen dan aku sudah mendengar gedubrak-gedubruk dari kamar sebelah. Dinding kamarnya tipis amat hotel ini. Ilen hanya memandangku, membelalakan matanya, dan tersenyum kepadaku.
"Hush! Anak kecil." Aku mendelik.
Seperti sudah kuceritakan tentang Ilen ini, anaknya memang mungil. Tingginya paling-paling 155 cm, kulitnya kuning langsat khas Sunda. Wajahnya manis. Enno Lerian kalau gede mirip dia deh. Tidak ada yang istimewa, kecuali dadanya yang 'ruar biasa'!
"Enak saja anak kecil."
"Emang sudah gede?"
"Sudah dong! Nggak lihat nih?" Dia menunjuk tubuhnya yang bersalut kaos Esprit hitam, tepat ke arah dadanya.
"Lihat, lihat. Tapi khan itu bisa dibuat-buat. Jangan-jangan spons kamu sumpalin di situ."
"Kurang asem."
Sementara itu dari kamar sebelah terdengar gerungnya Didot dan erangan Sarita. Gila!
"Tambah seru tuh, Bang." Cekikikan Ilen terdengar.
"Sudah jangan didengerin. Entar.."
"Apa? Kepengin?"
"Ileen. Bocor ya? Sana mandi. Cuci kepalamu biar dingin."
"Iya deh. Aku mandi dulu."
Emang kemeriahan di pertandingan tadi bikin keringat lengket ke badan. Ilen ke kamar mandi. Sementara aku menghempaskan tubuh ke spring bed. Ada dua tempat tidur di situ. Aku mengambil yang kanan. Lalu kuraih HP-ku. Mencoba menghubungi Srida. Kali ini ada jawaban.
"Hallo."
"Heeh." Jawaban dari sana ogah-ogahan. Suaranya serak. Mungkin sisa tangis. "Srida. Kenapa teleponnya tidak aktif terus?"
"Aku tidur."
"Emh. Kamu marah ya?"
"Tidak. Apa hakku buat marah?"
"Aku mau jujur deh. Tapi tidak bisa ditelepon. Bagaimana kalau Selasa sore kamu jemput aku di Gambir?"
"Nggak deh. Aku tidak mau ketemu kamu."

Telepon pun ditutupnya. Aku mangkel, marah. Kucoba telepon lagi, tapi setiap masuk terdengar busy tone. Srida benar-benar tak ingin dihubungi. Mangkelku menjadi-jadi. Di ruang sebelah masih terdengar lenguhan dan jeritan, juga bunyi ranjang yang memukul-mukul dinding. Didot memang 'gelo'. Tapi aku tidak tertarik untuk menikmati suara-suara aneh di sebelah. Biarin saja dia bertempur. Perlahan-lahan mataku terpejam. Sesaat kemudian aku merasa telah tertidur. Entah karena capek fisik atau lelah pikiran. Sebuah sentuhan ringan membangunkan lelapku.

"Bang. Bang. Kok malah tidur? Nggak mandi dulu?" Ilen membangunkanku. Tubuhnya terbalut bathrobe yang kegedean. Seger banget kelihatannya.
"Eh. Aku ketiduran." Melirik jamku, sudah tiga puluh menit berlalu.
"Mandi sana. Kok wajahmu suntuk gitu?"
"Nggak. Cuma tadi aku telepon Srida, dia benar-benar memutuskan hubungan kami."
"Sudah. Sekarang gantian, mandi! Guyur kepala dengan air dingin. Hilangkan cerita Srida dari otakmu."

