Mistis cinta di pulau terpencil - 1

Hembusan angin laut datang silih berganti meninggalkan bunyi mencicit pada ruas tali temali dan tiang utama diatap kapal, yang diatasnya bertengger lampu berwarna merah dan hijau sebagai pemandu diwaktu malam. Alun yang datang dalam gulungan besar, laksana permadani raksasa berwarna biru, menggulung, mengunung dan seolah mau menelan kapal kayu yang sudah renta termakan asinnya air laut.

Bunyi mesinnya terdengar begitu ringkih, apalagi ketika haluan kapal mesti menyeruak, menembus gulungan alun yang memutar tiada henti dan menyisakan buih putih ketika memecah. Dilangit tak ada camar, awan hitam menggelantung menyisakan ujung runcing di kejauhan badai sedang berputar tepat dijalur yang mesti kami lalui agar dapat mancapai pantai Padang.

Para penumpang kelihatannya berusaha agar tertidur dan dapat sejenak melupakan bayangan ombak serta gelombang maupun angin badai yang sedang bergolak dan menakutkan. Hanya bunyi ombak yang tak henti mendesis ketika pecah dilambung kapal dan bunyi deritan panjang yang keluar dari persendian kapal kayu, yang sudah kering termakan umur. Bunyi deritan itu seperti sudah kukenal dengan baik.

"Dimana? Aku toh bukan pelaut ?"

Aku membatin dalam hati sambil terus memusatkan perhatian, menyimak derit demi derit disetiap alun yang datang dan pergi. Oh Tuhan. Betul, betul sekali, bunyi deritan itu sangat mirip dengan bunyi deritnya ranjang kayu di Mentawai, yang kering tanpa pelicin.

Oh.. Bunyi itu. Bunyi itu. Bunyi yang selalu mengiringi setiap gerak dan geliat kami, tatkala berpacu menikmati dan mereguk madu birahi yang terlarang.

"Upik.. Tolong lah. Aku sudah tak tahan lagi"

Pak Sitor menghiba sambil memegang pangkal kemaluannya yang panjang, hitam, dan berbentuk aneh. Kemaluannya sangat mirip ular cobra, kepalanya runcing mengkilat, makin ketengah makin besar dan melebar, tetapi dibagian pangkalnya kembali mengecil, keras, hitam dan kaku. Aku bergidik, merinding, membayangkan penis sebesar itu akan menusuk serta mengocok habis kemaluanku yang masih sempit karena belum pernah melahirkan dan masih dalam hitungan lima bulan semenjak diperawani suamiku.

"Pak saya takut. Jangan dulu dimasukin Pak.."

Aku mencoba menghindar ketika Pak Sitor hampir berhasil menindihku. Saat itu kami sudah telanjang bulat, aku sudah orgasme berkali kali karena ternyata Pak Sitor walaupun sudah berusia kepala empat, namun masih sangat lihai mempermainkan jari jemari serta menyedot dan memelintir kemaluanku dengan ujung lidahnya.

Diluar hujan laknat masih menderu mencurahkan air dari langit, hujan ini lah yang membuat Pak Sitor tidak bisa pulang kerumahnya, setelah menghantar aku dengan ojeknya tadi sore.

"Pak. Sebaiknya bapak tidur disini saja, sangat bahaya kalau mesti naik motor dalam keadaan hujan dan gelap begini"

Memang akulah yang menawarkan hal itu kepada Pak Sitor, aku berfikir toh dia sudah demikian akrab dan dekat dengan aku. Tiap pagi Pak Sitor menjemputku dirumah kayu ini dan mengantarkan aku ketempat kerja dengan ojeknya. Tidak pernah sekalipun dia terlambat menjemputku sehabis jam kantor, Teng... Jam empat dia sudah siap dengan motor bebeknya. Tidak ada pilihan lain selain mempergunakan ojek Pak Sitor sebagai sarana transportasi dari rumah kekantorku. Ini adalah kepulauan yang masih terbelakang, masih serba terbatas dan masih sarat dengan mistis.

