Niki yang tak terlupakan - 4

Di ruang uap sebelah, Niki menungguku sambil menggosoki tubuhnya. Badannya terbalut swimsuit yang sampingnya bolong di bagian pinggang, sebenarnya sampingnya bolong semua karena bagian atas dan bawahnya hanya diikat tali, jadi kalau talinya lepas praktis dari ketiak sampai paha terbuka (mirip bikini, hanya bagian depannya tertutup pas di sekitar pusar). Ia tidak pakai celana pendek, tapi ditutup sekedarnya dengan handuk. Temperatur tinggi dan uap air yang pekat membuat tubuh Niki bersimbah keringat, menetes netes dari rambutnya yang pendek ikal, membuat swimsuit-nya menempel ketat di badan.

"Maass, gosokin..!" Niki merengek manja.
Ia duduk di bangku pertama (bangkunya dua baris, kayak undakan) menyandar ke bangku belakangnya. Kaki kirinya diangkat, sedikit mengangkang hingga 'VW kodok' di pangkal pahanya menggunduk di balik swimsuit. Ia duduk menggosok-gosok pahanya yang basah oleh keringat, tersenyum menatapku dengan pandangan yang menggetarkan birahi. Batangku langsung mengacung di bawah pandangan syahdunya.

Aku duduk di bangku belakangnya dengan batang mengeras menempel di punggung Niki. Lewat bahu terlihat bukit kembar yang basah oleh keringat, mengintip di balik belahan bajunya. Sambil berusaha santai, tanganku melakukan massage di wajahnya. Niki menyandarkan kepala ke perutku, membuat batangku semakin mengeras mengganjal punggung, malah kepala penisku mendesak-desak ke belakang lehernya. Sambil kuurut wajahnya, tangan Niki menggosoki tubuhnya yang berkeringat, menggeliat-geliat sambil mendesah.

Tanganku pindah ke leher mengurut perlahan bahu dan pangkal lengannya. Kepala penisku sudah menyeruak keluar dari celana, menggesek pangkal lehernya yang basah bermandi keringat. Sentuhan ujung rambut Niki di permukaan helm-ku menimbulkan desiran nikmat yang makin menjadi-jadi. Lalu ia meraih tanganku dibawa ke dadanya. Aku terengah-engah kekurangan oksigen ditambah nafsu yang bergolak saat tanganku menyentuh bukit kembarnya yang padat, ditambah lagi batangku yang mencuat kadang sengaja dijepit di sela pundak dan leher yang licin oleh keringat.

Niki lebih parah lagi, dengan napasnya tersengal-sengal ia malah minta aku menggosok pangkal pahanya. Aku turun ke lantai mengendurkan kenikmatan yang sudah mendesak di ujung penis. Tanganku mengusap gundukannya dari luar swimsuit yang saking basahnya oleh campuran keringat dan entah apa, terbentuk celah yang membelah menjadi dua gundukan yang menebal. Walau terbungkus, jariku yang bergerak menyusuri celah itu dapat merasakan denyutan bibir vaginanya dan ketegangan klitorisnya. Hanya beberapa menit kemudian Niki sudah menendang-nendang, terpejam lalu mengejang.

Cepat-cepat aku coba memapah Niki ke luar, takut pingsan kehabisan napas. Saking takutnya, penisku mengkeret tanpa kusadari. Tapi Niki menolak.
Ia menarik napas panjang, melek, senyum terus berbisik, "Jangan sentuh yaa, nikmatnya bisa lamaa niih.. bukain pintu aja, terus tinggalin aku."
Aku baru ingat, orgasme dengan oksigen yang minim akan membuat rasa nikmat seolah tidak habis-habis, mungkin ini yang terjadi pada Niki.

Aku meneruskan acara SS. Selesai mandi uap selanjutnya adalah berendam di kolam dingin, kolam panas, dingin lagi, panas lagi, terus sampai bosan. Kolam itu dalamnya sepinggulku, jadi kalau berdiri pas merendam penis, dan tidak dipisah antara laki perempuan. Saat aku ke kolam, dua cowok yang duluan datang sudah bilas-bilas, sehingga tidak lama kemudian tinggal aku sendirian.