Ilen melemparkan handuknya kepadaku. Lalu gadis itu menuju meja rias. Duduk di kursi kecil di depannya. Menatap kaca. Ada sesuatu yang lain yang kutangkap di wajah yang terpantul di sana. Ilen menyilangkan kakinya, selintas terlihat pahanya yang putih mulus. Otakku menjadi tegang. Selirikan kutahu dia sempat menangkap pandanganku. Tapi dia tidak bereaksi. Aku segera berdiri dari tempat tidur. Menyilangkan handuk ke pinggangku, sambil melepaskan 501 yang kupakai. Setelah itu kubuka kemeja dengan lambang stasiun TV-ku. Terpampang jelaslah dadaku yang bidang dengan bulu-bulu di sana, dan pahaku yang kekar dan penuh bulu pula. Bulu-bulu hitam itu tambah kontras dengan kulitku yang bisa dikatakan putih kecoklatan. Saat melangkah ke kamar mandi, kusadari tatapan mata Ilen. Menelan ludah.

"Kagum Len?" Godaku.
Dia hanya memonyongkan bibirnya. Matanya menyipit. Dengan gerak seperti kilat kusambar bibirnya dengan bibirku.
"Gotcha!" Teriakku setelah menarik kepalaku. dia menyumpah-nyumpah.
"Sinting!"
Aku berlari ke kamar mandi. Saat aku gosok gigi ada bau samar di sekitar wastafel. Bau yang khas. Apa ya? Tapi aku tak ambil pusing. Langsung aku menuju ke bath tub, tapi tidak mengisi airnya. Aku mau shower-an saja. Sedang asyik-asyiknya aku ber-shower ria. Terdengar ketukan di pintu kamar mandi yang terkunci.
"Bang. Sorry. Kebelet pipis nih." Terdengar suara Ilen. "Bentar." Aku mengecilkan shower.
"Tidak kuat nih."
"Tapi aku bugil, Len. Gila kamu!"
"Gini deh, Abang buka pintu, lalu masuk kembali ke dalam bath tub. Tutup tirainya. Aku sebentar saja. benar nih. Nggak kuat lagi." Ilen berteriak-teriak, "Aduuh..!"
"Oke, oke. Bentar."

Meloncat aku dari dalam bath tub, membuka kunci, lalu kembali ke sana. Kali ini kututup rapat-rapat tirai plastik yang berwarna putih. Agak terbayang sih, tapi tidak kelihatan banget dari luar. Ilen masuk, kuperhatikan masih memakai bathrobe-nya. Dia duduk di toilet. Langsung terdengar suara seperti gorengan dimasukkan ke dalam minyak panas. Dia tidak mengada-ada. Benar-benar ingin pipis. Kuusir lagi pikiran anehku. Lalu menghidupkan lagi pancurannya. Membilas sisa-sisa busa sabun cair. Air hangat yang mengucur, menghantam lembut kepala, tubuh dan kakiku. Enak banget. Terutama di sela-sela selangkanganku. Ugh! Sensasi itu terus terasa. Air yang mengalir itu membuat kejantananku tiba-tiba terbangun. Tanpa sadar tanganku menyentuh si buyung. Ugh! Tiba-tiba aku tersadar. Bau tadi! Bau yang tercium samar di dekat wastafel tadi. Itu bau harum kewanitaan. Hah! Ilen? Dia tadi masturbasi? Mungkin. Mungkin dia tidak tahan mendengar suara dari kamar sebelah. Nakal ya, Ilen sekarang. Pasti dia duduk di toilet, memain-mainkan kelembutannya dengan tangan. Mengerang dan mengejang sendirian. Gadis nliar! Membayangkan itu, adikku tambah mengeras. Ugh! Sekonyong-konyong tirai disibakkan. Aku melompat, kaget. Tanganku kulepaskan sambil membalikkan badan. Di hadapanku berdiri Ilen. Polos. Bathrobe-nya diletakkan di wastafel. Mata gadis itu menatap kejantananku. Reflek aku menutupinya. Tapi kepalanya yang indah itu masih muncul dari sela-sela jemariku. Ilen menggerakkan wajahnya, menyusuri tubuhku. Ke atas, ke perut, dada, dan wajahku. Tersenyum memandangku. Sebuah senyum yang tak biasa kuterima darinya.

Bersambung . . . . .