"Iyalah pik.. Tapi... Dia kelihatan sedikit ragu ragu.
"Jangan kawatir Pak, aku tidur dikamar dan bapak tidur diluar, nanti akan kubentangkan kasur"

Tiba tiba listrik padam, gelap menerpa disekeliling kami.

"Wah upik. Kau lihat tak, tadi korek apiku kutarok dimana ya"
"Tidak Pak.. Saya nggak lihat. Waduh gelap sekali Pak"
"Oup"

Tiba tiba kami bertubrukan, secara reflek Pak Sitor memelukku dan aku marasakan ujung payudaraku menepel erat didadanya.

"Eeh... Maaf, Upik. Aku kaget"
"Tak apa apa Pak"

Untunglah keadaan gelap gulita sehingga Pak Sitor tak tahu kalau wajahku memerah karena jengah bercampur gelisah. Tubrukan tadi telah membangkitkan rasa aneh di hatiku, rasa yang hanya pernah aku alami ketika suamiku memeluk dan membelai payudaraku. Bulu bulu halus ditengkukku tiba tiba merinding, diikuti debaran jantung yang meninggi dan kerongkongan seperti tersedak karena dadaku terasa menyesak serta nafas jadi terengah engah.

"Tidak. Tidak.. Ini tidak boleh terjadi.."

Aku bergumam meyakinkan diri sendiri. Pak Sitor adalah tukang ojek yang terlebih dahulu kenal dengan suamiku, ketika beberapa bulan lalu dia berada disini sebelum berangkat ke Australia untuk tugas belajar.

"Dik. Sini aku kenalkan dengan Pak Sitor. Yang kemaren motornya kupinjam dan kita pakai jalan jalan"

Demikian suamiku memperkenalkan Pak Sitor kepadaku. Tidak ada yang istimewa dari penampilan Pak Sitor, kulitnya hitam tebakar matahari pulau yang selalu menyengat. Hanya saja badannya masih kelihatan kekar walaupun usianya hampir sebaya dengan ayahku. Pangkal lengannya padat berisi, dadanya bidang dan tegap, sementara wajahnya membayangkan watak keras dan pantang menyerah yang khas dimiliki orang orang dari Sumatera Utara. Belakangan baru aku tahu kalau Pak Sitor itu dulunya adalah kuli angkat barang di Teluk Bayur, pantaslah tubuhnya kekar dan tegap.

"Upik...."

Aku menarik tanganku dari genggaman Pak Sitor yang agak kasar dan keras, ketika kami bersalaman.

"Oh. Ini ya istri kau, Uda!"

Pak Sitor selalu menyebut dan memanggil suamiku dengan sebutan uda. Aku tahu itu panggilan yang keliru, karena uda adalah sama dengan panggilan Mas kalau di Jawa, sedangkan Pak Sitor pantasnya malah kami panggil ayah.

"Bah. Tak usah kau persoalkan kan lah masalah itu, aku kalau ketemu orang Jawa selalu kupanggil Mas. Tak ada yang protes"

Demikian sanggahan Pak Sitor ketika kami berusaha memberitahu dia mengenai ketidak tepatan panggilan uda kepada suamiku.

"Waduh kasian sekali kau Upik, masih penganten baru mau ditinggal pulak. Macam mana itu..!"
"Itulah Pak. Makanya aku titip istriku sama bapak, tolong jaga dia, antar dan jemput dia kekantornya setiap hari, dan untuk itu bapak akan dapat bayaran spesial dari kami. Tapi"

Aku ingin membantah tetapi suamiku telah memotong kata kataku dengan cepat sambil memeluk mesra bahuku.

"Sudahlah. Aku tahu Pak Sitor akan menjaga kamu dengan baik"

Jauh didalam lubuk hatiku, aku tidak setuju dengan keputusan suamiku, aku sedikit takut melihat penampilan Pak Sitor yang terlalu macho buat orang seusia dia.

"Tenang saja lah kau Uda. Dia akan kujaga dengan baik, akan kupastikan tak ada satupun orang lain yang bakal mengganggunya dipulau ini."
"Terima kasih Pak"

Suamiku menjawab sambil menggamit tanganku dan mengajakku memasuki rumah kami. Itu dalah hari terakhir suamiku berada di pulau besamaku, sebentar lagi aku mesti ke dermaga mengantar dia untuk kembali ke Padang dan terus ke Australia selama satu setengah tahun dalam rangka tugas belajar dari perusahaannya.