Rasa nikmat yang mengumpul di ujung penisku masih mengganjal, tapi batangnya mengkeret (akibat ketakutan, mungkin!). Begitu aku masuk kolam dingin rasa nikmat itu mulai menyebar pelan, merata di seluruh batang. Sambil menggigil aku mengurut pelan batangku, mencoba membangunkan rasa nikmat yang tertunda. Dan berhasil, desiran kenikmatan mulai naik lagi, tapi anehnya hanya berkumpul di sekitar batang, mendesak-desak ke ujungnya.

Lima menit sudah lewat, berarti waktunya untuk pindah. Aku meloncat ke kolam panas (panas beneran!), dan kembali mengurut. Pelan tapi pasti desiran kenikmatan kembali naik, kali ini batangku ikut membesar. Ketika saatnya kembali ke kolam dingin Niki muncul. Ia langsung bergabung di kolam dingin, kali ini ia pakai celana pendek di luar swimsuit-nya. Kerlingannya yang menggugah birahi kembali dilemparkan.

"Gimana Nik, udah enakan..?" aku bertanya sambil tetap mengurut.
"Enak dong, sampe sekarang belum abis, kamu gimana..?" ia balik bertanya.
"Ini lagi diurut-urut, enak tapi nggak nyampe-nyampe," jawabku.
Ia ketawa, "Naiknya pelan-pelan yaa. Makanya dibikin panas dingin biar lamaan enaknya,"
Benar juga, pikirku.
"Sini, 'tak bantuin." Niki mengajakku ke pojokan kolam.
Tangan kami bertumpu ke pinggiran kolam di sisi yang berbeda. Aku berjongkok demikian rupa sehingga kepala kami berjauhan tapi dengkul saling merapat, jadi tangan yang sebelah dapat saling menyentuh.

Niki merogoh penis menggantikan tanganku. Jari-jarinya yang ahli mengurut batangku pelan dan lembut. Ia mengambangkan badan di depanku sehingga tanganku dapat meraih pangkal pahanya. Tanganku menggigil menyusup ke dalam celananya, menerobos sela baju renang dan menemukan celah kemaluannya. Klitorisnya masih keras, sisa tadi dan akibat dinginnya air kolam. Aku mengusap dengan teratur, perlahan dan agak mengambang, sementara jarinya memilin lipatan helm-ku, juga pelan dan teratur. Seiring dengan itu, rasa nikmat yang menjalari kemaluan ikut merambat naik pelan-pelan.

"Gimana rasanya Nik..?" aku berbisik.
"Sss.. naik pelan-pelan. Kamu..?" ia mendesah, pantatnya bertumpu di lututku.
"Sama..! Ngumpul di ujung, nyebar ke dalem, ngumpul lagi.. kamu..?"
"Sama..!"

Lewat lima menit, kami pindah ke kolam panas dengan konfigurasi posisi yang sama. Seperti kuduga, penisku dan klitorisnya yang semula bagaikan membeku mulai mengembang. Getaran kenikmatan yang menggumpal di ujung organ masing-masing mulai menyebar ke seluruh tubuh. Niki tetap menjaga keteraturan usapannya, membuat grafik kenikmatanku tidak melonjak tiba-tiba, tetap menaik perlahan. Begitu pula jariku mencontoh gerakan Niki.

Setelah tiga kali bolak balik, dua orang pengunjung masuk. Kami mengakhiri permainan dalam posisi birahi sudah diubun ubun. Sesudah bilas dengan air biasa, acara selanjutnya adalah massage. Kami berganti kimono dan duduk menanti panggilan di movie room sambil minum juice, filmnya 'Basic Instinct' versi LD.

Tidak ada tamu lain. Niki dan aku membenam di sofa paling pojok dengan birahi yang sudah memuncak. Aku langsung mengelus tubuhnya dengan penuh perasaan. Seperti juga aku, tubuh Niki yang merinding dipenuhi bintik-bintik seperti orang kegatalan atau kedinginan, puting susunya berdiri dan mengeras seperti klitorisnya. Niki sementara itu meremas kejantananku dengan jarinya yang lembut.

Kami saling mendekap dan berciuman, hal yang tidak dapat dilakukan di kolam. Saat tanganku mengusap vaginanya yang basah, lalu klitorisnya kupilin perlahan dengan dua jari, Niki mengerang dan berusaha naik ke pangkuanku. Saat itulah waitress datang memanggil untuk massage. (Waiter dan waitress yang mengantar juice sempat memergoki tanganku merayap di dada Niki. Saat kami lewat ke tempat massage, sempat kulihat waitress itu digerayangi oleh teman lelakinya dari belakang, ia menolak tapi nampaknya bukan penolakan yang serius).

Sesuai pesananku, kami ditempatkan di ruang massage dengan dua ranjang khusus yang pakai lubang buat kepala. Kedua wanita yang melayani menyambut dengan ramah.
"Pasangan Pak..?" salah satunya bertanya.
"Iya.. dong..!" Niki yang menjawab.
Lalu Kami naik ke atas ranjang. Mereka memijat dengan profesional, kaki, punggung, tangan, kepala, sampai akhirnya diinjak sambil gelantungan di palang besi. Pijatan seorang akhli membuatku jadi rileks, sayangnya birahi yang telah bangkit pelan-pelan tidak juga turun, aku seperti melayang dalam kenikmatan.

Akhirnya, "Mbak, boleh aku bantu nggosokin istriku..?" aku nekat.
"Oo.. silakan Pak, udah selesai kok."
Aku turun dan menghampiri ranjang Niki. Ia dalam posisi telentang saat aku membantu mengurut pahanya, tapi Niki menolak.
"Apa-apaan sih! Malu dong sama Mbak ini.." kata Niki, melotot sambil menepis tanganku.
Tapi wanita yang memijat Niki tersenyum manis, "Silahkan saja Bu. Nggak usah malu, biasa kok suami istri di sini." katanya.
"Kami tunggu di sebelah. Tapi maaf, suaranya jangan keras-keras nanti kami ditegur supervisor," ia meneruskan, lalu menarik gorden yang menyekat kedua ranjang dan menunggu di ranjangku.

Akhirnya Niki hanya tersenyum melihat kelakuanku.
"Dasar nakal, nggak sabaran banget," bisiknya, tapi dengan hangat ia membalas ciumanku.
Saat jariku meraba kemaluannya ternyata masih tetap basah, maka aku tidak membuang waktu lagi, langsung kulepaskan celananya, juga celanaku. Lidahku mulai menyusuri lututnya perlahan, menuju ke pangkal paha. Saat lidahku mencapai gundukan yang merekah ditumbuhi bulu halus, paha Niki merenggang dan klitorisnya yang keras segera kujilati. Foreplay-nya sudah lebih dari cukup! Niki langsung menarik tubuhku ke atas ranjang.

Sambil berciuman dalam posisi konvensional, tubuhku menindih Niki. Dadanya yang kencang menekan hangat dadaku. Seluruh tubuhnya merinding, kasar berbintik terutama di dada dan pangkal paha. Niki melebarkan pahanya memudahkan penisku yang tegang meluncur di belahan bibir vaginanya yang menggunung. Penisku yang berada pada puncak kekerasannya, dibimbing tangan Niki menjelajahi celah itu yang dibanjiri cairan kenikmatan, berputar-putar menyapu klitoris.
"Hmfhh.. teruss.. Mass.. masukk..!" di sela-sela ciuman Niki mengerang, mengarahkan genggamannya ke mulut vagina.