Tidak ada lagi airmata ketika aku melepasnya dipelabuhan, semua sudah tumpah ruah tatkala semalaman kami bercinta habis habisan. Airmata dan air kemaluan kami mengalir menyatu dalam setiap pori kenikmatan yang kami pacu ronde demi ronde, seakan ingin menimbun stock orgasme buat hari hari penuh penantian selama kami berpisah.

Seiring perjalanan waktu, hubuganku dengan Pak Sitor semakin akrab, kekakuanku sedikit demi sedikit mulai mencair. Sesuai typical orang dari utara Pak Sitor bersifat terbuka, terus terang dan pemberani. Beberapa kali aku diganggu lelaki iseng sewaktu mau kepasar atau pulang jalan-jalan, tetapi semua mereka berubah hormat kepadaku begitu Pak Sitor menegur dan memarahi mereka.

"Eh.. Hati hati kau. Jangan ganggu si uni itu, atau kau diberi ketupat bangkahulu oleh lae Sitor"

Begitu yang pernah kudengar bisik bisik mereka. Suatu pagi aku kaget ketika Pak Sitor datang tidak sebagaimana biasanya.

"Lho.. Pak kok motornya diganti"
"Iyalah ini berkat bayaran yang kau berikan tiap bulan itu"
"Tapi motor kemaren kan masih bagus Pak"
"Betul tapi kurang kuat. Apalagi jalanan kan tambah rusak sejak musim hujan ini"

Betul juga, tidak jarang aku mesti turun dulu ketika motor memasuki lobang yang cukup besar karena motornya tidak sanggup membawa beban 2 orang. Sekarang motor Pak Sitor adalah Yamaha Rx King, memang lebih kuat dan lebih kencang walaupun hanya motor second.

Semenjak memakai motor baru, aku merasakan adanya kontak bodi yang lebih intens antara aku dan Pak Sitor, khususnya ketika kami berboncengan. Desain tempat duduk motor yang tinggi dibagian belakang serta posisi dudukku yang menghadap kedepan membuat tonjolan payudaraku sering menyentuh punggung Pak Sitor ketika motor direm mendadak atau memasuki lobang.

Pada awal awalnya aku berusaha agar hal itu tidak terjadi dengan menempatkan tasku sebagai pembatas, tetapi hal tersebut membuat aku hampir jatuh ketika motor masuk lobang dan tasku ikut bergeser seakan mau jatuh, reflek aku memegangnya, akibatnya peganganku ke sadel motor terlepas dan aku hampir terpelanting.

"Bah. Hati hati kau Upik, bisa bahaya kalau kau lebih perlu sama tas dari pada keselamatan diri kau!"

Pak Sitor memperingati aku dengan sedikit keras karena akibat pergerakan tubuhku tadi, motornya hampir masuk selokan.

"Maaf Pak. Aku nggak sengaja"
"Ya sudahlah... Sini tas kau akan kutarok di tengki bensin agar kau lebih leluasa berpegangan"

Akhirnya akupun menyadari bahwa Pak Sitor sepertinya sengaja melarikan motornya dengan kencang dan tiba tiba direm dengan mendadak agar payudaraku bisa menempel ke punggungnya. Semula aku sempat marah tetapi lama lama ada suatu dorongan dari hatiku. Kenapa nggak dinikmati aja, cuma nempel aja kok!

Terus terang tiap kali payudaraku menempel dipungung Pak Sitor, biasanya dia akan meliukkan motornya kekikri dan kekanan sehingga punggungnya terasa bergesekan dengan puting susuku. Aku memejamkan mata menikmati sensasi liar itu. Aku tahu dengan pasti Pak Sitor juga menikmatinya, tetapi kami sama sama diam dibawa angan masing masing. Kadangkala ketika rumahku tinggal beberapa meter lagi Pak Sitor sengaja membelokkan motornya..

"Upik.. Nanti aku akan langsung pulang kerumah. Jadi aku tambah bensin dulu ya"
"Iya.. Pak"

Bersambung . . . .