Dengan bertumpu kedua tangan, penisku menempel di mulut vaginanya, pelan-pelan kudorong. Niki melenguh saat aku menerobos ke dalam lorongnya, menggesek dinding-dindingnya yang kenyal. Masuk kira-kira sepertiga, batangku kutarik perlahan. Saat itu kemaluanku serasa digenggam oleh lipatan daging yang liat, berlipat-lipat, dan basah berdenyut. Sampai batas mulut vagina kudorong lagi perlahan, dengan mengerang Niki menggeliat menyorongkan pinggulnya agar penisku cepat tertelan jepitannya.

"Acchh.. uuffhh..!" desah Niki ketika seluruh penisku masuk ke dalam vaginanya.
Kedua pahanya melingkar di badanku agar batangku tetap membenam, kucoba menarik keluar lalu kutancapkan dalam-dalam, kutarik lagi, kumasukkan lagi dengan ritme membuat Niki mengerang-erang keenakan. Nikmat yang dirasakan membuat ia hanya sanggup mengelinjang-gelinjang.
"Mass.., egghh.. aacchh.., puassin aku dulu ya..!" pinta Niki.
Tanpa menunggu jawaban ia membalik ke atas tubuhku, membuat penisku terlepas dari jepitannya.

Lalu penisku yang makin keras itu dituntunnya ke liang vaginanya dan, "Aagghh.." dengan jeritan kecil Niki, seluruh batang penisku kini amblas masuk ke dalam vaginanya yang sudah banjir.
Dengan tangan bertumpu di dadaku, ia memintaku meremasi buah dadanya yang besar menggelantung di wajahku. Kini ia sepenuhnya bebas menguasai permainan, dengan berjongkok ia menaik-turunkan pinggul, menggeliat seperti penari hulahoop membuat batangku seperti digiling-giling, pegal, linu tapi nikmatnya tidak pernah kurasakan sebelumnya.

Kini ia menggesek-gesekkan vaginanya maju mundur mencari posisi sentuhan yang paling nikmat pada klitorisnya, sementara aku menggerakkan pinggulku membuat gesekan maksimal kepala penisku pada otot mulut vaginanya.
Akhirnya, "Ougg.. Yaang.., Gila..!" dengan mata terpejam ia mengejang-ngejang sambil menggigit bibirnya, merasakan nikmat yang tiada tara itu.
Ia terkulai di atas tubuhku beberapa saat sebelum akhirnya aku berbalik, kembali di atas.

Kurasakan desakan kuat yang akan menyembur keluar dari penisku, kutekuk kedua paha Niki ke atas, dan dengan memusatkan perhatian pada ujung kemaluan kugenjot liangnya dengan irama cepat. Niki mengerti kalau aku mau keluar, ia mengejan-ejan meremaskan vaginanya. Otot vulvanya yang seperti cincin mengurut penisku mulai dari pangkal, pelan bergerak ke ujung, memilin dan menghisap kuat. Aku tidak kuat lagi menahan rasa nikmat ini hingga akhirnya aku orgasme.
"Niki.. akuu.." cairan kenikmatanku menyembur deras di vaginanya yang meremas-remas.

Kedua pemijat yang habis mengintip dari sebelah membantu kami membersihkan sisa-sisa kenikmatan.
Terpaksa aku memberi tips agak banyak buat menghilangkan malu, lha dia malah ngomong, "Lain kali pesan saya aja Bu, nama saya Ketty teman saya Neni. Kita kan udah kenal jadi bisa bantu Ibu."
"Tapi lain kali dibantuin beneran yaa..!" aku nyeletuk.
Niki menyikutku sambil melotot, "Dasaar..!" ia mengomel.

Dalam perjalanan pulang kami tertidur di taksi. Aku turun di jalan, dan Niki langsung ke kantor. Tidak lama kemudian HP-ku bunyi, ternyata Niki mengabari bahwa ia langsung pamit pulang.
"Nggak bisa kerja. Nggak kuat lagi, lemeess..!" katanya.
"Samaa.."

TAMAT